Anda di halaman 1dari 38

AL-KUTUB AL-SITTAH:

ANALISIS KITAB DAN BIOGRAFI PENYUSUNNYA


Ahda Bina Afianto1

A. PENDAHULUAN
Umat Nabi Muhammad Saw. adalah umat yang paling beruntung
dibandingkan dengan umal-umat sebelumnya, karena banyak keistimewaan
yang diberikan oleh Allah Swt. kepada umat nabi terakhir ini. Di antara
banyak keistimewaan itu adalah terpeliharanya kitab suci mereka, yaitu al-
Qur‟an al-Karim.
Di antara fungsi hadith Rasulullah Saw. adalah sebagai penjelas bagi
ayal-ayat al-Qur‟ān. Oleh karena itu, ketika Allah Swt. memberikan janji
kepada umat Islam untuk memelihara al-Qur‟ān, maka sudah semestinya
Allah Swt. pun akan memelihara hadith. Hal ini terbukti dengan
terpeliharanya hadith-hadith Rasulullah Saw.
Mungkin ada orang yang ingin memberikan komentar, "Bila memang
benar Allah Swt. memelihara hadith-hadith Rasulullah Saw., mengapa ada
hadith da‟if atau hadith palsu (maudu„)? Bukankah adanya hadith da„if dan
hadith palsu menunjukkan Allah tidak memelihara hadith sebagaimana Allah
memelihara al-Qur‟ān?"
Komentar tersebut sangat bagus. Namun demikian, komentar itu juga
rancu, karena keberadaan hadith da„if dan hadith palsu itu justru menjadi bukti
terpenuhinya janji Allah. Adanya hadith da„if dan maudu„ menunjukkan
adanya usaha yang dilakukan secara serius untuk menyaring hadith-hadith
Rasulullah Saw. Kita bisa membandingkan hal ini dengan nasib "hadith-
hadith" para nabi sebelum Nabi Muhammad Saw., di mana yang sahih, da‟if
dan maudu„ telah bercampur tidak karuan. Hal ini berbeda dengan hadith-
hadith Rasul Allah Saw. yang terpelihara. Hadith-hadith beliau telah

1
Makalah disampaikan dalam seminar Studi Hadith Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel
Surabaya, pada tanggal 6 Januari 2009, dibimbing oleh Prof. Dr. H. Burhan Djamaluddin, M.A.
2

terpelihara secara meyakinkan, yaitu dengan adanya kitab-kitab yang


menghimpun hadith-hadith sahih seperti Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim.
Selain kedua kitab itu, terdapat puluhan, bahkan ratusan kitab serupa yang
disusun dengan berbagai metode dan tujuan ilmiah.
Dalam makalah ini penulis akan mengulas tentang al-Kutub al-Sittah
(kitab hadith yang enam), yaitu Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu
Dawud, Sunan al-Nasa‟i, Sunan al-Tirmidhi, dan Sunan Ibn Majah. Keenam
kitab ini akan penulis bagi menjadi dua kelompok, yaitu kitab sahih dan kitab
sunan.

B. KITAB SAHIH
Kitab Sahih yaitu kitab yang menghimpun hadith-hadith yang sahih saja,
dan mengesampingkan hadith-hadith yang tidak sahih. Ada orang yang
mengira bahwa kitab sahih merupakan himpunan semua hadith sahih. Dugaan
ini tidak tepat. Banyak hadith sahih yang tidak dicantumkan, dikarenakan
penghimpun khawatir kitabnya menjadi sangat tebal.2 Adapun pengertian
hadith sahih di sini adalah hadith yang memenuhi syarat sahih menurut
penyusun kitab hadith tersebut.
Dalam pembahasan ini, penulis akan memaparkan secara detail tentang
dua kitab sahih. Dua kitab sahih itu adalah Sahih al-Bukhari dan Sahih
Muslim.
1. Al-Jami‘ al-Sahih Karya Imam al-Bukhari
Kitab Al-Jami„ al-Sahih ini lebih dikenal dengan nama Sahih al-
Bukhari. Kitab ini merupakan karya Imam Abu „Abdillah Muhammad b.
Isma„il al-Bukhari yang wafat tahun 256 H. Imam al-Bukhari adalah orang
yang pertama kali menyusun dan membukukan hadith dengan hanya
mengambil hadith yang sahih saja, dan mengesampingkan hadith yang
da„if. Oleh karena itu, kitab ini memperoleh perhatian yang besar dari para
ulama. Ia bahkan dinyatakan sebagai himpunan berita paling valid di muka

2
Nur al-Din „Atar, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu„asir, 1997),
250.
3

bumi ini setelah al-Qur‟an. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Achmad Sunarto dengan judul: Tarjamah Shahih Bukhari.
a. Riwayat Hidup Imam al-Bukhari
Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam
al-Bukhari. Isi surat itu memintanya supaya menetap di negeri mereka.
Imam al-Bukhari pun memenuhi permohonan mereka. Ketika
perjalanannya sampai di Khartand, ia singgah di sana. Khartand adalah
sebuah desa kecil yang terletak dua farsakh sebelum Samarkand. Di
desa itu terdapat beberapa familinya. Ia singgah untuk mengunjungi
mereka. Tetapi di desa itu Imam al-Bukhari jatuh sakit hingga
menemui ajalnya.3
Ia wafat pada malam Idul Fitri tahun 256 H. (bertepatan dengan
tanggal 31 Agustus 870 M), dalam usia 62 tahun. Sebelum meninggal
dunia, ia berpesan. Isi pesan itu, bahwa jika meninggal nanti,
hendaknya jenazahnya dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan
tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh
masyarakat setempat. Jenazahnya dikebumikan selepas Zuhur, sesudah
ia melewati perjalanan hidup panjang yang penuh dengan berbagai
amal yang mulia.
Pengembaraannya ke berbagai negeri telah mempertemukan Imam
al-Bukhari dengan guru-guru yang sangat banyak. Ia menyatakan,
“Aku menulis hadith yang aku terima dari 1.080 orang guru. Mereka
semua ahli hadith. Mereka berpendirian bahwa iman harus dibuktikan
dengan ucapan dan perbuatan.” Di antara guru-guru besar itu adalah
„Ali b. al-Madini, Ahmad b. Hanbal, Yahya b. Ma‟in, Muhammad b.
Yusuf al-Faryabi, Makki b. Ibrahim al-Bakhi, Muhammad b. Yusuf al-
Baykandi dan Ibn Rahawaih. Guru-guru yang hadithnya diriwayatkan
dalam kitab Sahih-nya sebanyak 289 orang guru.

3
Abu al-„Abbas Sihab al-Din Ahmad al-Qastalani, Irsad al-Sari li Sarh Sahih al-Bukhari (Beirut:
Dar al-Fikr, 1990), 56.
4

Karena kemasyhurannya sebagai seorang alim yang super jenius,


sangat banyak muridnya yang datang untuk belajar dan mendengar
hadith secara langsung darinya. Tak dapat dihitung dengan pasti
berapa jumlah orang yang meriwayatkan hadith dari Imam al-Bukhari.
Ada yang berpendapat, bahwa kitab Sahih Al-Bukhari didengar
darinya secara langsung oleh sembilan puluh ribu (90.000) orang.4 Di
antara sekian banyak muridnya yang paling menonjol adalah Muslim
b. al-Hajjaj, Tirmidhi, Nasa„i, Ibn Khuzaimah, Ibn Abi Dawud,
Muhammad b. Yusuf al-Firabri, Ibrahim b. Ma‟qil al-Nasafi, Hammad
b. Syakr al-NaSawi dan Mansur b. Muhammad al-Bazdawi. Empat
orang yang terakhir ini merupakan yang paling masyur sebagai perawi
kitab Sahih Al-Bukhari.
Imam al-Bukhari merupakan salah satu tanda kekuasaan dan
kebesaran Allah di muka bumi ini dalam hal kekuatan hafalan,
ketajaman pikiran, pengetahuan para perawi hadith, dan „illal-‟illat
hadith. Allah telah mempercayakan kepada Al-Bukhari dan para
pemuka dan penghimpun hadith lainnya untuk menghafal dan menjaga
sunnah-sunnah Nabi Muhammad Saw. Imam al-Bukhari berkata,
“Saya hafal hadith di luar kepala sebanyak 100.000 hadith Sahih, dan
200.000 hadith tidak Sahih."
Kejeniusan Imam al-Bukhari dapat dibuktikan pada kisah berikut.
Ketika ia tiba di Baghdad, ahli-ahli hadith di sana berkumpul untuk
menguji kemampuan dan kepintarannya. Mereka menyiapkan 100
hadith, lalu mereka menukarkan sanad dan matan satu hadith dengan
hadith yang lain. Setiap matan hadith diberi sanad hadith lain, atau
setiap sanad hadith diberi matan hadith lain. Sepuluh orang ulama
tampil dan masing-masing mengajukan pertanyaan sebanyak 10
pertanyaan tentang hadith yang telah diputarbalikkan tersebut. Satu per
satu dari sepuluh orang itu tampil dengan mengajukan sepuluh hadith
kepada Al-Bukhari. Setiap satu orang selesai menyebutkan sebuah

