Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit endokrin metabolik adalah penyakit yang berhubungan dengan


kelainan hormonal dan merupakan penyakit yang paing sering ditemukan.
Salah satu hormon yang sering mengalami kelainan adalah hormon insulin
yang dihasilkan oleh sel beta pankreas. Pada tahun 1998, Reaven
menunjukkan korelasi faktor risiko pada pasien-pasien dengan resistensi
insulin yang dihubungkan dengan peningkatan penyakit kardiovaskuler yang
disebutnya sindrom X. Selanjutnya, sindrom X ini dikenal sebagai sindrom
resistensi insulin dan akhirnya sindrom metabolik.1
Resistensi insulin mendasari kelompok kelainan pada sindrom metabolik.
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan
oleh sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal bila ada rangsangan
pada sel beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan ke dalam darah
sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah. Jika
mekanisme ini terganggu maka akan terjadi gangguan dalam regulasi
glukosa darah. Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Diabetes Melitus dibagi
menjadi dua tipe yaitu DM tipe I dan DM tipe II. DM tipe I terjadi karena
destruksi sel beta pancreas yang menghasilkan insulin, sedangkan DM tipe II
ditandai dengan adanya gangguan sekresi insulin ataupun gangguan kerja
insulin (resistensi insulin) pada organ target terutama hati dan otot.1
Diabete Melitus tipe II merupakan jenis diabetes yang paling sering tejadi,
mencakup sekitar 85% pasien diabetes. Komplikasi makrovaskular merupakan
penyebab utama kematian pada pasien diabetes tipe II, sebesar 50% dari
kematian penyakit ini. Penyandang diabetes tiga kali lipat lebih berpeluang
mengalami stroke dan 15 kali lipat lebih berpeluang mengalami amputasi
tungkai bawah daripada mereka yang tidak menyandang diabetes. Kaki
diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang paling ditakuti.1

1
A. LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien

a. Nama : Tn. D

b. Umur : 49 Tahun

c. Jenis Kelamin : Laki-laki

d. Alamat : Bontokassi

e. Pekerjaan : Petani

g. Agama : Islam

h. MRS : 5 November 2014

i. Dokter Jaga : dr. Elsy

2. Keluhan Utama

Anamnesis : Autoanamnesis

Keluhan Utama : Luka pada kaki kiri

3. Anamnesa Terpimpin

Dialami sejak satu bulan yang lalu. Awalnya luka kecil kemudian
lama kelamaan membesar. Pasien juga merasa kram pada kedua kakinya.
Pasien sering terbangun tengah malam untuk buang air kecil. Pasien cepat
merasa lapar dan haus juga disertai penurunan berat badan. Dimana keadaan
ini sudah dialami oleh pasien sejak 10 tahun yang lalu.

4. Anamnesa Sistematis

a. Demam (-), sakit kepala (-), penglihatan kabur (-/-).


b. Flu (-), Batuk (-), Nyeri dada saat bernafas (-), sesak (-), keringat malam
(-)

2
c. Berdebar-debar (-), nyeri dada menjalar ke tangan (-/-), sesak saat
beraktivitas (-), terbangun malam hari karena sesak (-), sesak saat
berbaring (-)
d. Nafsu makan menurun (+) sejak 1 minggu yang lalu disertai mual tetapi
tidak muntah, nyeri ulu hati (+) sejak 5 hari yang lalu, nyeri tidak
menjalar, dan hilang timbul, berkurang setelah makan.
e. Ada luka pada kaki sejak satu bulan yang lalu, berbau busuk berwarna
hitam kecokelatan, nyeri (+), tangan dan kaki terasa kram-kram sejak
dua bulan yang lalu.
f. BAK lancar, warna kuning, tidak berpasir, tidak nyeri saat BAK, tidak
ada darah di BAK, Riwayat sering buang air kecil sejak 10 tahun yang
lalu, BAB sulit sejak 5 hari yang lalu, warna kuning, tidak nyeri saat
BAB, tidak ada darah.

5. Riwayat Penyakit Sebelumnya :


a. Riwayat penyakit yang sama dalam satu rumah (-)
b. Riwayat penyakit Diabetes Mellitus sejak dua tahun yang lalu
c. Riwayat penyakit orang tua menderita diabetes melitus (+)

6. Status Pasien :

a. Status present : SS/ kesan GL/ CM


b. Status gizi:
 BB : 70kg
 TB : 165 cm
 IMT : BB/TB2 = 70 kg/ 1,65 m2 = 25,71 kg/m2 ( Obes 1)
c. Status Vitalis:
 T : 130/80 mmHg
 N : 80 x/ menit. A. radialis
 P : 20 x /menit. thoracoabdominal
 S : 36,8 0C, axilla

3
d. Kepala:
 Anemis (-/-)
 Ikterus (-/-)
 Turgor kulit (normal)
 Sianosis (-)
 Hematoma (-)
e. Leher:
 Massa tumor (-)
 Nyeri tekan (-)
 Pembesaran kelenjar getah bening (-)
 Pembesaran Thyroid (-/-)
 Hematom (-)
f. Thorax:
 I : Simetris (ka=ki), tidak mengginakan otot-otot bantu
pernafasan hematom (-), luka (-), jaringan sikiatrik (-).
 P : masa tumor (-), nyeri tekan (-), vocal pemitus (ka=ki), bunyi
krepitasi (-).
 P : Sonor, batas paru hepar ICS VI dextraanterior, bunyi: pekak ke
timpani
 A : Bunyi pernapasan : Vesikular
Bunyi tambahan : (-)
g. Jantung:
 I : Ictus Cordis tidak tampak
 P: Ictus Cordis tidak teraba
 P: Pekak (normal)
1) Batas Kiri Atas : ICS II Linea Parasternalis Sinistra
2) Batas Apex : ICS VI Linea Midclavicula Sinistra
3) Batas Kanan Atas : ICS II Linea Parasternalis Dextra
4) Batas Kanan Bawah : IS IV Linea Parasternalis Dextra
 A: Bunyi Jantung =S1 dan S2 murni regular, tidak ada bising

4
h. Abdomen:
 I : datar ikut gerak napas, hematom (-), luka (-), jaringan sikatrik (-),
bekas operasi (-)
 A : Peristaltik (+) kesan normal
 P : Nyeri tekan (-), massa tumor (-)
i. Extremitas:
Edema pretibial (-/-), edema dorsum pedis (+/+) terdapat luka kehitaman
pada dorsum pedis sinistra dengan diameter 5x6 cm, deformitas (-/-).

7. Resume

Seorang laki-laki berumur 49 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan


utama luka pada dorsum pedis sinistra yang dialami sejak satu bulan yang
lalu. Pasien juga mengeluh sering nausea tetapi tidak sampai vomiting,
parastesia, polifagi, polidipsi, dan poliuri yang dialami sejak dua tahun yang
lalu.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan status generalis pasien sakit sedang,
kesan gizi lebih dan compos mentis. Status vitalis didapatkan TD = 130/80
mmHg, N = 80 x/menit, P = 20 x/menit, tipe thoracoabdominal, Suhu
axilla 36,8 0C. Pada pemeriksaan fisis kepala, leher, thoraks, jantung,
abdomen dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisis ekstremitas
didapatkan edema dorsum pedis (+/+) dan terdapat ulkus pada dorsum
pedis sinistra dengan diameter 5x6 cm.
Riwayat penyakit diabetes melitus sejak dua tahun yang lalu.
Riwayat penyakit orang tua menderita diabetes mellitus.
8. Diagnosis

Kaki Diabetik et causa Diabetes Melitus type II

9. Diagnosis Banding

HONK (Hiperormolar Nonketotic Coma)

5
10. Pemeriksaan Anjuran

 GDS
 Darah
 Elektrolit Darah
 Pemeriksaan Profil Lipd
 Tes Mikrobiologi
 Tes HbA1C
 Foto Rontgen Pedis S AP/Lateral

11. Rencana Terapi / Penatalaksanaan

 Tirah Baring
 IVFD RL : 28 tpm
 Diet
 Insulin
 Debridement : wound control
 Microbiological control
1. Ceftriaxone 2 gr / 24 jam/ IV
2. Metronidazoe 500 mg 2 kali sehari

12. Prognosis

Quo ad vitam : Dubia

Quo ad sanationem : Dubia

6
II.TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi, Histologi, dan Fisiologi

Gambar 2.1 Anatomi Pankreas


(Dikutip dari kepustakaan 2)

Pankreas adalah sebuah kelenjar yang memanjang yang terletak di


belakang dan di bawah lambung, di atas lengkung pertama duodenum. Kelenjar
campuran inimengandung jaringan eksokrin dan endokrin. Bagian eksokrin
predominan terdiri dari kelompok-kelompok sel sekretorik mirip anggur yang
membentuk kantung yang disebut asinus, yang berhubungan dengan duktus
yang akirnya akan bermuara di duodenum. Bagian endokrin yang lebih kecil
terdiri dari pulau-pulau jaringan endokrin terisolasi, pulau-pulau disekresikan
oleh sel-sel pulau langerhans adalah insulin dan glukagon.3

7
Gambar 2.2 Skematik bagian eksokrin dan endokrin pankreas
(Dikutip dari kepustakaan 3)

Adapun histologi dari pancreas dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 2.3 Insulin pancreatica ( pewarnaan khusus )


Pulasan : Gomori’s chrome alum hematoxylin and phloxine
(Dikutip dari kepustakaan 4)

Sitoplasma sel alfa berwarna merah muda, sedang sel beta berwarna biru.
Sel alfa terletak lebih perifer di dalam insula dan sel beta lebih di tengah. Sel
beta juga mendominasi dan membentuk kira-kira 70% dari insula. Sel delta
(tidak tampak) juga terdapat pada di insula. Sel ini paling sedikit, memilii
bentuk sel bervariasi dan ditemukan dimana saja dalam insula pankreatika.
Kapiler disekitar sel endokrin menunjukkan insula pankreatika ini kaya
vaskularisasi. Kapsul jaringan ikat tipis memisahkan sel-sel insula dari asini
serosa, sel sentroasinar terlihat di beberapa asini. 4
Sel endokrin pancreas terbanyak adalah sel beta, tempat sintesis dan
sekresi insulin, yang pembebasannya dirangsang oleh kadar glukosa darah

8
meningkat sete;ah makan. Insulin menurunkan kadar glukosa darah dengan
meningkatkan transport membrane glukosa ke dalam hepatosit, otot, dan sel
adipose. Insulin juga mempercepat konversi glukosa menjadi glikogen di
hepatosit. Efek insulin terhadap kadar gukosa darah berlawanan dengan efek
glukagon.4,5
Sel alfa yang menghasilkan glukagon, dibebaskan sebagai respons
terhadap kadar glukosa darah yang rendah. Glucagon meningkatkan kadar
glukosa darah dengan mempercepat perubahan glikogen, asam amino dan asam
lemak dihepatosit menjadi glukosa. 4,5
Sel delta yang lebih jarang adalah tempat sintesis somatostatin. Hormon
ini menurunkan dan menghambat aktivitas sekretorik sel alfa (penghasil
glucagon) dan sel beta (penghasil insulin) melalui pengaruh local di dalam
insula pankreatika. 4,5
1. Efek Insulin

Insulin memiliki efek penting pada metabolism karbohidrat, lemak, dan


protein. Hormon ini menurunkan kadar glukosa, asam lemak, dan asam
amino darah serta mendorong penyimpanan bahan-bahan tersebut. Sewaktu
molekul nutrient ini masuk ke darah selama keadaan absorptif, insulin
mendorong penyerapan bahan-bahan ini oleh sel dan pengubahannya
masing-masing menjadi glikogen, trigliserida, dan protein. Insulin
melaksanakan banyak fungsinya dengan mempengaruhi transport nutrient
darah spesifik masuk ke dalam sel atau mengubah aktivitas enzim-enzim
yang berperan dalam jalur-jalur metabolic tertentu. 3

Insulin terutama menimbulkan efek dngan bekerja pada otot rangka inaktif,
hati, dan jaringan lemak. Jika sekresi insulin meningkat, maka akan
menyebabkan jalur-jalur metabolic bergeser kea rah anabolisme.
Sebaliknya, jika sekresi insulin rendah, maka akan menyebabkan jalur
metabolic bergeser ke arah katabolisme. 3

2. Efek Glukagon

9
Efek glukagon berlawanan dengan efek insulin. Tempat utama kerja
gukagon adalah hati, tempat hormone ini menimbulkan berbagai efek pada
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. 3

Efek keseluruhan glucagon pada metabolism karbohidrat menyebabkan


peningkatan produksi dan pelepasan gluksa oleh hati sehingga kadar
glukosa darah meningkat dan melaksanakan efek hipoglikemiknya dengan
menurunkan sintesis glikogen, mendorong glikogenolisis, dan merangsang
gluconeogenesis. 3

Glukagon juga melawan efek insulin pada metabolism lemak dengan


mendorong penguraian lemak serta inhibisi sintesis trigliserida. Glucagon
meningkatkan produksi keton tati (ketogenesis) dengan mendorong
perubahan asam lemak menjadi badan keton. Karena itu, kadar asam
lemak dan keton darah meningkat di bawah pengaruh glukagon. 3

