Pengertian Asfiksia
Neonatus adalah bayi baru lahir yang berusia sampai dengan 28 hari. Pada
masa tersebut terjadi perubahan yang sangat besar dari kehidupan di dalam rahim
dan terjadi pematangan organ hampir pada semua sistem. Bayi hingga usia kurang
satu bulan merupakan golongan umur yang memiliki risiko gangguan kesehatan
paling tinggi, berbagai masalah kesehatan bisa muncul. Sehingga tanpa
penanganan yang tepat, bisa berakibat fatal. Neonatal dengan komplikasi adalah
neonatal dengan penyakit dan atau kelainan yang dapat menyebabkan kecacatan
dan atau kematian, seperti asfiksia (Kementerian Kesehatan, 2015).
Asfiksia merupakan kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada saat
lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia,
hiperkarbia dan asidosi. Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan
kelanjutan dari anoksida/hipoksia janin. Diagnosis anoksida/hipoksia janin dapat
dibuat dalam persalinan dengan ditemukannya tanda-tanda gawat janin. Tiga hal
yang perlu mendapat perhatian ( Maryunani 2013:291). Asfiksia adalah keadaan
dimana bayi yang baru dilahirkan tidak segera bernafas secara spontan dan teratur
setelah dilahirkan (Mochtar, 2011).
B. Etiologi
1. Faktor ibu
a. Ketuban pecah dini (KPD)
Ketuban pecah dini dapat mengakibatkan asfiksia, baik akibat
kelahiran kurang bulan, sindrom gawat napas, gangguan plasenta
maupun infeksi. Terjadinya asfiksia seringkali diawali infeksi yang
terjadi pada bayi, baik pada bayi cukup bulan terlebih lagi pada bayi
kurang bulan,7 dengan infeksi keduanya saling mempengaruhi. Ketuban
pecah dini dapat memudahkan infeksi asenden. Infeksi tersebut dapat
berupa amnionitis dan korionitis atau gabungan keduanya disebut
korioamnionitis. Selain itu korioamnionitis dapat dihubungkan dengan
lama pecah selaput ketuban, jumlah kali periksa dalam dan pola kuman
terutama grup Staphylococus. Sepsis awitan dini sering dihubungkan
dengan infeksi intranatal, sedangkan sepsis awitan lambat sering
dihubungkan dengan infeksi pascanatal terutama nosokomial (Pediatri,
2013 : 318).
Mengingat besarnya pengaruh ketuban pecah dini terhadap risiko
terjadinya kejadian asfiksia neonatorum, maka perlu upaya peningkatan
pemanfaatan pelayanan antenatal oleh ibu hamil sehingga dalam
pemeriksaan kehamilan dapat mendeteksi tandatanda bahaya kehamilan
seperti ketuban pecah dini yang dapat menimbulkan risiko terjadinya
asfiksia neonatorum. Pencegahan yang dapat diupayakan untuk
mencegah terjadinya Ketuban Pecah Dini (KPD) yaitu dengan
mengurangi aktivitas dan dianjurkan istirahat pada triwulan kedua atau
awal triwulan ketiga serta tidak melakukan kegiatan yang
membahayakan kandungan selama kehamilan serta berhenti merokok dan
menghindari lingkungan perokok agar tak menjadi perokok pasif (Lidya
2014:38).
b. Hipoksia
Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya.
Hipoksia ibu ini dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat
analgetika atau anestesia dalam. Gangguan aliran darah uterus.
Mengurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan
berkurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan demikian pula ke janin.
Hal ini sering ditemukan pada keadaan:
1) Gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipertoni atau tetani
uterus akibat penyakit atau obat.
2) Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan.
3) Hipertensi pada penyakit eklampsia dan lain-lain.
4) Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
5) Gravid ekonomi rendah
6) Penyakit pembuluh dara ibu yang mengganggu pertukaran gas janin,
misalnya hipertensi, hipotensi, gangguan konstraksi uterus dan
lainlain.
2. Faktor plasenta
a. Plasenta tipis
b. Plasenta kecil
c. Plasenta tak menempel
d. Solution plasenta
e. Perdarah plasenta
3. Faktor non plasenta
a. Premature
b. IUGR
c. Gemeli
d. Tali pusat menumbung
e. Kelainan congenital
4. Faktor persalinan
a. Partus lama
b. Partus tindakan (Rochmah,dkk, 2012:20).
C. Manifestasi Klinis
Asfiksia biasanya merupakan akibat hipoksia janin yang menimbulkan tanda-
tanda klinis pada janin atau bayi berikut ini :
1. DJJ lebih dari 100x/menit atau kurang dari 100x/menit tidak teratur.
2. Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala Tonus otot buruk karena
kekurangan oksigen pada otak, otot, dan organ lain.
3. Depresi pernafasan karena otak kekurangan oksigen.
4. Bradikardi (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada
otot-otot jantung atau sel-sel otak.
5. Tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung,
kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta
sebelum dan selama proses persalinan.
6. Takipnu (pernafasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru atau
nafas tidak teratur/megap-megap.
7. Sianosis (warna kebiruan) karena kekurangan oksigen didalam darah.
8. Penurunan terhadap spinkters.
9. Pucat (Lockhart 2014: 51-52).
D. Patofisiologis
Menurut Yulianti (2015), segera setelah lahir bayi akan menarik nafas
yang pertama kali (menangis), pada saat ini paru janin mulai berfungsi untuk
resoirasi. Alveoli akan mengembang udara akan masuk dan cairan yang ada di
dalam alveoli akan meninggalkan alveoli secara bertahap. Bersamaan dengan ini
arteriol paru akan mengembang dan aliran darah ke dalam paru meningkat secara
memadai (Yulianti, 2015). Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah
timbulah rangsangan terhadap nervus vagus sehingga DJJ (denyut jantung janin)
menjadi lambat. Jika kekurang O2 terus berlangsung maka nervus vagus tidak
dapat dipengaruhi lagi. Timbulah kini rangsangan dari nervus simpatikus sehingga
DJJ menjadi lebih cepat dan akhirnya ireguler dan menghilang. Janin akan
mengadakan pernafasan intrauterine dan bila kita periksa kemudian terdapat
banyak air ketuban dan mekonium dalam paru, bronkus tersumbat dan terjadi
atelektasis. Bila janin lahir, alveoli tidak berkembang. Jika berlanjut, bayi akan
menunjukan pernafasan yang dalam, denyut jantung terus menurun, tekanan darah
bayi juga mulai menurun dan bayi akan terlihat lemas. Pernafasan makin lama
makin lemah sampai bayi memasuki periode apneu sekunder. Selama epneu
sekunder, denyut jantung, tekanan darah dan kadar O2 dalam darah (PaO2) terus
menurun. Bayi sekarang tidak dapat berekasi terhadap rangsangan dan tidak akan
menunjukan upaya pernafasan secara spontan (Yulianti 2015).
E. Pathway
Persalinan lama, lilitan tali pusat, Paralisis pusat Faktor lain: anastesi,
presentasi janin abnormal pernafasan obat narkotik
Asfiksia
Ketidakefektifan Gangguan
Nafas cepat Suplai O2 Suplai O2 metabolisme &
ke paru dalam bersihan jalan
nafas perubahan asam
menurun darah
Apneu basa
menurun
Pola nafas
tidak efektif
F. Komplikasi
1. Edema otak dan perdarahan otak
Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah berlarut
sehingga terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran darah ke otak pun
menurun, keadaan ini akan menyebabkan hipoksia dan iskemik otak yang
berakibat terjadinya edema otak, hal ini juga dapat menimbulkan perdarahan
otak.
2. Anuria atau oliguria
Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita asfiksia,
keadaan ini dikenal dengan istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya,
yang disertai dengan perubahan sirkuasi. Pada keadaan ini curah jantung akan
lebih banyak mengair ke organ seperti mesentrium dan ginjal. Hal inilah yang
menyebabkan terjadinya hipoksia pada pembuluh darah mesentrium dan
ginjal yang menyebabkan pengeluaran urin sedikit.
