Anda di halaman 1dari 18

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sindroma Koroner Akut (SKA)


2.1.1 Definisi Sindroma Koroner Akut (SKA)

Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan suatu istilah yang


menggambarkan kumpulan gejala klinik yang ditandai dengan nyeri dada dan
gejala lain yang disebabkan oleh penurunan aliran darah ke jantung, biasanya
disebabkan oleh plak aterosklerotik (Svarovskaia et al, 2004, dalam Nurulita,
Bahrun, Arif, 2011).

2.1.2 Etiologi Sindroma Koroner Akut

Penyebab dari Sindroma Koroner Akut ini adalah


o Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada
o Obstruksi dinamik ( spasme koroner atau vasokonstriksi )
o Obstruksi mekanik yang progresif
o Inflamasi dan/atau infeksi
o Faktor atau keadaan pencetus (Ismantri, 2009)

2.1.3 Klasifikasi Sindroma Koroner Akut

Berdasarkan definisi yang disebutkan sebelumnya, Sindroma Koroner Akut


merupakan kumpulan gejala klinik yang ditandai dengan nyeri dada dan gejala
lain. Sindroma Koroner Akut dibagi menjadi, angina tidak stabil (UAP), miokard
infark ST-elevasi (STEMI), dan infark miokard non ST- elevasi (NSTEMI)

2.1.4 Faktor Resiko Sindroma Koroner Akut

Oleh karena tingginya tingkat kematian pada SKA, banyak dilakukan


penelitian untuk menurunkan insidens, salah satunya mengenai faktor resiko

Universitas Sumatera Utara


penyakit ini. Faktor resiko SKA terbagi dua, faktor resiko yang tidak dapat diubah
dan yang dapat diubah. Faktor resiko yang tak dapat diubah adalah usia, jenis
kelamin, ras, dan riwayat keluarga sedangkan faktor resiko yang dapat diubah
adalah peningkatan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserida,
apolipoprotein B, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa, dan lain-lain
(Santoso, Setiawan, 2005).
Faktor resiko yang sudah kita kenal antara lain merokok, hipertensi,
hiperlipidemia, diabetes melitus, aktifitas fisik, dan obesitas. Termasuk di
dalamnya bukti keterlibatan tekanan mental dan depresi. Sedangkan beberapa
faktor yang baru antara lain CRP, Homocystein dan Lipoprotein(a) (Santoso,
Setiawan, 2005).
Selain dari faktor resiko yang telah disebutkan diatas, faktor resiko dapat
dibagi lagi menjadi dua kelompok besar yaitu faktor resiko konvensional dan
faktor resiko yang baru diketahui berhubungan dengan proses aterotrombosis
(Braunwald, 2007 dalam Hanum, 2010).

2.2 Angina Pektoris Tak Stabil


2.2.1 Definisi Angina Pektoris Tak Stabil
Angina Pektoris adalah keadaan klinis untuk menjelaskan nyeri pada
daerah dada yang terjadi saat jantung tidak mendapatkan darah yang cukup
(Cunha, J.P, 2013).

Terdapat tiga jenis angina, yaitu :


o Angina stabil
Disebut juga angina klasik, terjadi jika arteri koroner yang aterosklerotik
tidak dapat berdilatasi untuk meningkatkan alirannya sewaktu kebutuhan oksigen
meningkat. Peningkatan kerja jantung dapat disertai dengan aktivitas misalnya
berolah raga atau naik tangga (Santoso, Setiawan, 2005).
o Angina prinzmetal
Terjadi tanpa peningkatan jelas beban kerja jantung dan pada kenyataannya
sering timbul pada waktu beristirahat atau tidur. Pada angina prinzmetal terjadi
spasme arteri koroner yang menimbulkan iskemia jantung di bagian distal.

Universitas Sumatera Utara


Kadang-kadang tempat spasme berkaitan dengan aterosklerosis (Santoso,
Setiawan, 2005).

o Angina tak stabil


Adalah kombinasi angina stabil dengan angina prinzmetal yaitu, dijumpai
pada individu dengan perburukan penyakit arteri koroner. Angina ini biasanya
menyertai peningkatan beban kerja jantung. Hal ini terjadi akibat aterosklerosis
koroner, yang ditandai oleh trombus yang berkembang dan mudah mengalami
spasme (Santoso, Setiawan, 2005).

Terdapat klasifikasi angina pektoris berdasarkan Canadian Cardiovascular


Society yang terbagi sebagai berikut :

o Kelas 1 : angina yang tidak terjadi dengan aktivitas fisik biasa seperti
berjalan. Angina terjadi saat aktivitas yang cepat, membutuhkan tenaga
yang besar seperti saat mengangkat barang yang berat.
o Kelas 2 : angina terjadi saat berjalan atau menaiki tangga secara cepat,
berjalan atau menaiki tangga setelah makan, atau dibawah tekanan
emosional.
o Kelas 3 : angina terjadi saat berjalan satu sampai dua langkah dan menaiki
tangga dalam keadaan tenang.
o Kelas 4 : angina yang terjadi saat istirahat sehingga tidak mampu untuk
melakukan aktivitas sehari-hari (Fuster et al, 2008).

2.2.2 Patofisiologi Angina Pektoris Tak Stabil

o Gangguan plak atau ruptur plak


Ruptur plak sering terjadi pada bagian pinggir dari plak dimana bagian
tersebut menempel di dinding pembuluh darah. Pada area tersebut plak terinfiltrasi
dengan sel-sel inflamasi dan memiliki tekanan yang tinggi untuk ruptur. Plak yang
cenderung untuk ruptur memiliki struktur fibrous cap yang tipis dan massa lemak

Universitas Sumatera Utara


yang besar. Struktur ini dipengaruhi faktor biomekanik dari plak tersebut dan
meningkatkan kemungkinan untuk ruptur (Fuster et al, 2008).
Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi, agregasi platelet, dan
menyebabkan terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100%
akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak
menyumbat 100% akan menyebabkan angina pektoris tak stabil (Trisnohadi,
2006).
o Erosi pada plak tanpa ruptur
Terjadinya penyempitan pada pembuluh darah juga disebabkan oleh
proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi dari kerusakan endotel.
Adanya perubahan bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat
menimbulkan penyempitan pembuluh darah dengan cepat (Trisnohadi, 2006).
o Vasokonstriksi
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak
stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi
oleh platelet, berperan dalam perubahan tonus pembuluh darah dan menyebabkan
spasme (Trisnohadi, 2006).
Vasokonstriksi atau kurangnya vasodilatasi yang sesuai berkontribusi
dalam perkembangan episode iskemia pada pasien angina pektoris tak stabil dan
merupakan target dalam pemberian terapi (Fuster et al, 2008).
o Trombosis
Terjadinya trombosis setelah plak terganggu disebabkan karena interaksi
yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag, dan kolagen. Inti lemak
merupakan bahan terpenting dalam pembentukan trombus yang kaya trombosit,
sedangkan sel otot polos dan sel busa yang ada dalam plak berhubungan dengan
ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil (Trisnohadi, 2006).
Faktor jaringan menginisiasi kaskade koagulasi ekstrinsik, menghasilkan
aktivasi faktor X menjadi faktor Xa dimana hal ini akan mengubah protrombin
menjadi trombin. Trombin mengkatalisasi perubahan fibrinogen menjadi fibrin,
membentuk pembekuan platelet-fibrin yang membuat obstruksi aliran darah
koroner (Fuster et al, 2008).

Universitas Sumatera Utara


2.2.3 Diagnosis Angina Pektoris Tak Stabil

Untuk dapat menegakkan diagnosis angina pektoris tak stabil, pasien yang
dicurigai menderita penyakit ini harus dievaluasi dengan tepat. Penegakkan
diagnosis yang tepat dapat mengurangi kebutuhan keuangan pasien untuk
pemeriksaan penunjang diagnosis.
o Anamnesis
Pada anamnesis, perlu ditanyakan gejala yang dirasakan seperti nyeri di
dada yang terjadi, sudah berapa lama, riwayat penyakit terdahulu, dan konsumsi
obat-obatan lainnya. Pada pasien dengan usia muda, yaitu usia di bawah 50 tahun,
perlu ditanyakan konsumsi kokain (Fuster et al, 2008).
o Elektrokardiogram
Pemeriksaan melalui elektrokardiogram dapat menunjukkan adanya gejala
iskemia atau infark pada jantung. Adanya depresi segmen ST menunjukkan terjadi
iskemia. Gelombang T negatif juga salah satu tanda iskemia. Perubahan
gelombang ST dan T yang non spesifik seperti depresi pada segmen ST kurang
dari 0,5 mm dan gelombang T negatif kurang dari 2 mm, tidak spesifik untuk
iskemia (Trisnohadi, 2006).
Walaupun, gambaran elektrokardiogram tidak menunjukkan tanda dari
angina pektoris tak stabil bukan berarti menunjukkan bahwa pasien tersebut tidak
menderita angina pektoris tak stabil. Pada angina tak stabil 4% mempunyai
gambaran EKG normal (Fuster et al, 2008).
o Pemeriksaan biokimia kardiak marker
Pemeriksaan biokimia ini, dapat digunakan untuk mendiagnosis nekrosis
jantung dan untuk memperkirakan prognosis. Pemeriksaan biokimia yang
dilakukan adalah pemeriksaan CK-MB dan troponin jantung (Fuster et al, 2008).
o Tehnik Pencitraan Non Invasif
Pemeriksaan ini dilakukan dengan ekokardiografi, dimana melalui alat ini,
gambaran jantung dapat dilihat melalui layar. Pemeriksaan ekokardiografi tidak
memberikan data untuk diagnosis angina pektoris tak stabil secara langsung.

Universitas Sumatera Utara


Tetapi bila tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri, adanya insufisiensi mitral
dan abnormalitas gerakan dinding regional jantung menandakan prognosis kurang
baik (Trisnohadi, 2006).

2.2.4 Penatalaksanaan Angina Pektoris Tak Stabil

Dalam penatalaksanaan angina pektoris tak stabil harus dilakukan dalam


waktu yang cepat. Target pengobatan adalah kontrol gejala dari iskemia miokard,
infark miokard dan pencegahan kematian. Efek dari pengobatan didapat dengan
mengoptimalisasi keseimbangan antara kebutuhan dan jumlah oksigen miokard,
hal ini dapat dipenuhi dengan cara mengkontrol proses pembentukan trombus yang
sedang terjadi (Fuster et al, 2008).

o Terapi anti iskemia


 Nitrat
 Bloker beta adrenergik
 Antagonis kalsium
 ACE inhibitor dan Angiotensin receptor antagonist
(Fuster et al, 2008).
o Terapi antiplatelet
 Aspirin
 Adenosine diphosphate receptor antagonis
 GPIIb/IIIa inhibitor
 Upstream GPIIb/GPIIIa
 Adjunctive GPIIb/GPIIIa (Fuster et al, 2008)
o Terapi antikoagulan
 Unfractioned Heparin
 Low molecular weight heparin
 Fondaparinux
 Direct thrombin inhibitor (Fuster et al, 2008)
o Revaskularisasi koroner

Universitas Sumatera Utara


Tindakan ini dapat menghilangkan gejala, meningkatkan prognosis dan
kapasitas fungsional. Pemilihan tindakan ini dilakukan setelah mempertimbangkan
banyak hal yaitu, anatomi pembuluh darah koroner, fungsi ventrikel kiri, kapasitas
fungsional, dan keparahan gejala (Fuster et al, 2008).

Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan


iskemia berat dan refrakter dengan terapi medikamentosa. Pada angina tak stabil
tindakan ini dilakukan tergantung dari stratifikasi resiko pasien. Pada resiko tinggi,
seperti angina terus-menerus adanya depresi segmen ST, kadar troponin yang
meningkat, faal ventrikel kiri yang buruk, dan adanya gangguan irama jantung
yang maligna seperti takikardi ventrikel perlu tindakan invasif dini (Trisnohadi,
2006).

2.3 Non ST Elevasi Miokard Infark


2.3.1 Definisi Non ST Elevasi Miokard Infark
Pengertian dari NSTEMI adalah pasien yang mengalami gejala nyeri dada
diatas 20 menit, menunjukkan pemeriksaan biokimia kardiak marker yang positif
atau perubahan segmen ST pada pemeriksaan EKG tanpa elevasi segmen ST yang
persisten (Alexander et al, 2007).
2.3.2 Patofisiologi Non ST Elevasi Miokard Infark
o Inflamasi

Inflamasi memegang peranan penting terhadap terjadinya gangguan pada


plak. Akumulasi dari makrofag dan limfosit T pada plak aterotrombotik yang
disebabkan oleh ekspresi dari molekul adhesi monosit, sel endotelial, leukosit, dan
pelepasan dari kemokin dan sitokin yang mengarahkan sel-sel inflamasi ke daerah
tersebut (Fuster et al, 2008).

o Platelet dan leukosit


Aktivasi dan endapan platelet terhadap permukaan trombogenik dari plak
yang ruptur penting dalam patogenesis dari NSTEMI. Aktivasi dari platelet dan
leukosit berinteraksi pada fase akut dari NSTEMI untuk memfasilitasi endapan
trombus-platelet (Fuster et al, 2008).

Universitas Sumatera Utara


o Embolisasi dan mikrosirkulasi koroner

Embolisasi dari trombus platelet dan isi dari plak yang berasal dari plak
yang ruptur akan membuat obstruksi mikrosirkulasi. Akibat obstruksi mikro
sirkulasi ini, akan mengaktifkan kaskade yang termasuk didalamnya inflamasi
lokal, cedera jaringan, vasokonstriksi, dan propagasi dari agregrasi platelet-
leukosit insitu. Hal ini merupakan faktor yang berkontribusi penting dalam terjadi
NSTEMI dan menjadi target dan farmakoterapi (Fuster et al, 2008).

2.3.3 Diagnosis Non ST Elevasi Miokard Infark


Untuk dapat menegakkan diagnosis dari Non ST elevasi miokard infark,
hampir sama dengan angina pektoris tak stabil. Namun hasil yang akan diperoleh
tentu berbeda. Beberapa cara untuk menegakkan diagnosisnya adalah sebagai
berikut :

o Anamnesis
Saat anamnesis dapat ditanyakan keluhan pasien, gejala klinis dari pasien
dengan non ST elevasi miokard infark adalah :
 nyeri dada yang terjadi > 20 menit saat istirahat
 post – miokard infark angina
 nyeri dada yang dapat menyebar hingga ke lengan kiri, leher atau
rahang yang dapat terjadi secara hilang timbul atau menetap (Hamm
et al, 2011)
o Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, NSTEMI terkadang dapat ditemui dalam keadaan
normal. Tujuan utama dari pemeriksaan fisik ini adalah untuk memisahkan
penyebab nyeri dada akibat penyakit jantung, gangguan jantung non iskemia
seperti emboli pulmonal, perikarditis, penyakit katup jantung atau non- penyakit
jantung, seperti pnemotoraks, pneumonia atau efusi pleura (Hamm et al, 2011).

o Elektrokardiogram

Universitas Sumatera Utara


Pada pemeriksaan elektrokardiogram ini dapat dilakukan saat pasien masuk
di unit gawat-darurat atau saat kontak pertama sebelum sampai rumah sakit.
Karakteristik dari hasil elektrokardiogram pada NSTEMI adalah depresi ST
segmen atau transien elevasi dan/atau perubahan gelombang T (Hamm et al, 2011).

Deviasi segmen ST merupakan hal penting dalam menentukan resiko pada


pasien. Peningkatan resiko yang buruk meningkat secara progresif dengan
memberatnya depresi segmen ST (Alwi, Harun, 2006).

o Pemeriksaan biokimia
Troponin jantung dapat membantu cukup besar dalam menentukan
diagnosis, mengukur resiko, dan memisahkan kemungkinan NSTEMI dengan
angina pektoris tak stabil. Troponin lebih spesifik dan sensitif dibandingkan dari
pemeriksaan enzim jantung seperti kreatinin kinase, isoenzim MB (CK-MB) dan
myoglobin (Hamm et al, 2011).

Pada pasien dengan miokard infark peningkatan awal dari troponin terjadi
dalam kurang lebih 4 jam saat gejala terjadi. Troponin dapat meningkat selama dua
minggu akibat proteolisis dari aparatus kontraktil. Elevasi dari troponin
menunjukan adanya kerusakan selular, dimana pada NSTEMI dapat terjadi akibat
embolisasi distal dari trombus kaya platelet yang berasal dari ruptur atau erosi plak
(Hamm et al, 2011).

o Tehnik pencitraan non-invasif


Dalam tehnik pencitraan non invasif, ekokardiografi adalah alat yang
paling banyak beredar luas dan tersedia. Fungsi sistolik ventrikel kiri sangat
penting untuk prognosis bagi pasien dengan penyakit jantung koroner dan dapat
dengan mudah dan akurat diperiksa melalui ekokardiografi (Hamm et al, 2011).

Pemeriksaan pencitraan non-invasif lainnya adalah cardiac magnetic


resonance imaging, merupakan teknik pencitraan yang dapat mengintegrasi fungsi
dan perfusi jantung. Selain itu juga dapat mendeteksi jaringan parut pada sesi

Universitas Sumatera Utara


pertama, namun alat ini belum tersedia di berbagai pusat kesehatan dan belum
banyak tersebar luas (Hamm et al, 2011).

o Tehnik pencitraan invasif

Angiografi koroner merupakan salah satu contoh pemeriksaan dengan


teknik pencitraan secara invasif. Angiografi koroner dapat memberikan informasi
terhadap keberadaan dan keparahan penyakit ini. Angiografi koroner juga menjadi
baku emas pemeriksaan Sindroma Koroner Akut (Hamm et al, 2011).

Pemeriksaan ini direkomendasikan untuk melakukan angiogram sebelum


dan sesudah pemberian vasodilator, seperti nitrat untuk mengetahui kejadian
vasokonstriksi dan hilangnya vasokontriksi pada Sindroma Koroner Akut.
Tindakan ini dilakukan hanya pada pasien yang beresiko tinggi dan diagnosis
belum dapat ditegakkan oleh pemeriksaan sebelumnya (Hamm et al, 2011).

2.3.4 Penatalaksanaan Non ST Elevasi Miokard Infark


o Agen anti iskemia
Obat anti iskemia ini berfungsi untuk menurunkan kebutuhan oksigen di
miokard dengan cara menurunkan denyut jantung, tekanan darah dan preload, serta
mengurangi kontraktilitas otot jantung. Mekanisme kerja obat anti iskemia selain
mengurangi kebutuhan oksigen miokard, agen anti iskemia ini juga dapat bekerja
meningkatkan jumlah oksigen ke miokard dengan vasodilatasi pembuluh darah
koroner (Hamm et al, 2011).

Beberapa contoh anti iskemiaa adalah beta bloker, nitrat dan bloker kanal
kalsium. Beta bloker bekerja dengan menginhibisi efek sirkulasi katekolamin dan
menurunkan konsumsi oksigen miokard dengan mengurangi denyut jantung,
tekanan darah dan kontraktilitas. Beta bloker banyak digunakan pada pasien rawat
inap di rumah sakit (Hamm et al, 2011).

Nitrat memiliki efek sebagai venodilator yang akan mengurangi preload


jantung dan volume diastolik akhir ventrikel kiri sehingga akan mengurangi
konsumsi oksigen. Pada pasien dengan NSTEMI yang dirawat di rumah sakit,

Universitas Sumatera Utara


pemberian nitrat dengan intravena lebih efektif dibandingkan nitrat dengan
sublingual (Hamm et al, 2011).

Nitrat juga dapat meningkatkan aliran darah koroner dan mencegah


vasospasme melalui vasodilator koroner. Selain itu, nitrat juga dapat diberikan
pada pasien Sindroma Koroner Akut dengan gagal jantung atau hipertensi berat
(Lilly, 2011).

Bloker kanal kalsium merupakan obat vasodilator yang memiliki efek


langsung pada konduksi atrioventrikular dan denyut jantung. Terdapat tiga sub-
bagian dari bloker kanal kalsium yang memilki perbedaan dari struktur kimia dan
memiliki efek farmakologi yang berbeda, seperti dihidropiridin (nifedipine),
benzotiapin (diltiazem) dan feniletilamin (verapamil) (Hamm et al, 2011).

o Agen anti platelet


Aktivasi dan agregasi platelet memegang peranan penting dalam
patogenesis Sindroma Koroner Akut, sehingga proses ini dijadikan salah satu
target dalam pengobatan Sindroma Koroner Akut. Beberapa contoh agen
antiplatelet, yaitu aspirin, P2Y12 inhibitor reseptor, glikoprotein IIb/IIIa inhibitor
reseptor (Hamm et al, 2011).

o Antikoagulan
Penggunaan antikoagulan dalam pengobatan NSTEMI ini untuk
menginhibisi generasi dan aktivasi trombin dengan cara mengurangi proses yang
berhubungan dengan trombus. Beberapa contoh antikoagulan yang digunakan
adalah fondaparinux, low molecular weight heparin, unfractioned heparin, dan
bivalirudin. Penggunaan obat antikoagulan dapat dikombinasikan dengan
antiplatelet (Hamm et al, 2011).

o Revaskularisasi pembuluh darah koroner


Revaskularisasi ini dapat menggunakan percutaneous coronary
intervention, coronary artery bypass surgery. Tindakan ini dilakukan untuk

Universitas Sumatera Utara


mengurangi gejala, dan lama rawat di rumah sakit, serta meningkatkan prognosis
(Hamm et al, 2011).

2.4 ST Elevasi Miokard Infark


2.4.1 Definisi ST Elevasi Miokard Infark
Definisi dari ST elevasi miokard infark adalah nyeri dada dengan
gambaran elektrokardiogram elevasi segmen ST (Hamm et al, 2011).

2.4.2 Patogenesis ST Elevasi Miokard Infark

Mekanisme terjadinya ST elevasi miokard infark sama dengan mekanisme


terjadinya Sindroma Koroner Akut lainnya yang sudah dijelaskan sebelumnya.

2.4.3 Diagnosis ST Elevasi Miokard Infark

o Anamnesis
Melalui anamnesis dapat ditanyakan gejala klinis pasien, seperti rasa tidak
enak atau nyeri di bagian dada, seperti ditekan, sakit, atau sensasi terbakar. Rasa
tidak enak ini dapat menyebar ke leher, punggung atau lengan dan menetap. Pada
beberapa kejadian dapat ditemukan sinkop, agitasi dan palpitasi (Fuster et al,
2008).
o Pemeriksaan fisik
Melalui pemeriksaan fisik juga dapat ditemukan rasa tidak nyaman dan
kecemasan. Apabila ada disfungsi ventrikel kiri dapat terdengar suara jantung
ketiga dan takikardi. Pada pasien dengan infark ventrikular dapat ditemukan
peningkatan tekanan vena jugular (Fuster et al, 2008).

o Elektrokardiogram
Pada pemeriksaan elektrokardiogram ini dapat ditemukan gambaran
peningkatan puncak gelombang T, yang diikuti dengan elevasi segmen ST.

Universitas Sumatera Utara


Gambaran segmen ST yang menetap setelah pengembalian aliran darah arteri
koroner, menandakan gagalnya perfusi miokard dan berhubungan dengan
prognosis yang buruk (Fuster et al, 2008).

o Pemeriksaan biokimia jantung


Pemeriksaan creatinin kinase dan isoenzimnya CK-MB , troponin I dan
troponin T, myoglobin, aspartat aminotransferase, dan laktat dehidrogenase.
Troponin jantung lebih sering digunakan sebagai penanda kerusakan miokard
karena memilki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi. CK-MB adalah alternatif
lainnya jika pemeriksaan troponin tak tersedia (Fuster et al, 2008).

Pemeriksaan mioglobin dapat dideteksi satu jam setelah infark dan


mencapai puncak dalam 4-8 jam. Pemeriksaan creatinin kinase meningkat setelah
3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan
kembali normal dalam 3-4 hari. Sedangkan pemeriksaan laktat dehidrogenase
meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard, mencapai puncak 3-6 hari
dan kembali normal dalam 8-14 hari (Alwi, 2006).

2.4.4 Penatalaksanaan ST Elevasi Miokard Infark

Untuk kegawat-daruratan penanganan dari ST elevasi miokard infark ini,


dapat diberikan oksigen kadar rendah melalui nasal kanula, diberikan selama 24-48
jam atau beberapa hari setelah miokard infark (Fuster et al, 2008).

Aspirin dapat digunakan untuk mengurangi mortalitas pada miokard infark


dan harus diberikan awal dan dilanjutkan pada pasien Sindroma Koroner Akut.
Beta bloker juga dapat diberikan untuk membantu mengurangi mortalitas.
Analgesik digunakan untuk mengurangi rasa nyeri dada dapat diberikan secara
bolus intravena 1-2 mg. Analgesia yang dipakai adalah morfin, sehingga
penggunaannya harus diperhatikan (Fuster et al, 2008).

Nitrat dapat diberikan secara intravena untuk mendapatkan efek yang lebih
baik. Heparin sebagai antikoagulan juga penting dalam penatalaksanaan STEMI.

Universitas Sumatera Utara


Jenis heparin yang sering digunakan adalah unfractioned heparin dan low
molecular weight heparin (Fuster et al, 2008).

Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan


derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien
STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang
maligna. Untuk melakukan reperfusi perlu dipertimbangkan waktu dan onset
gejala, resiko mortalitas STEMI, dan resiko perdarahan (Alwi, 2006).

2.5 Penatalaksanaan Sindroma Koroner Akut


o Anti-iskemiaa
Beta bloker dapat mengurangi kerja saraf simpatetik ke otot jantung,
mengurangi kebutuhan oksigen dan berkontribusi untuk kestabilan elektris.
Penggunaan beta bloker biasanya digunakan dalam 24 jam pertama untuk
mendapatkan target frekuensi jantung mendekati 60 kali/menit (Lilly, 2011).
Nitrat dapat mengurangi gejala angina dengan venodilatasi, dimana akan
mengurangi kebutuhan oksigen dengan mengurangi darah yang kembali melalui
vena ke jantung, sehingga mengurangi preload dan stress atau pajanan ke dinding
jantung (Lilly, 2011).
Nitrat juga dapat meningkatkan aliran pembuluh darah koroner dan
mencegah vasospasme melalui vasodilatasi pembuluh darah koroner. Selain untuk
menghilangkan gejala angina, nitrat juga dapat digunakan pada pasien Sindroma
Koroner Akut dengan gagal jantung dan hipertensi berat (Lilly, 2011).
o Antagonis kanal kalsium
Antagonis kanal kalsium seperti verapamil dan diltiazem dapat mengurangi
gejala dengan mengurangi frekuensi denyut jantung serta kontraktilitas melalui
efek vasodilatasi (Lilly, 2011).

o Anti trombotik
Tujuan pemberian antitrombotik termasuk juga antiplatelet dan
antikoagulan untuk mencegah efek lebih lanjut dari oklusi parsial yang ada di
trombus intrakoroner (Lilly, 2011).

Universitas Sumatera Utara


o Antiplatelet
Aspirin bekerja dengan mencegah sintesis platelet tromboksan A2, dimana
tromboksan A2 merupakan mediator aktivasi platelet dan aspirin merupakan salah
satu intervensi yang paling penting untuk mengurangi mortalitas pada seluruh
pasien dengan Sindroma Koroner Akut. Aspirin harus diberikan segera kepada
pasien dengan gejala Sindroma Koroner Akut tanpa kontraindikasi (Lilly, 2011).
Klopidogrel merupakan derivat tienopiridin yang dapat memblok aktivasi
P2Y, reseptor ADP pada platelet. Direkomendasikan untuk menggantikan agen
antiplatelet pada pasien dengan alergi terhadap aspirin. Terlebih lagi, penggunaan
kombinasi antara aspirin dengan klopidogrel lebih baik dibandingkan dengan
pemberian aspirin saja dalam mengurangi kematian akibat penyakit kardiovaskular
(Lilly, 2011).
Prasurgel merupakan salah satu dari derifat tienopiridine lainnya,
dimetabolisme lebih efisien dan memiliki efek antiplatelet yang lebih baik. Bila
dibandingkan klopidogrel, prasurgel telah menunjukkan penurunan kejadian
Sindroma Koroner Akut yang telah dilakukan percutaneus coronary intervention
namun dengan peningkatan resiko perdarahan (Lilly, 2011).
Antagonis glikoprotein IIb/IIIa dimana termasuk antibodi monoklonal
abciximab dan molekul kecil eptifibatide dan tirofiban adalah agen antiplatelet
yang poten untuk memblok agregasi platelet jalur final. Obat ini efektif untuk
mengurangi efek samping pada pasien Sindroma Koroner Akut yang telah
dilakukan percutaneous coronary intervention (Lilly, 2011).
o Antikoagulan
Unfractioned heparin bekerja dengan berikatan dengan antitrombin yang
meningkatkan potensi plasma protein sangat baik pada proses inaktivasi
pembentukan pembekuan trombin. Obat ini juga menginhibisi faktor koagulasi Xa
dan memperlambat pembentukan trombin (Lilly, 2011).
o Fibrinolitik
Obat fibrinolitik ini bekerja dengan mempercepat lisisnya oklusi dari
trombus lumen intrakoroner, sehingga mengembalikan aliran darah dan membatasi

Universitas Sumatera Utara


kerusakan otot jantung. Beberapa contoh obat fibrinolitik ini adalah alteplase
(tPA), reteplase (rPA), tenecteplase(TNK-tPA), dan streptokinase (Lilly, 2011).

o Terapi reperfusi
Alternatif pengobatan lainnya adalah, percutaneous coronary intervention
suatu metode untuk mengembalikan perfusi koroner dan mendapatkan aliran darah
yang optimal pada pembuluh darah yang infark. Terapi ini digunakan apabila pada
pasien yang sebelumnya telah diberikan terapi fibrinolisis namun tidak
menunjukkan perbaikan yang adekuat (Lilly, 2011).

2.6 Prognosis Sindroma Koroner Akut


Pasien dengan Sindroma Koroner Akut dapat memiliki prognosis yang
berbeda. Pada pasien Sindroma Koroner Akut dengan peningkatan konsentrasi
troponin terdapat peningkatan mortalitas pada hari ke 30 atau 6 bulan. Adanya
elevasi dari segmen ST merupakan prediktor kuat untuk menentukan prognosis
(Scottish, 2013).

2.7 Komplikasi Sindroma Koroner Akut

o Iskemia yang berulang


o Aritmia, seperti fibrilasi ventrikel, aritmia supraventrikular, blok konduksi
o Gagal jantung kongestif
o Syok kardiogenik
o Infark ventrikel kanan
o Komplikasi mekanis , seperti ruptur otot papilari,rupture septal ventrikel
o Perikarditis
o Tromboembolisme (Lilly, 2011)

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.1 Obat-obatan Sindroma Koroner Akut

No Jenis penyakit Gol.Obat Jenis Obat Cara Pemberian

1. Angina tak Nitrat Isorbida Intravena


stabil dinitrat
Beta – Bloker Metoprolol Intravena dan Oral
Antagonis Nifedipin Oral
kalsium
Anti agregasi Aspirin Oral
trombosit
Tiklodipin Oral
Antikoagulan Heparin (UFH) Intravena
Fondafarinux Intravena dan
Subkutan
Klopidogrel Oral
2. STEMI Nitrat Nitrogliserin Intravena dan Oral
Beta – Bloker Metoprolol Intravena dan Oral
Antikoagulan Heparin (UFH) Intravena
Fondafarinux Intravena dan
Subkutan
Enoxaparin Intravena dan
Subkutan
Fibrinolitik Activator Intravena
Plasminogen
Streptokinase Intravena

Universitas Sumatera Utara


Antiagregasi Aspirin Oral
trombosit
3. NSTEMI Nitrat Isorbida Oral dan sublingual
dinitrat
Nitrogliserin Intravena
Beta –Bloker Metoprolol Intravena dan Oral
Kalsium Verapamil Oral
antagonis
Diltiazem Oral
Antikoagulan Heparin (UFH) Intravena
Enoksaparin Intravena
Fondaparinux Intravena
Anti agregasi Aspirin Oral
trombosit
Klopidogrel Oral
Sumber : Gambaran Jenis dan Biaya Obat pada Pasien Rawat Inap dengan
Sindroma Koroner Akut pada di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan pada
Tahun 2009

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai