Anda di halaman 1dari 1

Cerita Pendek Harris Effendi Thahar

Dulu, ayahku jarang sekali tinggal di rumah lama-lama di siang hari. Sehabis makan siang,
mengaso sebentar, lalu pergi lagi. Tak terkecuali hari Minggu. Kadang-kadang, ayah pergi sehari
dua hari ke luar kota dan pulang

nya selalu membawa oleh-oleh untuk kami. Kalau ayah pulang pagi hari dari perjalanan luar
kotanya, biasanya ayah tinggal di rumah sampai habis zuhur, lalu pergi dan pulang malam hari.
Kalau ayah sudah lewat dua hari tidak pulang, saya akan bertanya pada ibu kemana ayah pergi.
"Ayahmu pulang ke rumah istri mudanya," jawab ibu tanpa ekspresi yang meyakinkan. Tapi,
sebagai kanak-kanak yang berusia enam tahun lebih, sudah duduk di kelas satu, aku menangis
tanda protes. Aku akan memukul-mukul ibu dengan tanganku yang kecil, ketika ibu sedang
menyusukan adik bungsuku. "Jangan pukul ibu, nanti ibu mati. Kamu mau kalau ibu mati? Kamu
tinggal dengan ibu tiri, mau?" Aku semakin menangis, sampai-sampai adik bungsuku yang asyik
menyusu itu kucubit tanda kesal dan mengkal. Adik menangis pula. Ibu marah dan
mengancamku dengan seikat lidi. Menangis terisak-isak, lari ke beranda mencari belas kasihan
kakak perempuanku yang sudah gadis remaja. Dialah ibu kedua bagiku, yang begitu telaten
mengasuhku sejak usia dua tahun, ketika adikku lahir. Aku panggil dia uni. Uni akan
membujukku pergi ke warung membeli kerupuk atau kembang gula. Setelah usiaku sepuluh
tahun, barulah aku tahu bahwa ayahku seorang dai. Kalau tidak jadi Khatib Jumat, ia memberi
wirid pengajian. Sehabis shalat Asyar di masjid pasar yang cuma satu kilometer dari rumah, ayah
mengajar bahasa Arab untuk remaja dan anak-anak. Karena aku sudah kelas empat, aku disuruh
ayah ikut belajar bahasa Arab setiap sore, kecuali hari Jumat dan Minggu. Sejak itu aku merasa
tak enak pada ayah. Aku ingin main layangan atau apa saja permainan kanak-kanak sebayaku.
Aku ingin cepat besar sebesar uda, kakak lelakiku yang sudah STM. Udaku itu begitu bebas
pergi dengan banyak alasan, seperti belajar tambahan, olah raga, dan praktik bengkel. Sedang
aku? Meski dibelikan kopiah dan sarung baru, aku lebih suka main daripada belajar bahasa Arab.
Tak jauh dari rumahku, hampir tiap sore anak-anak sebayaku berkumpul menyaksikan latihan
musik di rumah Pak Daud, tepatnya di pekarangan rumahnya yang luas dan rimbun oleh
pepohonan. Di bawah pohon jambu yang besar, ada dua ambin bambu berhadap-hadapan. Di
situlah orkes itu digelar, tepatnya latihan. Pak Daud memegang biola, dua temannya yang kira-
kira sebaya dengannya memainkan gitar akustik, lalu seorang lelaki muda yang selalu bercukur
pendek dan

Anda mungkin juga menyukai