4
Ibn Hajar al-„Asqalani, Muqaddimah Fath al-Bari, jilid 22, hal. 204.
5

hadith, Imam al-Bukhari menjawab dengan tegas, “Saya tidak


mengenal hadith yang Anda sebutkan itu." Ia tetap memberikan
jawaban serupa, sampai kepada penanya yang ke sepuluh. Orang-orang
yang tidak mengerti hal sebenarnya menganggap, bahwa Imam al-
Bukhari tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan
benar. Sementara itu para ulama berkata satu kepada yang lainnya,
“Orang ini mengetahui hal yang sebenarnya."
Setelah 10 orang semuanya selesai mengajukan semua pertanyaan
yang jumlahnya 100 pertanyaan tadi, Imam al-Bukhari berpaling
kepada penanya yang pertama dan berkata, “Hadith pertama yang
Anda kemukakan, isnadnya yang benar adalah begini. Hadith kedua,
isnadnya yang benar adalah begini." Begitulah Imam al-Bukhari
menjawab semua pertanyaan satu demi satu hingga selesai
menyebutkan sepuluh hadith. Kemudian ia menoleh kepada penanya
yang kedua, dan memberikan komentar berikutnya hingga selesai.
Kemudian ia menoleh kepada penanya yang ketiga, dan memberikan
komentar berikutnya hingga selesai. Demikian seterusnya hingga
penanya yang ke sepuluh. Imam al-Bukhari menyebutkan satu per satu
matan dan sanad hadith yang sebenarnya dengan cermat, dan tidak ada
sedikit pun yang salah dengan jawaban yang urut sesuai dengan
sepuluh orang tadi mengeluarkan urutan pertanyaannya. Maka para
ulama Baghdad tidak dapat berbuat lain, selain menyatakan
kekagumannya kepada Imam al-Bukhari. Akhirnya mereka
mengakuinya sebagai Imam dalam bidang hadith.
Sebagian hadirin memberikan komentar terhadap "uji coba
kemampuan" yang menegangkan ini. Ia berkata, “Yang mengagumkan
bukanlah karena al-Bukhari mampu memberikan jawaban secara
benar. Yang benar-benar mengagumkan ialah kemampuannya dalam
menyebutkan semua hadith yang sudah diputarbalikkan itu secara
berurutan persis seperti urutan yang dikemukakan oleh 10 orang
6

penguji. Padahal ia mendengar pertanyaan-pertanyaan yang banyak itu


hanya satu kali."
Imam al-Bukhari pernah berkata, “Saya tidak pernah meriwayatkan
sebuah hadith pun yang saya terima dari para shahabat dan tabi‟in,
melainkan saya mengetahui tarikh kelahiran sebagian besar mereka,
serta hari wafat dan tempat tinggalnya. Demikian pula saya tidak
meriwayatkan hadith shahabat dan tabi‟in -yakni hadith-hadith
mauquf- kecuali yang saya ketahui ada dasarnya dari Kitab Allah dan
Sunnah Rasulullah Saw."
Al-Hakim menceritakan bahwa Muslim (pengarang kitab Sahih),
datang kepada Imam al-Bukhari, lalu mencium antara kedua matanya
dan berkata, “Biarkan saya mencium kaki Tuan, wahai Mahaguru,
Pemimpin para ahli hadith, dan Dokter ahli penyakit (‘illah) hadith."
Al-Hafidh Ibn Hajar menyatakan, “Andaikan pintu pujian dan
sanjungan kepada Al-Bukhari masih terbuka bagi generasi sesudahnya,
tentu habislah semua kertas dan nafas. Ia bagaikan laut tak bertepi."
Imam al-Bukhari adalah orang yang berbadan kurus, berperawakan
sedang, tidak tinggi dan tidak pendek. Kulitnya agak kecoklatan. Ia
sedikit sekali makan. Ia sangat pemalu, namun ramah, dermawan,
menjauhi kesenangan dunia dan cinta akhirat. Banyak hartanya yang
disedekahkan, baik secara sembunyi maupun terang-terangan. Kepada
para pelajar ia memberikan bantuan dana yang cukup besar.
Diceritakan ia pernah berkata, “Setiap bulan, saya berpenghasilan 500
dirham. Semuanya saya belanjakan untuk kepentingan pendidikan.
Sebab, apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal."
Imam al-Bukhari sangat hati-hati serta sopan dalam berbicara dan
mencari kebenaran yang hakiki di saat mengkritik para perawi.
Terhadap perawi yang sudah jelas diketahui kebohongannya, ia cukup
berkata, “Perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya.” Atau
ia berkata, “Para ulama berdiam diri tentangnya." Perkataan yang tegas
tentang para perawi yang tercela ialah, “Hadithnya diingkari."
7

Ia berkata, ”Aku berharap menjumpai Allah, dan Ia tidak


menghukumku karena aku mengghibah seseorang”.5
Meskipun sangat sopan dalam mengkritik para perawi, ia banyak
meninggalkan hadith yang diriwayatkan seseorang hanya karena orang
itu diragukan. Dalam sebuah riwayat diceritakan, bahwa ia berkata,
“Saya meninggalkan 10.000 hadith yang diriwayatkan oleh perawi
yang perlu dipertimbangkan, dan meninggalkan pula jumlah yang
sama atau lebih yang diriwayatkan perawi yang dalam pandanganku
perlu dipertimbangkan."
Selain dikenal sebagai ahli hadith, Imam al-Bukhari sebenarnya
juga ahli dalam fiqih. Dalam hal mengeluarkan fatwa, ia telah sampai
pada derajat mujtahid mustaqil (pendapatnya tidak terikat pada
madzhab-madzhab tertentu). Ia mempunyai pendapat-pendapat hukum
yang digalinya sendiri. Pendapat-pendapatnya itu terkadang sejalan
dengan madzhab Abu Hanifah, terkadang sesuai dengan madzhab al-
Syafi‟i, dan kadang-kadang berbeda dengan keduanya. Pada suatu saat
ia memilih madzhab Ibn „Abbas, dan di saat lain memilih madzhab
Mujahid, „Atha„ atau yang lainnya. Jadi kesimpulannya, Imam al-
Bukhari adalah seorang ahli hadith yang ulung dan ahli fiqih yang
berijtihad sendiri, meskipun yang lebih menonjol adalah statusnya
sebagai ahli hadith.
Di sela-sela kesibukannya sebagai seorang alim, ia juga tidak
melupakan kegiatan lain yang dianggap penting untuk menegakkan
Islam. Imam al-Bukhari belajar memanah sampai mahir. Ada orang
berkata, bahwa sepanjang hidupnya tidak pernah luput dalam
memanah, kecuali hanya dua kali. Hal itu sebagai pengamalan sunnah
Rasul yang mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar
menggunakan anak panah dan alal-alat perang lainnya. Tujuannya
adalah untuk memerangi musuh-musuh Islam.

5
Syams al-Din al-Dhahabi, Siyar Min A’lam al-Nubala’, tahqiq Syu‟aib Al Arna‟ut (Beirut:
Mu‟assasah al-Risalah, 2001), vol 12, hal. 392.
8

b. Hasil Karya Imam al-Bukhari


Amat banyak hasil karya Imam al-Bukhari. Di antara hasil
karyanya adalah sebagai berikut:
 Al-Jami„ al-Sahih, dikenali sebagai Sahih al-Bukhari
 Al-Adab al-Mufrad. Kitab ini merupakan kitab adab dan akhlak
yang bagus. disusun sesuai dengan metode terkini, dan telah
dicetak sebanyak beberapa kali.
 Al-Tarikh al-Saghir
 Al-Tarikh al-Awsat
 Al-Tarikh al-Kabir
 Al-Tafsir al-Kabir
 Al-Musnad al-Kabir
 Kitab al-‟Ilal
 Raf‟u al-Yadain fi al-Salah
 Birr al-Walidain
 Kitab al-Asribah
 Al-Qir„ah khalf al-Imam
 Kitab al-Du‟afa„
 Asami al-Sahabah
 Kitab al-Kuna

c. Kitab al-Jami‘ al-Sahih


Imam al-Bukhari berkata, “Aku bermimpi melihat Rasulullah Saw.
Seolah-olah aku berdiri di hadapan beliau sambil memegang kipas
yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi
itu kepada seorang ahli ta’bir. Ia menjelaskan bahwa aku akan
menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadith
Rasulullah Saw. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk
menghimpun kitab Al-Jami„ al-Sahih."
9

Dalam menghimpun hadith-hadith Sahih dalam kitabnya, Imam al-


Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah,
sehingga kesahihan hadith-hadithnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia
telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan
menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti
kesahihan hadith-hadith yang diriwayatkannya. Ia senantiasa
membanding-bandingkan hadith-hadith yang ia riwayatkan satu
dengan yang lain, menyaringnya dan memilih hadith mana yang
menurutnya paling sahih. Dengan demikian, kitabnya merupakan batu
uji dan penyaring bagi hadith-hadith tersebut. Hal ini tercermin dari
perkataannya, “Saya susun kitab al-Jami„ ini dari 600.000 hadith yang
saya pilih selama 16 tahun."
Ia juga sangat hati-hati. Hal ini dapat dilihat dari pengakuan salah
seorang muridnya bernama al-Firbari. Ia menjelaskan, bahwa ia
mendengar Muhammad b. Isma„il al-Al-Bukhari berkata, “Aku susun
kitab al-Ja.mi‟ al-Sahih ini di Masjidil Haram. Tidaklah aku
memasukkan ke dalamnya sebuah hadith pun, kecuali sesudah aku
beristikharah kepada Allah dengan melakukan shalat dua raka‟at, dan
sesudah aku meyakini betul bahwa hadith itu benar-benar sahih."
Diriwayatkan bahwa Imam al-Bukhari berkata, “Tidaklah saya
masukkan ke dalam kitab al-Jami„ al-Sahih ini, kecuali hadith-hadith
yang sahih. Sementara itu saya tinggalkan banyak hadith sahih, karena
saya khawatir akan membosankan (karena terlalu banyaknya hadith
yang semakna)."

d. Jumlah Hadith dalam Kitab Sahih Al-Bukhari


Al-‟Allamah Ibn al-Salah dalam Muqaddimah-nya menyebutkan,
bahwa jumlah hadith Sahih al-Bukhari sebanyak 7.275 hadith. Jumlah
tersebut termasuk hadith-hadith yang disebutnya berulang. Atau
sebanyak 4.000 hadith tanpa pengulangan. Perhitungan ini diikuti oleh
10

Al-‟Allamah Syaikh Muhyi al-Din al-Nawawi dalam kitabnya al-


Taqrib.6
Selain pendapat tersebut di atas, Ibn Hajar di dalam Muqaddimah
Fath al-Bari –kitab syarah Sahih Al-Bukhari- menyebutkan, bahwa
semua hadith sahih mawsul yang termuat dalam Sahih Al-Bukhari,
tanpa hadith yang disebutnya berulang, adalah sebanyak 2.602 hadith.
Sedangkan matan hadith yang mu’allaq namun marfu‘ (yakni hadith
sahih namun tidak diwasalkan, tidak disebutkan sanadnya secara
sambung-menyambung) pada tempat lain sebanyak 159 hadith. Semua
hadith Sahih Al-Bukhari termasuk hadith yang disebutkan berulang-
ulang sebanyak 7.397hadith. Yang mu’allaq sejumlah 1.341hadith, dan
yang muttabi’ sebanyak 344 hadith. Dengan demikian, berdasarkan
perhitungan ini (termasuk yang berulang-ulang), jumlah seluruhnya
sebanyak 9.082 hadith. Jumlah ini di luar hadith yang mauquf kepada
shahabat dan (perkataan) yang diriwayatkan dari tabi‟in dan ulama-
ulama sesudahnya.

e. Kritik hadits dalam Kitab


Setelah mengadakan penelitian secara cermat terhadap kitabnya,
para ulama menyatakan bahwa Imam al-Bukhari dalam kitab Sahih-
nya selalu berpegang teguh pada tingkat kesahihan yang paling tinggi.
Ia tidak turun dari tingkat tersebut, kecuali dalam beberapa hadith yang
bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab, seperti hadith
muttabi’, hadith syahid, dan hadith-hadith yang diriwayatkan dari
shahabat dan tabi‟in.7

2. Al-Jami‘ al-Shahîh karya Imam Muslim


Selain karya Imam al-Bukhari, terdapat kitab hadits yang berjudul
sama. Nama kitab itu adalah Al-Jami„ al-Sahih, namun lebih dikenal
6
Abu al-„Abbas Sihab al-Din Ahmad al-Qastalani, Irsad al-Sari li Sarh Sahih al-Bukhari (Beirut:
Dar al-Fikr, 1990), 50.
7
Abu al-„Abbas Sihab al-Din Ahmad al-Qastalani, Irsad al-Sari li Sarh Sahih al-Bukhari, 39.
11

dengan nama Sahih Muslim. Kitab ini merupakan karya Imam Abu al-
Husain Muslim b. Hajjaj al-Qusairi al-Naisaburi yang wafat tahun 261 H.
Kitab ini, sama dengan Sahih al-Bukhari, juga hanya memuat hadith yang
sahih saja berdasarkan syaral-syarat yang ditentukan oleh penyusunnya.
Menurut jumhur (mayoritas) ulama, Sahih Muslim menempati peringkat
kedua setelah Sahih al-Bukhari. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia oleh KH. Adib Bisri Musthofa dengan judul Tarjamah
Shahih Muslim.
a. Riwayat Hidup Imam Muslim
Nama lengkapnya ialah Imam Abu al-Husain Muslim b. al-Hajjaj
b. Muslim b. Kausyaz al-Qushairi al-Naisaburi. Ia salah seorang ulama
terkemuka yang namanya tetap dikenal hingga kini. Ia dilahirkan di
Naisabur pada tahun 206 H.
Ia belajar hadith sejak masih dalam usia dini, yaitu mulai tahun 218
H. Ia pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara negara lainnya.
Dalam lawatannya Imam Muslim banyak mengunjungi ulama-ulama
kenamaan untuk berguru hadith. Di Khurasan ia berguru kepada Yahya
b. Yahya dan Ishaq b. Rahawaih. Di Ray ia berguru kepada
Muhammad b. Mahran dan Abu „Ansan. Di Iraq ia belajar hadith
kepada Ahmad b. Hambal dan „Abdullah b. Maslamah. Di Hijaz ia
belajar kepada Sa‟id b. Mansur. Di Mesir ia berguru kepada „Amr b.
Sawad dan Harmalah b. Yahya.
Muslim berkali-kali mengunjungi Baghdad untuk belajar kepada
ulama-ulama ahli hadith. Kunjungannya yang terakhir pada 259 H. di
waktu Imam al-Bukhari datang ke Naisabur. Muslim sering datang
kepadanya untuk berguru, sebab ia mengetahui jasa dan ilmunya.
Ketika terjadi perselisihan antara Al-Bukhari dan Al-Zihli, ia
bergabung kepada Al-Bukhari, sehingga hal ini menjadi sebab
terputusnya hubungan dengan Al-Zihli. Dalam Sahihnya maupun
dalam kitab lainnya, Muslim tidak memasukkan hadith-hadith yang
diterima dari Al-Zihli padahal ia adalah gurunya. Hal serupa ia lakukan
12

terhadap Al-Bukhari. Dalam Sahihnya ia tidak meriwayatkan hadith


yang diterimanya dari Al-Bukhari, padahal ia pun merupakan gurunya.
Pada hemat Muslim, yang lebih baik adalah tidak memasukkan ke
dalam Sahihnya hadith-hadith yang diterima dari kedua gurunya itu,
namun tetap mengakui mereka sebagai guru.
Imam Muslim wafat pada Ahad sore 24 Rajab 261 H. Ia
dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar
Naisabur, pada hari berikutnya dalam usia 55 tahun.
Imam al-Bukhari merupakan ulama terkemuka di bidang hadith
Sahih, berpengetahuan luas, mengenai „illah-‟illah dan seluk beluk
hadith, serta tajam kritiknya. Sementara itu Imam Muslim adalah
orang kedua setelah Imam al-Bukhari, baik dalam ilmu dan
pengetahuannya maupun dalam keutamaan dan kedudukannya.
Imam Muslim banyak menerima pujian dan pengakuan dari para
ulama ahli hadith maupun ulama lainnya. Al-Khatib al-Baghdadi
berkata, "Muslim telah mengikuti jejak Al-Bukhari, memperhatikan
ilmunya, dan menempuh jalan yang dilaluinya." Pernyataan ini tidak
berarti bahwa Muslim hanyalah seorang pengekor. Ia mempunyai
karakteristik tersendiri dalam menyusun kitab. Ia memiliki metode
baru yang belum pernah diperkenalkan orang sebelumnya.
Imam Muslim meninggalkan karya tulis yang tidak sedikit
jumlahnya, di antaranya :
 Al-Jami„ al-Sahih (Sahih Muslim)
 Al-Musnad al Kabir (kitab yang menerangkan nama-nama para
perawi hadith)
 Kitab al-Asma„ wa al-Kuna
 Kitab al-‟Ilal
 Kitab al-Aqran
 Kitab Su‟alatihi Ahmad b. Hambal
 Kitab al-Intifa„ bi Uhub al-Siba‟
 Kitab al-Muhadramin
13

 Kitab man Laisa lahu illa Rawin Wahid


 Kitab Aulad al-Shahabah
 Kitab Awham al-Muhaddithin.

b. Kitab Sahih Muslim


Di antara kitab-kitab hadith yang paling agung dan sangat
bermanfat luas, serta masih tetap beredar hingga kini ialah al- Jami„ al-
Sahih. Ia terkenal dengan nama Sahih Muslim. Kitab ini merupakan
salah satu dari dua kitab yang paling Sahih dan murni sesudah al-
Qur‟an. Kedua kitab Sahih ini diterima baik oleh segenap umat Islam.8
Imam Muslim telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk
meneliti dan mempelajari keadaan para perawi, menyaring hadith-
hadith yang diriwayatkan, dan membandingkan riwayal-riwayat itu
satu sama lain. Imam Muslim sangat teliti dan hati-hati dalam
menggunakan lafal-lafaz, dan selalu memberikan isyarat akan adanya
perbedaan antara lafal-lafaz itu. Dengan usaha yang sedemikian rupa,
maka lahirlah kitab Sahihnya.
Imam Muslim berkata di dalam Sahihnya, “Tidak semua hadith
yang sahih menurutku, aku cantumkan di sini (yakni dalam Sahihnya).
Aku hanya mencantumkan hadith-hadith yang telah disepakati oleh
para ulama hadith."9
Imam Muslim pernah berkata, sebagai ungkapan gembira atas
karunia Tuhan yang diterimanya, “Apabila penduduk bumi ini menulis
hadith selama 200 tahun, maka usaha mereka hanya akan berputar-
putar di sekitar kitab ini."
Ketelitian dan kehati-hatian Muslim terhadap hadith yang
diriwayatkan dalam Sahihnya dapat dilihat dari perkataannya sebagai
berikut, “Saya tidak mencantumkan sesuatu hadith dalam kitab ini,

8
Biografi singkat yang dimuat bersama kitab Shih Muslim, Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 6.
9
Imam Muslim, dalam: http://www.pmo.gov.my/ (19 Januari 2009).
14

melainkan dengan alasan. Demikian pula, saya tidak menggugurkan


sesuatu hadith daripadanya, melainkan dengan alasan pula."
Dalam penulisan Sahihnya, Imam Muslim tidak membuat judul
setiap bab secara terperinci. Adapun judul-judul kitab dan bab yang
kita dapati pada sebagian naskah Sahih Muslim yang sudah dicetak,
sebenarnya dibuat oleh para pengulas (sharih) yang datang kemudian.
Di antara pengulas yang paling baik membuatkan judul-judul bab dan
sistematika babnya adalah Imam al-Nawawi dalam al-Minhaj-nya.
Bukti kongkrit mengenai keagungan kitab itu ialah Imam Muslim
menyaring isi kitabnya dari ribuan riwayat yang pernah didengarnya.
Ia pernah berkata, “Saya susun kitab Sahih ini yang saya saring dari
300.000 hadith."

c. Jumlah Hadits dalam Sahih Muslim


Diriwayatkan dari Ahmad b. Salamah, ia berkata, “Saya menulis
bersama Muslim untuk menyusun kitab Sahihnya selama 15 tahun.
Kitab itu berisi 12.000 hadith.” Sedangkan Ibn Salah menyebutkan
dari Abi Quraisy al-Hafiz, bahwa jumlah hadith Sahih Muslim itu
sebanyak 4.000 hadith. Kedua pendapat tersebut dapat kita
kompromikan. Perhitungan pertama memasukkan hadith-hadith yang
berulang-ulang penyebutannya, sedangkan perhitungan kedua hanya
menghitung hadith-hadith yang tidak disebutkan berulang.10

C. KITAB-KITAB SUNAN
Kitab Sunan yaitu kitab himpunan hadith yang disusun berdasarkan
bab-bab tentang fiqih, dan hanya memuat hadits yang marfu‟ saja agar
dijadikan sebagai sumber hukum bagi fuqaha„ dalam mengambil kesimpulan
hukum.11 Dalam makalah ini penulis akan membahas empat kitab sunan, yaitu

10
Imam Muslim, dalam: http://mediabilhikmah.multiply.com/journal (19 Januari 2009).
11
Manna„ al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), 58.
15

Sunan Abu Dawud, Sunan al-Nasa„i, Sunan al-Tirmidhi, dan Sunan Ibn
Majah.
1. Sunan Abu Dawud
Sunan Abu Dawud merupakan karya Imam Abu Dawud Sulaiman
b. al-Ash‟ath al-Sijistani yang wafat tahun 275 H. Dalam kitab ini Abu
Dawud menghimpun hadith sahih, hasan dan da„if. Namun Abu Dawud
telah menjelaskan semua hadith yang da„if dan tidak bisa dijadikan dalil
untuk beramal.12 Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
oleh H. Bey Arifin dan A. Syinqithy Djamaluddin dengan judul Tarjamah
Sunan Abi Daud.
a. Riwayat Hidup Abu Dawud
Nama lengkapnya Abu Dawud ialah Sulaiman b. al-Asy‟as b.
Ishaq b. Basyir b. Syidad b. „Amr al-Azdi al-Sijistani. Ia seorang imam
ahli hadith yang sangat teliti, tokoh terkemuka para ahli hadith setelah
dua imam hadith Al-Bukhari dan Muslim, serta pengarang kitab
Sunan. Ia dilahirkan pada tahun 202 H/817 M di Sijistan.
Sejak kecilnya Abu Dawud mencintai ilmu dan para ulama,
bergaul dengan mereka untuk dapat mereguk dan menimba ilmu.
Belum lagi mencapai usia dewasa, ia telah mempersiapkan dirinya
untuk mengadakan perlawatan mengelilingi berbagai negeri. Ia belajar
hadith dari para ulama yang tidak sedikit jumlahnya yang dijumpainya
di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri-
negeri lain. Perlawatannya ke berbagai negeri ini membantunya untuk
memperoleh pengetahuan luas tentang hadith. Kemudian hadith-hadith
yang diperolehnya itu ia saring. Hasil penyaringannya ia tuangkan
dalam kitab Al-Sunan.
Abu Dawud mengunjungi Baghdad berkali-kali. Di sana ia
mengajarkan hadith dan fiqih kepada para penduduk dengan memakai
kitab Sunan sebagai pegangannya. Kitab Sunan karyanya itu
diperlihatkannya kepada tokoh ulama hadith, Ahmad b. Hambal.

12
Ibid, hal. 277.
16

Dengan bangga Imam Ahmad memujinya sebagai kitab yang sangat


indah dan baik. Kemudian Abu Dawud menetap di Basrah atas
permintaan gubernur setempat yang menghendaki supaya Basrah
menjadi "Ka‟bah" bagi para ilmuwan dan peminat hadith.
Para ulama yang menjadi guru Imam Abu Dawud banyak
jumlahnya. Di antara guru-guru yang paling terkemuka ialah Ahmad b.
Hambal, al-Qa‟nabi, Abu „Amr al-Darir, Muslim b. Ibrahim, Abdullah
b. Raja‟, Abu al-Walid al-Tayalisi, dan lain-lain. Sebagian gurunya ada
yang menjadi guru Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, seperti
Ahmad b. Hambal, Uthman b. Abi Shaibah dan Qutaibah b. Sa‟id.
Ulama-ulama yang mewarisi hadithnya dan mengambil ilmunya
antara lain Abu „Isa al-Tirmidhi, Abu Abd al-Rahman al-Nasa‟i,
putranya sendiri Abu Bakar b. Abu Dawud, Abu Awanah, Abu Sa‟id
al-A‟rabi, Abu Ali al-Lu‟lu‟i, Abu Bakar b. Dassah, Abu Salim
Muhammad b. Sa‟id al-Jaldawi dan lain-lain. Cukuplah sebagai bukti
pentingnya Abu Dawud, bahwa salah seorang gurunya, Ahmad b.
Hambal pernah meriwayatkan dan menulis sebuah hadith yang
diterima dari padanya. Hadith tersebut ialah hadith yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud, dari Hammad b. Salamah dari Abu Ma‟syar al-
Darami, dari ayahnya, sebagai berikut, “Rasulullah Saw. ditanya
tentang „atirah, maka ia menilainya baik."
Abu Dawud adalah salah seorang ulama yang mengamalkan
ilmunya dan mencapai derajat tinggi dalam ibadah, kesucian diri,
wara‟ dan kesalehannya. Ia adalah seorang sosok manusia utama yang
patut diteladani perilaku, ketenangan jiwa dan kepribadiannya. Sifal-
sifat Abu Dawud ini telah diungkapkan oleh sebagian ulama yang
menyatakan: Abu Dawud menyerupai Ahmad b. Hambal dalam
perilakunya, ketenangan jiwa dan kebagusan pandangannya serta
kepribadiannya. Ahmad dalam sifal-sifat ini menyerupai Waki‟, Waki
menyerupai Sufyan al-Sauri, Sufyan menyerupai Mansur, Mansur
menyerupai Ibrahim al-Nakha‟i, Ibrahim menyerupai „Alqamah dan ia
17

menyerupai Ibn Mas‟ud. Sedangkan Ibn Mas‟ud sendiri menyerupai


Nabi Saw. dalam sifal-sifat tersebut. Sifat dan kepribadian yang mulia
seperti ini menunjukkan aatas kesempurnaan keberagamaan, tingkah
laku dan akhlak. Abu Dawud mempunyai pandangan dan falsafah
sendiri dalam cara berpakaian. Salah satu lengan bajunya lebar namun
yang satunya lebih kecil dan sempit. Seseorang yang melihatnya
bertanya tentang kenyentrikan ini, ia menjawab, “Lengan baju yang
lebar ini digunakan untuk membawa kitab-kitab, sedang yang satunya
lagi tidak diperlukan. Jadi, kalau dibuat lebar, hanyalah berlebih-
lebihan.
Abu Dawud adalah juga merupakan "bendera Islam" dan seorang
hafiz yang sempurna, ahli fiqih dan berpengetahuan luas terhadap
hadith dan ilal-ilatnya. Ia memperoleh penghargaan dan pujian dari
para ulama, terutama dari gurunya sendiri, Ahmad b. Hambal. Al-
Hafiz Musa b. Harun berkata mengenai Abu Dawud, "Abu Dawud
diciptakan di dunia hanya untuk hadith, dan di akhirat untuk surga.
Aku tidak melihat orang yang lebih utama melebihi dia." Sahal b.
Abdullah Al-Tistari, seorang yang alim mengunjungi Abu Dawud.
Lalu dikatakan kepadanya, "Ini adalah Sahal, datang berkunjung
kepada tuan." Abu Dawud pun menyambutnya dengan hormat dan
mempersilahkan duduk. Kemudian Sahal berkata, “Wahai Abu
Dawud, saya ada keperluan keadamu." Ia bertanya, “Keperluan apa?"
"Ya, akan saya utarakan nanti, asalkan engkau berjanji akan
memenuhinya sedapat mungkin," jawab Sahal. "Ya, aku penuhi
maksudmu selama aku mampu," tandan Abu Dawud. Lalu Sahal
berkata, “Jujurkanlah lidahmu yang engkau pergunakan untuk
meriwayatkan hadith dari Rasulullah Saw. sehingga aku dapat
menciumnya." Abu Dawud pun lalu menjulurkan lidahnya yang
kemudian dicium oleh Sahal. Ketika Abu Dawud menyusun kitab
Sunan, Ibrahim al-Harbi, seorang ulama ahli hadith berkata, “Hadith
telah dilunakkan bagi Abu Dawud, sebagaimana besi dilunakkan bagi
18

Nabi Dawud." Ungkapan ini adalah kata-kata simbolik dan


perumpamaan yang menunjukkan atas keutamaan dan keunggulan
seseorang di bidang penyusunan hadith. Ia telah mempermudah yang
sulit, mendekatkan yang jauh dan memudahkan yang masih rumit dan
pelik. Abu Bakar al-Khallal, ahli hadith dan fiqih terkemuka yang
bermadzhab Hambali, menggambarkan Abu Dawud sebagai berikut;
Abu Dawud Sulaiman b. al-Asy‟as, imam terkemuka pada jamannya
adalah seorang tokoh yang telah menggali beberapa bidang ilmu dan
mengetahui tempal-tempatnya, dan tiada seorang pun pada masanya
yang dapat mendahului atau menandinginya. Abu Bakar al-Asbihani
dan Abu Bakar b. Sadaqah senantiasa menyinggung-nyingung Abu
Dawud karena ketinggian derajatnya, dan selalu menyebut-nyebutnya
dengan pujian yang tidak pernah mereka berikan kepada siapa pun
pada masanya.
Syaikh Abu Ishaq al-Syairazi dalam al-Syairazi dalam Tabaqatul-
Fuqaha-nya menggolongkan Abu Dawud ke dalam kelompok murid-
murid Imam Ahmad. Demikian juga Qadi Abu‟l-Husain Muhammad
b. al-Qadi Abu Ya‟la (wafat 526 H) dalam Tabaqatul-Hanabilah-nya.
Penilaian ini nampaknya disebabkan oleh Imam Ahmad merupakan
gurunya yang istimewa. Menurut satu pendapat, Abu Dawud adalah
bermadzhab Syafi‟i. Menurut pendapat yang lain, ia adalah seorang
mujtahid sebagaimana dapat dilihat pada gaya susunan dan sistematika
Sunal-nya. Terlebih lagi bahwa kemampuan berijtihad merupakan
salah satu sifat khas para imam hadith pada masa-masa awal.
Sikap Abu Dawud yang memandang tinggi terhadap kedudukan
ilmu dan ulama ini dapat dilihat pada kisah berikut sebagaimana
dituturkan, dengan sanad lengkap, oleh Imam al-Khattabi, dari Abu
Bakar b. Jabir, pembantu Abu Dawud. Ia berkata, “Aku bersama Abu
Dawud tinggi di Baghdad. Pada suatu waktu, ketika kami selesai
menunaikan shalat Maghrib, tiba-tiba pintu rumah diketuk orang, lalu
pintu aku buka dan seorang pelayan melaporkan bahwa Amir Abu
19

Ahmad al-Muwaffaq mohon ijin untuk masuk. Kemudian aku melapor


kepada Abu Dawud tentang tamu ini, dan ia pun mengijinkan. Sang
Amir pun masuk, lalu duduk. Tak lama kemudian Abu Dawud
menemuinya seraya berkata, “Gerangan apakah yang membawamu
datang ke sini pada saat seperti ini?" "Tiga kepentingan," jawab Amir.
"Kepentingan apa?" tanyanya. Amir menjelaskan, "Hendaknya tuan
berpindah ke Basrah dan menetap di sana, supaya para penuntut ilmu
dari berbagai penjuru dunia datang belajar kepada tuan; dengan
demikian Basrah akan makmur kembali. Ini mengingat bahwa Basrah
telah hancur dan ditinggalkan orang akibat tragedy Zenji." Abu Dawud
berkata: "Itu yang pertama, sebutkan yang kedua!" "Hendaknya tuan
berkenan mengajarkan kitab Sunan kepada putra-putraku," kata Amir.
"Ya, ketiga?" Tanya Abu Dawud kembali. Amir menerangkan,
“Hendaknya tuan mengadakan majelis tersendiri untuk mengajarkan
hadith kepada putra-putra khalifah, sebab mereka tidak mau duduk
bersama-sama dengan orang umum." Abu Dawud menjawab,
“Permintaan ketiga tidak dapat aku penuhi; sebab manusia itu baik
pejabat terhormat maupun rakyat melarat, dalam bidang ilmu sama."
Ibn Jabir menjelaskan, “Maka sejak itu putra-putra khalifah hadir dan
duduk bersama di majelis taklim; hanya saja di antara mereka dengan
orang umum di pasang tirai, dengan demikian mereka dapat belajar
bersama-sama." Maka hendaknya para ulama tidak mendatangi para
raja dan penguasa, tetapi merekalah yang harus datang kepada para
ulama. Dan kesamaan derajat dalam ilmu dan pengetahuan ini,
hendaklah dikembangkan apa yang telah dilakukan Abu Dawud
tersebut.
Setelah mengalami kehidupan penuh berkat yang diisi dengan
aktivitas ilmia, menghimpun dan menyebarluaskan hadith, Abu Dawud
meninggal dunia di Basrah yang dijadikannya sebagai tempat tinggal
atas permintaan Amir sebagaimana telah diceritakan. Ia wafat pada
20

tanggal 16 Syawwal 275 H/889M. Semoga Allah senantiasa


melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepadanya.
Cukup banyak hasil karya Imam Abu Dawud. Di antara karyanya
yaitu:
 Kitab al-Sunan (Sunan Abu Dawud)
 Kitab al-Marasil
 Kitab al-Qadr
 Al-Nasikh wa al-Mansukh
 Fada‟il al-A‟mal
 Kitab Al-Zuhd
 Dala„il al-Nubuwwah
 Ibtida„ al-Wahy
 Akhbar al-Khawarij.
Di antara karya-karya tersebut yang paling bernilai tinggi dan
masih tetap beredar adalah kitab al-Sunnan, yang kemudian terkenal
dengan nama Sunan Abi Dawud.

b. Kitab Sunan Abu Dawud


Karya-karya di bidang hadith, kitab-kitab Jami„ Musnad dan
sebagainya disamping berisi hadith-hadith hukum, juga memuat
hadith-hadith yang berkenaan dengan amal-amal yang terpuji (fada‟il
a„mal), kisah-kisah, nasehat-nasehat (mawa’iz), adab dan tafsir. Cara
demikian tetap berlangsung sampai datang Abu Dawud. Abu Dawud
menyusun kitabnya, khusus hanya memuat hadith-hadith hukum dan
sunnah-sunnah yang menyangkut hukum. Ketika selesai menyusun
kitab itu, ia meminta komentar kepada Imam Ahmad b. Hambal. Ibn
Hambal memujinya sebagai kitab yang indah dan baik.
Abu Dawud dalam sunannya tidak hanya mencantumkan hadith-
hadith sahih semata, sebagaimana yang telah dilakukan Imam al-
Bukhari dan Imam Muslim. Tetapi ia memasukkan pula ke dalamnya
hadith Sahih, hadith hasan, hadith da„if yang tidak terlalu lemah dan
21

hadith yang tidak disepakati oleh para imam untuk ditinggalkannya.


Hadith-hadith yang sangat lemah, ia jelaskan kelemahannya.
Cara yang ditempuh dalam kitabnya itu dapat diketahui dari
suratnya yang ia kirimkan kepada penduduk Makkah sebagai jawaban
atas pertanyaan yang diajukan mereka mengenai kitab Sunannya. Abu
Dawud menulis: “Aku mendengar dan menulis hadith Rasulullah Saw
sebanyak 500.000 hadith. Dari jumlah itu, aku seleksi sebanyak 4.800
hadith. Kemudian aku tuangkan hadith-hadith itu dalam kitab Sunan
ini. Dalam kitab tersebut aku himpun hadith-hadith Sahih, semi Sahih
dan yang mendekati Sahih. Dalam kitab itu aku tidak mencantumkan
sebuah hadith pun yang telah disepakati oleh orang banyak untuk
ditinggalkan. Segala hadith yang mengandung kelemahan yang sangat
telah aku jelaskan, bahwa hadith macam ini ada hadith yang tidak
Sahih sanadnya. Adapun hadith yang tidak kami beri penjelasan sedikit
pun, maka hadith tersebut bernilai salih (bisa dipakai dalil), dan
sebagian dari hadith yang sahih ini ada yang lebih sahih daripada yang
lain. Kami tidak mengetahui sebuah kitab, sesudah al-Qur‟an, yang
harus dipelajari selain daripada kitab ini. Empat hadith saja dari kitab
ini sudah cukup menjadi pegangan bagi keberagaman tiap orang.
Hadith tersebut adalah (yang artinya):
Pertama: "Segala amal itu hanyalah menurut niatnya, dan tiap-tiap
or memperoleh apa yang ia niatkan. Karena itu maka barang siapa
berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya hijrahnya kepada Allah
dan Rasul-Nya pula. Dan barang siapa hijrahnya karena untuk
mendapatkan dunia atau karena perempuan yang ingin dikawininya,
maka hijrahnya hanyalah kepada apa yang dia hijrah kepadanya itu."
Kedua: "Termasuk kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan
apa yang tidak berguna baginya."
Ketiga: "Tidaklah seseorang beriman menjadi mukmin sejati
sebelum ia merelakan untuk saudaranya apa-apa yang ia rela untuk
dirinya."
22

Keempat: "Yang halal itu sudah jelas, dan yang harampun telah
jelas pula. Di antara keduanya terdapat hal-hal syubhat (atau samar)
yang tidak diketahui oleh banyak orang. Barang siapa menghindari
syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatan dirinya;
dan barang siapa terjerumus ke dalam syubhat, maka ia telah
terjerumus ke dalam perbuatan haram, ibarat penggembala yang
mengembalakan ternaknya di dekat tempat terlarang. Ketahuilah,
sesungguhnya setiap penguasa itu mempunyai larangan. Ketahuilah,
sesungguhnya larangan Allah adalah segala yang diharamkal-Nya.
Ingatlah, di dalam rumah ini terdapat sepotong daging, jika ia baik,
maka baik pulalah semua tubuh dan jika rusak maka rusak pula seluruh
tubuh. Ingatlah, ia itu hati."
Demikianlah penegasan Abu Dawud dalam suratnya. Perkataan
Abu Dawud itu dapat dijelaskan sebagai berikut: Hadith pertama
adalah ajaran tentang niat dan keikhlasan yang merupakan asas utama
bagi semua amal perbuatan diniah dan duniawiah. Hadith kedua
merupakan tuntunan dan dorongan bagi ummat Islam agar selalu
melakukan setiap yang bermanfaat bagi agama dan dunia. Hadith
ketiga, mengatur tentang hak-hak keluarga dan tetangga, berlaku baik
dalam pergaulan dengan orang lain, meninggalkan sifal-sifat egoistis,
dan membuang sifat iri, dengki dan benci. Hadith keempat merupakan
dasar utama bagi pengetahuan tentang halal haram, serta cara
memperoleh atau mencapai sifat wara‟, yaitu dengan cara menjauhi
hal-hal musykil yang samar dan masih dipertentangkan status
hukumnya oleh para ulama, karena untuk menganggap enteng
melakukan haram. Dengan hadith ini nyatalah bahwa keempat hadith
di atas, secara umum, telah cukup untuk membawa dan menciptakan
kebahagiaan.
Tidak sedikit ulama yang memuji kitab Sunan ini. Hujjah al Islam,
Imam Abu Hamid al-Ghazali berkata, “Sunan Abu Dawud sudah
cukup bagi para mujtahid untuk mengetahui hadith-hadith ahkam."
23

Demikian juga dua imam besar, al-Nawawi dan Ibn al-Qayyim al-
Jauziyyah memberikan pujian terhadap kitab Sunan ini. Bahkan ia
menjadikan kitab ini sebagai pegangan utama di dalam pengambilan
hukum.

c. Jumlah Hadith dalam Sunan Abu Dawud


Di atas telah disebutkan bahwa isi Sunan Abu Dawud itu memuat
hadith sebanyak 4.800 hadith. Namun sebagian ulama ada yang
menghitungnya sebanyak 5.274 hadith. Perbedaan jumlah ini
disebabkan bahwa sebagian orang yang menghitungnya memandang
sebuah hadith yang diulang-ulang sebagai satu hadith, namun yang lain
menganggapnya sebagai dua hadith atau lebih. Dua jalan periwayatan
hadith atau lebih ini telah dikenal di kalangan ahli hadith.
Abu Dawud membagi kitab Sunannya menjadi beberapa kitab, dan
tiap-tiap kitab dibagi pula ke dalam beberapa bab. Jumlah kitab
sebanyak 35hadith, di antaranya ada 3 kitab yang tidak dibagi ke
dalam bab-bab. Sedangkan jumlah bab sebanyak 1.871hadith bab.

d. Hadith-hadith Sunan Abu Dawud yang Dikritik


Imam Al-Hafiz Ibnul Jauzi telah mengkritik beberapa hadith yang
dicantumkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dan memandangnya
sebagai hadith-hadith maudu‘ (palsu). Jumlah hadith tersebut sebanyak
9 hadith. Walaupun demikian, disamping Ibn al-Jauzi itu dikenal
sebagai ulama yang terlalu mudah memvonis maudu‘, namun kritik-
kritik telah ditanggapi dan sekaligus dibantah oleh sebagian ahli
hadith. Diantara mereka adalah Jalaluddin al-Suyuti. Andaikata kita
menerima kritik yang dilontarkan Ibn al-Jauzi tersebut, sebenarnya
hadith-hadith yang dikritiknya itu sedikit sekali jumlahnya, dan hampir
tidak ada pengaruhnya terhadap ribuan hadith yang terkandung di
dalam kitab Sunan tersebut. Karena itu kami melihat bahwa hadith-
hadith yang dikritik tersebut tidak mengurangi sedikit pun nilai kitab
24

Sunan sebagai referensi utama yang dapat dipertanggungjawabkan


keabsahannya.

2. Al-Sunan al-Sughra
Kitab al-Sunan al-Sughra adalah karya „Abdurrahman b. Ahmad b.
Syu‟aib al-Nasa‟I yang wafat tahun 303 H. Keistimewaan kitab ini adalah
pada kejelian penyusun dalam membuat bab-bab pembahasan yang
merupakan gabungan antara ilmu fikih dan ilmu isnad. Kitab ini telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Bey Arifin, Yunus „Ali Al
Muhdhor dan Dra. Ummu Maslamah Rayes dengan judul Tarjamah Sunan
Al-Nasa‟i.
a. Riwayat Hidup al-Nasa’i
Imam al-Nasa‟i merupakan ulama kenamaan dan ahli hadith pada
masanya. Ia adalah seorang imam ahli hadith, Shayk al-Islam,
sebagaimana diungkapkan al-Dhahabi dalam Tadhkirah-nya. Nama
lengkapnya Abu „Abdurrahman Ahmad b. „Ali b. Syu‟aib „Ali b. Sinan
b. Bahr al-Khurasani al-Qadi.
Dilahirkan di sebuah tempat bernama Nasa‟13 pada tahun 215 H.
Ada yang mengatakan pada tahun 214 H. Ia lahir dan tumbuh
berkembang di Nasa‟, sebuah kota di Khurasan yang banyak
melahirkan ulama-ulama dan tokoh-tokoh besar. Di madrasah negeri
kelahirannya itulah ia menghafal Al-Qur‟an, dan dari guru-guru
negerinya ia menerima pelajaran ilmu-ilmu agama yang pokok.
Setelah remaja, ia senang mengembara untuk mendapatkan hadith.
Belum lagi berusia 15 tahun, ia berangkat mengembara menuju Hijaz,
Iraq, Syam, Mesir dan Jazirah. Kepada ulama-ulama negeri tersebut ia
belajar hadith, sehingga ia menjadi seorang yang sangat terkemuka
dalam bidang hadith yang mempunyai sanad yang „ali (sedikit susunan
perawi pada sanadnya) dan dalam bidang kekuatan periwayatan hadith.

13
Al-Suyuti, Sunan al-Nas‟i bi al-Syarh (Beirut: Dar al-Fikr, tt), ba‟.
25

Al-Nasa‟i merasa cocok tinggal di Mesir. Oleh karena itu, ia


menetap di negeri itu, tepatnya di jalan Qanadil. Seterusnya ia menetap
di kampung itu hingga setahun menjelang wafatnya. Kemudian ia
berpindah ke Damsyik. Di tempatnya yang baru ini, ia mengalami
suatu peristiwa tragis yang menyebabkannya menjadi syahid.
Alkisah, ia dimintai pendapat tentang keutamaan Mu‟awiyyah r.a.
Dengan tindakan ini seakan-akan mereka minta kepada al-Nasa‟i agar
menulis sebuah buku tentang keutamaan Mu‟awiyyah, sebagaimana ia
telah menulis mengenai keutamaan Ali r.a. Oleh karena itu, ia
menjawab kepada orang yang memintanya itu, “Tidakkah Engkau
merasa puas dengan adanya kesamaan derajat (antara Mu‟awiyyah
dengan Ali sebagai shahabat), sehingga engkau merasa perlu untuk
mengutamakannya (Mu„awiyah)?" Mendapat jawaban seperti ini,
mereka naik pitam. Mereka memukulinya sampai-sampai buah
kemaluannya pun dipukul. Mereka menginjak-injaknya dan
menyeretnya keluar dari masjid, sehingga ia nyaris menemui
kematiannya.
Tidak ada kesepakatan pendapat tentang di mana ia meninggal
dunia. Imam al-Daraqutni menjelaskan, bahwa di saat mendapat
cobaan tragis di Damsyik itu al-Nasa‟i meminta supaya dibawa ke
Mekah. Permohonannya ini dikabulkan. Akhirnya ia pun meninggal di
Mekah, dan dikebumikan di suatu tempat antara Safa dan Marwah.
Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh „Abdullah b. Mandah dari
Hamzah al-‟Uqbi al-Misri, dan ulama yang lain.
Imam al-Dhahabi tidak sependapat dengan pendapat di atas.
Menurutnya, yang benar ialah bahwa al-Nasa‟i meningal di Ramlah,
suatu tempat di Palestina. Ibn Yunus dalam Tarikh-nya setuju dengan
pendapat ini, demikian pula Abu Ja‟far al-Tahawi dan Abu Bakr b.
Naqatah.
Jenazah Imam al-Nasa‟i dikebumikan di Bait al-Maqdis. Ia wafat
pada tahun 303 H.
26

Ia bermuka tampan. Warna kulitnya kemerah-merahan dan senang


mengenakan pakaian garis-garis buatan Yaman. Ia adalah seorang
yang banyak melakukan ibadah, baik di waktu malam atau siang hari.
Setiap ada kesempatan ia selalu menunaikan ibadah haji dan berangkat
berjihad. Selain itu, Nasa‟i telah mengikuti jejak Nabi Dawud, sehari
puasa dan sehari tidak.
Ia tidak saja ahli dan hafal hadith, mengetahui para perawi dan
kelemahal-kelemahan hadith yang diriwayatkan, tetapi ia juga ahli
fiqih yang berwawasan luas. Imam al-Daruqutni pernah berkata
mengenai Nasa‟i, bahwa ia adalah salah seorang Shaykh di Mesir yang
ahli dalam bidang fiqih pada masanya, dan paling mengetahui tentang
hadith dan perawi-perawi. Ibn al-Athir al-Jaza‟iri menerangkan dalam
muqaddimah Jami„ al-Usul-nya, bahwa al-Nasa‟i bermazhab Shafi„i. Ia
mempunyai Kitab Manasik yang ditulis berdasarkan mazhab Shafi„i.
Imam al-Nasa‟i telah menulis beberapa kitab besar yang tidak
sedikit jumlahnya, di antaranya:
 Al-Sunan al-Sughra, terkenal dengan nama Al-Mujtaba.
 Al-Sunan al-Kubra
 Al-Khasa‟is.
 Fada‟il al-Sahabah.
 Al-Manasik.
Di antara karya-karya tersebut, yang paling penting adalah Kitab
al-Sunan al-Sughra.

b. Sunan al-Nasa‘i
Al-Nasa‟i menerima hadith dari sejumlah guru hadith terkemuka.
Di antaranya ialah Qutaibah. Ia mengunjungi Qutaibah ketika berusia
15 tahun, dan selama 14 bulan belajar di bawah asuhannya. Guru
lainnya adalah Ishaq b. Rahawaih, al-Haris b. Miskin, „Ali b.
Khashram dan Abu Dawud penulis al-Sunan, serta al-Tirmidhi, penulis
al-Jami„.
27

Hadith-hadithnya yang diriwayatkan oleh para ulama tidak sedikit


jumlahnya. Para ulama tersebut antara lain Abu al-Qasim al-Tabrani
(penulis tiga buah Mu„jam), Abu Ja‟far al-Tahawi, al-Hasan b. al-
Khadir al-Suyuti, Muhammad b. Mu‟awiyyah b. al-Ahmar al-Andalusi
dan Abu Bakr b. Ahmad al-Sunni, perawi Sunan al-Nasa‟i.
Ketika Imam Nasa‟i selesai menyusun kitabnya, al-Sunan al-
Kubra, ia menghadiahkannya kepada Amir al-Ramlah. Amir itu
bertanya, “Apakah isi kitab ini sahih seluruhnya?” “Ada yang Sahih,
ada yang hasan, dan ada pula yang hampir serupa dengan keduanya,”
jawabnya. “Kalau demikian,” kata sang Amir, “pisahkan hadith-hadith
yang sahih saja." Atas permintaan Amir ini, maka al-Nasa‟i berusaha
menyeleksinya. Ia memilih yang sahih-sahih saja. Kemudian
dihimpunnya hadith-hadith itu dalam suatu kitab yang dinamakan al-
Sunan al-Sughra. Kitab ini disusun menurut sistematika fiqih
sebagaimana kitab-kitab sunan yang lain.
Imam Nasa‟i sangat teliti dalam menyusun kitab al-Suna al-
Sughra. Oleh karena itu, ulama berkata, “Kedudukan kitab al-Sunan
Sughra ini di bawah derajat Sahih Al-Bukhari dan Sahih Muslim,
karena sedikit sekali hadith da„if yang tedapat di dalamnya.”
Oleh karena itu, kita dapatkan bahwa hadith-hadith al-Sunan al-
Sughra yang dikritik oleh Abu al-Faraj b. al-Jauzi dan dinilainya
sebagai hadith mawdu„ kepada hadith-hadith tersebut tidak sepenuhnya
dapat diterima. Al-Suyuti telah menyanggahnya dan mengemukakan
pandangan yang berbeda dengannya mengenai sebagian besar hadith
yang dikritik itu. Dalam Sunan Nasa‟i terdapat hadith-hadith Sahih,
hasan, dan da„if, hanya saja hadith yang da„if sedikit sekali jumlahnya.
Adapun pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa isi kitab
Sunan ini Sahih semuanya, adalah suatu anggapan yang terlalu
sembrono, tanpa didukung oleh penelitian mendalam. Kemungkinan
lain, bahwa maksud pernyataan itu adalah bahwa sebagian besar isi
sunan ini adalah hadith Sahih.
28

3. Al-Jami‘
Kitab hadits al-Jami„ lebih dikenal dengan nama al-Sunan al-
Tirmidhi. Ia merupakan karya Imam Abu „Isa Muhammad b. „Isa al-
Tirmidhi yang wafat tahun 279 H. Kitab ini menghimpun hadith sahih,
hasan dan da„if. Namun demikian, al-Tirmidhi telah menjelaskan sebagian
besar derajat hadithnya. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl, Tafl, dkk. dengan judul
Tarjamah Sunan Al-Tirmidhi.
a. Riwayat Hidup
Imam al-Hafidh Abu „Isa Muhammad b. „Isa b. Saurah b. Musa b.
al-Dahhak al-Sulami al-Tirmidhi adalah salah seorang ahli hadith
kenamaan. Ia lahir pada 279 H di kota Tirmidh.
Kakek Abu „Isa al-Tirmidhi berkebangsaan Mirwaz, kemudian
pindah ke Tirmidh dan menetap di sana. Di kota inilah cucunya
bernama Abu „Isa dilahirkan. Semenjak kecilnya, Abu „Isa gemar
mempelajari ilmu dan mencari hadith. Untuk keperluan inilah ia
mengembara ke berbagai negeri, diantaranya: Hijaz, Iraq, Khurasan,
dan lain-lain. Dalam perlawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama-
ulama besar dan guru-guru hadith untuk mendengar hadith. Hadith-
hadith tersebut ia hafal dan catat dengan baik di perjalanan, atau ketika
tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa
menggunakannya dengan seorang guru di perjalanan menuju Mekah.
Setelah melalui perjalanan panjang untuk belajar, mencatat,
berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, pada akhir kehidupannya
al-Tirmidhi mendapat musibah kebutaan. Beberapa tahun lamanya ia
hidup sebagai tuna netra. Dalam keadaan seperti inilah akhirnya al-
Tirmidhi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmidh pada malam Senin 13
Rajab tahun 279 H dalam usia 70 tahun.
Ia belajar dan meriwayatkan hadith dari ulama-ulama kenamaan.
Di antaranya adalah Imam al-Bukhari. Kepadanya ia mempelajari
29

hadith dan fiqih. Ia juga belajar kepada Imam Muslim dan Abu
Dawud. Bahkan al-Tirmidhi belajar pula hadith dari sebagian guru
mereka.
Guru lainnya ialah Qutaibah b. Saudi Arabia„id, Ishaq b. Musa,
Mahmud b. Gailan, Said b. „Abd al-Rahman, Muhammad b. Basysyar,
„Ali b. Hajar, Ahmad b. Muni‟, Muhammad b. al-Musanna dan lain-
lain.
Hadith-hadith dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh
banyak ulama. Di antaranya ialah Makhul ibn al-Fadl, Muhammad
binMahmud „Anbar, Hammad b. Syakir,‟Ai-bd b. Muhammad al-
Nasfiyyun, al-Haisam b. Kulaib al-Syasyi, Ahmad b. Yusuf al-Nasafi,
Abul-‟Abbas Muhammad b. Mahbud al-Mahbubi (yang meriwayatkan
kitab Al-Jami„ daripadanya), dan lain-lain.
Abu „Isa al-Tirmidhi diakui oleh para ulama akan keahliannya
dalam hadith, kesalehan dan ketakwaannya. Ia terkenal pula sebagai
seorang yang dapat dipercaya, amanah dan sangat teliti.
Salah satu bukti kekuatan dan cepat hafalannya ialah kisah berikut
yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib al-Tahzib-
nya, dari Ahmad b. „Abdullah b. Abu Dawud. Ia berkata: “Saya
mendengar Abu „Isa al-Tirmidhi berkata: Pada suatu waktu dalam
perjalanan menuju Mekah, dan ketika itu saya telah menulis dua jilid
berisi hadith-hadith yang berasal dari seorang guru. Guru tersebut
berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia.
Mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu.
Kemudian saya menemuinya. Saya mengira bahwa "dua jilid kitab" itu
ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut,
melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah
bertemu dengannya, saya memohon kepadanya untuk mendengar
hadith, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia
membacakan hadith yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia
mencuri pandang. Ia melihat bahwa kertas yang kupegang masih putih
30

bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini,
ia berkata: „Tidakkah engkau malu kepadaku?‟ Aku bercerita dan
menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal
semuanya. „Coba bacakan!‟ suruhnya. Aku pun membacakan
seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: „Apakah telah engkau
hafalkan sebelum datang kepadaku?‟ „Tidak,‟ jawabku. Kemudian
saya meminta lagi agar ia meriwayatkan hadith yang lain. Ia pun
kemudian membacakan empat puluh hadith yang tergolong hadith-
hadith yang sulit atau garib, lalu berkata: „Coba ulangi apa yang
kubacakan tadi,‟ Aku membacakannya dari pertama sampai selesai;
dan ia berkomentar: „Aku belum pernah melihat orang sepertimu."
Para ulama besar memuji dan menyanjungnya. Mereka mengakui
akan kemuliaan dan keilmuannya. Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad
ibn Hibban, kritikus hadith, menggolongkan Tirmidhi ke dalam
kelompok Thiqah atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kokoh
hafalannya. Ia berkata, “Tirmidhi adalah salah seorang ulama yang
mengumpulkan hadith, menyusun kitab, menghafal hadith dan suka
bermuzakarah (berdiskusi) dengan para ulama.”
Abu Ya‟la al-Khalili, dalam kitabnya „Ulumul Hadith
menerangkan, “Muhammad b. „Isa al-Tirmidhi adalah seorang
penghafal dan ahli hadith yang baik yang telah diakui oleh para ulama.
Ia memiliki kitab sunan dan kitab Al-Jarh wa al-Ta‟dil. Hadith-
hadithnya diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia
terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, seorang ulama dan
imam yang menjadi ikutan, dan berilmu luas. Kitabnya Al-Jami„ al-
Sahih sebagai bukti atas keagungan derajatnya, keluasan hafalannya.
Banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang hadith yang sangat
mendalam.
Imam Tirmidhi dikenal sebagai ahli dan penghafal hadith yang
mengetahui kelemahal-kelemahan dan perawi-perawinya. Selain itu, ia
juga dikenal sebagai ahli fiqih yang mewakili wawasan dan pandangan
31

luas. Barang siapa mempelajari kitab Jami„-nya, ia akan mendapatkan


ketinggian ilmu dan kedalaman penguasaannya terhadap berbagai
mazhab fikih. Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqih
mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan
mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya.
Salah satu contoh ialah penjelasannya terhadap sebuah hadith
mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si
berhutang yang sudah mampu sebagai berikut: “Muhammad b.
Basysyar b. Mahdi menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan
kepada kami, dari Abi al-Zunad, dari al-A‟rai dari Abu Hurairah, dari
Nabi Saw, bersabda, „Penangguhan membayar utang yang dilakukan
oleh si berutang) yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila
seseorang di antara kamu dipindahkan hutangnya kepada orang lain
yang mampu membayar, hendaklah pemindahan hutang itu
diterimanya.”
Imam al-Tirmidhi memberikan penjelasan sebagai berikut:
Sebagian ahli ilmu berkata, “Apabila seseorang dipindahkan
piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar, dan ia
menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang memindahkan
(muhil) itu. Bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak
dibolehkan menuntut kepada muhil.” Pernyataan ini adalah pendapat
Syafi‟i, Ahmad dan Ishaq. Sebagian ahli ilmu yang lain berkata,
“Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan
muhal ‘alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang
pertama (muhil)." Mereka memakai alasan dengan perkataan Uthman
dan lainnya, yang menegaskan, "Tidak ada kerugian atas harta benda
seorang Muslim.” Menurut Ishaq, perkataan, “Tidak ada kerugian atas
harta benda seorang Muslim,” ini adalah: “Apabila seseorang
dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu,
namun ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian
atas harta benda orang muslim (yang dipindahkan hutangnya) itu.”
32

Itulah salah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, bahwa


betapa cemerlangnya pemikiran fiqih al-Tirmidhi dalam memahami
nas-nas hadith, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu.
Imam Tirmidhi banyak menulis kitab-kitab. Di antaranya adalah
sebagai berikut:
 Kitab Al-Jami„, terkenal dengan sebutan Sunan al-Tirmidhi.
 Kitab Al-‟Ilal.
 Kitab Al-Tarikh.
 Kitab Al-Syama‟il al-Nabawiyyah.
 Kitab Al-Zuhd.
 Kitab Al-Asma‟ wal-kuna.
Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar dan terkenal serta
beredar luas adalah Al-Jami„.

b. Kitab Al-Jami‘
Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmidhi terbesar dan
paling banyak manfaatnya. Ia tergolong salah satu Kutub al Sittah
(Enam Kitab Pokok Bidang Hadith). Al-Jami„ ini terkenal dengan
nama Jami„ al-Tirmidhi, dinisbatkan kepada penulisnya. Kitab ini juga
terkenal dengan nama Sunan al-Tirmidhi. Namun nama pertamalah
yang popular.
Sebagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar al-Sahih
kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan Sahih al-
Tirmidhi. Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat dan terlalu
gegabah.
Setelah selesai menyususn kitab ini, Tirmidhi memperlihatkan
kitabnya kepada para ulama. Mereka senang dan menerimanya dengan
baik. Ia menerangkan, “Setelah selesai menyusun kitab ini, aku
perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan
Khurasa, dan mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah
tersebut ada Nabi yang selalu berbicara."
33

Imam Tirmidhi di dalam Al-Jami„-nya tidak hanya meriwayatkan


hadith Sahih semata, tetapi juga meriwayatkan hadith-hadith hasan,
da‟if, garib dan mu‟allal dengan menerangkan kelemahannya.
Dalam pada itu, ia tidak meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali
hadith-hadith yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqih.
Metode demikian ini merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh
karenanya, ia meriwayatkan semua hadith yang memiliki nilai
demikian, baik jalan periwayatannya itu Sahih ataupun tidak Sahih.
Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan
keadaan setiap hadith.
Diriwayatkan, bahwa ia pernah berkata, “Semua hadith yang
terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan." Oleh karena itu,
sebagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali
dua hadith, yaitu:
Pertama, yang artinya: "Sesungguhnya Rasulullah Saw menjamak
shalat Dhuhur dengan „Asar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya
sebab takut dan dalam perjalanan.” “Jika ia peminum khamar - minum
lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.” Hadith ini
adalah mansukh dan ijma„ ulama menunjukan demikian. Sedangkan
mengenai shalat jamak dalam hadith di atas, para ulama berbeda
pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar
ulama berpendapat boleh hukumnya melakukan shalat jamak di rumah
selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibn
Sirin dan Ash‟ab serta sebagian besar ahli fiqih dan ahli hadith juga
Ibn Mundhir.
Hadith-hadith da‟if dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada
umumnya hanya menyangkut fada‟il al-a„mal (anjuran melakukan
perbuatal-perbuatan kebajikan). Hal itu dapat dimengerti, karena
persyaratan-persyaratan bagi (meriwayatkan dan mengamalkan) hadith
semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi
hadith-hadith tentang halal dan haram.
34

4. Sunan Ibnu Majah


Kitab sunan ini merupakan karya Muhammad b. Yazid b. Majah
al-Qazwini, wafat 274 H. Para ulama menjadikan kitab ini sebagai
penyempurna bagi enam kitab diatas, mengingat peranan besar yang
dirasakan umat Islam pada kitab ini dalam bidang fiqih. Kitab ini telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh H. Abdullah Shonhaji, dkk.
dengan judul Tarjamah Sunan Ibnu Majah .
a. Riwayat Hidup
Ibn Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang
disepakati tentang kejujurannya, dan dapat dijadikan argumentasi
pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak
menghafal hadith.
Imam Abu Abdullah Muhammad b. Yazid b. Majah ar-Rabi‟i al-
Qarwini, pengarang kitab Al-Sunan dan kitab-kitab bemanfaat lainnya.
Kata "Majah " dalam nama beliau adalah dengan huruf "ha‟" yang
dibaca sukun. Inilah pendapat yang sahih yang dipakai oleh mayoritas
ulama, bukan dengan "ta‟" sebagaimana pendapat sementara orang.
Kata itu adalah gelar ayah Muhammad.
Imam Ibn Majah dilahirkan di Qaswin pada tahun 209 H, dan
wafat pada tanggal 22 Ramadhan 273 H. Jenazahnya dishalatkan oleh
saudaranya, Abu Bakar. Sedangkan pemakamannya dilakukan oleh
kedua saudaranya, Abu Bakar dan Abdullah serta putranya, Abdullah.
Ia berkembang dan meningkat dewasa sebagai orang yang cinta
mempelajari ilmu dan pengetahuan, teristimewa mengenai hadith dan
periwayatannya. Untuk mencapai usahanya dalam mencari dan
mengumpulkan hadith, ia telah melakukan lawatan ke beberapa negeri.
Ia melawat ke Iraq, Hijaz, Syam, Mesir, Kufah, Basrah dan negara-
negara serta kota-kota lainnya untuk menemui dan berguru hadith
kepada ulama-ulama hadith. Ia juga belajar kepada murid-murid Malik
35

dan al-Laith, sehingga ia menjadi salah seorang imam terkemuka pada


masanya di dalam bidang ilmu hadith.
Ia belajar dan meriwayatkan hadith dari Abu Bakr b. Abi Shaibah,
Muhammad b. Abdullah b. Numair, Hisyam b. „Ammar, Muhammad
b. Ramh, Ahmad b. al-Azhar, Bisyr b. Adan, dan ulama-ulama besar
lain.
Sedangkan hadith-hadithnya diriwayatkan oleh Muhammad b. „Isa
al-Abhari, Abul Hasan al-Qattan, Sulaiman b. Yazid al-Qazwini, Ibn
Sibawaih, Ishak b. Muhammad dan ulama-ulama lainnya. Abu Ya‟la
al-Khalili al-Qazwini berkata, “Ibn Majah adalah seorang kepercayaan
yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dapat dijadikan
argumentasi pendapal-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas
dan banyak menghafal hadith."
Dalam Tazkiratul Huffaz, Az-Zahabi melukiskannya sebagai
seorang ahli hadith besar mufasir, pengarang kitab sunan dan tafsir,
serta ahli hadith kenamaan negerinya.
Ibn Kasir, seorang ahli hadith dan kritikus hadith berkata dalam
Bidayah-nya berkata, "Muhammad b. Yazid (Ibn Majah ) adalah
pengarang kitab sunan yang masyhur. Kitabnya merupakan bukti atas
amal dan ilmunya, keluasan pengetahuan dan pandangannya, serta
kredibilitas dan loyalitasnya kepada Islam.
Imam Ibn Majah mempunyai banyak karya tulis. Di antara karya
tulisnya adalah:
 Kitab al-Sunan, salah satu Kutub al-Sittah (Enam Kitab Hadith
yang Pokok).
 Kitab Tafsir Al-Qur‟an, sebuah kitab tafsir yang besar manfaatnya
seperti diterangkan Ibn Kasir.
 Kitab Tarikh, berisi sejarah sejak masa sahabat sampai masa Ibn
Majah .

b. Sunan Ibn Majah


36

Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Ibn Majah terbesar
yang masih beredar hingga sekarang. Dengan kitab inilah, nama Ibn
Majah menjadi terkenal. Ia menyusun sunan ini menjadi beberapa
kitab dan beberapa bab. Sunan ini terdiri dari 32 kitab, 1.500 bab.
Sedang jumlah hadithnya sebanyak 4.000 hadith.
Kitab sunan ini disusun menurut sistematika fiqih, yang dikerjakan
secara baik dan indah. Ibn Majah memulai sunan-nya dengan sebuah
bab tentang mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Dalam bab ini ia
menguraikan hadith-hadith yang menunjukkan kekuatan sunnah,
kewajiban mengikuti dan mengamalkannya.
Sebagian ulama tidak memasukkan Sunan Ibn Majah ke dalam
kelompok "Kitab Hadith Pokok" mengingat derajat sunan ini lebih
rendah dari kitab-kitab hadith yang lima. Sebagian ulama yang lain
menetapkan, bahwa kitab-kitab hadith yang pokok ada enam kitab,
yaitu:
 Sahih Al-Bukhari, karya Imam al-Bukhari.
 Sahih Muslim, karya Imam Muslim.
 Sunan Abu Dawud, karya Imam Abu Dawud.
 Sunan al-Nasa‟i, karya Imam Nasa‟i.
 Sunan al-Tirmidhi, karya Imam Tirmidhi.
 Sunan Ibn Majah , karya Imam Ibn Majah .
Ulama pertama yang memandang Sunan Ibn Majah sebagai kitab
keenam adalah al-Hafiz Ab al-Fadl Muhammad b. Tahir al-Maqdisi
(wafat pada 507 H) dalam kitabnya Atraf al-Kutub al-Sittah dan dalam
risalahnya Syurut al-„A‟immah al-Sittah.
Pendapat itu kemudian diikuti oleh al-Hafiz „Abd al-Ghani b. al-
Wahid al-Maqdisi (wafat 600 H) dalam kitabnya Al-Ikmal fi Asma‟ al-
Rijal. Selanjutnya pendapat mereka ini diikuti pula oleh sebagian besar
ulama. Mereka mendahulukan Sunan Ibn Majah dan memandangnya
sebagai kitab keenam, tetapi tidak mengkategorikan kitab Al-Muwatta‟
karya Imam Malik sebagai kitab keenam, padahal kitab ini lebih Sahih
37

daripada Sunan Ibn Majah . Hal ini mengingat bahwa Sunan Ibn Majah
banyak zawa’id-nya (tambahannya) atas Kutub al- Khamsah. Berbeda
dengan Al-Muwatta‟, yang hadith-hadith itu kecuali sedikit sekali,
hampir seluruhnya telah termuat dalam Kutub al Khamsah.
Di antara para ulama ada yang menjadikan Al-Muwatta‟ Imam
Malik sebagai salah satu Kutub al-Sittah (Enam Kitab Pokok), bukan
Sunan Ibn Majah . Ulama pertama yang berpendapat demikian adalah
Abu al-Hasan Ahmad b. Razin al-Abdari al-Sarqisti (wafat sekitar
tahun 535 H) dalam kitabnya al-Tajrid fi al-Jami„ Bain al-Sihah.
Pendapat ini diikuti oleh Abu al-Sa‟adat Majduddin Ibn al-Asir al-
Jazairi al-Syafi‟i (wafat 606 H). Demikian pula al-Zabidi al-Syafi‟i
(wafat 944 H) dalam kitabnya Taysir al-Wusul.

c. Nilai Hadith-hadith Sunan Ibn Majah


Sunan Ibn Majah memuat hadith-hadith Sahih, hasan, dan da„if,
bahkan hadith-hadith munkar dan maudu’, meskipun dalam jumlah
sedikit. Martabat Sunan Ibn Majah ini berada di bawah martabat
Kutub al-Khamsah (Lima Kitab Pokok). Hal ini karena kitab sunan ini
yang paling banyak memuat hadith-hadith da„if di dalamnya. Oleh
karena itu, tidak seyogyanya kita menjadikan hadith-hadith yang
dinilai lemah atau palsu dalam Sunan Ibn Majah ini sebagai dalil.
Kecuali setelah mengkaji dan meneliti terlebih dahulu mengenai
keadaan hadith-hadith tersebut. Bila ternyata hadith dimaksud itu sahih
atau hasan, maka ia boleh dijadikan pegangan. Jika tidak demikian
adanya, maka hadith tersebut tidak boleh dijadikan dalil.
Ibn Majah telah meriwayatkan beberapa hadith dengan sanad
tinggi (pendek susunan sanadnya), sehingga antara dia dengan Nabi
Saw hanya terdapat tiga perawi. Hadith semacam inilah yang dikenal
dengan sebutan thulathiyyat.
38

Daftar Pustaka

al-Dhahabi, Syams al-Din. Siyar Min A’lam al-Nubala’, tahqiq Syu‟aib Al


Arna‟ut. Beirut: Mu‟assasah al-Risalah, 2001
al-Naisaburi, Muslim b. Hajjaj al-Qusairi. Sahih Muslim. Beirut: Dar al-Kutub al-
„Ilmiyyah, 2000
Al-Suyuti. Sunan al-Nas’i bi al-Syarh. Beirut: Dar al-Fikr, 1995
al-Tirmizi, Abu „Isa Muhammad b. „Isa. al-Jami‘ al-Shahih ay Sunan al-Tirmizi,
tahqiq Ahmad Muhammad Sykir. Beirut: Dar al-Fikr, 1998
al-Qastalani, Abu al-„Abbas Sihab al-Din Ahmad. Irsad al-Sari li Sarh Sahih al-
Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr, 1990
Imam Muslim, dalam: http://mediabilhikmah.multiply.com/journal (19 Januari
2009)
Imam Muslim, dalam: http://www.pmo.gov.my/ (19 Januari 2009)

Anda mungkin juga menyukai