3. Kejang
Pada bayi yang mengalami asfiksia akan terjadi gangguan pertukaran gas dan
transport O2 sehingga penderita kekurangan persediaan O2 dan kesulitan
dalam pengeluaran CO2 hal ini dapat menyebabkan kejang pada anak
tersebut karena perfusi jaringan yang tidak efektif.
4. Koma
Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan menyebabkan
koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan perdarahan pada otak.
G. Penatalaksanaan
Menurut Prambudi (2013), tatalaksana pada asfiksia, yaitu :
1. Dalam ruang bersalin:
a. Ruang bersalin di rumah sakit harus mempunyai peralatan dan staf yag
memadai.
b. Resusitasi dan stabilisasi memerlukan tersedianya staf yang memiliki
kualifikasi dan peralatan dengan segera.
c. Oksigenasi yang memadai dan dipertahankannya suhu merupakan hal
yang sangat penting.
d. Siapkan plastik untuk mencegah penguapan pada bayi prematur
2. Di unit neonatus
a. Pengaturan suhu untuk pencapaian lingkungan suhu netral sesuai dengan
prosedur.
b. Terapi oksigen dan bantuan ventilasi.
c. Terapi cairan dan elektrolit untuk menggantikan insensible water loss
dalam jumlah besar yang dan mempertahankan hidrasi yang baik serta
konsentrasi glukosa dan elektrolit plasma normal.
H. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefekktifan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas
(banyaknya mukus).
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hipoventilasi/hiperventilasi
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi
ventilasi
4. Resiko cedera berhubungan dengan anomali kongenital tidak terdeteksi atau
tidak teratasi pemajanan pada agen-agen infeksius
5. Resiko ketidakseimbangan suhu tubuh berhubungan dengan kurangnya suplei
O2 dalam darah
I. Rencana Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan NOC NIC
1. Ketidakefektifan bersihan Respiratory status : Airway suction
jalan nafas b.d obstruksi ventilation 1. Pastikan kebutuhan
jalan nafas (banyaknya Respiratory status : oral/tracheal
mukus) airway patency suctioning
Aspiration control 2. Auskultasi suara
Setelah dilakukan nafas sebelum dan
tindakan keperawatan sesudah suctioning
selama .... klien 3. Informasikan pada
menunjukkan pasien dan keluarga
keefektifan jalan nafas tentang suctioning
dengan kriteria hasil : 4. Minta pasien nafas
Mendemonstrasikan dalam sebelum
batuk efektif dan suction dilakukan
suara nafas yang 5. Berikan O2 dengan
bersih, tidak ada menggunakan nasal
sianosis dan untuk menfasilitasi
dyspneu suction nasotracheal
Menunjukkan jalan 6. Gunakan alat yang
nafas yang paten steril setiap
Mampu melakukan tindakan
mengidentifikasikan 7. Anjurkan pasien
dan mencegah faktor untuk istirahat dan
penyebab. nafas dalam setelah
kateter dikeluarkan
dari nasotracheal
8. Monitor status
oksigen pasien
9. Ajarkan keluarga
bagaimana cara
melakukan suction
10. Hentikan
suction dan berikan
oksigen apabila
pasien menunjukkan
bradikardi,
peningkatan saturasi
O2, dll.
Airway management
1. Buka jalan nafas
gunakan teknik chin
lift atau jaw trusht
bila perlu
2. Posisikan pasien
untuk
memaksimalkan
ventilasi
3. Identifikasi pasien
perlunya
pemasangan alat
jalan nafas buatan
4. Pasang mayo bila
perlu
5. Lakukan fisioterapi
dada jika perlu
6. Keluarkan sekret
dengan batuk atau
suction
7. Auskultasi suara
nafas, catat adanya
suara nafas
tambahan
8. Lakukan suction
pada mayo
9. Berikan
bronkodilator bila
perlu
10. Berikan
pelembab udara
kassa basah NaCl
lembab
11. Atur intake
untuk cairan
mengoptimalkan
keseimbangan
12. Monitor
respirasi dan status
O2
2. Ketidakefektifan pola Respiratory status : Airway management
nafas berhubungan dengan ventilation 1. Buka jalan nafas
hipoventilasi/hiperventilasi Respiratory status : gunakan teknik chin
airway patency lift atau jaw trusht
Vital sign status bila perlu
Setelah dilakukan 2. Posisikan pasien
tindakan keperawatan untuk
selama ......... pasien mengoptimalkan
menunjukkan ventilasi
keefektifan pola nafas 3. Identifikasikan
dengan: pasien perlunya
Mendemonstrasikan pemasangan alat
batuk efektif dan jalan nafas bantuan
suara nafas bersih, 4. Pasang mayo bila
tidak ada sianosis perlu
dan dyspneu 5. Lakukan fisioterapi
Menunjukkan jalan bila perlu
nafas yang paten 6. Keluarkan sekret
Tanda-tanda vital dengan batuk atau
dalam rentang suction
normal 7. Auskultasi suara
nafas, catat adanya
suara tambahan
8. Lakukan suction
pada mayo
9. Berikan
bronkodilator bila
perlu
10. Berikan
pelembab udara kasa
NaCl lembab
11. Atur intake
untuk cairan
mengoptimalkan
keseimbangan
12. Monitor
respirasi dan status
O2
Oxygen therapy
1. Bersihkan mulut,
hidung, dan sekret
trachea
2. Pertahankan jalan
nafas yang paten
3. Atur peralatan
oksigen
4. Monitor aliran
oksigen
5. Pertahankan posisi
pasien
6. Observasi adanya
tanda-tanda
hipoventilasi
7. Monitor adanya
kecemasan pasien
terhadap oksigenasi
Vital sign monitoring
1. Monitor TD, nadi,
RR, dan suhu
2. Catat adanya
fluktuasi tekanan
darah
3. Monitor vital sign
saat pasien
berbaring, duduk,
atau berdiri
4. Auskultasi TD pada
kedua tangan dan
bandingkan
5. Monitor vitsl sign
sebelum dan setelah
aktivitas
6. Monitor kualitas
dari nadi
7. Monitor frekuensi
dan irama
pernafasan
8. Monitor suara paru
9. Monitor pola
pernafasan
abnormal
10. Monitor suhu,
warna, dan
kelembapan kulit
11. Monitor
sianosis perifer
12. Monitor
adanya cushing
triad
13. Identifikasi
penyebab dari
perubahan vital sign
3 Gangguan pertukaran gas Respiratory status : Respiratory
berhubungan dengan gas exchange monitoring
ketidakseimbangan perfusi Respiratory status : 1. Monitor rata-rata,
ventilasi ventilation kedalaman, irama,
Vital sign status dan usaha respirasi
Setelah dilakukan 2. Catat pergerakan
tindakan keperawatan dada, amati
selama ..... pasien kesimetrisan,
menunjukkan respirasi penggunaan otot
dan vital sign dalam tambahan, retraksi
batas normal dengan otot supraclavicular
kriteria hasil : dan intercostal
Mendemonstrasikan 3. Monitor suara nafas
peningkatan seperti dengkur
ventilasi dan 4. Monitor pola nafas :
oksigenasi yang bradyspnue,
adekuat takipnue, kusmaul,
Memelihara hiperventilasi,
kebersihan paru- cheyne stokes, biot
paru dan bebas dari 5. Catat lokasi trachea
tanda-tanda distress 6. Monitor kelelahan
pernafasan otot diagfragma
Mendemonstrasikan 7. Auskultasi suara
batuk efektif dan nafas , catat area
suara nafas yang penurunan/tidak
bersih, tidak ada adanya ventilasi dan
sianosis, dan suara tambahan
dyspneu. 8. Tentukan kebutuhan