Anda di halaman 1dari 25

Pemikiran Mazhab Sunni (4 Imam Mazhab)

Oleh :
Isra Ardianto

Email: isra.ardianto026@gmail.com

ABSTRAK
Meskipun diyakni bahwa kehadiran Nabi dengan wahyu yang dibawanya telah
merangkum semua hal yang berhubungan dengan kehidupan umat manusia (li al-
‘alamîn) dan untuk sepanjang masa (khatamu al-nabîyîn), tetapi sesuai dengan
perkembangan berbagai faktor, umat Islam dituntut untuk mampu merumuskan
sendiri pemahaman dan penafsiran ajaran agama (pemikiran). Ahlus sunnah Wal
Jama’ah merupakan aliran pemikiran yang terlahir setelah munculnya aliran-aliran
Islam sepeninggal Rasulullah SAW. Dengan lahirnya pemikiran Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah menjadi petunjuk yang dapat meluruskan pemikiran umat Islam
yang menjadi sasaran penyesatan pemikiran oleh kaum pembenci Islam Kajian
dalam tulisan ini difokuskan pemikiran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Sunni)
berdasarkan empat mazhab yang menjadi haluan utama oleh aliran Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah.

Kata Kunci: Pemikiran Islam, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Mazhab.

ABSTRACT
Although it is believed that the presence of the Prophet with the revelations he
brought has summarized all matters relating to the life of mankind (li al-'alamîn)
and for all time (khatamu al-nabîyîn), but according to the development of various
factors, Muslims are required to formulate own understanding and interpretation
of religious teachings (thoughts). Ahlus Sunnah Wal Jama'ah is a school of
thought that was born after the emergence of Islamic sects after the Prophet
Muhammad left. With the birth of the thought of Ahlus Sunnah Wal Jama'ah to be

1
a clue that can straighten out the thoughts of Muslims who are the target of
misguided thoughts by Islamic haters. Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.

Keywords: Islamic Thought, Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Mazhab.

2
A. Pendahuluan

Hal mendasar yang perlu diketahui adalah pengertian mazhab, baik menurut
bahasa maupun istilah. Menurut bahasa, mazhab berarti pendirian (al-mu‘taqad),
jalan atau sistem (tariqah) dan sumber atau pendapat yang kuat (al-asl). Sedangkan
menurut istilah fikih, mazhab berarti pendapat salah seorang imam tentang hukum
masalah-masalah ijtihadiah dan kaidah-kaidah istinbat (kaidah-kaidah yang
diperlukan untuk menggali hukum) yang dirumuskan oleh seorang imam. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa mazhab berarti hasil ijtihad seorang imam
(mujtahid) tentang hukum suatu masalah, atau tentang kaidah-kaidah istinbat.
Adapun istilah Suni adalah nama lain dari aliran Ahl al-Sunnah wa al-
Jama’ah yang dinisbahkan kepada aliran teologi Asy’ariah dan Maturidiah.
Dinamai demikian, karena mereka berpegang kuat pada sunah Nabi saw. Mereka
sangat percaya dan menerima hadis-hadis sahih tanpa memilih dan melakukan
interpretasi lebih jauh. Istilah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah oleh Imam al-Asy’ari
disebut sebagai ahl al-hadis wa al-sunnah atau ahl al-haqq wa al-sunnah. Namun
dari semua itu, pemakaian istilah yang lebih populer adalah Ahl al-Sunnah wa al-
Jama’ah atau Suni. Aliran ini tidak hanya dianut oleh para teolog saja. Selain teolog,
di dalam aliran ini terdapat juga pakar-pakar dalam berbagai bidang keahlian,
seperti pakar dalam bidang fikih. Pemikiran fikih Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
dapat diketahui melalui pemikiran fukaha yang dapat mewakili aliran tersebut.
Dasar pemikiran mazhab Suni dapat diketahui melalui pemikiran fukaha di
kalangan aliran tersebut yang dipandang dapat mewakili pemikiran fikih mazhab
suni secara umum. Dalam hal ini, dapat dirujuk pemikiran para ahli fikih seperti
Imam Abu Hanifah, imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad ibn Hanbal.

B. Pengertian dan Sejarah Munculnya Ahlussunnah wal Jama’ah

Aswaja kepanjangan dari “Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”. Artinya orang-orang


yang menganut atau mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, dan Wal Jama’ah
berarti mayoritas umat atau mayoritas sahabat Nabi Muhammad SAW. Jadi
definisi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yaitu: “Orang-orang yang mengikuti sunnah

3
Nabi Muhammad SAW dan mayoritas sahabat (maa ana alaihi wa ashabii), baik
di dalam syariat (hukum Islam) maupun aqidah dan tasawuf.”1

As-Sunnah dalam istilah mempunyai beberapa makna. Dalam tulisan ringkas


ini tidak hendak dibahas makna-makna itu. Tetapi hendak menjelaskan istilah
"As-Sunnah" atau "Ahlus Sunnah" menurut petunjuk yang sesuai dengan i'tiqad
Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan: "....Dari Abu Sufyan Ats-Tsauri
ia berkata: "Berbuat baiklah terhadap ahlus-sunnah karena mereka itu ghuraba".

Yang dimaksud "As-Sunnah" menurut para Imam yaitu: Thariqah (jalan


hidup) Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dimana beliau dan para
sahabat berada di atasnya". Yang selamat dari syubhat dan syahwat", oleh karena
itu Al-Fudhail bin Iyadh mengatakan: "Ahlus Sunnah itu orang yang mengetahui
apa yang masuk kedalam perutnya dari (makanan) yang halal". Karena tanpa
memakan yang haram termasuk salah satu perkara sunnah yang besar yang pernah
dilakukan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat
Radhiyallahu 'anhum. Kemudian dalam pemahaman kebanyakan Ulama
Muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya. As-Sunnah itu ungkapan
tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i'tiqad khususnya dalam
masalah-masalah iman kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, para Malaikat -Nya,
Kitab-kitab -Nya, para Rasul -Nya, dan Hari Akhir, begitu juga dalam masalah-
masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan sahabat). Para Ulama itu
menyusun beberapa kitab dalam masalah ini dan mereka menamakan karya-karya
mereka itu sebagai "As-Sunnah". Menamakan masalah ini dengan "As-Sunnah"
karena pentingnya masalah ini dan orang yang menyalahi dalam hal ini berada di
tepi kehancuran. Adapun Sunnah yang sempurna adalah thariqah yang selamat
dari syubhat dan syahwat. Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah
Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah sahabatnya. AlImam
Ibnul Jauzi mengatakan: ".....Tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar

1
Munawir, “Aswaja NU Center dan Perannya sebagai Benteng aqidah” h. 62

4
pengikut atsar Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para sahabatnya
mereka itu Ahlus Sunnah".

Ahlusunnah Wal Jamaah terdiri dari tiga kata ahlun artinya golongan,
sunnah artinya hadis, dan jama’ah artinya mayoritas. Maksudnya golongan
orang-orang yang ibadah dan tingkah lakunya selalu berdasarkan pada Al-qur’an
dan hadits, sementara pengambilan hukum Islamya mengikuti mayoritas ahli fiqih
(sebagian besar ulama ahli hukum Islam). Dalam menjalankan ritual keagamaanya
kaum sunni, (sebutan kaum yang mengikuti paham Ahlusunnah wal jama’ah)
menganut salah satu dari satu mazhab empat: Hanafi, Maliki, Ayafi’I, dan
Hambali, serta mengikuti Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi dalam
bidang akidah keduanya di pandang sebagai ulama besar yang telah berjasa
mengibarkan bendera “Ahlusunnah Wal Jama’ah” dan menyatakan diri keluar
dari paham Mu’tazilah.2

Secara substansi aswaja sudah ada sejak zaman Nabi SAW. orang yang selalu
berjuang bersama Nabi SAW untuk menegakkan Islam dengan tetap
memperhatikan sisi rahmah li al-‘alamin dan masuk dalam klasifikasi ini adalah
sahabat Nabi SAW. mereka yang selalu menyertai Nabi SAW dalam berdakwah
dengan niat li i’la’ al kalimah al-‘ulya (menjunjung nama Allah yang tinggi)
itulah aswaja. Hal ini tidak diragukan lagi sebagaimana diceritakan dalam sejarah.
Bagaimana peran sahabat yang menemani Nabi SAW di saat sulit menyebarkan
agama tauhid di tengah-tengah masyarakat jahiliyyah.3

Secara historis pengenalan term ahlussunah waljama’ah sebagai suatu aliran,


baru mulai nampak pada ashab al-asy’ary (asya’irah—Sunni). Mereka itu adalah
al-Baqillani (403 H), al-Bagdadi (429 H), Al-juwaini (478 H). Meskipun
demikian tidak berarti secara tegas mereka membawa bendera aswaja sebagai
madzhabnya. Baru pernyataan itu mulai tegas ketika al-Zabidi (1205 H) dalam

2
Supyanto, “Konsep Ahlussunnah Waljama’ah Dalam Perspektif Kh. Hasyim Asy’ari Dan
Peran Politik NU Dalam Persiapan Kemerdekaan RI” h. 4
3
Muchammad Machfudz, “KONSEP AHLUS SUNNAH Tahqiq dan Dirasah Kitab Hujjah Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah Karangan K.H. Ali Maksum” hal. 26

5
Ithaff Sadat al-Muttaqin (syarah Ihya ulumu al-din) mengatakan idza uthliqa
ahlussunah fa al murad bihi al-asya’irah wal maturidiyah (jika diungkapkan kata
ahlussunah, maka yang dimaksud adalah penganut al-Asy’ari dan al-Maturidi).

Asy‟ariyah adalah nama aliran di dalam islam, nama lain dari aliran ini
adalah Ahlu Sunnah wal Jamaah. Aliran Asy‟ariyyah adalah aliran teologi yang
dinisbahkan kepada pendirinya, yaitu Abu al-Hasan Ali ibn Islmail alAsy‟ari. Ia
dilahirkan di Bashrah, besar dan wafat di Baghdad (260-324 H). Ia berguru pada
Abu Ali al-Jubbai, salah seorang tokoh Mu‟tazillah yang setia selama 40 tahun.
Setelah itu ia keluar dari Mu‟tazillah dan menyusun teologi baru yang berbeda
dengan Mu‟tazillah yang kemudian dikenal dengan sebutan Asy‟ariyyah, yakni
aliran atau paham Asy‟ari. Kasus keluarnya Asy‟ari ini menurut suatu pendapat
karena ia bermimpi bertemu dengan Rasulullah yang berkata kepadaya, bahwa
Mu‟tazillah itu salah dan yang benar adalah pendirian al-Hadis. Menurut aliran
Asy‟ariyyah, Allah mempunyai beberapa sifat dan sifat-sifat itu bukan zat-Nya
dan bukan pula selain zat-Nya, namun ada pada zatNya. Meskipun penjelasan
Asy‟ariyyah itu mengandung kontradiksi, hanya dengan itulah aliran tersebut
dapat melepaskan diri dari paham ta’addud al-qudama (banyaknya yang kadim)
setidak-tidaknya menurut pemikiran mereka.4

Islam madzhab Sunni adalah madzhab atau aliran dalam Islam yang eksis dan
dominan sepanjang sejarah, khususnya di kawasan Nusantara. Diawali dengan
hubungan dagang antara penduduk pribumi dengan pedagang Arab, Persia, India
dan Cina, penduduk Nusantara juga mengenal dan mengikuti agama dan madzhab
yang mereka anut. Dalam kerangka ini kaum sayid yang berasal dari Hadramaut
(Hadrami) mengambil peran penting dalam membangun model keberagamaan
penduduk nusantara, karena selain berdagang, mereka juga menyebarkan agama

4
Eri Susanti, “Aliran-aliran dalam Pemikiran Kalam” h. 37

6
Islam dan membangun tradisi. Mereka ini umumnya menganut madzhab Syafi’i
dan mendominasi corak keislaman pesisir Samudera Hindia.5

C. Prinsip-Prinsip Dasar Ahlussunnah Waljamaah


1. Beriman Kepada Allah, Para Malaikat-Nya, Kitab kitab-Nya, Rasul-Rasul-
Nya, Hari Akhir Dan Taqdir Baik Dan Buruk.

Beriman kepada Allah artinya berikrar dengan macam-macam tauhid yang


tiga serta beriti'qad dan beramal dengannya yaitu tauhid rububiyyah, tauhid
uluuhiyyah dan tauhid al-asmaa wa ash-shifaat. Adapun tauhid rububiyyah adalah
menatauhidkan segala apa yang dikerjakan Allah baik mencipta, memberi rizki,
menghidupkan dan mematikan; dan bahwasanya Dia itu adalah Raja dan
Penguasa segala sesuatu. Beriman kepada para malaikat-Nya artinya
membenarkan adanya para malaikat dan bahwasanya mereka itu adalah mahluk
dari sekian banyak mahluk Allah, diciptakan dari cahaya. Allah mencitakan
malaikat dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya dan menjalankan
perintahperintah-Nya di dunia ini. Beriman kepada kitab-kitab-Nya yakni
membenarkan adanya Kitab-kitab Allah beserta segala kandungannya baik yang
berupa hidayah (petunjuk) dan cahaya serta mengimani bahwasanya yang
menurunkan kitab-kitab itu adalah Allah sebagai petunjuk bagi seluruh manusia.
Dan bahwasanya yang paling agung diantara sekian banyak kitab-kitab itu adalah
tiga kitab yaitu Taurat, Injil dan Al-Qur'an dan diantara ketiga kitab agung
tersebut ada yang teragung yakni Al-Qur'an yang merupakan mu'jizat yang agung.
Beriman kepada rasul-rasul-Nya yakni membenarkan semua rasul-rasul baik yang
Allah sebutkan nama mereka maupun yang tidak; dari yang pertama sampai yang
terkahir, dan penutup para nabi tersebut adalah nabi kita Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam. Artinya pula, beriman kepada para rasul seluruhnya dan
beriman kepada Nabi kita secara terperinci serta mengimani bahwasanya beliau
adalah penutup para nabi dan rasul dan tidak ada nabi sesudahnya; maka
barangsiapa yang keimanannya kepada para rasul tidak demikian berarti dia telah

5
Ahmad Syafi’i Mufid, “Paham Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dan Tantangan Kontemporer
dalam Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia” h. 10

7
kafir. Termasuk pula beriman kepada para rasul adalah tidak melalaikan dan tidak
berlebih-lebihan terhadap hak mereka dan harus berbeda dengan kaum Yahudi
dan Nashara yang berlebih-lebihan terhadap para rasul mereka sehingga mereka
menjadikan dan memperlakukan para rasul itu seperti memperlakukan terhadap
Tuhanya (Allah). Beriman kepada hari akhrat yakni membenarkan apa-apa yang
akan terjadi setelah kematian dari hal-hal yang telah diberitakan Allah dan Rasul-
Nya baik tentang adzab dan ni'mat kubur, hari kebangkitan dari kubur, hari
berkumpulnya manusia di padang mahsyar, hari perhitungan dan ditimbangnya
segala amal perbuatn dan pemberian buku laporan amal dengan tangan kanan atau
kiri, tentang jembatan (sirat), serta syurga dan neraka. Beriman kepada taqdir
yakni beriman bahwasanya Allah itu mengetahui apa-apa yang telah terjadi dan
yang akan terjadi; menentukan dan menulisnya dalam lauhul mahfudz ; dan
bahwasanya segala sesuatu yang terjadi, baik maupun buruk, kafir, iman, ta'at,
ma'shiyat, itu telah dikehendaki, ditentukan dan diciptakan-Nya ; dan bahwasanya
Allah itu mencintai keta'atan dan membenci kemashiyatan. Sedang hamba Allah
itu mempunyai kekuasaan, kehendak dan kemampuan memilih terhadap
pekerjaan-pekerjaan yang mengantar mereka pada keta'atan atau ma'shiyat, akan
tetapi semua itu mengikuti kemauan dan kehendak Allah. Berbeda dengan
pendapat golongan Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia terpaksa dengan
pekerjaan-pekerjaannya tidak memiliki pilihan dan kemampuan sebaliknya
golongan Qodariyah mengatakan bahwasanya hamba itu memiliki kemauan yang
berdiri sendiri dan bahwasanya dialah yang menciptkan pekerjaan dirinya,
kemauan dan kehendak hamba itu terlepas dari kemauan dan kehendak Allah.

2. Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah: bahwasanya


iman itu perkataan, perbuatan dan keyakinan yang bisa bertambah dengan
keta'atan dan berkurang dengan kema'shiyatan, maka iman itu bukan hanya
perkataan dan perbuatan tanpa keyakinan sebab yang demikian itu merupakan
keimanan kaum munafiq, dan bukan pula iman itu hanya sekedar ma'rifah
(mengetahui) dan meyakini tanpa ikrar dan amal sebab yang demikian itu

8
merupakan keimanan orang-orang kafir yang menolak kebenaran. Bukan pula
iman itu hanya suatu keyakinan dalam hati atau perkataan dan keyakinan tanpa
amal perbuatan karena yang demikian adalah keimanan golongan Murji'ah.

3. Dan diantara prinsip-prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah


bahwasanya mereka tidak mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin kecuali
apabila dia melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya. Adapun
perbuatan dosa besar selain syirik dan tidak ada dalil yang menghukumi
pelakunya sebagai kafir. Misalnya meninggalkan shalat karena malas, maka
pelaku (dosa besar tersebut) tidak dihukumi kafir akan tetapi dihukumi fasiq dan
imannya tidak sempurna. Apabila dia mati sedang dia belum bertaubat maka dia
berada dalam kehendak Allah. Jika Dia berkehendak Dia akan mengampuninya,
namun si pelaku tidak kekal di neraka, dan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah
dalam masalah ini berada di tengah-tengah antara Khawarij yang mengkafirkan
orang-orang yang melakukan dosa besar walau bukan termasuk syirik dan
Murji'ah yang mengatakan si pelaku dosa besar sebagai mu'min sempurna
imannya, dan mereka mengatakan pula tidak berarti suatu dosa/ma'shiyat dengan
adanya iman sebagaimana tak berartinya suatu perbuatan ta'at dengan adanya
kekafiran.

4. Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah wajibnya ta'at
kepada pemimpin kaum muslimin selama mereka tidak memerintahkan untuk
berbuat kema'skshiyatan, apabila mereka memerintahkan perbuatan ma'shiyat,
dikala itulah kita dilarang untuk menta'atinya namun tetap wajib ta'at dalam
kebenaran lainnya, dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah memandang bahwa ma'shiyat
kepada seorang amir yang muslim itu merupakan ma'shiyat kepada Rasul
Shallallahu 'alaihi wa sallam, demikian pula, Ahlus Sunnah wal Jama'ah-pun
memandang bolehnya shalat dan berjihad dibelakang para amir dan menasehati
serta medo'akan mereka untuk kebaikan dan keistiqomahan.

5. Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah haramnya

9
keluar untuk memberontak terhadap pemimpin kaum muslimin apabila mereka
melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk amalan
kufur. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
tentang wajibnya ta'at kepada mereka dalam hal-hal yang bukan ma'shiyat dan
selama belum tampak pada mereka kekafiran yang jelas. Berlainan dengan
Mu'tazilah yang mewajibkan keluar dari kepemimpinan para imam/pemimpin
yang melakukan dosa besar walaupun belum termasuk amalan kufur dan mereka
memandang hal tersebut sebagai amar ma'ruf nahi munkar. Sedang pada
kenyataannya, keyakinan Mu'tazilah seperti ini merupakan kemunkaran yang
besar karena menuntut adanya bahaya-bahaya yang besar baik berupa kericuhan,
keributan, perpecahan dan kerawanan dari pihak musuh.

6. Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah bersihnya hati
dan mulut mereka terhadap para sahabat Rasul Radhiyallahu 'anhum. Berlainan
dengan sikap orang-orang ahlul bid'ah baik dari kalangan Rafidhoh maupun
Khawarij yang mencela dan meremehkan keutamaan para
sahabat. Ahlus Sunnah memandang bahwa para khalifah setelah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Abu Bakar, kemudian Umar bin Khattab,
Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhumajma'in.
Barangsiapa yang mencela salah satu khalifah diantara mereka, maka dia lebih
sesat daripada keledai karena bertentangan dengan nash dan ijma atas
kekhalifahan mereka dalam silsilah seperti ini.

7. Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah mencintai


ahlul bait. Sedang yang termasuk keluarga beliau adalah istri-istrinya sebagai ibu
kaum mu'minin Radhiyallahu 'anhunna wa ardhaahunna. Dan sungguh Allah telah
berfirman tentang mereka setelah menegur mereka. Pada pokoknya ahlul bait itu
adalah saudara-saudara dekat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang
dimaksud disini khususnya adalah yang sholeh diantara mereka. Sedang sudara-
saudara dekat yang tidak sholeh seperti pamannya, Abu Lahab maka tidak

10
memiliki hak. Maka sekedar hubungan darah yang dekat dan bernisbat kepada
Rasul tanpa keshalehan dalam ber-din (Islam), tidak ada manfaat dari Allah
sedikitpun baginya. Dan saudara-saudara Rasulullah yang sholeh tersebut
mempunyai hak atas kita berupa penghormatan, cinta dan penghargaan, namun
kita tidak boleh berlebih-lebihan terhadap mereka dengan mendekatkan diri
dengan suatu ibadah kepada mereka. Adapaun keyakinan bahwa mereka memiliki
kemampuan untuk memberi manfaat atau madlarat selain dari Allah adalah bathil.

8. Dan diantara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah membenarkan adanya
karomah para wali yaitu apa-apa yang Allah perlihatkan melalui tangan-tangan
sebagian mereka, berupa hal-hal yang luar biasa sebagai penghormatan kepada
mereka sebagaimana hal tersebut telah ditunjukkan dalam Al-Qur'an dan As-
Sunnah. Sedang golongan yang mengingkari adanya karomah-karomah tersebut
daintaranya Mu'tazilah dan Jahmiyah, yang pada hakikatnya mereka mengingkari
sesuatu yang diketahuinya. Akan tetapi kita harus mengetahui bahwa ada sebagian
manusia pada zaman kita sekarang yang tersesat dalam masalah karomah, bahkan
berlebih-lebihan, sehingga memasukkan apa-apa yang sebenarnya bukan termasuk
karomah baik berupa jampijampi, pekerjaan para ahli sihir, syetan-syetan dan para
pendusta. Perbedaan karomah dan kejadian luar biasa lainnya itu jelas, Karomah
adalah kejadian luar biasa yang diperlihatkan Allah kepada para hamba-Nya yang
sholeh, sedang sihir adalah keluar biasaan yang biasa diperlihatkan para tukang
sihir dari orang-orang kafir dan atheis dengan maksud untuk menyesatkan
manusia dan mengeruk harta-harta mereka. Karomah bersumber pada keta'atan,
sedang sihir bersumber pada kekafiran dan ma'shiyat.

9. Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah bahwa dalam
berdalil selalu mengikuti apa-apa yang datang dari Kitab Allah dan atau Sunnah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam baik secara lahir maupun bathin dan
mengikuti apa-apa yang dijalankan oleh para sahabat dari kaum Muhajirin
maupun Anshar pada umumnya dan khususnya mengikuti Al-Khulafaur-rasyidin.
Dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak mendahulukan perkataan siapapun terhadap

11
firman Allah dan sabda Rasulullah. Oleh karena itu mereka dinamakan Ahlul
Kitab Was Sunnah. Setelah mengambil dasar Al-Qur'an dan AsSunnah, mereka
mengambil apa-apa yang telah disepakati ulama umat ini. Inilah yang disebut
dasar yang pertama; yakni Al-Qur'an dan As- Sunnah. Segala hal yang
diperselisihkan manusia selalu dikembalikan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah.
Ahlus Sunnah tidak meyakini adanya kema'shuman seseorang selain Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka tidak berta'ashub pada suatu pendapat
sampai pendapat tersebut bersesuaian dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Mereka
meyakini bahwa mujtahid itu bisa salah dan benar dalam ijtihadnya. Mereka tidak
boleh berijtihad sembarangan kecuali siapa yang telah memenuhi persyaratan
tertentu menurut ahlul 'ilmi. Perbedaan-perbedaan diantara mereka dalam masalah
ijtihad tidak boleh mengharuskan adanya permusuhan dan saling memutuskan
hubungan diantara mereka, sebagaimana dilakukan orang-orang yang ta'ashub dan
ahlul bid'ah. Sungguh mereka tetap metolerir perbedaan yang layak (wajar),
bahkan mereka tetap saling mencintai dan berwali satu sama lain; sebagian
mereka tetap shalat di belakang sebagian yang lain betapapun adanya perbedaan
masalah far'i (cabang) diantara mereka. Sedang ahlul bid'ah saling memusuhi,
mengkafirkan dan menghukumi sesat kepada setiap orang yang menyimpang dari
golongan mereka.6

D. Empat Mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah


1. Mazhab Hanafi
Pendiri madzhab ini adalah Imam Abu Hanifah, dengan nama lengkap an-
Nu’man bin Tsabit bin Zutha bin Mahmuli Taymillah bin Tsa’labah. Beliau
dilahirkan pada tahun 80 H (659 M) di sebuah desa di wilayah pemerintahan
Abdullah bin Marwan dan meninggal pada masa khalifah Abu Ja’far alMansur
pada tahun 105 H. Kakeknya berangkat menemui Ali bin Abi Thalib (ketika itu
beliau masih kecil) agar mendoakan cucunya itu supaya diberkati kehidupannya

6
Syaikh Dr Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan, “Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah Wal-
Jama'ah” h. 16-36

12
dan keturunannya. Imam Abu Hanifah merupakan imam yang pertama lahir dan
lebih dahulu daripada imam madzhab empat yang lainnya. Beliau terkenal sebagai
seorang yang ahli dalam ilmu fiqih di Irak dan pendiri Madrasah Ahli Ra’yi.7

Kakek Imam Abu Hanifah adalah Zautha yang berasal dari kabul
(Afghanistan), yaitu tawanan perang, karena dia berperang melawan Utsman bin
Affan sewaktu menaklukan Persia. Penaklukan tersebut bukan hanya di Persia
tetapi sampai ke Khurasan dan Afghanistan, sedangkan Zautha termasuk salah
satu menjadi tawanan perang, akhirnya diserahkan kepada tentara Islam yang
menang dalam peperangan tersebut. Setelah menjadi tawanan perang ia dijadikan
budak dan akhirnya bebas dari budak karena telah masuk Islam. Setelah
dibebaskan dari perbudakan ia menetap di Kuffah dan selanjutnya ia berdagang
sutera di kota Kuffah dan lahirlah anaknya yg diberi nama Tsabit yaitu ayah dari
Abu Hanifah. Abu Hanifah adalah panggilan dari Nu’man ibnu Tsabit bin Zautha.
Dalam hal ini terjadi beberapa riwayat tentang panggilan Abu Hanifah, antara
lain, yaitu:

1. Karena salah satu anaknya bernama Hanifah, maka Abu hanifah berarti bapak
dari Hanifah.
2. Dia adalah seorang yang sangat taqwa kepada Allah, dan prinsipnya tidak
dapat digoyahkan, dia tetap berprinsip teguh dengan agama Islam. Dia tidak
akan tergoyahkan dengan bujukan apapun yang diajukan kepadanya, baik itu
menguntungkan terlebih lagi yang dapat merugikan dirinya. Misalnya dia
akan diangkat menjadi pembesar oleh Khalifah dengan syarat Abu Hanifah
harus meninggalkan prinsipnya. Dalam hal ini abu Hanifah lebih baik dia
dipenjara daripada dia harus meninggalkan prinsipnya. Demikian kuat prinsip
dari Imam Abu Hanifah. Dengan demikian Abu Hanifah berarti berasal dari
kata Abu yang berarti hamba, dan Hanifah berarti cenderung atau condong
berbuat baik dan taat. Dengan demikian Abu Hanifah berarti hamba Allah
yang ncenderung berbuat kebaikan dan taat kepada Allah.

7
Abdurrahman Kasdi, “Metode Ijtihad Dan Karakteristik Fiqih Abu Hanifah” hal. 217

13
3. Karena paling cinta pada tinta untuk menulis, sehingga beliau dipanggil oleh
guru dan teman-temannya dengan Abu hanifah, karena Hanifah dalam bahasa
Iraq berarti Tinta, jadi Abu Hanifah berarti Bapaknya Tinta.
4. Terlepas dari keseluruhan panggilan terhadap Abu Hanifah karena sesuai
dengan tingkah laku, perbuatan, ucapan, amalan, dan ketekunannya serta cita-
cita luhur yang dia miliki. Abu Hanifah pada mulanya gemar belajar ilmu
qira’at, hadits, sastra, nahwu, syi’ir, teologi dan ilmu-ilmu lainnya yang
berkembang pada masa itu. Diantara ilmu yang diminatinya adalah dibidang
Teologi, sehingga ia menjadi salah seorang tokoh terpandang dalam ilmu
tersebut. Karena ketajaman pemikirannya, ia sanggup menangkis serangan
golongan Khawarij yang doktrin ajarannya sangat ekstrim.

Sumber syari’at Islam bagi Abu Hanifah adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah,
sebagaimana ulama lainnya. Hanya saja Abu Hanifah sangat hati-hati dalam
menerima hadis atau riwayat. Ia tidak menerima suatu riwayat kecuali riwayat itu
berasal dari jama’ah atau riwayat itu disepakati oleh fuqaha suatu negeri dan
diamalkan. Riwayat lain yang diterimanya adalah riwayat ahad yang diriwayatkan
oleh sahabat dalam jumlah banyak, tetapi belum mencapai derajat mutawatir,
yang tidak dipertentangkan. Kehati-hatian Imam Abu Hanifah dalam menerima
riwayat dan lebih banyak menggunakan ra’yu (ijtihad) menyebabkan ia
digolongkan sebagai ahl al-ra’yu. Ini disebabkan karena kurangnya riwayat yang
sampai kepadanya. Langkah ijtihad yang ditempuh oleh Abu Hanifah dapat
dipahami dari ungkapannya sebagai berikut:
“Sesungguhnya saya memberikan hukum berdasarkan Al-Qur’an. Apabila tidak
saya jumpai di dalam Al-Qur’an, saya gunakan sunnah dan atsar Rasulullah
(sahabat?) yang shahih yang tersebut di kalangan orang-orang handal (tsiqah).
Apabila saya tidak dapatkan dari keduanya (Al-Qur’an dan Sunnah), saya
berpegang pada pendapat siapa saja dari sahabat Rasulullah yang saya sukai
dan saya tinggalkan yang tidak saya sukai, dan saya tidak beralih dari pendapat
mereka kepada pendapat selainnya, serta apabila permasalahan telah sampai

14
kepada ibrahim, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Ibnu Sirin dan Sa’id bin Al-Musayyab,
saya berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.
Dari ungkapan tersebut dapat dipahami bahwa Imam Abu Hanifah dalam
mengeluarkan pendapat-pendapatnya, menggunakan Al-Qur’an dan Sunnah
sebagai landasan. Namun bila dalam keduanya tidak ditemukan, ia menggunakan
pendapat-pendapat sahabat yang ia senangi dan meninggalkan yang lain.
Kalaupun ia belum menemukannya ia berijtihad sesuai kemampuan yang ia
miliki. Ia tidak akan mengambil pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh ulama
yang ia anggap selevel dengannya. Kalimat sahabat yang ia senangi sebenarnya
secara sepintas menyiratkan sifat pilih kasih Abu Hanifah terhadap para sahabat
Rasul. Namun demikian sudah barang tentu ia memiliki alasan mengapa ia
menyukai sahabat yang satu dan membenci sahabat yang lain. Abu Hanifah
adalah orang pertama yang sibuk dengan fiqih prediksi, yakni memaparkan
permasalahan yang belum terjadi dan menjelaskan hukumhukumnya dengan
harapan bila peristiwa itu terjadi maka hukumnya telah tersedia.8

2. Mazhab Maliki
Imam Malik bin anas, pendiri mazhab Maliki, dilahirkan di Madinah, pada
tahun 93 H. Beliau berasal dari Kabilah Yamaniah. Sejak kecil beliau telah rajin
menghadiri majlis-majlis ilmu pengetahuan sehingga sejak kecil itu pula beliau
telah hafal Al-Qur’an. Tak kurang dari itu, ibundanya sendiri yang mendorong
Imam Malik untuk senantiasa giat menuntut ilmu.9
Imam Malik menimba ilmu dari semua Ulama di Madinah, baik ahli hadis
maupun ahli fikih. Ia belajar hadis dari sekian banyak ulama dan gurunya yang
paling terkenal dalam bidang hadis antara lain adalah alZuhri, Nafi’ Maula ibn
Umar dan Hidyam ibn Zubair. Ia dalam bidang fikih, ia dari fuqaha di Madinah
yang dikenal dengan fuqaha al-Sab’ah. Ia disebut-sebut sebagai tokoh utama
eksklusifisme sunah ulama Madinah yang ditandai dengan karya monumentalnya,

8
Hadi Daeng Mapuna, “Pembentukan Dan Perkembangan Hukum Islam Pada Masa
Kodifikasi Dan Imam-Imam Mujtahid”, h. 184
9
Muhammad Jawad Mughniyah, “Fiqih Lima Mazhab”, h. 23

15
al-Muwatta’. Karya ini merupakan kitab hadis sekaligus sebagai kitab fikih.
Sebagai kitab hadis, Muwatta’ terklasifikasi dalam al-kutub al-tis‘ah. Al-Muwatta'
sebagai kitab fikih berdasarkan himpunan hadis-hadis pilihan dan menjadi salah
satu rujukan penting para ulama kontemporer. Karya terbesar imam Malik ini
dinilai memiliki banyak keistimewaan. Kitab tersebut disusun berdasarkan
klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadis dan
fatwa sahabat. Selain Al-Muwatta', Imam Malik juga menyusun kitab Al-
Mudawwanah al-Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas
berbagai masalah. Imam Malik tidak hanya meninggalkan warisan berupa buku,
melainkan juga mewariskan Mazhab Fikih di kalangan Islam Sunni, yang disebut
sebagai Mazhab Maliki. Disamping konsisten memegang teguh hadis, mazhab ini
juga dikenal memprioritaskan aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum.
Secara berurutan, sumber hukum yang dikembangkan dalam Mazhab Maliki
adalah Al-Qur'an, Sunnah Rasulullah saw., amalan sahabat, tradisi masyarakat
Madinah (amal ahli al-Madinah), qiyas (analogi), dan al-Maslahah al-
Mursalah.10

Beberapa hal yang menarik yang dapat diamati dari pemikiran dan dasar-
dasar mazhab Maliki dalam melakukan ijtihad adalah sebagai berikut:
1. Imam Malik mendahulukan orang-orang Madinah sebelum ia melakukan
pemikiran ijihadnya dengan ra’yu dan qiyas. Bagi Imam Malik, perbuatan
orang-orang Madinah dianggap memiliki kehujjahan yang sejajar dengan
Sunnah Nabi, bahkan Sunnah Mutawatirah. Ia beranggapan pewarisan tradisi
orang Madinah dilakukan secara massal dari generasi ke generasi sehingga
menutup kemungkinan ternjadinya penyelewengan dari sunnah.
2. Imam Malik menganggap dan menggunakan qaul sahabat sebagai dali syar’i
yang harus didahulukan penggunaannya daripada Qiyas. Walaupun
belakangan pandangan ini banyak diprotes keras, dia tetap berpandangan

10
Hj. Andi Herawati, “Maslahat Menurut Imam Malik Dan Imam Alghazali (Studi
Perbandingan)”, h. 44

16
pentingnya mengedepankan pemikiran dan pandangan sahabat dalam bentuk
qaul fikih dan fatwanya walaupun di dalamnya terdapat sahabat yang
dianggap tidak ma’shum.
3. Kecenderungan yang kuat dalam penggunaan al-maslahah mursalah
Metodologi ini pada awalnya merupakan khas pemikiran Imam Malik yang
diduga kuat merupakan pengaruh dari pemikiran tokoh fikih sahabat, seperti
Umar bin Khaththab. Metode ini kemudian mendapat legitimasi dari semua
mazhab sesudahnya meskipun dengan sebutan yang berbeda. Dalam teori ini
dapat diketahui bahwa Imam Malik di satu sisi sangat kuat dan populer
dengan penggunaan hadits, ia juga tetap menggunakan rasio.
4. Imam Malik sangat toleran terhadap penggunaan hadits ahad. Ini merupakan
salah satu indikator bahwa tradisi bahwa tradisi orang Madinah dalam bentuk
hadits ahad bagi Imam Malik merupakan Hujjah.

Pemikiran Maliki merupakan antitesis dari Mazhab Hanafi yang rasionalis.


Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi hal ini. Pertama, Imam Malik adalah
keturunan Arab yang bermukim di daerah Hijaz. Daerah Hijaz merupakan daerah
pusat perbendaraan hadits Nabi SAW, sehingga setiap masalah yang muncul
dengan mudah beliau menjawabnya dengan menggunakan sumber hadits nabi
atau fatwa sahabat. Kedua, semasa hidup beliau tidak pernah meninggalkan
tempat tinggalnya dan hanya keluar untuk menunaikan ibadah haji, sehingga
beliau tidak pernah bersentuhan dengan kompleksitas budaya. Ketiga, kehidupan
ilmiah beliau dimulai dengan menghafal Qur’an kemudian menghafal hadits Nabi
Saw.11

3. Mazhab Syafi’i

Imam al-Syafi‟i dilahirkan di Ghuzzah (Gazah) nama suatu kampung


termasuk daerah Palestina – Syam – wialayah Asqalan, pada bulan Rajab tahun
150 H. (767). Bersamaan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah. Kemudian beliau

11
Danu Aris Setiyanto, “Pemikiran Hukum Islam Imam Malik Bin Anas (Pendekatan
Sejarah Sosial)”, h. 110-111

17
dibawa ibunya ke Mekah dan dibesarkan di sana. Imam al-Syafi‟I wafat di Mesir
pada tahun 204 H (819 M). Nama lengkap Imam al-Syafi‟i adalah Abu Abdillah
Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Syafi‟i ibn Sa‟ib ibn „Ubaid ibn Yazid ibn
Hasyim ibn Abd. Al-Muthallib ibn Abd al-Manaf ibn Qushay al-Quraisyiy. Abd.
Al-Manaf ibn Qushay kakek ke sembilan dari Imam al-Syafi‟i adalah adalah Abd.
Manaf ibn Qushay kakek keempat dari Nabi Muhammad SAW. Jadi nasab Imam
al-Syafi‟i bertemu dengan nasab Nabi Muhammad SAW pada Abd. Manaf.
Adapun nasab Imam al-Syafi‟i bin Fathimah binti Abdullah Ibn Hasan ibn Husen
ibn Ali ibn Abi Thalib. Dengan demikian, maka ibu Imam al-Syafi‟i adalah cucu
dari Sayyidina Ali ibn Abi Thalib, menantu Nabi Muhammad SAW, dan khalifah
keempat yang terkenal. Dalam sejarah ditemukan, bahwa Sa‟ib ibn Yazid kakek
Imam al-Syafi‟i yang kelima adalah sahabat Nabi Muhammad SAW.12

Imam Syafi'i dengan usaha ibunya telah dapat menghafal al-Qur'an dalam
umur yang masih sangat muda (9 tahun) dan umur sepuluh tahun sudah hafal
kitab al-Muwattha' karya Imam Malik. Kemudian ia memusatkan perhatian
menghafal hadis. Imam Syafi’i belajar hadis dengan jalan mendengarkan dari para
gurunnya, kemudian mencatatnya. Di samping itu ia juga mendalami bahasa Arab
untuk menghindari pengaruh bahasa ‘Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab
pada saat itu, untuk pergi ke daerah Huzail untuk belajar bahasa selama sepuluh
tahun. Di samping itu ia mendalami bahasa Arab untuk menjauhkan diri dari
pengaruh ‘Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab pada masa itu. Ia pergi ke
Kabilah Huzail yang tinggal di pedusunan untuk mempelajari bahasa Arab yang
fasih. Sepuluh tahun lamanya Imam Syafi'i tinggal di Badiyah itu, mempelajari
syair, sastra dan sejarah. Ia terkenal ahli dalam bidang syair yang digubah
golongan Huzail itu, amat indah susunan bahasanya. Di sana pula ia belajar
memanah dan mahir dalam bermain panah. Dalam masa itu Imam Syafi'i
menghafal al-Qur'an, menghafal hadis, mempelajari sastra Arab dan memahirkan

12
Abu Azam Al Hadi, “Pemikiran Hukum Imam Abu Hanifah Dan Imam Al-Syafi’i
Tentang Zakat Madu”, h. 134

18
diri dalam mengendarai kuda dan meneliti keadaan penduduk-penduduk Badiyah
dan penduduk-penduduk kota.13

Metodologi pemikiran Imam Syafi’i ini, ternyata menjadi model yang paling
khas di antara beberapa model yang digunakan untuk mendekati dan menggali
suatu hukum. Sisi lain yang tak kalah menarik adalah, bahwa metodologi
pemikiran Imam Syafi’i sejak diterbitkannya hingga kini belum ada tandingannya.
Disinilah urgensitas sebuah metodologi yang memiliki daya aktualitas sepanjang
sejarah, suatu metodologi yang langsung mengadopsi logika al-Quran. Ia
membagi hukum syara’ menjadi dua. Pertama: pengetahuan hukum syara’ yang
didasarkan pada al-Quran dan hadits akan menghasilkan kebenaran hukum secara
lahir dan batin. Oleh karenanya harus dipatuhi oleh seluruh umat muslim dan
tidak seorangpun yang boleh meragukannya. Kedua: pengetahuan hukum syara’
yang diperoleh melalui ijtihad, yaitu dengan menggunakan indikasi yang ada. Hal
ini akan sampai pada kebenaran hukum yang lahir saja, dan belum tentu benar
menurut bathinnya, yaitu menurut ulama lainnya. Sebab tidak ada yang
mengetahui yang gaib selain Allah.14

4. Mazhab Hambali

Imam Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal Al-Syaibani dilahirkan di Baghdad


(Iraq) tepatnya dikota Maru/Merv, kota kelahiran sang ibu, pada bulan Robi`ul
Awwal tahun 164 H atau Nopember 780 M. Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn
Muhammad Ibn Hanbal Ibn Hilal Ibn As`ad Ibn Idris Ibn Abdillah Ibn Hayyan
Ibn Abdillah Ibn Anas Ibn `Auf Ibn Qosit Ibn Mazin Ibn Syaiban Ibn Zulal Ibn
Ismail Ibn Ibrahim. Dengan kata lain, Ia adalah keturunan Arab dari suku banu
Syaiban, sehingga diberi laqab Al-Syaibani. Diberi julukan Abu Abdillah.
Kakeknya, Hanbal Ibn Hilal adalah Gubernur Sarakhs yang bersama dinasti
Abbasiyah aktif menentang dinasti Umayyah di Khurasan. Ayahnya bernama

13
Moh. Ahfas, “Pemikiran Imam Syafi’i Tentang Kehujjahan Hadis Dalam Kitab Ar-Risalah
(Studi Analisis)”, h. 54-55

14
Abdul Haris Naim, “Moderasi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi’i”, h. 195

19
Muhammad, dan ibunya bernama Shafiyah binti Maimunah binti Abdul Malik al-
Syaibai. Dengan kata lain, beliau keturunan Arab dari suku Bani Syaiban,
sehingga diberi lakab al-Syaibani. Ketika Ahmad masih kecil, ayahnya berpulang
ke rahmatullah dengan hanya meninggalkan harta pas-pasan untuk menghidupi
keluarganya. Dan semenjak ayahnya meninggal, sang ibu tidak menikah lagi,
meskipun ia masih muda dan banyak lelaki yang melamarnya. Hal itu dilakukan
dengan tujuan agar ia bisa memfokuskan perhatian kepada Ahmad sehingga bisa
tumbuh sebagaimana yang ia harapkan. Ketika Ahmad Ibn Hanbal masih kecil,
ayahnya meninggal dunia berpulang kehadirat Allah swt dengan hanya
meninggalkan harta yang sedikit untuk menghidupi keluarganya. Sebuah riwayat
menceritakan bahwa jika Ahmad Ibn hanbal ditanya mengenai asal-usul sukunya,
maka dia mengatakan bahwa ia adalah anak dari suku orang-orang miskin. Imam
Ahmad hidup sebagai seorang yang rendah dan miskin, karena bapaknya tidak
meninggalkan warisan padanya selain dari sebuah rumah yang kecil yang di
diaminya, dan sedikit tanah yang sangat kecil penghasilannya. Oleh karena itu
beliau menempuh kehidupan yang susah beberapa lama sehingga beliau terpaksa
bekerja untuk mencari kebutuhan hidup sendiri.15
Kecintaan Ahmad kepada hadis mendorongnya untuk melakukan rihlah
(perjalanan) mencari hadis. Ahmad menemui syaikh-syaikh hadis di berbagai
daerah untuk menerima periwayatan hadis. Dia mulai mempelajari hadis di
Baghdad tahun 179 H. Ketika masih berumur 15 tahun. Selama tujuh tahun dia
menekuni hadis di kota ini dengan menemui lebih dari 20 orang syaikh hadis,
antara lain Hasyim ibn Basyir. Tahun 186 H, dia belajar ke Bashrah. Setahun
kemudian dia pergi ke Hijaz. Selanjutnya dia melakukan perjalanan lagi ke
Bashrah, Kufah, Hijaz dan Yaman. Tercatat sebanyak lima kali Ahmad
berkunjung ke Bashrah dan lima kali pula ke Hijaz. Ketika pergi ke Mekah,
Ahmad bertemu untuk pertama kalinya dengan Imam Syafi'i dan Ahmad langsung
berguru kepadanya tentang fikih dan ushul fikih. Pertemuan selanjutnya antara
mereka terjadi ketika Syafi'i berkunjung ke Baghdad. Setelah setahun menuntut

15
Abdul Karim, “Manhaj Imam Ahmad Ibn Hanbal Dalam Kitab Musnadnya”, h. 353-354

20
ilmu dan memiliki perbendaharaan ilmu yang kaya, terutama tentang hadis dan
fikih, Ahmad mendirikan majelis sendiri di kota Baghdad ketika usianya telah
mencapai 40 tahun. Dia mulai berijtihad sendiri, mengeluarkan fatwa dan
mengajari murid-muridnya. Batas usia 40 tahun dipandangnya sebagai ukuran
kematangan pribadi dan pengetahuan seseorang. Rasulullah saw. diangkat
menjadi rasul ketika berumur 40 tahun dan Imam Abu Hanifah mulai mendirikan
majelis sendiri setelah mencapai usia tersebut. Meskipun demikian bukan berarti
Ahmad sama sekali tidak mengeluarkan fatwa dan mengajarkan ilmu sebelum
berumur 40 tahun. Dia telah juga melakukan kegiatan tersebut secara terbatas dan
tanpa mendirikan majelis sendiri.16

Pemikiran hadîts Imam Ahmad dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Menurut Imam Ahmad, hadîts dla’if lebih diutamakan daripada pendapat akal
(qiyas).
b. Imam Ahmad memberi pernyataan bahwa dalam kitab musnad-nya ia
mencantumkan hadits-hadits yang shahih menurutnya.
c. Imam Ahmad tidak menulis hadîts dalam kitab musnad-nya, yang
menurutnya bertentangan dengan hadîts lain.
d. Imam Ahmad tidak pernah meriwayatkan dari orang yang dla’if, sekalipun ia
orang baik.
e. Imam Ahmad ingin semua perawi yang ada dalam musnad-nya adalah orang-
orang yang tsiqqah, dan beliau tetap meriwayatkan hadîts yang sama namun
dari selain orang yang ia anggap dla’if atau tidak bernilai baginya.
f. Imam Ahmad menulis kitab musnad-nya berdasarkan urutan nama-nama
sahabat.

Tidak semua pemikiran Imam Ahmad ada relevansinya terhadap sosio-politik


pada masanya. Ada beberapa hal yang berkaitan, seperti keberadaan hadîts dla’if
dalam kitab musnad Imam Ahmad dan model penulisannya yang menggunakan
sistem musnad. Adapun penjelasannya dapat disimpulkan sebagai berikut, yaitu:

16
Marzuki, “Ahmad Bin Hanbal(Pemikiran Fikih Dan Ushul Fikihnya)”, h. 109

21
a. Perbedaan dasar penilaian keautentikan hadîts dari kelompok ahl al-ra’yi
yang mengakibatkan kecenderungan kurangnya memperhatikan masalah
isnad, dan lebih banyak mengutip pendapat seorang tokoh ulama,
mengakibatkan munculnya gagasan dan gerakan dari sebagian ulama untuk
menjaga keautentikan hadîts dengan mencatat hadîts lengkap sanad-nya
hingga Rasulullah saw. Selain itu, patronase khalifah terhadap para ulama dan
tradisi rihlah ‘ilmiyyah yang pada pertengahan kedua abad kedua, juga
menjadi faktor penting yang perlu dicatat penyebab munculnya fenomena
penulisan musnad. Bagian ini, merupaka bentuk kepedulian mereka atas
pentingnya menjaga kemurnian sumber agama Islam yang dibawa oleh
Rasulullah saw.
b. Keberadaan hadîts dla’if dalam kitab musnad Imam Ahmad ini berkaitan
dengan peristiwa politik yang terjadi pada masa hidupnya. Peristiwa Mihnah
yang terjadi pada masa hidup Imam Ahmad bukan semata-mata peristiwa
politik yang tidak mempunyai dampak selain dari wacana teologi, tapi juga
berdampak pada para ulama hadîts dan penulisan Musnad Imam Ahmad bin
Hanbal. Karena pada dasarnya, keinginan Imam Ahmad agar kitabnya ini
menjadi hujjah, menggiring penulisnya untuk melakukan proses penyeleksian
terhadap sanad dan matan hadits yang ia riwayatkan. Namun, karena pasca
peristiwa Mihnah ini berlangsung, kesehatan Imam Ahmad mulai menurun.
Ketika beliau mulai mengumpulkan musnad dan baru menyusunnya dari
lembaran yang masih terpisah-pisah, beliau merasa kematian akan
menjemputnya sebelum terwujud cita-citanya. Kemudian putranya ‘Abdullah
meneruskan apa yang telah direncanakan bapaknya dan memasukkan riwaya-
riwayat yang pernah didengarnya yang mirip atau serupa dengan apa yang
diperdengarkan ayahnya.17

17
Ali Mushthofa Amin, “Pemikiran Hadits Imam Ahmad Bin Hanbal Dan Relevansinya
Terhadap Sosio-Politik Pada Masanya”, h. 77-79

22
E. Kesimpulan

Ahlus Sunnah Wal Jama'ah adalah suatu golongan yang telah Rasulullah
SAW janjikan akan selamat di antara golongan-golongan yang ada. Landasan
mereka bertumpu pada ittiba'us sunnah (mengikuti as-Sunnah) dan mengikuti apa
yang dibawa oleh nabi baik dalam masalah aqidah, ibadah, petunjuk, tingkah laku,
akhlak dan selalu menyertai jama'ah kaum Muslimin. Ahlus Sunnah wal Jama'ah
sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa mereka berpegang teguh pada Al-
Qur-an dan. Dan Ahlus Sunnah disebut Salafush Shalih dan orang yang mengikuti
jejak mereka. Maka Ahlus Sunnah tidak termasuk dalam semua golongan ahli
bid'ah dan orang-orang yang mengikuti keinginan nafsunya, seperti Khawarij,
Qadariyah, Mu'tazilah, Murji'ah, Syiah dan lain-lainnya.

Dengan demikian, Sunnah adalah lawan kata bid'ah, sedangkan jama'ah


lawan kata firqah (gologan). Mengetahui siapa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah
perkara yang sangat penting dan salah satu bekal yang harus ada pada setiap
muslim yang menghendaki kebenaran sehingga dalam perjalanannya di muka
bumi ia berada di atas pijakan yang benar dan jalan yang lurus sesuai dengan
tuntunan syariat yang hakiki yang dibawa oleh Rasulullah SAW empat belas abad
yang lalu.

Yang dimaksud dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam pemikiran islam


adalah kaum Asy’ariah dan kamu Maturidi. Selain itu, golongan Ahlussunnah
Wal Jama’ah adalah golongan yang mengikuti Al-Quran dan As-Sunnah
Rasulullah SAW, para sahabtnya dan para tabi'in. Secara ringkas, Ahlussunnah
Wal Jama’ah mempunyai paham mengenai kepercayaan hati, dibuktikan dalam
bentuk perkataan dan amaliahnya. Perbuatan dosa besar dan sampai matinya
belum bertaubat, maka diklaim sebagai mukmin yang melalukan maksiat.
Hukumannya akan masuk neraka, tetapi mempunyai harapan besar masuk surga,
walaupun sudah berabad-abad lamanya. Semua perbuatan Allah mengadakan /
meniadakan sesuatu itu kita tidak mengetahuinya, dan yang mengetahui hanyalah
Allah sendiri.

23
Dari aliran Ahlussunnah waljamaah atau disebut aliran Sunni di bidang
teologi kemudian juga berkembang dalam bidang lain yang menjadi ciri khas
aliran ini, baik di bidang fikih dan tasawuf. Sehingga menjadi istilah, jika
disebut akidah Sunni (Ahlussunnah waljamaah) yang dimaksud adalah pengikut
Asy’aryah dan Maturidyah. Atau Fiqh Sunni, yaitu pengikut madzhab yang empat
(Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali). Yang menggunakan rujukan Al-Qur’an, al-
Hadits, ijma’ dan qiyas.

24
DAFTAR PUSTAKA

Ahfas, M. (2012). Pemikiran Imam Syafi'i Tentang Kejhujjahan Hadis Dalam Kitab Ar-
risalah (Studi Analisis). Semarang: IAIN Walisongo.
Al Hadi, A. A. (2012). Pemikiran Hukum Imam Abu Hanifah Dan Imam Al-Syafi'i Tentang
Zakat Madu. Al Hikmah, 134.
Al-Fauzan, S. b. (2007). Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah. Riyadh: Darul
Qosim Saudi Arabia.
Amin, A. M. (2017). Pemikiran Hadist Imam Ahmad Bin Hanbal dan Relevansinya
Terhadap Sosio-Politik Pada Masanya. Surakarta: IAIN Surakarta.
Herawati, H. (2010). Maslahat Menurut Imam Dan Imam Al-Ghazali (Studi
Perbandingan). Makassar: UIN Alauddin.
Karim, A. (2015). Manhaj Imam Ahmad Ibn Hanbal Dalam Kitab Musnadnya. Kudus:
STAIN Kudus.
Kasdi, A. (2014). Metode Ijtihad Dan Karakteristik Fiqih Abu Hanifah. Yudisia, 217.
Machfudz, M. (2010). Konsep Ahlus Sunnah Tahqiq dan DIrasah Kitab Ahl Al-Sunnah Wa
Al-Jama'ah Karangan K.H. Ali MAksum. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Mapuna, H. D. (2018). Pembentukan Dan Perkembangan Hukum Islam Pada Masa
Kodifikasi Dan Imam-Imam Mujtahid. Al-Daulah, 184.
Marzuki. (2005). AHMAD BIN HANBAL (Pemikiran Fikih dan Ushul Fikihnya). Palu: STAIN
Datokarama Palu.
Mufid, A. S. (2013). Paham ahlu Sunnah Wal Jama'ah Dan Tantangan Kontemporer
Dalam Pemikiran Dan Gerakan Islam Di Indonesia. Multikultural & Multireligius,
10.
Mughniyah, M. J. (1960). Fiqih Lima Mazhab. Beirut: Shaf e-publishing.
Munawir. (2016). Aswaja NU Center dan Perannya Sebagai Benteng Aqidah. Shahih, 62.
Naim, A. H. (2018). Moderasi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi'i. Kudus: IAIN Kudus.
Setiyanto, D. A. (2016). Pemikiran Hukum Islam Imam Malik Bin Anas (Pendekatan
Sejarah Sosial). Al-Ahkam, 110-111.
Supyanto. (2012). Konsep Ahlussunnah Waljama'ah Dalam Perspektif K.H. Hasyim
Asy'ari Dan Peran Politik NU Dalam Persiapan Kemerdekaan RI. Cirebon: IAIN
Syekh Nurjati.
Susanti, E. (2018). Aliran-aliran Dalam Pemikiran Kalam. Ad-Dirasah, 37.

25

Anda mungkin juga menyukai