Anda di halaman 1dari 13

TUGAS SEMESTER PENDEK MENTAL HEALTH NURSING

“HALUSINASI”

Disusun oleh :

Eny Dwi Oktaviani

Faizatul Mudawwamah

Ifa Rahmawati

Mas’ah Faridhatul Fitri

Novitasari Andriani

Rahmayani Latif

Ratih Kumalasari

Suryat Muhsan

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
1. Definisi

Halusinasi adalah gangguan penyerapan (persepsi) panca indera tanpa


adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem penginderaan dimana
terjadi pada saat individu sadar dengan baik. (Stuart & Sundenn, 1998).

Halusinasi, atau salah persepsi indrawi yang tidak berhubungan dengan stimulus
eksternal yang nyata, mungkin melibatkan salah satu dari lima indra. (Townsend,
2002).

Halusinasi adalah kesalahan persepsi yang berasal dari lima panca indra yaitu
pendengaran, penglihatan, peraba, pengecap, penghidu (Stuart dan Laria, 2005).

Halusinasi adalah ketidakmampuan klien menilai dan merespon pada realitas


klien tidak dapat membedakan rangsangan internal dan eksternal, tidak dapat
membedakan lamunan dan kenyataan, klien tidak mampu memberi respon secara
akurat sehingga tampak berlaku yang sukar dimengerti dan mungkin menakutkan
(Keliat, 2006).

Halusinasi adalah persepsi yang salah atau palsu tetapi tidak ada rangsangan
yang menimbulkannya atau tidak ada obyek (Sunardi, 2005).

Halusinasi adalah persepsi sensoris palsu yang tidak disertai dengan stimuli
eksternal yang nyata. Halusinasi merupakan suatu pengalaman sensorik tanpa dasar
yang mencukupi dalam rangsangan luar, namun demikian pasien menentukan letak
asalnya di luar dirinya sendiri.

Halusinasi yaitu gangguan persepsi (proses penyerapan) pada panca indera


tanpa adanya rangsangan dari luar, pada pasien dalam keadaan sadar.

2. Klasifikasi

Klasifikasi halusinasi dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Halusinasi Hipnagogik: persepsi sensoris palsu yang terjadi saat akan tertidur;
biasanya dianggap sebagai fenoma yang non patologis.
b. Halusinasi Hipnopompik: persepsi palsu yang terjadi saat terbangun dari tidur;
biasanya dianggap tidak patologis.
c. Halusinasi Dengar (Auditoris): persepsi bunyi yang palsu, biasanya suara
tetapi juga bunyi-bunyi yang lain, seperti musik; merupakan halusinasi yang
paling sering pada gangguan psikiatri.
d. Halusinasi Visual: persepsi palsu tentang penglihatan yang berupa citra yang
berbentuk (contoh: orang) dan citra tidak berbentuk (contoh: kilatan cahaya)
paling sering pada gangguan organik.
e. Halusinasi Cium (olfaktorius): persepsi membau yang palsu; paling sering pada
gangguan organik.
f. Halusinasi Kecap (Gustatoris): persepsi tentang rasa kecap yang palsu seperti
rasa kecap yang tidak menyenangkan yang disebabkan oleh kejang; paling
sering pada gangguan organik.
g. Halusinasi Raba (Taktil; Haptik): persepsi palsu tentang perabaan atau sensasi
permukaan, seperti dari tungkai yang teramputasi (phantom limb), sensasi
adanya gerakan pada atau dibawah kulit (kesemutan).
h. Halusinasi Somatik: sensasi palsu tentang sesuatu hal yang terjadi di dalam
atau terhadap tubuh, paling sering berasal dari visceral (halusinasi kenestetik).
i. Halusinasi Liliput: persepsi yang palsu dimana benda-benda tampak lebih kecil
ukurannya (mikropsia).
j. Halusinasi yang sejalan dengan mood (Mood-Congruent Hallucination):
Halusinasi dimana isi halusinasi adalah konsisten dengan mood yang tertekan
atau manik (contoh: pasien yang mengalami depresi mendengar suara yang
mengatakan bahwa pasien adalah orang jahat; seorang pasien manik
mendengar suara yang mengatakan bahwa pasien memiliki harga diri,
kekuatan dan pengetahuan yang tinggi).
k. Halusinasi yang tidak sejalan dengan mood (Mood-Incongruent Hallucination):
halusinasi dimana isinya tidak konsisten dengan mood yang tertekan atau
manik (contoh: pada depresi, halusinasi tidak melibatkan tema-tema tersebut
seperti rasa bersalah, penghukuman yang layak diterima atau
ketidakmampuan; pada mania, halusinasi tidak mengandung tema-tema
tersebut seperti harga diri atau kekuasaan yang tinggi).
l. Halusinosis: halusinasi, paling sering adalah halusinasi dengar, yang
berhubungan dengan penyalahgunaan alkohol kronis dan terjadi dalam
sensorium yang jernih, berbeda dengan delirium tremens (DTs), yaitu
halusinasi yang terjadi dalam konteksa sensorium yang berkabut.
m. Sinestesia: sensasi atau halusinasi yang disebabkan oleh sensasi lain (contoh;
suatu sensasi audiotoris yang disertai atau dicetuskan oleh suatu sensasi
visual; suatu bunyi dialami sebagai dilihat, atau suatu penglihatan dialami
sebagai di dengar).
n. Trailing Fenomenon: kelainan persepsi yang berhubungan dengan obat-obat
halusinogen dimana benda yang bergerak dilihat sebagai sederetan citra yang
terpisah dan tidak kontinu.

3. Faktor Prediposisi
Menurut Stuart (2007), faktor predisposisi terjadinya halusinasi adalah:
1. Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon
neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-
penelitian yang berikut:
a. Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas dalam
perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik
berhubungan dengan perilaku psikotik.
b. Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan
masalah-masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya
skizofrenia.
c. Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya atropi
yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia
kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi
otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi
(post-mortem).
2. Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi
psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan
orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.
3. Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan,
konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi
disertai stress.

Faktor Presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah
adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna,
putus asa dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan masalah
koping dapat mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:
1. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi
serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak
untuk diinterpretasikan.
2. Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk
menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3. Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.

4. Manifestasi klinis

Menurut Keliat (2006), tahap-tahap halusinasi karakteristik dan perilaku yang


ditampilkan oleh klien yang mengalami halusinasi adalah :

1) Tahap 1
Memberikan rasa nyaman tingkat ansietas sedang, secara umum halusinasi merupakan
suatu kesenangan.
Karateristik (non verbal)
a) Mengalami ansietas, kesepian, rasa bersalah dan ketakutan.
b) Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menyebabkan ansietas
c) Pikiran dan pengalamn sensori masih ada dalam kontrol kesadaran

Perilaku klien :

a) Tersenyum dan tertawa sendiri


b) Menggerakkan bibir tanpa suara
c) Pergerakan mata cepat
d) Respon mata cepat
e) Respon verbal yang lambat
f) Diam dan berkonsentrasi
2) Tahap II
Menyalahkan, tingkat kecemasan berat, secara umum halusinasi menyebabkan rasa
antipasti.
Karakteristik (non verbal) :
a) Pengalaman sensori menakutkan
b) Merasa dilecehkan oleh pengalaman sensori tersebut
c) Mulai merasa kehilangan kontrol
d) Menarik diri dari orang lain

Perilaku klien :

a) Terjadi peningkatan denyut jantung, pernafasan, dan tekanan darah


b) Perhatian dengan lingkungan kurang
c) Konsentrasi dengan pengalaman sensoinya
d) Kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realita

3) Tahap III
Mengontrol tingkat kecemasan berat. Pengalamn sensori halusinasi tidak dapat ditolak.
Karakteristik (non verbal) :
a) Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya (halusinasi)
b) Sulit untuk berhubungan dengan orang lain
c) Kesepian bila pengalaman sensorinya berakhir

Perilaku klien :

a) Perilaku panik
b) Sulit untuk berhubungan dengan orang lain
c) Berkeringat, tremor
d) Tidak mmapu memenuhi perintah dari orang lain dan dalam kondisi sangat
menegangkan
e) Perhatian dengan lingkungan kurang

4) Tahap IV
Menguasai tingkat kecerdasan, panik secara umum diatur dan dipengaruhi oleh
halusinasinya
Karakteristik (non verbal)
a) Pengalamn sensori jadi mengancam
b) Halusinasi dapat terjadi beberapa jam atau beberapa hari

Perilaku klien :

a) Perilaku panik
b) Potensial untuk bunuh diri atau membunuh
c) Tindakan kekerasan agitasi, menarik atau katasonik
d) Tidak mampu merespon terhadap lingkungan

5. Rentang respon Halusinasi


Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individual yang terdapat
dalam rentang respon neurobiologi. Jika pasien yang sehat presepsinya akurat,
mampu mengidentifikasi dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi
yang diterima melalui panca indra. Pasien halusinasi dapat mempresepsikan suatu
stimulus dengan panca indra walaupun stimulus tersebut tidak ada. Diantara kedua
respon tersebut adalah respon individu yang karena suatu hal mengalami kelainanan
persensif yaitu salah mempersepsikan stimulus yang diterimanya, yang disebut
sebagai ilusi (Stuart, 2009). Pasien mengalami jika interpertasi yang dilakukan
terhadap stimulus panca indra tidak sesuai stimulus yang diterimanya, rentang
respon tersebut sebagai berikut :

Adaptif Maladaptif

- Respon - Distorsi - Gejala pikiran


logis pikiran - Delusi
- Respon - Pikiran halusinasi
akurat menyimpang - Perilaku
- Perilaku - Perilaku disorganisasi
sesuai aneh/tidak - Sulit berespon
- Hubungan sesuai dengan
sosial - Menarik diri pengalaman

a. Respon adaptif
1) Pikiran logis
Pendapat atau pertimbangan yang dapat diterima oleh akal.
2) Respon akurat
Pandangan dari seseorang tentang suatu peristiwa secara cermat.
3) Perilaku sesuai
Kegiatan individu atau sesuatu yang berkaitan dengan individu tersebut diwujudkan
dalam bentuk gerak atau ucapan yang tidak bertentangan dengan moral.
4) Hubungan sosial
Hubungan seseorang dengan orang lain dalam pergaulan ditengah – tengah
masyarakat (Stuart, 2009).
b. Respon transisi
1) Distorsi fikiran
Kegagalan dalam mengabstrakan dan mengambil keputusan.
2) Ilusi
Persepsi atau respon yang salah terhadap stimulasi sensori.
3) Reaksi emosi berlebihan atau berkurang
Emosi yang diekspresikan dengan sikap yang tidak sesuai.
4) Perilaku aneh dan atau tidak sesuai
Perilaku aneh yang tidak enak dipandang, membingungkan, kesukaran mengolah
dan tidak kenal orang lain.
5) Menarik Diri
Perilaku menghindar dari orang lain (Stuart, 2009).
c. Respon maladaptif
1) Gangguan pikiran atau delusi
Keyakinan yang salah yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh
orang lain dan bertentangan dengan realita sosial
2) Halusinasi
Persepsi yang salah terhadap ranngsangan.
3) Sulit berespon emosi
Ketidakmampuan atau menurunnya kemampuan untuk mengalami kesenangan,
kebahagiaan, keakraban dan kedekatan.
4) Perilaku disorganisasi
Ketidakselarasan antara perilaku dan gerakan yang dirimbulkan.
5) Isolasi sosial
Suatu keadaan kesepian yang dialami seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang
negatif dan mengancam (Stuart, 2009).

6. Pohon masalah
Menurut Rasmun (2001) pohon masalah klien dengan halusinasi :

Resiko terhadap tindakan


kekerasan yang diarahkan pada
Resiko tinggi terhadap diri sendiri,orang lain dan
kerusakan komunikasi lingkungan
verbal
Perubahan persepsi sensori
Waham somatis : halusinasi pendengaran Penatalaksana
dan penglihatan (core an regimen
problem) terapeutik tidak
efektif

Gangguan konsep diri : Isolasi sosial


Harga Diri Rendah Kurang
Kronis pengetahuan
keluarga
Koping individu
merawat klien
tidak efektif

Faktor predisposisi Faktor presipitasi

7. Akibat Dari Halusinasi


Adanya gangguan persepsi sensori halusinasi dapat berisiko menciderai diri
sendiri, orang lain dan lingkungan (Keliat, 1999). Menurut Towsen (1998) suatu
keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara
fisik diri sendiri dan orang lain

8. Penatalaksanaan Medis :
1) Psikofarmaka
Psikofarmaka adalah therapi dengan menggunakan obat, tujuannya untuk
menghilangkan gejala gangguan jiwa, adapun yang tergolong dalam pengobatan
psikofarmaka adalah :
a. Clopromazine (CPZ)
Indikasinya untuk sindrom psikosis yaitu berdaya berat dalam kemampuan
menilai realita, kesadaran diri terganggu, daya ingat normal, sosial dan titik
terganggu berdaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, tidak mampu
bekerja, hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin. Mekanisme kerjanya
adalah memblokade dopamine pada reseptor sinap diotak khususnya system
ekstra pyramida. Efek sampingnya adalah gangguan otonomi, mulut kering,
kesulitan dalam miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra
okuler meninggi, gangguan irama jantung. Kontra indikasinya penyakit hati,
kelainan jantung, febris, ketergantungan obat, penyakit sistem syaraf pusat,
gangguan kesadaran.
b. Thrihexyfenidil (THP)
Indikasinya adalah segala penyakit parkinson, termasuk pasca ensefalitis dan
idiopatik, sindrom parkinson akibat obat misalnya reserfina dan senoliazyne.
Mekanisme kerja : sinergis dan kinidine, obat anti depresan trisiclin dan anti
kolinergik lainnya.
Efek samping : mulut kering, pandangan kabur, pusing, mual, muntah,
bingung, konstipasi, takikardi dilatasi, ginjeksial letensi urin.
Kontra indikasi : hipersensitif terhadap trihexyphenidil, glukoma sudut sempit,
psikosis berat, psikoneurosis, hipertropi prostase dan obstruksi saluran cerna.
c. Halloperidol (HLP)
Indikasinya : berbahaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi
netral serta dalam fungsi kehidupan sehari-hari.
Mekanisme kerja : obat anti psikosis dalam memblokade dopamine pada
reseptor pasca sinoptik neuron di otak, khususnya system limbic dan system
ekstra pyramidal
Efek samping : sedasi dan inhabisi psimotor gangguan otonomik yaitu mulut
kering, kesulitan dalam miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur,
tekanan intra okuler meninggi, gangguan irama jantung.
Kontra indikasi : penyakit hati, epilepsy, kelainan jantung, febris,
ketergantungan obat, penyakit system saraf pusat, gangguan kesadaran.

2) Therapy Somatik
Therapy Somatik merupakan suatu therapy yang dilakukan langsung
mengenai tubuh. Adapun yang termasuk therapy somatik adalah :
a. Elektro Convulsif Therapy
Merupakan pengobatan secara fisik menggunakan arus listrik dengan
kekuatan 75-100 volt. Cara kerja ini belum diketahui secara jelas, namun dapat
dikatakan bahwa therapy ini dapat memperpendek lamanya serangan
Skizofrenia dan dapat mempermudah kontak dengan orang lain.
b. Pengekangan atau pengikatan
Pengekangan fisik menggunakan pengekangan mekanik, seperti manset
untuk pergelangan tangan dan pergelangan kaki serta sprei pengekangan
dimana klien dapat di imobilisasi dengan membalutnya. Cara ini dilakukan pada
klien halusinasi yang mulai menunjukkan perilaku kekerasan diantaranya :
marah-marah, mengamuk
c. Isolasi
Isolasi dapat menempatkan klien dalam suatu ruangan dimana klien tidak
dapat keluar dari ruangan tersebut sesuai kehendaknya. Cara ini dilakukan
pada klien halusinasi yang telah melakukan perilaku kekerasan seperti
memukul orang lain/ teman, merusak lingkungan dan memecahkan barang-
barang yang ada didekatnya.

3) Therapy Okupasi
Therapy Okupasi merupakan suatu ilmu dan seni untuk mencurahkan
partisipasi seseorang dalam melaksanakan aktivitas atau tugas yang sengaja
dipilih dengan maksud untuk memperbaiki, memperkuat dan meningkatkan harga
diri seseorang. Therapy Okupasi menggunakan pekerjaan atau kegiatan sebagai
media pelaksana.

Prinsip Tindakan

Adapun prinsip tindakan keperawatan pada halusinasi adalah sebagai berikut :

 Membina hubungan interpersonal saling percaya dengan cara mengekspresikan


perasaan secara terbuka dan jujur.
 Adakan kontak sering dan singkat secara bertahap observasi tingkah laku klien
yang terkait dengan halusinasi.
 Mengajarkan bagaimana cara mengontrol halusinasi dengan bantuan perawat.
 Fokuskan pada gejala dan minta individu untuk menguraikan apa yang sedang
terjadi, tujuannya adalah untuk memberikan kekuatan kepada individu dengan
membantunya memahami gejala yang dialaminya atau ditunjukkannya. Hal ini
akan menolong individu untuk mengendalikan penyakitnya, meminta bantuan dan
diharapkan dapat mencegah halusinasi yang lebih kuat.
 Katakan bahwa perawat percaya klien mengalaminya (dengan nada bersahabat,
tanpa menuduh dan menghakimi) katakan bahwa ada klien lain yang mengalami hal
yang sama, katakan bahwa perawat akan membantu.
 Memberikan perhatian pada klien dan memperhatikan kebutuhan dasar klien
seperti : makan dan minum, mandi dan berhias.
 Bantu individu untuk menguraikan dan membandingkan halusinasi yang sekarang
dengan terakhir yang dialaminya.
 Dorong individu untuk mengamati dan menguraikan pikiran, perasaan dan
tindakannya sekarang atau yang lalu berkaitan dengan halusinasi yang
dialaminya.
 Bantu individu untuk mengidentifikasi apakah ada hubungan antara halusinasi
dengan kebutuhan yang mungkin tercermin.
 Sarankan dan perkuat penggunaan hubungan interpersonal dalam pemenuhan
kebutuhan.
 Identifikasi bagaimana gejala psikosis lain telah mempengaruhi kemampuan
individu untuk melaksanakan aktifitas hidup sehari-hari.
Daftar Pustaka

Baihaqi dkk. Gangguan dalam Persepsi yang Umum. Psikiatri (Konsep Dasar dan
Gangguan-gangguan). Bandung: PT Refika Aditama.2007. 70–72

Durand dan Barlow. Halusinasi. Psikologi Abnormal.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.2007.


233-235
Maramis, Willy F dan Albert A. Maramis. Gangguan Persepsi. CatatanIlmu
Kedokteran Jiwa Edisi 2, Surabaya : Airlangga University Press.2005.141-144

Hibbert, Allison dkk. Pasien yang Berhalusinasi. Rujukan Cepat Psikiatri


(RapidPsychiatry). Jakarta: EGC. 26

Kaplan, Sadock. Gangguan Persepsi. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Jakarta: Bina Rupa
Aksara.2010. 476-477.

Kaplan, Sadock. Halusinasi. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat (Pocket Handbook


ofEmergency Psychiatric Medice). Jakarta : WidyaMedika.1998.267-275

Keliat Budi Ana. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa edisi I. Jakarta : EGC

Keliat, B.A, Panjaitan, R.U., & Helena, N.(2006). Proses Keperawatan Kesehatan
Jiwa. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Leff dan Isaacs. Halusinasi. Pemeriksaan Psikiatri dalam Praktek Klinis Edisi 3.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran PD Publika. 68-76

Marlindawani, Jenny dkk. Gangguan Persepsi. Asuhan Keperawatan pada


Kliendengan Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan: USU
Press.2008. 80-102.

Stuart dan Sundeen . 2005 . Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC .

Anda mungkin juga menyukai