Anda di halaman 1dari 20

Kelompok 7

BAB VII “Sumber-Sumber Hukum


dalam Islam”
Dosen Pembimbing : H.M. Arifin, M.Pd,dkk
Nama Kelompok:

Anggun Putri Ariani


Fitri Andriani
Isheldiah Rienvela
Karin Maydini

Makalah Pendidikan agaMa islaM


KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
Pendidikan Agama Islam tentang sumber hukum Islam ini dan semoga bermanfaat untuk
masyarakat.

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai sumber sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah Pendidikan Agama Islam tentang Sumber
Hukum Islam ini bermanfaat maupun berinspirasi terhadap pembaca. Amin ya Robbal
Alamin.

Jakarta, Oktober 2016

Penyusun

1|Page
Daftar Isi
Kata Pengantar ……………………………………………………………..… 1

Daftar Isi …………………………………………………………………..…. 2

Bab VII Sumber-Sumber Hukum dalam Islam

c. Ijtihad ……………………………………………………………………….. 3

2. Sumber Hukum Sekunder ………………………………………...………… 5

a. Qaul Shababi …………………………………………………..………….… 6

b. Syar’u Man Qablana …...……………………………………..………….... 10

c. al-Istishab ………………...…………………………………..……………. 12

d. al-Urf …………………...……………………………………………….…. 14

e. al-Istihsan ……………...…………………………………………………... 15

f. Sadduz-Zariah ……………………………………………………………… 15

g. al-Maslahatul-Mursalah …...………………………………………………. 16

Penutup ……………………...…………………….……………………….… 18

Daftar Pustaka .……………...………………………………..…………….… 19

2|Page
BAB VII
SUMBER HUKUM DALAM ISLAM (2)
C. Ijtihad
 Ijma’
a) Pengertian Ijma’
Pengertiaan ijma’ secara etimologi ada dua macam :
1. Ijma’ berarti kesepakatan atau consensus.
2. Ijma’ adalah ketetaan hati untuk melakukan sesuatu .
Mayoritas ulama ushul fiqih, mendefinisikan ijma’ sebagai kesepakatan para mujtahid
dari umat Muhammad pada suatu masa ke masa setelah Rasulullah wafat, terhadap suatu
hokum syara’ yang bersifat amaliyah (As-Subki, 1974:76). Hal tersebut mengandung
pengertian bahwa ijma’ tersebut hanya berkaitan dengan persoalan-persoalan furu’
(amaliyah praktis). Diantara argumentasi, kenapa ada penambahan “setelah Rasulullah
wafat”.? Sebab, ketika Rasulullah masih hidup segala persoalan dapat langsung
dipertanyakan kepada beliau tanpa harus melakukan ijma’.(Hasan Hitou:104)

b) Ijma’ Menurut Istilah


Beberapa rumusan ijma’ yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh, diantaranya:
1 Ibrahim Ibnu Siyar Al- Nazzam Merumuskan ijma’ dengan setiap pendapat yang
didukung oleh hujjah sekalipun pendapat itu muncul dari seseorang.
2 Imam Al-Ghazali
Merumuskan ijma’ dengan kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu
masalah agama.
3 3.Al-Amidi
Ijma’ harus dilakukan dan dihasilkan oleh seluruh umat Islam
4 Jumhur ulama ushul fiqh
Merumuskan ijma’ dengan kesepakatan para mujahid dari umat Nabi Muhammad
SAW pada suatu masa setelah wafatnya Rasullullah SAW terhadap suatu hukum
syara’ yang bersifat amaliyah.

c) Kehujjahan ijma’
Didasarkan dalam Al-Quran dalam Surah An-Nisa ayat 59 dan pada as-Sunnah.
Dalam surah tsb Allah memerintahkan untuk menaati Rasul dan ‘ulil amri’, yang
dimaksud ulil amri adalah ulil amri fiddunya : penguasa pemerintah dan ulil amri
fiddin : mujahid / ulama. Jadi arti surah ini memerintahkan untuk taat kepada para
ulama mengenai suatu keputusan hukum yang disepakati mereka.

d) Macam-macam ijma’
1. Ijma’ Syarih

3|Page
Kesepakatan para mujtahid, dimana mereka menyampaikan pendapat masing-
masing secara jelas, baik lisan maupun tulisan juga perbuatan dan hukum yang
dihasilkan dapat dijadikan hujjah dan bersifat qath’i.
2. Ijma’ Sukuti
Sebagian mujtahid menyatakan pendapatnya tentang hukum suatu masalah
dan tersebar luas sedangkan sebagian mujtahid lainnya hanya diam saja setelah
meneliti pendapat mujtahid yang dikemukakan di atas tanpa berkomentar dan
membuat status ijma’ sukuti masih diperdebatakan.

e) Rukun
1. Orang yang terlibat dalam pembahasan hukum adalah mujtahid
2. Mujtahid yang terlibat adalah seluruh mujtahid yang ada waktu itu
3. Ijma harus dimulai dengan mendengr pandangan para mujtahid
4. Hukum yang disepakati harus actual yang tidak didapati perinciannya dari Al-
Quran dan hadis
5. Ijma’ tidak boleh tdak merujuk pada Al-Quran dan Hadis

f) Contoh
1. Upaya pembukuan al-Quran yang dilakukan pada masa kholifah Abu bakar As
Shidiq r.a
2. Pengangkatan Abu Bakar As Shodoq sebagai kholifah menggantikan Rasullullah
SAW
3. Menjadikan as sunnah sebagai sumber hukum yang kedua setelah Al-Quran

 Qiyas
a. Pengertian
Secara sederhana qiyas berarti menyamakan atau menganalogkan sesuatu hukum
dengan hukum yang lain memiliki kesamaan illat/sebab (Suatu sifat yang ada pada
ashl yang sifatnya menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashl untuk mengetahui
hukum pada fara’ yang belum ditetapkan hukumnya ) (as-Subki1947:80).

b. Rukun Qiyas
1. Al-Ashl : kasus yang sudah memiliki ketetapan hukun berdasarkan nas
dan ijma’
2. Al-far’u : kasus yang sedang dielajari status hukumnya
3. Hukmul-ashl : hukum yang telah ditentukan oleh nas dan ijma’
4. Al-lillah : motivasi hukum pada ashl yang ditengarahi wujudnya oleh
seorang mujtahid.

c. Macam –Macam Qiyas


Berdasarkan perbandingan antara illat’ yang terdapat pada ashl , dibagi menjadi tiga
macam:
1. Qiyas Awla

4|Page
Yaitu ‘illat yang terdapat pada furu’ lebih besar dari illat’ yang
terdapat pada ashl. Semisal mengqiyaskan haramnya memulkul orang tua
dengan keharaman mengatakan “ah” npada surah al-Isra/17:23: memukul
(‘illat far)’ lebih haram dari mengucapkan “ah” yang posisinya sebagai ‘(illat
ashl)’
2. Qiyas Musawi
Yaitu ‘illat yang terdapat pada cabang sama bobotnya dengan ‘illat
yang terdapat pada ashl. Seperti menjual harta anak yatim diqiyaskan kepada
memakan harta anak yatim oada surah an-Nisa/4:10. ‘Illat-nya adalah sama-
sama menghabiskan harta anak yatim
3. Qiyas al-Adna
Yaitu ‘illat yang terdapat jelasnya ‘illat yang terdapat pada cabang
lebih rendah bobotnya dibandingkan ‘illat yang terdapat pada ashl. (Al-Amidi,
1983:63)

Berdasarkan jelas atau tudaknya illat menjadi dasar hukum , maka qiyas dibagi
menjadi dua macam :
1. Qiyas Jali
Yaitu qiyas yang dinyatakan ‘illatnya secara tegas dalam Al-Qur’an dan
Sunnah atau tidak dinyatakan secara tegas dalam kedua sumber tersebut, tetapi
berdasarkan penelitian kuat dugaan bahwa ada perbedaan antara ashl dan
cabang dari segu kesamaan ‘illatnya.
2. Qiyas Khafi
Yaitu qiyas yang ‘illatnya di istinbatkan atau ditarik dari hukum ashl (As-
Subekti, 1974:177).

Adapun ayat yang dijadikan dasar pengukuhan qiyas adalah firman Allah yang artinya: “….
Maka ambilah (kejadian itu) untuk menjadi pelajran, wahai orang-orang yang memiliki
pandangan.” (Qs. Al-Hasyr/59:2).

2. Sumber Hukum Sekunder

Sebagaimana disinggung di atas, bahwa selain sumber hukum primer, Islam memiliki
perangkat sumber hukum sekunder. Tentu terminologi ini bukan berarti pemaknaannya
menjadi semacam kebutuhan ekonomi. Yang dikenal ada kebutuhan primer,sekunder,tersier.
Namun, hal ini hanya meminjam istilah dan menunjukkan stratifikasi (tingkatan) kehujjahan
sumber hukum yang ada di dalam Islam.

Selain itu, kentalnya para pakar ushul-fiqh dalam penggalian sumber hukum Islam bukan
berarti pembahasan ini fiqh oriented. Sebab, antara fiqh dan ushul fiqh sangat berbeda.
Adapun diantara argumentasi/alasan kentalnya nuansa ushul fiqh dalam penggalian sumber
hukum diatas. Sebab, dalam disiplin ilmu inilah kajian terhadap sumber hukum Islam
melembaga dan berkembang dari tiap zaman.

5|Page
Untuk lebih mensistematiskan pembahasan sumber hukum sekunder. Penulis akan
mengikuti pola yang dikembangkan oleh Khalid Ramadhan Hasan (1998) dalam kitabnya,
Mu’jam Ushul Fiqh sebagai berikut :

a. Qaul Shahabi
1. Pengertian Qaul Shahabi
Secara bahasa, kata qaul (‫ )قول‬adalah mashdar dari qaala-yaquulu qaulan (‫ قوال‬- ‫ يقول‬- ‫)قال‬
yang berarti al-kalam yaitu ucapan dan perkataan. Dan bentuk jamaknya adalah aqwal
(‫)أقوال‬.
Dan qaul kadang juga diartikan dengan:

ً ِ‫سانُ تَا ًّما أ َ ْو نَاق‬


‫صا‬ ِ ‫كُل لَ ْفظٍ نَ َطقَ ِب ِه‬
َ ‫الل‬
Semua lafadz yang diucapkan oleh manusia, baik dalam bentuk sempurna atau tidak.
Namun secara istilah, yang dimaksud dengan qaul tidak lain adalah pandangan atau
pendapat atas suatu hukum fiqih. Misalnya kita mengatakan pendapat mazhab Asy-
Syafi’iyah dengan ungkapan qaul syafi’iyah.

2. Kehujjahan Qaul Shahabi

Tentang kehujjahan qaul shahabi, memang tidak disepakati secara bulat oleh para ulama.
Karena itulah qaul shahabi tidak termasuk jenis dalil syariah yang muttafaq.

Namun bagaimana komposisi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kehujjahan


qaul shahahi, setidaknya ada enam pendapat yang berbeda tentang kehujjahan qaul
shahabi. Berikut akan kita bedah satu persatu :

1. Pendapat Pertama

Pendapat pertama mengatakan bahwa qaul shahabi adalah hujjah yang bisa dijadikan
dalil syar’i. Pendapat ini terutama dikemukakan oleh mazhab Al-Malikiyah dan qaul
qadimnya mazhab Asy-Syafi’iyah.

Dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah, yang terkenal berpendapat seperti ini adalah Al-Imam As-
Sarakhsi. Sedangkan dari mazhab Al-Hanabilah adalah Ibnul Qayyim al-Jauziyah.

Dasar yang digunakan oleh pendapat ini antara lain adalah ayat-ayat Al-Quran dan hadits
berikut ini :

a. Para Shahabat Orang-orang Yang Mendapat Ridha Allah

Al-Quran menegaskan bahwa para shahabat ridhwanullahi alaihim adalah orang-orang


yang mendapatkan ridha dari Allah SWT.

6|Page
ُ‫ع ْنه‬َ ْ‫ضوا‬ ُ ‫ع ْن ُه ْم َو َر‬ َ ُ‫ان ر ِض َي ّللا‬ ٍ ‫س‬ َ ْ‫ص ِار َوال ِذينَ اتبَعُو ُهم بِ ِإح‬ َ ‫اج ِرينَ َواألَن‬ ِ ‫َوالسابِقُونَ األَولُونَ ِمنَ ا ْل ُم َه‬
ُ ‫ت تَجْ ِري تَحْ ت َ َها األ َ ْن َه‬
‫ار َخا ِل ِدينَ ِفي َها أ َ َبدًا ذَ ِلكَ ا ْلفَ ْو ُز ا ْل َع ِظي ُم‬ ٍ ‫َوأَعَد لَ ُه ْم َجنا‬
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama dari golongan muhajirin dan anshar
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah
kemenangan yang besar. (QS. At-Taubah : 100)

َ َ‫نز َل الس ِكينَة‬


‫علَي ِْه ْم‬ َ َ ‫لَقَ ْد َر ِض َي ّللاُ ع َِن ا ْل ُم ْؤ ِمنِينَ ِإ ْذ يُبَايِعُونَكَ تَحْ تَ الش َج َر ِة فَعَ ِل َم َما فِي قُلُوبِ ِه ْم فَأ‬
‫َوأ َثَا َب ُه ْم فَتْ ًحا قَ ِريبًا‬
Sesungguhnya Allah telah rida terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji
setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati
mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada
mereka dengan kemenangan yang dekat (QS. Al-Fath : 18)

b. Sebagian Dari Shahabat Telah Dipastikan Masuk Surga

Jaminan pasti masuk surga diantaranya diberikan kepada 10 orang shahabat,


sebagaimana tercantum dalam hadits berikut ini:

َ ‫عثْ َمان في ِ ال َجن ِة َو‬


ِ ‫ع ِل ٌّي في ِ ال َجن ِة َو َط ْل َحة في‬ ُ ‫ أَبُو َبكْر في ِ ال َجن ِة َو‬: ‫عش َْرةٌ في ِ ال َجنة‬
ُ ‫ع َمر في ِ ال َجن ِة َو‬ َ
ُ ‫س ِعي ُد ْبنُ َمالِكٍ في ِ ال َجن ِة َوأَبُو‬
ُ‫عبَ ْيدَة ْبن‬ َ ‫بن ع َْوفٍ في ِ ال َجن ِة َو‬ ِ ‫ع ْب ُد الرحْ َمن‬ ُّ ‫ال َجن ِة‬
َ ‫َوالزبَيْر في ِ ال َجن ِة َو‬
– " ‫س ِعي ُد ْبنُ َز ْي ٍد‬َ " : ‫شر ؟ فَقَا َل‬ ِ ‫ َو َم ْن ُه َو العَا‬: ‫ قَالُوا‬، ‫ش ِـر‬ ِ ‫سكَتَ ع َِن العَا‬َ ‫ َو‬- ‫ال َجراحِ في ِ ال َجن ِة‬
‫يعني نفسه‬
Dari Said bin Zaid bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Ada sepuluh orang di dalam surga
: Abu Bakar di dalam surga, Umar di dalam surga, Utsman di dalam surga, Ali di dalam
surga, Thalhah di dalam surga, Az-Zubair di dalam surga, Abdurrahman bin Auf di
dalam surga, Said bin Malik di dalam surga, Abu Ubaidah Ibnul Jarrah di dalam surga,
kemudian Said terdiam. Orang-orang bertanya,”Siapa yang kesepuluh?”. Said
menjawab,”Said bin Zaid”- yaitu dirinya sendiri. (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Selain sepuluh orang tersebut, ada juga pemberitahuan Nabi SAW kepada keluarga
Yasir, yaitu Yasir, Sumayya dan Ammar bin Yasir.

Dan jaminan ini juga menjadi jaminan pula bahwa qaul atau pendapat mereka bisa
dijadikan hujjah.

c. Sahabat Adalah Generasi Terbaik

Rasulullah SAW telah menegaskan dalam hadits beliau bahwa generasi terbaik di dunia
ini adalah generasi dimana belau hidup bersama mereka. Generasi itu tidak adalah
generasi para shahabat, sebagaimana sabda beliau SAW.

7|Page
‫اس قَ ْرني ِ ثُم ال ِذينَ يَلُونَ ُه ْم ثُم ال ِذينَ يَلُونَ ُه ْم‬
ِ ‫َخي ُْر الن‬
Manusia paling baik adanya di masaku, kemudian masa sesudahnya, kemudian masa
sesudahnya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan demikian, qaul shahabi sangat layak menurut pendapat ini untuk dijadikan hujjah
dalam masalah dalil syar’i.

d. Perintah Nabi Untuk Berpegang Teguh Kepada Shahabat

Rasulullah SAW dalam salah satu hadits telah memerintahkan seluruh umatnya untuk
berpegang teguh kepada sunnah beliau dan juga sunnah para shahabat beliau.

ِ ‫علَ ْي َها بِالن َو‬


‫اج ِذ‬ َ ‫ش ِدينَ ت َ َمسكُوا بِ َها َو‬
َ ‫عضُّوا‬ ِ َ‫سن ِة ال ُخلَف‬
َ َ‫اء ال َم ْهدِيِين‬
ِ ‫الرا‬ ُ ِ‫فَعَلَ ْي ُك ْم ب‬
ُ ‫سنتِي َو‬
Wajiblah atas kalian untuk berpegang pada sunnahku dan sunnah para penggantiku yang
lurus. Pegang erat sunnah itu dan gigitlah dengan geraham. (HR. Ahmad)

2. Pendapat Kedua

Pendapat kedua adalah lawan atau kebalikan dari pendapat pertama, yaitu bahwa qaul
shahabi bukan hujjah yang bisa digunaka sebagai dasar pengambilan dalil syariah.

Di antara mereka yang disebut-sebut berpendapat seperti ini adalah mahzab Asy-Syafi’i
dalam qaul qadimnya. Di antara ulama mazhab ini yang berpendapat bahwa qaul shahabi
bukan hujjah adalah Al-Ghazali, Al-Amidi. Selain itu pendapat ini juga merupakan
pendapat dari Al-Imam Ahmad yang mewakili mazhab Al-Hanabilah menurut riwayat
kedua.

Dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah, yang ikut dalam pendapat ini adalah Al-Karkhi dan
Ad-Dabbusi. Mazhab Adz-Dzahiri dan Mu’tazilah juga termasuk yang berpendapat
bahwa qaul shahabi bukan hujjah.

a. Perintah Untuk Merujuk Kepada Quran dan Sunnah

Al-Quran menegaskan kalau ada hal-hal yang diperselisihkan di antara umat Islam, maka
diperintahkan untuk merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu Al-Quran dan As-
Sunnah. Dalam hal ini tidak ada perintah untuk merujuk kepada para shahabat.

‫از ْعت ُ ْم فِي ش َْيءٍ فَ ُر ُّدوهُ إِلَى‬َ َ‫سو َل َوأ ُ ْو ِلي األ َ ْم ِر ِمن ُك ْم فَ ِإن تَن‬
ُ ‫يَا أَيُّ َها ال ِذينَ آ َمنُواْ أ َ ِطيعُواْ ّللاَ َوأ َ ِطيعُواْ الر‬
‫سنُ تَأ ْ ِويل‬َ ْ‫اآلخ ِر ذَ ِلكَ َخي ٌْر َوأَح‬
ِ ‫سو ِل ِإن كُنت ُ ْم ت ُ ْؤ ِمنُونَ ِباّللِ َوا ْل َي ْو ِم‬ُ ‫ّللاِ َوالر‬
Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul , dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah dan Rasul , jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa : 59)

8|Page
b. Kita Diperintah Untuk Berijtihad

Dalam hal terentu ketika tidak ada rujukan dari Al-Quran dan As-Sunnah, kita
diperintahkan untuk berijtihad, dan bukan diperintah untuk bertaqlid kepada para
shahabat. Oleh karena itu Allah SWT berfirman :

َ ‫فَا ْعت َ ِب ُروا يَا أُو ِلي ْاأل َ ْب‬


‫ص ِار‬
Maka ambillah pelajaran wahai orang-orang punya pandangan (QS. Al-Hasyr : 2)

Para ulama pendukung pendapat ini menafsirkan ayat di atas sebagai perintah untuk
berijtihad.

c. Para Shahabat Juga Berijtihad

Qaul shahabi bukan hujjah karena apa yang menjadi fatwa dan pendapat mereka tidak
lain semata-mata hanya hasil ijtihad para shahabat itu sendiri. Sehingga tidak bisa
dijadikan sebagai sumber hukum.

Sebab apa yang dihasilkan hanya oleh sebuah ijtihad, maka kedudukannya bukan sumber
hukum. Sebab yang namanya ijtihad itu bisa benar dan bisa salah. Padahal sumber
hukum itu tidak boleh salah.

Dalam kenyataannya fatwa para shahabat sendiri seringkali saling berbeda antara satu
dengan yang lainnya. Maka sesuatu yang berbeda-beda tidak layak untuk dijadikan
hujjah dalam proses pengambilan hukum.

3. Pendapat Ketiga

Pendapat ketiga merupakan pendapat campuran antara pendapat pertama dan kedua.
Pendapat ketiga ini mengatakan bahwa qaul shahabi merupakan hujjah, tetapi terbatas
pada empat orang shahabat saja, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali
ridhwanullahialaihim. Selain mereka maka qaul shahabi bukan hujjah.

4. Pendapat Keempat

Pendapat keempat hampir mirip dengan pendapat ketiga. Bedanya mereka membatasi
bahwa yang merupakan hujjah hanya sebatas qaul dari Abu Bakar dan Umar saja.
Selebihnya bukan hujjah.

5. Pendapat Kelima

Pendapat kelima menerima bahwa qaul shahabi merupakan hujjah, selama fatwa itu
sejalan dengan qiyas.

6. Pendapat Keenam

9|Page
Pendapat keenam adalah kebalikan dari pendapat kelima. Pendapat keenam menerima
bahwa qaul shahabi merupakan hujjah, selama fatwa itu justru tidak sejalan dengan
qiyas.

b. Syar’u Man Qablana


1. Pengertian Syar’u man Qablana
Syar’u man qablana adalah syari’at sebelum kita yaitu syari’at hukum dan ajaran-
ajaran yang berleku pada para nabi ‘alaihin ash –shalat wa-salam sebelum nabi
Muhammad SAW. Diutus menjadi rasul seperti syari’at nabi Ibrahim, nabi Daud, nabi
Musa, dan nabi Isa. Para ulama menjelaskan bahwa syari’at sebelum kita ialah
hukum-hukum yang telah disyari’atkan untuk umat sebelum kita yang dibawa oleh
para nabi dan rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat
sebelum adanya syari’at nabi muhammad. Para ulama berbeda pendapat tentang
syar’u man qablana terutama ulama Hanafiyah, ulama Malikiyah, sebagian ulama
syafiyah, dan sebagian ulama Hanabilah berpendapat bahwa syar’u man qabana
berlaku pada umat islam, jika syari’at tersebut diinformasikan melalui rasullullah
SAW bukan terdapat dalam kitab-kitab suci mereka yang telah mengalami dan tidak
terdapat nash syara’ yang membantahnya. Dasar pendapat mereka ialah:

a. Firman Allah pada surat al –an’am ayat 90 :


Artinya: “Mereka Itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah,
Maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah
kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran)." Al-Quran itu tidak lain
hanyalah peringatan untuk seluruh ummat.”
b. Firman Allah pada surat an –nahl ayat 123:
Artinya: “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama
Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang
mempersekutukan tuhan.”

Sedangkan para ulma ushul fiqih sepakat bahwa syri’at sebelum kita (islam) yang
dicantumkan didalam al-qur’an adalah berlaku bagi umat islam apabila ada
ketegasan bahwa Syari’at itu berlaku bagi umat nabi Muhammad SAW. Namun
karena berlakunya itu bukan karena kedudukannya sebagai syari’at sebelum islam tetapi
karena ditetapkan dalam al-qur’an. Misalnya puasa ramadhan yang diwajibkan kepada umat
islam adalah syari’at sebelum islam. Seperti dalam al-qur’an surat al-baqarah ayat 183 :

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Tetapi ulama ushul fiqih juga berbeda-beda pendapat tentang hukum-hukum syari’at nabi
terdahulu yang tercantum dalam al-qur’an , namn tidak ada ketegasan bahwa hukum-
hukum itu masih berlaku bagi umat islam dan tidak pula ada
penjelasan yang membatalkan. Misalnya persoalan hukum qishas (hukuman setimpal )
dalam syari’at nabi Musa yang dicertakan dalam al-qur’an surat Almaidah ayat 45 :

10 | P a g e
Artinya: “ Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya
jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan
(hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa
tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah
orang-orang yang zalim.”

Syar’u man qablana dapat dibagi kedalam 3 kelompok :

1. Syari’at tedahulu yang terdapat kedalam al-qur’an atau penjelasa yang disyari’atkan
untuk umat sebelum nabi Muhammd dijelaskan pula dalam al-qur’ana atau hadist nabi bahwa
yang demikian telah dinasakh dan tidak berlaku lagi bagi umat nabi Muhammad. Firman
Allah dalam surat al-an’am ayat 146 :

Artinya : “Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang
berkuku dan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua
binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut
besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka
disebabkan kedurhakaan mereka dan Sesungguhnya Kami adalah Maha benar.”

2. Hukum-hukum dijelaskan dalam al-qur’an maupun hadist nabi disyari’atkan untuk umat
sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat nabi Muhammad dan dinyatakan
berlaku untuk selanjutnya. Firman Allah dalam surat al-baqarah ayat 183:

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa


sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”

3. Hukum-hukum disebutkan dalam al-qur’an atau hadist nabi dijelaskan berlaku untuk
umat sebelum nabi Muhammad, namun secara jelas tidak dinyatakan berlaku untuk kita, juga
tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah dinasakh. Firman Allah dalam surat al-
Maidah ayat 45 :

Artinya: “ Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung,
telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa
yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa
baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah,
Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”

4. Ketetapan Syar’u Man Qablana Dalam Penetapan Hukum


Pendapat para ulama adalah sebagai berikut :
1. Jumhur ulama Hanafiyah dan Hanabilah dan sebagian syafi’ah dan malikiyah serta
ulama Asy ‘ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa hukum-hukum syara’ sebeum kita

11 | P a g e
dalam bentuk ketiga tersebut tidak berlaku untuk kita [umat nabi Muhammad] selma
tidak dijelaskan pemberlakuannya untuk umat nabi Muhammad.
2. Sebagian sahabat abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian sahabat Imam
Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan bahwa hukum-hukum
yang disebutkan dalam al-qur’an atau sunnah nabi meskipun tidak diharamkan untuk
umat nabi Muhammad selama tidak ada penjelasan tentang nasakhnya, maka berlaku
pula untuk umat nabi Muhammad.
Jadi Syar’u man qablana berlaku bagi kita, apabila syari’at tersebut terdapat dalam al-
qur’an dan hadist-hadist yang shahih dengan alasan :
a. Dengan tercantumnya syar’u man qablana pada al-qur’an dan sunnah yang shahih,
maka ia termasuk dalam syari’at samawi.
b. Kebenarannya dalam al-qur’an dan sunnah tanpa diiringin dengan penolakan dan
tanpa nasakh menunjukkan bahwa ia juga berlaku sebagai syari’at nabi Muhmmmad.
c. Sebagai implementasi dari pernyataan bahwa al-qur’an membenarkan kitab-kitab
taurat dan injil.

c. Al-Istishab
A. Pengertian al-istishab yang lain ialah sesuatu keputusan yang dibuat oleh ulama
mujtahid dalam sesuatu perkara yang telah dikaji daripada al-Quran dan al-Sunnah
setelah mereka tidak menemui sesuatu dalil pun yang boleh mengubah hukumnya.
Dalam keadaan tersebut, ulama mengekalkan sesuatu hukum itu dengan berasaskan
hukum yang telah sedia ada kerana tiada sebarang dalil pun yang dapat mengubah
hukum tersebut.( Wahbah al-Zuhayly 1986 : 113)
B. Kedudukan Istishhab Diantara Dalil-dalil yang Lain
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil
atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil
dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip
pandangan seorang ulama yang mengatakan: “Ia (istishhab) adalah putaran terakhir
dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus
mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian
qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan
hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’
(istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya
adalah bahwa hukum itu tetap berlaku...”
C. Jenis-jenis Istishhab

12 | P a g e
Para ulama menyebutkan banyak sekali jenis-jenis istishhab ini. Dan berikut ini akan
disebutkan yang terpenting diantaranya, yaitu:
1. Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain yang
menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram jika ia membawa
mudharat -dengan perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan para ulama
tentangnya; yaitu apakah hukum asal sesuatu itu adalah mubah atau haram-.
Salah satu contohnya adalah jenis makanan dan minuman yang tidak ditemukan dalil
yang menjelaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, atau dalil lainnya
seperti ijma’ dan qiyas. Untuk yang semacam ini, para ulama berbeda pendapat dalam
3 madzhab:
a. Pendapat pertama, bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, hingga adanya
dalil yang menetapkan atau mengubahnya. Pendapat ini dipegangi oleh Jumhur
Mu’tazilah, sebagian ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Zhahiriyah.
Dalil-dalil mereka antara lain adalah ayat-ayat al-Qur’an yang zhahirnya
menunjukkan bahwa pada dasarnya segala sesuatu itu mubah, seperti:

“Dia-lah yang menciptakan untuk kalian segala sesuatu yang ada di bumi.” (al-
Baqarah:29)
Ayat ini menunjukkan bahwa semua yang ada di bumi ini untuk dimanfaatkan oleh
manusia, dan hal itu tidak mungkin dimanfaatkan kecuali jika hukumnya mubah.

b. Pendapat kedua, bahwa hukum asal sesuatu itu adalah haram, hingga ada dalil
syara’ yang menetapkan atau mengubahnya. Pendapat ini dipegangi oleh sebagian Ahl
al-Hadits dan Mu’tazilah Baghdad.[13] Alasan mereka adalah karena yang berhak
untuk menetapkan syariat dan hukum adalah Allah saja. Maka jika kita membolehkan
sesuatu yang tidak ada nashnya, maka berarti kita telah melakukan apa yang
seharusnya menjadi hak prerogatif Sang pembuat syariat tanpa seizin-Nya.
c. Pendapat ketiga, bahwa hukum asal segala sesuatu yang bermanfaat adalah
mubah, sementara yang membawa mudharat adalah haram. Pendapat ini dipegangi
oleh Jumhur ulama. Dan mereka menggunakan dalil pendapat yang pertama untuk
menguatkan bahwa hukum asal sesuatu yang bermanfaat adalah mubah, dan dalil
pendapat yang kedua untuk menegaskan bahwa hukum asal sesuatu yang membawa
mudharat adalah haram.[14] Di samping itu, untuk menegaskan sisi kedua dari
pendapat ini, mereka juga berlandaskan pada hadits:
َ ‫“ َال ض ََر َر َو َال ِض َر‬Tidak ada kemudharatan dan tidak (boleh) memberi mudharat (dalam
‫ار‬
Islam).” (HR. Ibnu Majah dan Al-Daraquthni dengan sanad yang hasan).

2. Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyah, atau bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas
dan bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang
membebankan ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu.[15]
Sebagai contoh misalnya adalah bahwa kita tidak diwajibkan untuk melakukan shalat
fardhu yang keenam dalam sehari semalam –setelah menunaikan shalat lima waktu-,
karena tidak adanya dalil yang membebankan hal itu. Demikian pula -misalnya- jika
ada seseorang yang menuduh bahwa orang lain berhutang padanya, sementara ia tidak

13 | P a g e
bisa mendatangkan bukti terhadap tuduhan itu, maka orang yang tertuduh dalam hal
ini tetap berada dalam posisi bebas dari hutang atas dasar al-Bara’ah al-Ashliyah ini.

3. Istishhab hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat berhadapan dengan masalah
yang masih diperselisihkan.[16] Salah satu contohnya adalah bahwa para ulama telah
berijma’ akan batalnya shalat seorang yang bertayammum karena tidak menemukan
air saat ia menemukan air sebelum shalatnya. Adapun jika ia melihat air pada saat
sedang mengerjakan shalatnya; apakah shalatnya juga batal atas dasar istishhab
dengan ijma’ tersebut, atau shalat tetap sah dan ia boleh tetap melanjutkannya?
Imam Abu Hanifah dan beberapa ulama lain –seperti al-Ghazaly dan Ibnu Qudamah-
berpendapat bahwa dalam masalah ini istishhab dengan ijma’ terdahulu tidak dapat
dijadikan landasan, karena berbedanya kondisi yang disebutkan dalam ijma’. Oleh
sebab itu, ia harus berwudhu kembali. Sementara Imam al-Syafi’i dan Abu Tsaur
berpendapat bahwa istishhab ijma’ ini dapat dijadikan sebagai hujjah hingga ada dalil
lain yang mengubahnya. Oleh sebab itu, shalatnya tetap sah atas dasar istishhab
kondsi awalnya yaitu ketiadaan air untuk berwudhu.

D. al-Urf
Urf secara sederhana berarti adat atau tradisi.Namun,sebagian ulama ushul tidak
menganggapnya demikian.Oleh karena nya,mereka mendefinisikannya sebagai kebiasaan
mayoritas masyarakat dalam perkataan atau perbuatan tertentu.(az-zarqa,1968:840).
Menurut hasil penelitian al-Thayyib Khudari al-Sayyid , guru besar Ushul Fiqi
dalam karyanya fi al-ijtihad ma la nassa fih , mazhab yang banyak menggunakan ‘Urf
sebagai landasan hukum adalah kalangan Hanfiyah dan Malikiyyah serta kalangan
Hanabillah dan kalangan Syafi’iyah.
‘Urf diterima sebagai landasan hukum dengan beberapa alasan , antara lain:
Surat Al-A’raf ayat 199 :”Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan
yang ma’ruf (al-‘urfi) serta perpalinglah dari orang-orang bodoh “.
Para ulama Ushul fiqh membagi ‘urf jadi tiga macam :

1. Dari segi objeknya

 Al-‘urf al-lafzhi : kebiasaan yang menyangkut ungkapan .


Contoh : ungkapan ‘daging’ yang berarti daging sapi , padahal kata daging mencakup
seluruh daging yang ada .
 Al-‘urf al-amali : kebiasaan yang berbentuk perbuatan .
Contoh : kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu , kebiasaan masyarakat
memakan makanan khusus / meminum minuman tertentu .

2. Dari segi cakupannya


 Al-‘urf al-‘am : kebiasaan yang bersifat umum, berlaku secara luas di masyarakat dan
daerah

14 | P a g e
Contoh : dalam jual beli mobil , seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki
mobil .
 al-‘urf al-khash : kebiasaan yang bersifat khusus , berlaku di daerah tertentu .
Contoh : pada pedagang apabila terdapat cacat tertentu ada barang yang dibeli dapat
dikembalikan dan utuk cacat lainnya dalam barang itu , konsumen tidak dapat
mengembalikannya.
3. Dari segi keabsahanya
 al-‘urf al-shalih : kebiasaan yang dinggap sah .
Contoh : dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberi hadiah pada pihak wanita
dan hadiah ini tidak dianggap mas kawin.
 Al-urf al-fasid :kebiasaan yang bertentangan dengan dalil syara’ dan kaidah dasar
yang adadalam syara’
Contoh : pada pedagang yang menghalalkan riba, seperti peminjaman uang sesame
pedagang .

E. al-Istihsan
Istihsan adalah berpaling dari hasil qiyas tertentu kepada qiyas yang lebih kuat,atau
mengkhususkan qiyas pada dalil yang lebih kuat (khalaf,168:80).Sementara, as-syafi’I tidak
mendefinisikannya, sebab ia tidak menganggap istihsan sebagai saah satu sumber hukum.
Dengan demikian,hanya tiga madzhab yang menganggap istihsan sebagai salah satu sumber
hukum syara’(Asy-syatibi,175:206-208).
Perselisihan para ulama mengenai kehujjahan dan kebolehan al-istihsan dijadikan sebagai
jalan ijtihad ini, sebenarnya terletak pada pemberian batasan terhadap al-istihsan itu
sendiri(Zuhaili,1999:86). Jadi bukan pada operasionalnya dalam menetapkan hukum
berdasarkan al-istihsan. Jika al-istihsan diberi batasan sebagaimana dikemukakan oleh ulama
Hanafiyah atau ulama Malikiyah, maka sebenarnya ulama syafi’iyah menggunakan cara
mengistimbatkan hukum seperti itu.
Conto istihsan, :
1. Pertanian, maka dengan istihsan, yang termasuk diwaqafkan adalah hak
pengairan, hak membuat saluran air diatas tanah itu, dsb
2. Pada jual beli yang peting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada
pembeli
3. Waqaf

F. Saddduz-Zariah

Kata zariah, menurut asy-Syatibi (1975:198). Berarti ”melakukan suatu pekerjaan yang
mengandung kemashlatan untuk menuju kepada kemafsadahan.”Artinya; suatu pekerjaan
yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung kemashlatan.

Tetapi berujung pada suatu kemafsadatan. Ada juga yang mengartikan metode Sadduz-Zariah
merupakan upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negative.
Contoh dapat kita temukan dalam kasus muzakki yang sebelum haul tiba, ia sengaja
mengibahkan sebagian hartanya sehingga nisab hartanya berkurang.

15 | P a g e
Pada umunya ulama menerima metode Saddu al-dzari’ah, hanya saja mereka tidak
sependapat memberikan ukuran dan kualifikasi dzari’ah mana yang akan menimbulkan
kerusakan dan dilarang memang agak sulit, tetapi kita mempunyai prinsip bahwa sikap
menghindari sesuatu yang menimbulkan kerusakan harus didahulukan daripada menentukan
sesuatu yang dikira akan mendatangkan kemashlatan. Jelasnya, kita harus benar-benar
mempertimbangkan antara kerusakan/kemudratan dan kemashlatan yang ditimbulkan oleh
sesuatu perbuatan.

DASAR HUKUM SADDUZ-SYARIAH

1. Al-Quran

1. Surah Al-Anam ayat:108


“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain
Allah SWT, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tapa
pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan
mereka. Kemudian Tuhan merekalah kembali mereka , lalu dia memberitakan kepada
mereka apa yang dahuu mereka kerjakaan”
Dari ayat diatas, mencaci maki Tuhan/ sembahan agama lain adala adz-zariah yang
akan menimbulkan adanya suatu mafsadah yang dilarang.

2. Surah Al-Baqarah :104


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamukatakan (kepada Muhammad ):
Raa’ina , tetapi Katakanlah : “Unzhurna” dan “dengarlah” . dan bagi orang-orang
yang kafir siksan yang pedih”
Dari ayat diatas bisa dipahami adanya suatu bentuk pelarangan terhadap sesautu
perbuatan karena adanya kekahawatiran terhadap dampak negative yang terjadi.

2. AS-Sunnah
a. Nabi melarang orang yang berpiutang menerima hadiah dari orang yang berhutang
demi menutup celah riba .
b. Fuqaha shabat juga menerapkan prinsip ini, hingga mereka memberikan waris kepada
wanita yang dicerai ba’in , jika suami mencerainya dalam keadaan sakit kritis , demi
untuk menutup terhalanginya celah istri dari mendapatkanwarisan
c. Nabi melarang membunuh orang munafik , karena bisa menyebabkan nabi dituduh
membunuh sahabatnya
d. Nabi melarang memotong tangan pencuri pada waktu perang dan ditangguhkan
sampai selesai perang , Karena khawatir tentara lari bergabung dengan musuh

G. al-Maslahatul-Mursalah

Mashalah menurut al-Ghazali berarti merealisasikan manfaat dan melenyapkan kemudratan dalam
upaya pemeliharaan tujuan-tujuan syara’.Menurutnya kemashlatan haruslah sejalan dengan tujuan-
tujuan syara’ yang patokannya ada lima macam : memelihara agama,jiwa,akal,keturunan dan harta
atau dalam istilah disebut dengan”a;-Maqashid as-Syariah”(1983:286).

16 | P a g e
Konsep maslahah dibagi menjadi tiga macam :

1. Maslahah mu’tabarah : kemaslahatan yang secara tegas diakui syara’.

2. Maslahah mulgah : maslahah yang secara akal dianggap ada , namun realita syara’nya
tidak demikian.

3. Maslahah mursalah :maslahah yang tidak dimiliki ketegasan hukum , baik dari AL-Quran
atau hadis namun memiliki kontribusi nyata dalam kehidupan manusia.

Kehujjahan Maslahatul Mursalah

1. Jumhurul ulama’ : maslahah mursalah bukan sebuah hujjah sehingga tidak boleh
membangun hukum atasdasar maslahah tsb

2. Ulama Malikiyah : maslahah mursalah adalah hujjah dan boleh membangun hukum di atas
asarmaslahah tsb .

Contoh Maslahatul Mursalah

 Abu bakar mengumpulkan berkas mushaf yang tercecer menjadi satu tulisan AL-
Quran untuk menjaga keutuhan Al-Quran , kemudian beliau mengangkat Umar bin
Khattab sebagai gantinya . dengan tujuan untuk menjaga persatuan dan kesatuan umat
Islam
 Umar bin Khattab tidak memberikan zakat pada al-muallafati qulubuhum yang sudh
kuat imannya , menetapkan kewajiban pajak , menysun administrasi dan membuat
penjara.
 Usman bin Affan mengirim seseorang untuk menyebarkan satu mushaf ke seluruh
kota karena khawatir terjadi perbedaan antar manusia dalam mushaf al-quran dengan
adanya sebab banyaknya qiro’ah al ma’rufah
 Ulama Malikiyah memperbolehkan menahan orang yang ditudh bersalah dan
menderanya untuk mendapat pengakuannya
 Ulama Syafiyyah mewajibkan qishos atas pembunuhan orang banyak kepada satu
orang .

17 | P a g e
PENUTUP

Dari penjelasan diatas, mengenai pemaparan “Sumber hukum dalam Islam” dapat
disimpulkan bahwa memahami ajaran Islam tidak cukup dengan mengambil sumber dari Al-
Quran dan Hadis. Seperti para ulama ushul yang dalam banyak literatur Islam klasik menaruh
perhatian besar dalam hal ini, sudah merumuskan sedemikian rupa hal-hal urgen yang harus
dipedomani oleh umat Islam dalam memahami agamanya .

Penjelasan di atas, bukan berarti Al-Quran dan Hadis tidak cukup menjadi solusi
terhadap kehidupan manusia, tetapi justru mengukuhkan posisi keduanya yang menjadi
sumber hukum di dalam Islam. Karena dalam Al-Quran hanya menjelaskan garis-garis besar
arahan umum yang harus dipahami oleh umat Islam begitu juga Hadis. Sehingga posisi ijma,
qiyas, serta sumber hukum sekunder lainnya adalah penjabaran lebih lanjut untuk memenuhi
kontekstualisasi nilai Al-Quran agar bisa menciptakan kemaslahatan umat dan menghindari
kerusakan umat .

Penulis memahami masih banyak kekurangan dalam menyusun makalah ini, oleh
karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan diharapkan untuk kebaikan
penulis. Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat kepada pembaca secara umum
terlebih bagi penulis sendiri.

18 | P a g e
Daftar Pustaka :

Rahman Abd Dahlan, Ushul fiqih (Jakarta : Amzah,

2011)

Syarifuddin Amir, Ushul fiqih jilid 1 (Jakarta: Logos wacana ilmu, 2001)

Haroen Nasrun, Ushul fiqih (Jakarta : logos wacana ilmu,1997)

Effendi Satria, Ushul fiqih (Jakarta : Kencana, 2008 )

19 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai