Anda di halaman 1dari 2

REGULASI TRANSGENDER DI INDONESIA

Pergantian jenis kelamin atau transgender dikenal sejak berkembangnya


metode DSM diatas. Namun demikian, tidak serta merta semua orang bisa
melakukan operasi pergantian kelamin. Menurut dr. Dadi Garnadi, seseorang untuk
dapat dilakukan operasi perubahan kelamin sesuai standar IDI (Ikatan Dokter
Indonesia) harus didahului oleh observasi oleh tim dokter yang meliputi tes psikologi,
tes hormonal, tes kepribadian, tes kesehatan yang dilakukan oleh ahli-ahli seperti
psikiater, psikolog, bedah, penyakit alam, genetikal, obstetry dan ginecology.
Seseorang dapat melakukan operasi perubahan kelamin maka dapat dipastikan
bahwa orang tersebut telah melakukan proses tersebut dan dikatakan layak
melakukan perubahan kelamin.

Dalam perspektif hukum, aturan mengenai prosedur pergantian jenis kelamin


atau transgender di Indonesia belum ada aturan yang mengatur hal tersebut. Namun
demikian, dengan adanya UU No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU
No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Apen).
Dalam Pasal 1 angka 17 UU Apen menyatakan bahwa, "Yang dimaksud dengan
peristiwa penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran,
kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak,
pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan".
Dari pemaparan pasal diatas, memang pergantian jenis kelamin tidak masuk dalam
kategori peristiwa penting sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 1 angka 17
UU Apen.

Namun demikian, pergantian jenis kelamin dikenal dalam Pasal 56 ayat (1)
UU Apen sebagai "peristiwa penting lainnya". Dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (1)
UU Apen dinyatakan bahwa "Yang dimaksud dengan Peristiwa Penting lainnya
adalah peristiwa yang ditetapkan oleh pengadilan negeri untuk dicatatkan pada
Instansi Pelaksana, antara lain perubahan jenis kelamin".

Jadi, jika benar seseorang telah merubah jenis kelaminnya, agar


mendapatkan pengesahan dari negara, perlu didahului dengan penetapan dari
pengadilan terlebih dahulu. Karena tidak seorangpun dapat merubah, mengganti,
atau menambah identitasnya tanpa seizin pengadilan. Dengan adanya perubahan
jenis kelamis tentunya ada perubahan juga mengenai data kependudukan. Oleh
sebab itu maka sangat wajar apabila seseorang yang telah melakukan transgender
mengajukan permohonan kepada pengadilan mengenai perubahan atas data
identitas kependudukannya.

Setelah mendapati pengesahan dari pengadilan, berdasarkan Pasal 3 UU


Apen yang menyatakan bahwa, "Setiap Penduduk wajib melaporkan Peristiwa
Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana
dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran Penduduk dan
Pencatatan Sipil". Jadi, seseorang yang telah melakukan transgender diwajibkan
untuk melaporkan perubahan atas data identitas kependudukannya kepada Instansi
Pelaksana, dalam hal ini yang dimaksud dengan Instansi Pelaksana adalah Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil dalam Pemerintah Kabupaten/Kota yang
bersangkutan.

Sebagai contoh konkrit di Indonesia sendiri yang terjadi di Makassar,


Sulawesi Selatan, yang mengabulkan permohonan pemohon untuk menetapkan
status pergantian jenis kelaminnya. Salah satu hakim di Pengadilan Negeri
Makassar dalam menghadapi permohonan pemohon yang ingin mengubah status
jenis kelaminnya dari wanita ke pria.

Dalam permohonannya, permohonan dikabulkan oleh hakim tersebut. Hakim


tersebut mendalilkan bahwa dari hasil tes psikolog terungkap bahwa pemohon akan
lebih berkembang dengan statusnya sebagai laki-laki. Selain itu, dikabulkannya
permohonan tersebut didasari oleh pertimbangan hukum agama. Menurutnya,
pergantian jenis kelamin atas dasar nafsu atau dorongan seksual itu diharamkan.
Namun demikian, jika karena alasan medis, hal tersebut diperbolehkan dan dapat
dibenarkan oleh hukum.

Anda mungkin juga menyukai