Glukagon menghambat sintesis protein di hati serta mendorong penguraian


protein hati. Stimulasi glukoneogenesis juga memperkuat efek katabolik
glukagon pada metabolisme protein hati. Glucagon mendorong
katabolisme protein hati tetapi tidak mempengaruhi protein otot, simpanan
protein utama di tubuh. 3

10
Gambar 2.4 Interaksi Komplementer glukagon dan insulin
(Dikutip dari kepustakaan 3)

Demikianlah, terdapat hubungan umpan balik negative langsung antara


konsentrasi glukosa darah dan laju sekresi sel beta dan sel alfa, tetapi
dalam arah berlawanan. Peningkatan kadar glukosa darah merangsang
sekresi insulin tetapi menghambat sekresi glukagon, sementara enurunan
kadar glukosa darah menyababkan penurunan sekresi insulin dan
peningkatan sekresi glukagon. 3

Tabel 2.1 Respon jaringan terhadap insulin dan glukagon6

Hati Jaringan Otot


adipose
Ditigkatkan oleh Sintesis asam lemak Penyerapan Penyerapan
insulin Sintesis glikogen glukosa glukosa
Sintesis protein Sintesis asam Sintesis
lemak gliogen
Sintesis
protein
Diturunkan oleh Ketogenesis Lipolisis
insulin Glukoneogenesis
Ditingkatkan oleh Glikogenolisis
glukagon Glukoneogenesis
Ketogenesis

11
Gambar 2.5 Arteri dan saraf di dorsum pedis
(Dikutip dari kepustakaan 2)

Dilihat dari dorsal ke dorsum pedis setelah tendo tendo M. extensor digitorum
longus serta otot otot ekstensor pendek jari kaki diangkat. A. tibialis anterior
terus berlanjut di Dorsum pedis sebagai A.dorsalis pedis. Setelah otot-otot
ekstensor kak serta Dorsum pedis mendapat persarafan, N. fibularis profundus
yang turut berjalan bersama arteri yang bersangkutan membagi diri menjadi
cabang-cabang sensorik terminal yang mempersarafi ruang interdigital
pertama. Di tingkat malleoli, A. tibialis anterior memberi percabangan Aa.
Malleolares anteriores medialis et lateralis untuk jejaring arteri di sekeliling
malleoli (Rete malleolare mediale dan Rete malleoare laterale). A. dorsalis
pedis bercabang menjadi Aa. Tarsals mediales yang lebih kecil dan A. tarsalis
lateralis menuju ke tarsus lalu berlanjut sebagai A. arcuata. Arteri terakhir ini
melengkung ke tepi lateral kaki dan bercabang menjadi Aa. Metatarsals
dorsales yang kemudian berjalan sebagai Aa. Digitales dorsales untuk

12
mendarahi jari kaki. A.plantaris profunda menunjang perfusi telapak kaki
dengan mendarahi Arcus plantaris profundus. 2

B. Definisi

Diabetes melitus tipe 2 juga disebut noninsulin dependent diabetes


mellitus (NIDDM) adalah tipe diabetes yang disebabkan oleh penurunan
sensitivitas jaringan target terhadap efek metabolic insulin. Penurunan
sensitivitas terhadap insulin ini seringkali sebagai resistensi insulin.5,7,8

Diabetes melitus tipe 2 ditandai oleh kurangnya sekresi insulin atau


bahkan meningkat tetapi sensitivitas dari sel sasaran terhadap insulin
berkurang. 3

Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik diabetes mellitus. 1

C. Epidemiologi

Tingkat prevalensi diabetes mellitus sama tinggi. Diabetes mellitus tipe 2


terjadi paling sering pada orang dewasa berusia 40 tahun atau lebih, dengan
prevalensi penyakit tersebut meningkat dengan usia lanjut. Hampir semua
kasus diabetes mellitus pada orang tua adalah tipe 2. Selain itu, kejadian
diabetes tipe 2 meningkat lebih cepat pada remaja dan dewasa muda daripada
kelompok usia lainnya. 7

Tujuh puluh lima persen penderita diabetes akhirnya meniggal karena


penyakit vaskuler. Serangan jantung, gagal ginjal, stroke, dan ganggren adalah
komplikasi yang paling utama. 7

D. Etiologi
Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes bermacam-macam.
Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda akhirnya mengarah pada
insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan
penting pada mayoritas penderita diabetes mellitus.7

13
Pada pasien-pasien diabetes mellitus tipe 2, penyakitnya mempunyai pola
familial yang kuat. Indeks untuk diabetes mellitus tipe 2 pada kembar
monozigot hamper 100%. Risiko berkembangnya diabetes tie 2 pada saudara
kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak cucunya. Jika orang tua
menderita diabetes tipe 2, rasio diabetes dan nondiabetes pada anak 1:1, dan
sekitar 90% pasti membawa (carrier) diabetes tipe 2. Pada pasien-pasien
dengan diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan
reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat
reseptor pada membrane sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat
ketidaknormalan reseptor insulin dengan system transport glukosa.7

Ketidaknormalan postreseptor dapat mengganggu kerja insulin. Pada


akhirnya, timbul kegagalan sel beta dengan menurunnya jumlah insulin yang
beredar dengan tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia. Sekitar
80% pasien diabetes tioe 2 mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan
dengan resistensi insulin, maka kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi
glukosa yang menyebabkan diabetes tipe 2. Pengurangan berat badan sering
kali dikaitkan dengan perbaikan dalam sensitivitas insulin dan pemulihan
toleransi glukosa. 7

Kaki diabetik yang merupakan komplikasi dari diabetes mellitus


disebabkan oleh penyakit vaskuler perifer atau oleh neuropati namun seringkali
disebabkan oleh keduanya.9

Infeksi kaki diabetes biasanya muncul baik dalam ulserasi kulit yang
terjadi sebagai konsekuensi perifer (sensorik dan motorik) neuropati atau luka
disebabkan oleh beberapa bentuk trauma. Berbagai mikroorganisme pasti
menjajah luka, pada beberapa pasien 1 atau lebih spesies organisme
berkembang biak dalam luka, yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan,
diikuti oleh respon host disertai dengan inflamasi, yaitu, infeksi klinis. Infeksi
ini dapat kemudian menyebar, termasuk ke dalam jaringan yang lebih dalam,
sering mencapai tulang. 10,11,12

14
Faktor-faktor risiko terjadinya kaki diabetik: 11,12
1. Umur ≥ 60 tahun
Umur ≥ 60 tahun berkaitan dengan terjadinya ulkus diabetik karena pada
usia tua, fungsi tubuh secara fisiologis menurun karena proses aging
terjadi penurunan sekresi atau resistensi insulin sehingga kemampuan
fungsi tubuh pengendalian glukosa darah yang tinggi kurang optimal.

2. Lama DM ≥ 10 tahun
Ulkus diabetik terutama terjadi pada penderita diabetes mellitus yang telah
menderita 10 tahun atau lebih, apabila kadar glukosa darah tidak
terkendali, karena akan muncul komplikasi yang berhubungan dengan
vaskuler sehingga mengalami mikroangiopati-mikroangiopati yang akan
terjadi vaskulopati dan neuropati.

3. Neuropati
Kadar glukosa darah yang tinggi semakin lama akan terjadi gangguan
mikrosirkulasi, berkurangnya aliran darah dan hantaran oksigen pada
serabut saraf yang mengakibatkan degenerasi pada serabut saraf yang lebih
lanjut akan terjadi neuropati.

4. Obesitas
Obesitas menunjukkan hiperinsulinemia yang dapat menyebabkan
aterosklerosis yang berdampak pada vakulopati, sehingga terjadi gangguan
sirkulsi darah sedang/ besar pada tungkai yang menyebabkan tungkai akan
mudah terjadi ulkus/ ganggren diabetika.

5. Hipertensi
Hipertensi (TD>130/80 mmHg) pada penderita Diabetes mellitus karena
adanya viskositas darah yang tinggi akan berakibat menurunnya airan
darah sehingga terjadidefisiensi vaskuler, selain itu hipertensi yang
tekanan darah lebih dari 130/80 mmHg dapat merusak atau mengakibatkan
lesi pada endotel.

6. Glikolisasi hemoglobin (HbA1c) dan kadar glukosa darah tidak terkendali

15
Glikolisasi hemoglobin adalah terikatnya glukosa yang masuk dalam
sirkulasi sistemik dengan protein plsma termasuk hemoglobin dalam sel
darah merah. Apabila glikosilasi hemoglobin (HbA1c) ≥ 6,5 % akan
menurunkan kemampuan pengikatan oksigen oleh sel darah merah yang
mengakibatkan hipoksia jaringan yang selanjutnya terjadi pproliferasi pada
dinding sel otot polos subendotel.

7. Kolesterol total, HDL, trigliserida tidak terkendali


Konsekuensi adanya aterosklerosis adalah penyempitan lumen pembuluh
darah yang akan menyebabkan gangguan sirkulasi jaringan sehingga suplai
darah ke pembuluh darah menurun ditandai dengan hilang atau
berkurangnya denyut nadi pada arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea,
kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi
nekrosis jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung
kaki atau tungkai.

8. Kebiasaan merokok
Kebiasaan merokok akibat dari nikotin yang terkandung dalam rokok akan
dapat menyebabkan kerusakan endotel kemudian terjadi penebalan dan
agregasi trombosit yang selanjutnya terjadi kebocoran sehingga lipoprotein
lipase akan memperlambat clearance lemak darah dan mempermudah
timbulnya aterosklerosis.

9. Ketidakpatuhan Diet DM
Kepatuhan diet DM merupakan upaya yang sangat penting dalam
pengendalian kadar glukosa darah, kolesterol, dan trigliserida mendekati
normal sehingga dapat mencegah komplikasi kronik, seperti ulkus
diabetika.

10. Kurangnya aktivitas fisik


Olahraga rutin (lebih 3 kali dalam seminggu selama 30 menit) akan
memperbaiki metabolisme kabohidrat, lipid dan penurunan berat badan.

11. Perawatan kaki tidak teratur

16
Perawatan kaki diabetik yang teratur akan mencegah atau mengurangi
terjadinya komplikasi kronik pada kaki.

12. Penggunaan alas kaki tidak tepat


Diabetisi tidak boleh berjalan tanpa alas kaki karena tanpa menggunakan
alas kaki yang tepat memudahkan terjadinya trauma yang mengakibatkan
ulkus diabetika, terutama apabila terjadi neuropati yang mengakibatkan
sensasi rasa berkurang atau hilang.

13. Infeksi mikroba


Berikut adalah presentasi mikroba pada kaki diabetes infeksi: 12
Tabel 2.2 Persentasi Mikroba pada kaki diabetes infeksi12
Bakteri Frekuensi %

Aerob gram negatif 111 74,4

Proteus mirabilus 28 19,7


Enterobacter angiomerans 15 10,6
Kliebsiellla pneumonia 11 7,3
Pseudomonas aerogenosa 9 6,0
Klebsiella sp. 9 6,0
Proteus vulgaris 8 5,3
Alkagines fascialis 6 4,0
Enterobacter aerogenosa 6 4,0
Proteus morgagni 4 2,6
Pseudontia alkalivaciens 5 3,3
Escherichia coli 6 4,0
Alchelobacter sp. 5

Aerob gram positif 38 25,6

Staphylococcus aureus 25 16,7


Staphylococcus epidermidis 8 5,3

17
Staphylococcus saproticus 4 2,6

E. Patofisiologi
Terjadinya masalah kaki diabetik diawali adanya hiperglikemia pada
penyandang DM yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada
pembuluh darah. Neuropati, baik neuropati sensorik maupun motorik dan
autonomic akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang
kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak
kaki dan selanjutnya mempermudah tejadinya ulkus. Adanya kerentanan
terhadap infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi luas.
Faktor aliran darah yang kurang juga akan lebih lanjut menambah rumitnya
pengelolaan kaki diabetes.1

18
Berikut gambar patofisiologi terjadinya kaki diabetes:1

Diabetes mellitus

Neuropati Hiperlipidemi

Penyakit vaskuler
Neuropathy periferal

Autonomic Neuropathy
Somatik

Pain sensation Masalah Limited Joint Keringat Altered


Menurun Ortopedi Movement menurun blood flow
Proprioseptive
Menurun
Plantar Dry Skin Engorged vein,
Pressure Fissura Warm Foot
Otot Hipertropik Type equation here.
Callus

Ulkus pada Kaki Ischemic


limb

Infeksi

Gambar 2.6 Patofisiologi terjadinya ulkus pada kaki diabetik


(Dikutip dari kepustakaan 1)

F. Klasifikasi

Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetes, mulai dari yang sederhana
seperti klasifikasi Edmonds dari King’s College Hospital London, klasifikasi
Liverpool yang sedikit lebih ruwet sampai klasifikasi Wagner yang lebih
terkait dengan pengelolaan kaki diabetes,dan juga klasifikasi Texas yang lebih

19
kompleks tetapi juga lebih mengacu kepada pengelolaan kaki diabetes. Suatu
klasifikasi mutakhir dianjurkan oleh International Working Group on Diabetic
Foot.1

Tabel 2.3 Klasifikasi Texas1

Stadium Tingkat 0 Tingkat 1 Tingkat 2 Tingkat 3

A Tanpa tukak Luka Luka sampai Luka sampai


atau pasca superfisial, tendon atau tulang atau
tukak, kulit tidak sampai kapsul sendi kapsul sendi
intak/utuh tendon atau
tulang kapsul sendi

B Dengan infeksi
C Dengan iskemia
D Dengan infeksi dan iskemia

Tabel 2.4 Klasifikasi Wagner1

0 Kulit intak atau utuh

1 Tukak Superfisial

2 Tukak dalam (sampai tendon,tulang)

3 Tukak dalam dengan infeksi

4 Tukak dengan gangren pada 1-2 jari kaki

5 Tukak dengan gangren luas pada seluruh kaki

20
Gambar 2.7 Klasifikasi Wagner
(Dikutip dari kepustakaan 17)

Adanya klasifikasi kaki diabetes yang dapat diterima oleh semua pihak akan
mempermudah para peneliti dalam membandingkan hasil peneliti dari berbagai
tempat di muka bumi. Suatu klasifikasi lain yang juga sangat praktis dan
sangat erat dengan pengelolaan adalah klasifikasi berdasar pada perjalanan
alamiah kaki diabetes.1

1. Stage 1 : Normal Foot

2. Stage 2 : High Risk Foot

3. Stage 3 : Ulcerated Foot

4. Stage 4 : Infected Foot

5. Stage 5 : Necrotic Foot

6. Stage 6 : Unsalvable Foot

G. Diagnosis
Diagnosis diabetes mellitus (DM) harus didasarkan atas pemeriksaan
konsentrasi glukosa darah. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan
glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya
(yang melalukan program pemantauan kendali mutu secara teratur). Dalam hal

21
ini yang dikenal adanya istilah pemeriksaan penyaring dan uji diagnostik
diabetes mellitus.1

Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji


diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala / tanda
DM,sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi
mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko DM. (Serangkaian uji
diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan
penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif).1

1. Pemeriksaan penyaring
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada semua individu dewasa dengan
indeks massa tubuh (IMT) ≥ 25 kg/m2 dengan faktor risiko sebagai
berikut:1,14
a. Aktivitas fisik kurang
b. Riwayat keluarga mengidap DM pada turunan pertama(first degree
relative)
c. Masuk kelompok etnik risiko tinggi (African American, Latino, Native
American, Asian American, Pacific Islander),
d. Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat ≥ 4000 gram atau
riwayat Diabetes Melitus Gestasional (DMG)
e. Hipertensi (tekanan darah ≥ 140/90 mmHg atau sedang dalam terapi obat
anti hipertensi),
f. Kolesterol HDL ˂ 35 mg/dl dan atau trgliserida ≥ 250 mg/dl,
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium,
h. Riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT),
i. Keadaan lain yang berhubungan dengan resistensi insulin (obesitas,
akantosis, nigrikans),dan
j. Riwayat penyakit kardiovaskuler
Pada penapisan dapat dilakukan pemeriksaan glukosa darah puasa atau
sewaktu atau TTGO. Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan

22
penyaringnya negatif, pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun,
sedangkan mereka bagi mereka yang berusia ˃45 tahun tanpa faktor risiko,
pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun atau lebih cepat
tegantung dari klinis masing-masing pasien.1

Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi


glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT),
sehingga dapat menentukan langkah yang tepat untuk mereka.1

Pemeriksaan penyaring dapat diterapkan melalui pemeriksaan konsentrasi


glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa
oral (TTGO) standar.1

Tabel 2.5 Konsentrasi glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan
penyaring dan diagnosis DM1

Bukan Belum pasti DM


DM DM
Konsentrasi Plasma <100 100-199 ≥200
glukosa darah vena
sewaktu Darah <9 90-199 ≥200
(mg/dl) kapiler

Konsentrasi Plasma <100 100-125 ≥126


glukosa darah vena
puasa Darah <9 90-99 ≥100
(mg/dl) Kapiler

23
2. Uji Diagnostik
Tabel 2.6 Rekomendasi WHO 2006 untuk kriteria diagnostik diabetes dan
hiperglikemia intermediet: 18

Diabetes

Fasting plasma glucose* ≥7.0 mmol/l (126 mg/dl)

2-h plasma glucose Or ≥11.1 mmol/l (200 mg/dl)

Impaired Glucose Tolerance (IGT)

Fasting plasma glucose ˂ 7.0 mmol/l (126 mg/dl)

2-h plasma glucose* And

≥7.8 and <11.1 mmol/l

(140 mg/dl and 200 mg/dl)

Impared Fasring Glucose(IFG)

Fasting plasma glucose 6.1 to 6.9 mmol/l

2-h plasma glucose (110 mg/dl to 125 mg/dl) and


(if measured) <7.8 mmol/l

(140 mg/dl)

*Vena glukosa plasma 2-jam setelah menelan beban glukosa oral 75 g

*Jika 2-h glukosa plasma tidak diukur, status tidak pasti sebagai diabetes atau IGT
tidak dapat dikecualikan.

Berikut 4 kriteria diagnostik untuk diagnosis diabetes melitus ADA 2013:18


a. A1C ≥ 6,5%
ATAU
b. Fasting plasma glucose (FPG) ≥126 mg/dl (7.0 mmol/L)
ATAU
c. 2-hour plasma glucose ≥200 mg/dl (11.1 mmol/L) during an OGTT

24
ATAU
d. Random plasma glucose ≥200 mg/dl (11.1 mmol/L), pada pasien dengan
gejala klasik hiperglikemia krisis.

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan non medika mentosa diabetes mellitus sebagai berikut:5,7,9
1. Rencana Diet
Pada pasien DM tipe 2, diet biasanya direkomendasikan untuk menurunkan
berat badan dan mengurangi resistensi insulin. Jika upaya tersebut tidak
berhasil, obat-obatan dapat diberikan untuk meningkatkan sensitivitas
insulin atau untuk merangsang produksi insulin di pankreas.

2. Latihan fisik dan pengaturan aktivitas fisik


Pasien sebaiknya disarankan untuk berolahraga teratur yang dirancang
khusus sesuai kemampuan pasien karena hal inimembantu meningkatkan
sensitivitas insulin dan mengurangi kadar glukosa darah.
3. Pengawasan glukosa di rumah

4. Pengetahuan tentang diabetes dan perawatan diri


Semakin seorang penyandang diabetes mengerti kondisinya dan dapat
mengatur penggunaan insulin dan makanannya, maka semakin baik control
glukosanya dan semakin kecil kemungkinan terjadinya komplikasi serius.

Penatalaksanaan medika mentosa diabetes melitus sebagai berikut :7


a. Terapi insulin
Pasien dengan insufisiensi insulin berat membutuhkan suntikan insulin
selain rencana makanan.7

25
Tabel 2.7 Prefarat insulin7
Tipe Keterangan Efek terhadap glukosa darah
(dalam jam sesudah
pemberian)
Awitan Puncak Akhir
Masa kerja Jernih Segera 30-90 3-5
singkat Lispro Jernih 30 menit Menit 6-8
regular 2-4
(Crsitalline zinc)
Masa kerja Keruh: 2-3 4-8 13,8
sedang suspense insulin seng
Kristal 50% jenuh
NPH* dengan protamine
Masa Kerja Keruh; suspensi insulin
Panjang Kristal, kadar seng 6 16-18 24
Ultralente (UL) tinggi tanpa protamine
Nilai isoelektrik 7,0;
Glargine Penurunan soubilitas - Tidak 22,8
pada pH fisiologis; ada
membentu
mikropresipitat dalam
jarngan subkutan
*Kerja NPH yang lambat diatur oleh protaminnya; tersedia dalam larutan penyangga natrium
fosfat.

Insulin lente ( semi dan ultra ) tidak mengandung protamine dan tersedia
dalam larutan penyangga natrium asetat; waktu bekerja bergantung kadar seng
dan ukuran kristalnya yang berbeda-beda.

Pada tabel di atas terdapat beberapa perbedaan Insulin yang tersedia.


Perubahan rangkaian struktur kristalin dan asam amino dalam molekul insulin
mengakibatkan waktu kerja preparat yan berbeda yang dpat digunakan untuk

26
memodifikasi pengobatan insulin denga kebutuhan khusus pasien. Insuli
diklasifikasikan sebagai insulin masa kerja pendek, masa kerja sedang, atau
masa kerja panjang, berdsarkan waktu yang digunakan untuk mencapai efek
penurunan glukosa plasma yang maksimal yaitu waktu untuk meringankan
efek yang terjadi setelah pemberia suntikan.7
b. Agen-agen hipogilkemik oral
Pasien-pasien dengan gejala diabetes mellitus tipe 2 dapaat
mempertahankan kadar glukosa normal hana dengan menjjalankan rencana
diet dan latihan fisik saja. Tetapi sebagai penyakit yang progresif, obat-
obat oral hipoglikemik dianjurkan. Obat-obat yang diigunakan sebgai
berikut:7
1) Pensensitif insulin
Dua tipe pensensitif insulin yang tersedia adalah metformin dan
tiazoldenidon. Metferomin yang merupakan suatu biganid, dapat
diberkan sebagai terapi tunggal pertama dengan dosis 500 hingg 17000
mg/hari. Metformin menurnkan produksi glukosa hepatic, menurunkan
absropsi glukosa pada usus, da meningkatkan jepekaan insuli,
khususnya di hati. Metformin tidak meningkatkan berat badan seperti
insulin sehingga biasa digunakan, khususnya pada pasien dengan
obesitas. Asidosis laktat jarang terjadi namun merupakan komplikasi
yang serius, khususnya pada insufisiensi ginjal dan gagal jantung
kongestif. Tiazoldinedion meningkatkan kepekaan insulin perifer dan
merupakan produksi glukosa hepatic. Dua analog tiazoldinedion yaitu
rosiglitaon denga dosis 4 hingga 8 mg/hari da pioglitazone dengan dosis
30 hingga 45 mg/haridapat diberikan sebagai terapi tunnggal atau
dikombinasikan dengan metformin, sulfonylurea, atau insulin. Obat-
obatan ini dapat menyebabkan retensi air dan tidak dianjurkan untuk
diberikan pada pasie gagal jantunng kongestif.7

27
2) Sulfonylurea
Bila kadar glukosa tidak dapat dikontrol secara optimal dapat
menggunnakan cara-cara yang sudah dijelaskan, pasien-pasien diabetic
tipe 2 dengan sisa sel-sel Pulau Langerhans yang masih berfungsi
merupakan calon yang tepat untuk menggunakan sulfonyurea. Obat-
obat ini merngsang fungsi sel beta dan meningkatkan sekresi insulin.
Gabunagn sulfonyurea dngan pensensitif insulin adalah terapi obat
yang paling sering digunakan untuk pasien diabetes tipe 2.7

Tabel 2.8 Agen-agen Hipoglikemik Oral 7

Agen Waktu Frekuensi Dosis Dosis Ukuran


Paruh Pemberian Awal Rumatan Toksisitas tablet
(jam) (mg) (mg) (mg)
Glipzid 2-4 Dua kali 2-5 5-40 Gastrointe 5,10
(Glucocontrol sehari stinal
) Kulit
Hematolo
gik
Gliburid 10 Sekali 5,0 2,5-20,0 Kulit 1,25-
(micronase, atau dua Gastrointe 5,00
DiaBeta) kali stinal
Hematolo
gik
Metformin 1,3-4,5 Tiga kali 100 1500- Asidosis 500,
(Glucophage) sehari 1700 laktat 850
Rosiglitazone Sekali 4,0 4-8 Edema 4,0
sehari
Pioglitazone Sekali 30 30-45 Edema 30
sehari

28
Terapi farmakologi yang direkomendasikan untuk hiperglikemia pada tipe 2
diabetes ADA 2013 sebagai berikut:19

Metformin jika tidak kontraindikasi dan jika ditoleransi, adalah pilihan agen
untuk farmakologis awal untuk diabetes tipe 2. Pada diagnosis baru pasien
diabetes tipe 2 dengan kadar glukaosa darah nyata gejala dan.atau tinggi atau
A1C, pertimbangkan terapi insulin dengan atau tanpa agen tambahan dai
awal.19

Pengelolaan Kaki Diabetik

Pengelolaan kaki diabetes dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu
pencegahan kaki diabetes dan terjadinya ulkus ( pencegahan primer sebelum
terjadi perlukaan pada kulit) dan pencegahan agar tidak terjadi kecacatan yang
lebih parah ( pencegahan sekunder dan pengelolaan ulkus/gangguan diabeti
yang sudah terjadi).1

a. Pencegahan Primer1
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan penyuluhan pada setiap
kesempatan dengan penyandang D baik berupa ners, ahli gizi, ahli
perawatan kai, maupun dokter sebagai dirigen pengelolaan.1
Keadaan kaki penyandang diabetes digolongkan berdasarkan resiko
terjadinya dan resiko besarnya masalah yang mungkin timbul.
Penggolongan kaki diabetic berdsarkan resiko terjadiya masalah
(Frykberg): sensasi normal tanpa deformitas, sensasi normal dengan
deformitas atau tekanan palntar tinggi, insensitivitas tanpa deformitas,
iskemia tanpa deformitas, kombinasi/complicated yang terdiri dari
deformitas Charcot.1
b. Pencegahan Skunder1
Dalam pengelolaan kaki diabetes, kerjasama multidisipliner sangat
diperlukan. Berbagai hal yang harus ditangani dengan baik agar diperoleh
hasil pengellaan yang maksimal dapat digolongkan sebgai berikut, dari
semuanya harus dikelola bersama: 1

29
30
1. Mechanical control-pressure control
Jika tetap dipakai untuk berjalan, berarti kaki dipakai untuk menahan
berat badan-weight bearing. 1
Berbagai cara untuk mecapai keadaa non weight bearing dapat
dilakukan antara lain dengan: 1
a) Removable cast walker,
b) Total contact casting,
c) Tempory shoes,
d) Felt padding,
e) Crutches,
f) Electric carts,
g) Cradled insoles
2. Wound control
Perawatan luka sejak pertama kali pasien datang merupakan hala yang
harus dikerjakan dengan baik dan teliti. Evaluasi luka harus dikerjakan
secermat mungkin. Klasifikasi ulkus pedis dilakukan setelah
debridement yang adekuat. Saat ini terdapat bnyak sekali macam
dressing (pembalut)yang masing-masing tentu dapat dimanfaatkan
sesuai denga keadaan luka, da juga letak luka tersebu. Dressing yang
mengandung komponen zat penyerap seperti carbonated dressing,
alginate dressig akan bermanfaat pada keadaan luka yang masih
produktif. Demikian pula hydriphylic fiber dressing atau silver
impregnated dressing akan dpat bermanfaat untuk luka produkti dan
terinfeksi. Debridement yang baik dan adekuat tentu akan sangat
membantu mengurangi jaringan nekrotik yang harus dikeluarkan tubuh,
dengan demikian tentu akan sangat mengurangi produksi pus/cairan
dari ulkus/gangren.1

Berbagai terapi topical dapat dimanfaatkan untuk mengurangi mikroba


pada luka, seperti cairan salin sebagai pembersih luka, atau yodine
encer, senyawa silver sebagai bagian dari dressing, dan lain-lain.
Demikian pula dengan berbagai cara debridement non surgical dapat

31
dimannfaatkan untuk mempercepat pembersihan jaringan nekritik luka.
Seperti preparat enzim. 1

Jika luka sudah lebuh baik dan tidak terinfeksi lagi, dressing seperti
hydrocolloid dressing yang dapat dipertahankan beberapa hari dapat
digunakan. Tentu saja untuk kesembuhan luka kronik sperti pada luka
kaki diabetes, suasana sekitar luka yang kondusif untuk penyembuhan
luka dapat dipertahankan. 1

Untuk menjaga suasana kondusif bagi kesembuhan luka dpat pula


dipakai kasa yang dibahsahi dengan slain. Cara tersebut saar ini banyak
sekali dipakai di temapat perawatan kaki diabetes.1

3. Microbiolgical control infection control


Antibiotik yang dianjurkan harus selalu disesuaikan dengan hasil biakan
kuman dan resistensinya. Sebagai acuan, dari enelitian tahun 2004 di
RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, umumnya didapatkan pola kuma
yang polimikrobial, campuran garma negative dan gram positif serta
kuman anaerob untuk luka yang dlam dan berbau. Karena itu, untuk lini
pertama pemberian antibiotik harus diberikan antibiotik dengan
spektrum luas, mencakup kuman garam negative dan positif 9 seperti
misalnya golongann sefalosporin ), dikombinasikan dengan obat-obatan
yang bermannfaat untuk kuman anaerob (seperti misalnya
metronidazole). 1
4. Vascular control
Keadaan vaskular yang buruk tentu akan menghambat kesembuhan
luka. Umumya kelainan pembuuh darah perifer dapat dikenali melalui
berbagai cara sederhana seperti warna dan suhu kulit, perabaan arteri
dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior serta ditambah pengukuran
tekanan darah. Disamping itu saat ini juga tersedia berbagai fasilitas
mutakhir Untuk mengevaluasi keadaan pembuluh darah dengan cara
no-invasif maupun yang invasive dan semiinvasif, seperti pemeriksaan

32
ankle brachial index, ankle pressure, TcPO2, dan pemeriksan ecodopler
dan kemudian pemeriksaan arteriografi. 1
Setelah dilakukan diagnosis keadaan vaskularnya, dapat dilakukan
pengelolaan unntuk kelainnan pembuluh darah perifer dari sudut
vaskuler, yaitu berupa: 1
a) Modifikasi faktor resiko
Stop merokok dan memperbaiki berbagai factor resiko terkait
aterosklerosis ( hiperglikemia, hipertensi, dyslipidemia ).
b) Terapi Farmakologis
Jika mengacu pada berbagai penelitian yang sudah dikerjakan pada
kelainan akibat aterosklerosis di temapt lain (jantung,otak), mungkin
obat seperti aspirin dan lain sebagainya yang jelas dikatakan
bermanfaa, akan bermanfaa pula untuk embluh darah kaki
penyandang DM. terapi sampai saat ini, belum ada bukti yang cukup
kuat untuk menganjurkan pemberian obat yang secara rutin guna
memperbaiki patensi pada penyakit pembuluh darah kaki
penyandang DM. 1
c) Revaskularisasi
Jika kemunngkinan kesembuhan luka rendah dan jika ada claudicatio
intermitten yang hebat, tindakan revaskulrisasi sangat dianjurkan.
Sebelum tindakan revaskularisasi diperlukan permeriksaan
arteriografi untuk mendpatkan gambaran pembulu darah yang lebih
jelas, sehingga dokter ahli bedah vaskuler dapat lebih mudah
melakukan rencana tindakan dan menngerjakaannya. 1
5. Metabolic control
Konsentrasi glukosa daraah diusahakan agar selalu senormal mungkin,
untuk memperbaiki berbgai factor terkait hiperglikemia yang daapat
menghambat penyembuhan luka. Umumnya diperlukan insulin untuk
menormalisasi konsentrasi glukosa darah. Status nutrisi harus
diperhatikan da diperbaiki seperti konsentrasi albumin serum,

33
konsentrasi Hb dan derajat oksigenasi jaringan. Demikian juga fungsi
ginjalnya. 1

6. Educational control
Edukasi sangat penting untuk semua tahap pengelolaan kaki diabetes.
Dengan penyuluhan yang baik, penyandang DMdan ulkus/gangrene
diabetic maupun keluarganya diharapkan aka dapat membantu dan
mendukung berbagi tinndakan yang diperukan untuk kesembuhan luka
yang optimal. 1
Pemakaian alas kaki/sepatu khusus untuk mengurangi tekanan plantar
akan sangat membantu mencegah terjadinya ulkus baru. Ulkus yang
terjadinya berikut memberikan prognosis yang jauh lebih buruk
daripada ulkus yang pertama. 1

I. Pencegahan
Pencegahan diabetes mellitus tipe 2 sebagai berikut: 1
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah pencegahan terjadinya diabetes mellitus pada
individu yang beresiko melalui modifikasi gaya hidup ( pola makan sesuai,
aktivitas fisik, penurunan berat badan) dengan didukung program edukasi
yang berkelanjutan. Pencegahan promer merupakan cara yang palling sulit
karena yang menjadi sasaran adalah orang-orang yang belum sakit, artinya
mereka yang masih sehat. Semua pihak harus mempropagandakan pola
hidup sehat dan mennghindari pola hidup beresiko. Kendati program ini
tidak mudah, tetapi snagt menghemat biaya. Oleh karena itu, dianjurkan
untuk untuk dilakukan di Negara-negara dengan sumber daya terbatas. 1
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder merupakan tindkan pencegahab terjadinya komplikasi
akut maupun jangka panjang. Syarat untuk mencegah komplikasi adalah
kadar glukosa darah harus selalu terkendali endekati angka normal, dalam
upaya pengendalian kadar glukosa darah harus diutamakan cara-cara

34
nonfarmakologis terlebih dahulu secara maksimal agar tidak terjadi
resistensi insulin misalnya dengan aktifitas fisik, edukasi makanan, dan lain-
lai.bila tidak berhasi, baru megginakan obat,baik obat oral maupun insulin. 1
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya untuk mencega komplikasi atau kecacatan
yang timbul akibat komplikasi. Pencegahan ini meliputi 3 tahap, yaitu:
a. Mencegah timbulnya komplikasi diabetes , yang pada consensus
dimasukkan sebagai pencegahan sekunder,
b. Mencegah berlanjutnya (progresi) komplikasiuntuk tidak menjurus
kepada penyakit organ, dan
c. Mencegah terjadinya kecacatan disebabkan oleh karena kegagalan organ
atau jaringan1

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Aru W. Sudoyo. Editor. Buku Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi V.
Jakarta: InternaPublishing: 2009. H. 1865, 1875-9, 1880-2, 1922, 191-5.
2. R, Putz dan R. Pabst. Editor. Anatomi pancreas dalam Atlas Anatomi
Manusia, Sobotta Jilid 2, Edisi 21. Jakarta; EGC; 2007, h. 150, 374.
3. Lauralee sherwood. Editor. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, Edisi 6.
Jakarta; EGC; 2009. H. 666-8, 780, 782, 783, 789, 790.
4. Victor P. Eroschenko. Editor. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi
Fungsional. Jakarta: EGC; 2008. H. 338-9.
5. Guyton & Hall. Editor. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 11. Jakarta:
EGC: 2006. H. 1010. 1026.
6. Robert K. Murray. Editor. Biokimia harper. Jakarta: EGC; 2006. H. 181.
7. Sylvia A. Price. Editor. Patofisiologi Konspe Klinis Proses-Proses
Penyakit, Edisi 6. Jakarta: EGC; 2005. H 1261-7.
8. Sulistia Gan Gunawan. Editor. Farmakologi dan Terapi. Jakarta:
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI: 2007. H. 485.
9. Ben Greenstein dan Diana Wood. Editor. At Glance Sistem Endokrin,
Edisi Ke dua. Jakarta: Erlangga; 2010. H 86,87.
10. Lipsky BA. 2012 Infectious Disease Society of America clinical practice
guideline for the diagnosis and treatment of diabetic foot infections.
[online]. 30 July 2012 [cited 2013 April 5]; Available from: URL:
http://guideline.gov/content.aspx?id=37220
11. Hastuti, Faktor-Faktor Resiko Ulkus Diabetica pada Penderita Diabetes
Mellitus. [online]. 2008 [cited 2014 April 5]; Available from; URL;
www.eprints.undip.ac.id/18866/1/Rini_Tri_ Hastuti.pdf
12. Hasan H. Clinical and Laboratorium Aspects of Diabetic Foot infection.
The Indonesian Journal of medical Science 2009: 9-11. [online]. 30 July
2012 [2014 April 5]; Available from URL:
http://www.med.unhas.ac.id/jurnal/attachment/article/77/aa2-endo.pf

36
13. michael Stuart Bronze. Diabetic Foot Infection. [online]. 3 Agustus 2012
[cited 2014 April 5]; Available from; URL:
http://emedicine.medscape.com/article/237378-overview#showall
14. romesh Khaldori. Type 2 Diabetes Mellitus. [online]. 2 April 2014 [cited
2013 April 5]; Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/117853-overview#showall
15. Depkes, Kementerian Kesehatan RI, Tahun 2030 Prevalensi Diabetes
Mellitus Di Indonesia Mencapai 21,3 Juta Orang. [online]. 2012 [cited
2014 April 5]; Available from : URL:
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/414-tahun-2030-
prevalensi-diabetes-mellitus-di-indonesia-mencapai-21,3-juta-orang.html
16. Pusat Data dan Informasi PERSI. Neuropati Diabetic Menyerang Lebih
Dari 50% Penderita Diabetes, [online]. 14 November 2011 [cited 2014
April 5]; Available from: URL:
http://pdpersi.co.id/content/news.php?mid=5&catid=23&nid=612
17. Resident Training Manual, courtesy Rancho Los Amigos Medical Center,
Downey, Calif. [online] 30 November 2011 [cited 2014 April 23];
Available from URL :
http://www.oandp.org/jpo/library/popup.asp?xmlpage=1992_01_023&pyp
e=image&id=fl
18. Wolld Health Oganization. Editor. Definition and diagnosis of Diabetes
Mellitus and Intermediate hyperglicemia: report of WHO / idf
consultation. Switzerland: the WHO document Production Services; 2006,
P. 3.
19. American Diabetes Association. The Journal of Clinical and Applied
Research Education, Diabetes Care, Volume 36, supplement 1, [online].
January 2013 [cited 2014 April 4]; Available from; URL:
http://www.DIABETES.ORG/DIABETESCARE

37

Anda mungkin juga menyukai