Chapter II PDF
Chapter II PDF
TINJAUAN PUSTAKA
o Kelas 1 : angina yang tidak terjadi dengan aktivitas fisik biasa seperti
berjalan. Angina terjadi saat aktivitas yang cepat, membutuhkan tenaga
yang besar seperti saat mengangkat barang yang berat.
o Kelas 2 : angina terjadi saat berjalan atau menaiki tangga secara cepat,
berjalan atau menaiki tangga setelah makan, atau dibawah tekanan
emosional.
o Kelas 3 : angina terjadi saat berjalan satu sampai dua langkah dan menaiki
tangga dalam keadaan tenang.
o Kelas 4 : angina yang terjadi saat istirahat sehingga tidak mampu untuk
melakukan aktivitas sehari-hari (Fuster et al, 2008).
Untuk dapat menegakkan diagnosis angina pektoris tak stabil, pasien yang
dicurigai menderita penyakit ini harus dievaluasi dengan tepat. Penegakkan
diagnosis yang tepat dapat mengurangi kebutuhan keuangan pasien untuk
pemeriksaan penunjang diagnosis.
o Anamnesis
Pada anamnesis, perlu ditanyakan gejala yang dirasakan seperti nyeri di
dada yang terjadi, sudah berapa lama, riwayat penyakit terdahulu, dan konsumsi
obat-obatan lainnya. Pada pasien dengan usia muda, yaitu usia di bawah 50 tahun,
perlu ditanyakan konsumsi kokain (Fuster et al, 2008).
o Elektrokardiogram
Pemeriksaan melalui elektrokardiogram dapat menunjukkan adanya gejala
iskemia atau infark pada jantung. Adanya depresi segmen ST menunjukkan terjadi
iskemia. Gelombang T negatif juga salah satu tanda iskemia. Perubahan
gelombang ST dan T yang non spesifik seperti depresi pada segmen ST kurang
dari 0,5 mm dan gelombang T negatif kurang dari 2 mm, tidak spesifik untuk
iskemia (Trisnohadi, 2006).
Walaupun, gambaran elektrokardiogram tidak menunjukkan tanda dari
angina pektoris tak stabil bukan berarti menunjukkan bahwa pasien tersebut tidak
menderita angina pektoris tak stabil. Pada angina tak stabil 4% mempunyai
gambaran EKG normal (Fuster et al, 2008).
o Pemeriksaan biokimia kardiak marker
Pemeriksaan biokimia ini, dapat digunakan untuk mendiagnosis nekrosis
jantung dan untuk memperkirakan prognosis. Pemeriksaan biokimia yang
dilakukan adalah pemeriksaan CK-MB dan troponin jantung (Fuster et al, 2008).
o Tehnik Pencitraan Non Invasif
Pemeriksaan ini dilakukan dengan ekokardiografi, dimana melalui alat ini,
gambaran jantung dapat dilihat melalui layar. Pemeriksaan ekokardiografi tidak
memberikan data untuk diagnosis angina pektoris tak stabil secara langsung.
Embolisasi dari trombus platelet dan isi dari plak yang berasal dari plak
yang ruptur akan membuat obstruksi mikrosirkulasi. Akibat obstruksi mikro
sirkulasi ini, akan mengaktifkan kaskade yang termasuk didalamnya inflamasi
lokal, cedera jaringan, vasokonstriksi, dan propagasi dari agregrasi platelet-
leukosit insitu. Hal ini merupakan faktor yang berkontribusi penting dalam terjadi
NSTEMI dan menjadi target dan farmakoterapi (Fuster et al, 2008).
o Anamnesis
Saat anamnesis dapat ditanyakan keluhan pasien, gejala klinis dari pasien
dengan non ST elevasi miokard infark adalah :
nyeri dada yang terjadi > 20 menit saat istirahat
post – miokard infark angina
nyeri dada yang dapat menyebar hingga ke lengan kiri, leher atau
rahang yang dapat terjadi secara hilang timbul atau menetap (Hamm
et al, 2011)
o Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, NSTEMI terkadang dapat ditemui dalam keadaan
normal. Tujuan utama dari pemeriksaan fisik ini adalah untuk memisahkan
penyebab nyeri dada akibat penyakit jantung, gangguan jantung non iskemia
seperti emboli pulmonal, perikarditis, penyakit katup jantung atau non- penyakit
jantung, seperti pnemotoraks, pneumonia atau efusi pleura (Hamm et al, 2011).
o Elektrokardiogram
o Pemeriksaan biokimia
Troponin jantung dapat membantu cukup besar dalam menentukan
diagnosis, mengukur resiko, dan memisahkan kemungkinan NSTEMI dengan
angina pektoris tak stabil. Troponin lebih spesifik dan sensitif dibandingkan dari
pemeriksaan enzim jantung seperti kreatinin kinase, isoenzim MB (CK-MB) dan
myoglobin (Hamm et al, 2011).
Pada pasien dengan miokard infark peningkatan awal dari troponin terjadi
dalam kurang lebih 4 jam saat gejala terjadi. Troponin dapat meningkat selama dua
minggu akibat proteolisis dari aparatus kontraktil. Elevasi dari troponin
menunjukan adanya kerusakan selular, dimana pada NSTEMI dapat terjadi akibat
embolisasi distal dari trombus kaya platelet yang berasal dari ruptur atau erosi plak
(Hamm et al, 2011).
Beberapa contoh anti iskemiaa adalah beta bloker, nitrat dan bloker kanal
kalsium. Beta bloker bekerja dengan menginhibisi efek sirkulasi katekolamin dan
menurunkan konsumsi oksigen miokard dengan mengurangi denyut jantung,
tekanan darah dan kontraktilitas. Beta bloker banyak digunakan pada pasien rawat
inap di rumah sakit (Hamm et al, 2011).
o Antikoagulan
Penggunaan antikoagulan dalam pengobatan NSTEMI ini untuk
menginhibisi generasi dan aktivasi trombin dengan cara mengurangi proses yang
berhubungan dengan trombus. Beberapa contoh antikoagulan yang digunakan
adalah fondaparinux, low molecular weight heparin, unfractioned heparin, dan
bivalirudin. Penggunaan obat antikoagulan dapat dikombinasikan dengan
antiplatelet (Hamm et al, 2011).
o Anamnesis
Melalui anamnesis dapat ditanyakan gejala klinis pasien, seperti rasa tidak
enak atau nyeri di bagian dada, seperti ditekan, sakit, atau sensasi terbakar. Rasa
tidak enak ini dapat menyebar ke leher, punggung atau lengan dan menetap. Pada
beberapa kejadian dapat ditemukan sinkop, agitasi dan palpitasi (Fuster et al,
2008).
o Pemeriksaan fisik
Melalui pemeriksaan fisik juga dapat ditemukan rasa tidak nyaman dan
kecemasan. Apabila ada disfungsi ventrikel kiri dapat terdengar suara jantung
ketiga dan takikardi. Pada pasien dengan infark ventrikular dapat ditemukan
peningkatan tekanan vena jugular (Fuster et al, 2008).
o Elektrokardiogram
Pada pemeriksaan elektrokardiogram ini dapat ditemukan gambaran
peningkatan puncak gelombang T, yang diikuti dengan elevasi segmen ST.
Nitrat dapat diberikan secara intravena untuk mendapatkan efek yang lebih
baik. Heparin sebagai antikoagulan juga penting dalam penatalaksanaan STEMI.
o Anti trombotik
Tujuan pemberian antitrombotik termasuk juga antiplatelet dan
antikoagulan untuk mencegah efek lebih lanjut dari oklusi parsial yang ada di
trombus intrakoroner (Lilly, 2011).
o Terapi reperfusi
Alternatif pengobatan lainnya adalah, percutaneous coronary intervention
suatu metode untuk mengembalikan perfusi koroner dan mendapatkan aliran darah
yang optimal pada pembuluh darah yang infark. Terapi ini digunakan apabila pada
pasien yang sebelumnya telah diberikan terapi fibrinolisis namun tidak
menunjukkan perbaikan yang adekuat (Lilly, 2011).