Anda di halaman 1dari 15

Jurnal Saintek Perikanan Vol. 6, No.

2, 2011, 38 - 51

STRATEGI PENGEMBANGAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN


EKOR KUNING (Caesio cuning) PADA
EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN SERIBU

Development Strategy of Yellow Tail Fusilier Fish (Caesio cuning) Resources


Management on Coral Ecosystem in The Seribu Islands

Neviaty P. Zamani1, Yusli Wardiatno2, Raimundus Nggajo3


1)
Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK IPB., 2) Staf
Pengajar Departemen Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan FPIK
IPB. 3) Staf pada Direktorat Pesisir dan Lautan Ditjen KP3K DKP RI

Diserahkan : 26 Januari 2011; Diterima : 18 Februari 2011

ABSTRAK

Populasi ikan ekor kuning (Caesio cuning) di perairan Kepulauan Seribu telah mengalami
penurunan. Penyebab utama menurunnya kelimpahan ikan Caesio cuning adalah karena terjadi
kerusakan ekosistem terumbu karang yang merupakan habitat hidupnya. Penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji keterkaitan sumber daya ikan Caesio cuning dengan karakteristik habitat. Penelitian ini
dilaksanakan di Kabupaten Kepulauan Seribu pada Bulan Mei 2009. Pengamatan tutupan substrat bentik,
lifeform dan jumlah genus karang menggunakan metode transek kuadrat, sedangkan untuk melihat
kelimpahan sumberdaya ikan Caesio cuning menggunakan Underwater Visual Cencus. Tutupan substrat
bentik didominasi oleh tutupan abiotik dengan nilai rata-rata 36,42%, rata-rata tutupan karang keras
sebesar 32,27% (kondisi sedang) didominasi oleh coral foliose, coral massive, acropora branching dan
coral encrusting. Rata-rata kelimpahan ikan Caesio cuning sebesar 67 individu/250 m2. Utara Pulau
Pramuka, Barat Pulau Panggang, dan Selatan Pulau Panggang hanya dijumpai ikan-ikan kecil. Usulan
pengelolaannya disamping melakukan penutupan, perlu dilakukan introducing induk. Sebaliknya Timur
Pulau Pramuka dan Timur Pulau Kayu Angin hanya ditemui ikan-ikan besar. Usulan pengelolaan
disamping melakukan penutupan, perlu diikuti dengan introducing juvenile ikan. Pada bagian Barat Pulau
Kayu Angin dapat dilakukan penutupan untuk memberikan kesempatan juvenile untuk tumbuh dan ikan
dewasa untuk memijah. Bagian Selatan Pulau Belanda memiliki seluruh selang ukuran dan juga
penutupan karang yang bagus. Kawasan ini dapat dijadikan Daerah Perlindungan laut dan pengembangan
ekowisata yang ramah lingkungan.
Kata Kunci: ekosistem terumbu karang, sumberdaya ikan,pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning,
keterkaitan habitat,Kepulauan Seribu.

ABSTRACT
Population of Yellow tail fusilier fish (Caesio cuning) in Seribu Islands at this time has
decreased. The main cause of decreasing in abundance of the fish is due to degradation of coral reef
ecosystem as a habitat of the fish. The purposes of the study is to examine the association of Yellow tail
fusilier fish resources with habitat characteristics. The study was conducted in the Seribu Islands waters
on May 2009, at the four islands, each consisting of two observation locations. Percentage benthic
substrate cover, and the number of coral lifeform using the Square Transect method, while to see the
abundance of the fish resources using Underwater Visual Cencus. Benthic substrate cover was dominated
by abiotic cover (36.42%), hard coral cover was in fair condition (32.27%), dominated by foliose coral,
massive coral, acropora branching and encrusting coral. The abundance of Yellow tail fusilier fish was
67 individu/250 m2. North Pramuka, West Panggang, and South Panggang was only observed some small
fishes. Closing area can be implemented for management purposes with the combination of introducing
brooder. In vise versa East Pramuka and East Kayu Angin have been observed only adult fishes. Closing
area can be implemented for management purposes with the combination of introducing juveniles. In
West Kayu Angin closing area can be implemented to give the opportunity juvenile for growing and adult
for breading. South Belanda have all range of size fishes as well as good condition of habitat. It is
therefore, this can be developed as marine protected area with eco-freienly marine tourism activities.
Keywords : coral reef ecosystem, fish resources, yellow tail fusilier fish, habitat linkages, Seribu
islands.
PENDAHULUAN penurunan, persentase penutupan karang keras
adalah 33,2% tahun 2005 (kondisi sedang).
Terumbu karang merupakan habitat bagi Porsi terbesar kerusakan terumbu karang adalah
beragam biota, sebagai berikut: (1) beraneka akibat ulah manusia, di antaranya penangkapan
ragam avertebrata (hewan tak bertulang ikan yang merusak dan berlebih. Jenis alat
belakang), terutama karang batu (stony coral), tangkap yang umum digunakan untuk
juga berbagai krustasea, siput dan kerang- menangkap ikan Caesio cuning di Kepulauan
kerangan, ekinodermata (bulu babi, anemon Seribu antara lain adalah bubu dan jaring
laut, teripang, bintang laut dan leli laut); (2) muroami (Dinas Peternakan, Perikanan dan
beraneka ragam ikan: 50% - 70% ikan kornivora Kelautan Provinsi DKI Jakarta 2007).
oportunik, 15% ikan herbivora, dan sisanya Penyebaran alat tangkap tersebut terutama pada
omnivora; (3) reptil, umumnya ular laut dan daerah-daerah yang mempunyai kekayaan
penyu laut; dan (4) ganggang dan rumput laut, terumbu karang yang tinggi, sehingga hal ini
yaitu: algae hijau berkapur, algae karolin dan akan mengancam keberadaan ekosistem
lamun (Bengen 2002). terumbu karang.
Interaksi antara ikan karang dan Informasi mengenai karakteristik habitat
terumbu karang sebagai habitatnya dapat setiap sumberdaya sangat dibutuhkan untuk
dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu: (1) menentukan arah pengelolaan bagi
interaksi langsung sebagai tempat berlindung keberlanjutan dari sumberdaya tersebut. Kajian
dari predator pemangsa terutama bagi ikan-ikan mengenai keterkaitan sumbedaya ikan Caesio
muda; (2) interaksi dalam mencari makanan cuning dengan karakteristik habitat pada
yang meliputi hubungan antara ikan karang dan ekosistem terumbu karang sangat diperlukan
biota yang hidup pada karang termasuk alga; untuk dijadikan sebagai salah satu dasar dalam
dan (3) interaksi tidak langsung sebagai akibat merekomendasikan alternatif pengelolaan
struktur karang dan kondisi hidrologis dan sumberdaya berbasis ekosistem di Kepulauan
sedimen (Coat dan Bellwood 1991, dalam Seribu. Tujuan dari penelitian ini adalah : (1)
Bawole 1998). untuk mengetahui kondisi ekosistem terumbu
Perairan Indonesia memiliki kurang lebih karang, (2) kondisi sumber daya ikan Caesio
132 jenis ikan yang bernilai ekonomi, 32 jenis cuning, (3) mengkaji keterkaitan antara sumber
diantaranya hidup di terumbu karang. Jenis daya ikan Caesio cuning dengan karakteristik
ikan karang yang menjadi penyumbang habitat.
produksi perikanan antara lain dari famili
Caesionidae, Holocentridae, Serranidae, METODE PENELITIAN
Siganidae, Scaridae, Lethrinidae, Priachantidae, Waktu dan Lokasi Penelitian
Labridae, Lutjanidae dan Haemulidae. Diantara Penelitian dilaksanakan pada bulan
famili tersebut, Caesionidae seperti ikan Caesio April-Juni 2009 di perairan Kepulauan Seribu
cuning merupakan kelompok ikan karang yang yang terdiri dari 4 pulau dengan asumsi adanya
dapat dieksploitasi secara komersil. keterwakilan dari kondisi ekosistem terumbu
Ikan Caesio cuning merupakan salah satu karang yang tampa pengaruh aktifitas manusia
jenis ikan karang yang menjadi target (zona inti) yaitu Pulau Belanda dan Pulau Kayu
penangkapan di perairan Kepulauan Seribu. Angin Bira dan dekat dengan aktifitas manusia
Data BPS (2008) hasil tangkapan ikan Caesio (zona pemukiman) mencakup wilayah sekitar
cuning di Kepulauan Seribu pada tahun 2003 perairan Pulau Pramuka dan Pulau Panggang.
sebanyak 411 ton dan pada tahun 2007 Lokasi pengamatan dari keempat pulau tersebut
sebanyak 673 ton. Berdasarkan data tersebut adalah (1) Pulau Pramuka terdiri dari Utara dan
hasil tangkapan ikan Caesio cuning di Timur; (2) Pulau Panggang terdiri dari Barat
Kepulauan Seribu mengalami peningkatan dan Selatan; (3) Pulau Belanda tediri dari Utara
sebesar 262 ton dari tahun 2003 sampai tahun dan Selatan; (4) Pulau Kayu Angin Bira terdiri
2007. Peningkatan hasil tangkapan tersebut dari Timur dan Barat. Lokasi-lokasi tersebut
didukung oleh peningkatan upaya penengkapan merupakan daerah penangkapan (fishing
yaitu 70 unit kapal tahun 2003 menjadi 77 unit ground).
kapal tahun 2007. Kegiatan penangkapan yang
tidak terkontrol dapat mengarah pada hasil Metode Survey
tangkap lebih (over fishing) sehingga berakibat Pengambilan data lingkungan (parameter
menurunnya populasi ikan dan mengancam fisika, kimia dan nutrien) dilakukan dengan cara
kelestarian sumberdaya itu sendiri. in-situ (suhu, kecepatan arus dan kecerahan) dan
Estradivari et al. (2007) menjelaskan pengambilan sampel air (salinitas, pH,
kondisi ekosistem terumbu karang mengalami kekeruhan, phosfat (PO4-P), nitrat (NO3-N),
sedangkan plankton menggunakan planktonet Kelimpahan plankton di perairan
yang berbentuk kerucut dengan diameter mulut dihitung mengunakan metode sapuan di atas
jaring 31 cm, panjang 80 cm dan ukuran mata gelas obyek Sedwigck Rafter (Basmi 2000)
jaring 60 µm. Plankton yang tersaring dengan satuan individu per meter kubik
dimasukan kedalam botol berukuran 100 ml (individu/m3):
selanjutnya diawetkan dengan lugol, selanjutnya
dianalisis di laboratorium. Selanjutnya data
tutupan substrat dasar diambil dengan metode
foto transek quadrat sepanjang 50 m mengikuti
garis pantai dengan pengulangan sebanyak 20
Mengkaji keterkaitan antara sumberdaya
kali masing-masing pada kedalaman < 5 m dan
ikan Caesio cuning dengan karakteristik habitat
>5 m.
pada ekosistem terumbu karang berdasarkan
Metode underwater visual cencus
pengelompokan substrat bentik (English at al.,
dengan transek garis sepanjang 50 m mengikuti
1997), menggunakan cluster analysis
garis pantai dan 2,5 m ke kiri dan 2,5 m ke
berdasrkan indeks kesamaan Bray-Curtis.
kanan digunakan untuk pengamatan persentase
Indeks yang diolah menggunakan program
kehadiran ikan Caesio cuning. Hasil
MVSP (Multi Variate Statistical Package).
pencacahan jenis ikan Caesio cuning tersebut
digunakan untuk mendapatkan data kelimpahan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Selain itu berdasarkan hasil tangkapan nelayan
sebanyak 50 sampel diambil dengan tujuan
Kondisi Ekosistem Terumbu Karang
untuk melihat kondisi biometri, TKG dan jenis
1. Komposisi Substrat Bentik
makanan ikan Caesio cuning.
Faktor-faktor pembatas bagi kehidupan
terumbu karang adalah suhu, kedalaman, cahaya
Analisa Data
matahari, salinitas, kejernihan air, gelombang
Persentase penutupan karang keras dan
dan substrat (Nybakken 1992). Parameter
persentase penutupan biota pengisi habitat
lingkungan seperti kecerahan, suhu, salinitas
bentik lainnya diolah dengan menggunakan
dan arus di perairan Kepulaun Seribu secara
program lunak Coral Point Count with Excell
umum mendukung bagi kehidupan biota laut
extension (CPCe) yang dikembangkan oleh
dengan kisaran nilai yang diperbolehkan
Kohler dan Gill (2006). Untuk mencari indeks
menurut KepMen LH No. 51 Tahun 2004
keanekaragaman karang maka menggunakan
tentang baku mutu air laut untuk biota laut.
indeks Shannon (Odum, 1997).
Rata-rata suhu perairan Kepulauan
Analisis kelimpahan ikan Caesio cuning
Seribu adalah 28,63oC dan salinitas 32‰.
(Caesio cuning) dihitung dengan menggunakan
Kondisi yang demikian merupakan kondisi yang
rumus sebagai berikut :
cukup ideal bagi pertumbuhan terumbu karang.
X
 Xi Menurut Sukarno et al., (1983) suhu yang
n paling baik untuk pertumbuhan karang berkisar
Hubungan panjang berat dianalisis antara 25 oC – 30 oC. Kecerahan perairan sangat
dengan model atau persamaan Hile (1936) terkait dengan kekeruhan. Kecerahan perairan
dalam Effendie (1997), sebagai berikut: dengan nilai rata-rata 6,14 meter dimana
menunjukkan tingkat kecerahan 100% artinya
W = aLb cahaya matahari mampu menembus perairan
hingga ke karang dan besar pengaruhnya
Untuk jumlah sampel kecil maka terhadap proses fotosintesis alga simbiotik
menggunakan teknik perhitungan menurut zooxanthellae. Kecepatan arus yang terukur
Rousefeell dan Everhart (1960) yaitu : pada saat pengambilan sampel rata-rata 0,05
m/detik yang berkisar antara 0,030-0,072
Log W = log a + b log L m/detik terhitung lemah. Kondisi ini berkaitan
erat dengan musim peralihan dari musim Barat
Data Tingkat Kematangan Gonad (TKG) menuju musim Timur sehingga perairan relatif
untuk ikan Caesio cuning diperoleh tenang.
berdasarkan analisa terhadap kondisi gonad Komposisi dan persen tutupan substrat
yang dilakukan di laboratorium, berpedoman bentik di lokasi pengamatan cukup beragam
pada lima tingkatan menurut klasifikasi antar stasiun pengamatan (Gambar 1), yang
kematangan gonad ikan laut (Romimohtarto dan secara umum didominasi oleh kelompok
Juwana, 2001) abiotik.
Persentase tutupan 60.00
di Selatan Pulau Belanda (42,19%) dan Barat
50.00 KARANG KERAS
Pulau Kayu Angin (35,68%), terendah di Utara
40.00 KARANG MATI
30.00 ALGA Pulau Belanda (16,11%) sedangkan kondisi di
20.00
10.00
FAUNA LAIN lima lokasi tidak terlalu berbeda (Gambar 4).
ABIOTIK
0.00

Be a
ng

ng

a
a
a

ra
nd

nd
uk

uk

r
Bi
ga

ga

Bi
la
am

am

la

n
ng

ng

n
Be

gi

gi
Pr
Pr

Pa

Pa

An

An
U

S
T

yu

yu
Ka

Ka
T

B
Lokasi penelitian

Gambar 1 Grafik persentase tutupan kelompok


substrat bentik.
Persentase kelompok abiotik berkisar
antara 13,85% - 50,28% secara umum tertinggi
ditemukan di Timur Pramuka, sedangkan
terendah ditemukan di Barat Pulau Kayu Angin
Gambar 4 Grafik Persentase tutupan kelompok
Bira (Gambar 2).
karang mati
Ditinjau lebih jauh, maka kelompok
karang mati beralga (DCA), mendominasi di
semua lokasi dengan persentase antara 14,10%
- 33,85% (Gambar 5).
Persentase Penutupan (%)

45
40
35
30
25 Karang mati ber-alga
20 Karang mati
15
10
5
-

Gambar 2. Grafik rata-rata persentase tutupan Be a


ng

Be g

ra
a
a

ra
d

nd
n
uk

uk

Bi
n
ga

ga

Bi
la
am

am

la

n
ng

ng

n
gi

gi
Pr
Pr

abiotik.
Pa

Pa

An

An
U

S
T

yu

yu
Ka

Ka

Patahan karang merupakan komponen


T

Lokasi Penelitian
kelompok Abiotik yang mendominasi di semua
lokasi (Gambar 3) dengan persentase antara Gambar 5 Grafik persentase tutupan kelompok
6,63 % - 4,40%. Kelompok patahan karang karang mati beralga dan karang
tertinggi dijumpai di lokasi Timur Pulau Kayu mati
Angin dan Utara Pulau Belanda dan yang paling
rendah di Barat Pulau Kayu Angin, untuk Persentase karang mati beralga (DCA)
endapan lumpur hanya terlihat di lokasi Selatan tertinggi di Selatan Pulau Belanda dan terendah
Pulau Panggang sedangkan untuk kelompok di Utara Pulau Pramuka, sedangkan persentase
batu hanya terlihat di Utara dan Timur Pulau karang mati baru berkisar antara 0,75% -
Pramuka. 15,17%, tertinggi ditemukan di Utara Pulau
Pramuka (15,17%) dan terendah di Timur Pulau
Pramuka (0,75%) sedangkan kondisi karang
Persentase tutupan (%)

45.00
40.00 mati baru cukup tinggi terdapat di Barat Pulau
35.00 Batu
30.00 Kayu Angin, Selatan Pulau Belanda dan Timur
25.00 Pasir
20.00
Pulau Kayu Angin.
Endapan lumpur
15.00 Kelompok fauna lain dan alga
10.00 Patahan karang
5.00 merupakan komponen substrat bentik yang
0.00 memiliki persentase terendah hampir di semua
lokasi penelitian. Persentase tertinggi untuk
da
ng

ng

a
a
a

a
d
uk

uk

Bir

Bir
lan
ga

ga

lan
am

am

kelompok fauna lain terlihat di Timur Pulau


gin
ng

ng

gin
Be

Be
Pr
Pr

Pa

Pa

An

An
U

S
U
T

Pramuka sebesar 12,22% sedangkan di lokasi


B

yu

yu
Ka

Ka

lain berkisar antara 0,31% - 3,19%. Persentase


T

Lokasi Penelitian tertinggi untuk kelompok alga ditemukan di


Barat Pulau Panggang sebesar 12,04%
Gambar 3 Grafik persentase tutupan kelompok sedangkan di kelompok lain berkisar antara
abiotik 0,97% - 2,26%.
Perentase kelompok karang mati berkisar Penilaian baik atau buruknya kondisi
antara 16,11% - 42,19%, terlihat mendominasi karang disuatu lokasi ditentukan oleh tinggi atau
rendahnya persentase tutupan karang keras. 15,17%, yang merupakan persentase tertinggi
Persentase tutupan karang keras di lokasi dibandingkan dengan lokasi lainnya.
penelitian berkisar antara 18,13% - 54,355%. Sangat ironis melihat kondisi terumbu
Persentase terendah untuk kelompok karang karang di Selatan Pulau Belanda yang
keras di Timur Pulau Pramuka sebesar 18,13% merupakan zona inti tetapi kondisi terumbu
dan tertinggi di Selatan Pulau Panggang sebesar karangnya termasuk dalam kategori buruk
54,35%. (21,08%). Kerusakan terumbu karang pada
lokasi tersebut ditunjukkan dengan tingginya
persentase patahan karang dan cukup tingginya
persentase karang mati baru di kedua lokasi
tersebut. Sehingga diduga aktifitas penangkapan
dikedua lokasi tersebut masih berlangsung, hal
ini menunjukkan bahwa pengawasan terhadap
perairan di zona inti (Pulau Belanda dan Pulau
Kayu Angin Bira) masih belum berjalan dengan
baik. Kerusakan akibat kegiatan pemboman
yang telah lama ditinggalkan oleh masyarakat
Gambar 6 Grafik persentase tutupan kelompok dapat di tunjukkan dengan persentase karang
karang keras mati beralga yang tertinggi dibandingkan
dengan lokasi lainnya. Menurut Aktani (2003),
Berdasarkan Gomez & Yap (1988)
dampak dari penangkapan ikan dengan
untuk persentase tutupan karang hidupnya,
menggunakan bom sejak tahun 1970 – 1995
maka kondisi terumbu karang pada lokasi
mempengaruhi rendahnya tutupan karang keras
penelitian dapat dikategorikan kedalam tiga
dilokasi Pulau Belanda.
kategori yaitu buruk, sedang dan baik. Kategori
Kondisi terumbu karang di Selatan Pulau
buruk dijumpai di Timur Pulau Pramuka, Utara
Panggang yang dekat dengan aktifitas penduduk
Pulau Pramuka dan Selatan Pulau Belanda.
menduduki ranking tertinggi berada pada
Kategori sedang dijumpai di Barat Pulau
kondisi baik (54,35%). Kondisi tersebut diduga
Panggang, Timur Pulau Kayu Angin, Utara
disebabkan oleh adanya area perlindungan laut
Pulau Belanda dan Barat Pulau Kayu Angin.
yang dikembangkan oleh masyarakat, adanya
Kategori baik hanya dijumpai di Selatan Pulau
kegiatan transplantasi karang serta adanya
Panggang.
peningkatan kesadaran masyarakat terhadap
Kategori terumbu karang kondisi buruk
pentingnya terumbu karang. Dugaan lain adalah
terdapat di Timur Pulau Pramuka (18,13%) dan
disebabkan karena adanya penghuni yang
Utara Pulau Pramuka (23,84%), kedua lokasi
mendiami pulau tersebut, secara tidak langsung
tersebut berada pada zona pemukiman
aktifitas yang merusak terumbu karang di
(mengacu pada pembagian zona menurut
perairan sekitar pulau tersebut dapat langsung
TNLKp). Keberadaan ekosistem terumbu
diawasi oleh masyarakat setempat.
karang di kedua lokasi tersebut diduga
Kondisi terumbu karang dilihat
dipengaruhi oleh aktifitas manusia. Aktivitas
berdasarkan persentase penutupan karang keras
manusia tersebut terjadi baik di darat seperti
di lokasi penelitian berada pada kategori sedang
limbah rumah tangga, maupun yang terjadi di
(32,27%). Ditinjau dari skala yang lebih luas,
laut seperti penambatan kapal, kegiatan
menurut Estradivari et al., (2007) pada tahun
pariwisata (penyelaman) dan pola penangkapan
2007 tutupan karang di Kepulauan Seribu
yang tidak ramah lingkungan seperti
sebesar 33,20%, sehingga dalam dua tahun
penggunaan bubu dan muroami mini yang
terakhir telah terjadi peningkatan persentase
masih terjadi hingga saat ini. Kerusakan tersebut
tutupan karang hidup sebesar 0,94% hingga saat
dapat dilihat dari tingginya persentase abiotik di
penelitian ini.
Timur Pulau Pramuka sebesar 50,8% yang
Komposisi tutupan komponen penyusun
didominasi oleh patahan karang (32,61%) dan
lifeform Acropora dan Non-Acropora terlihat
batu (13,50%), sedangkan Utara Pulau Pramuka
cukup bervariasi di lokasi pengamatan.
persentase abiotik sebesar 48,38% dengan
Acropora Branching (ACB) terlihat
persentase patahan karang sebesar 32,51% dan
mendominasi dan menjadi komponen utama
batu sebesar 10,91%. Sehingga diduga faktor
penyusun lifeform di seluruh lokasi pengamatan.
tersebut di atas masih terjadi di Utara Pulau
Kondisi yang lebih bervariasi terlihat pada
Pramuka. Hal ini dapat ditunjukkan dengan
komponen penyusun lifeform Non-Acropora
tingginya persentase karang mati baru sebesar
dimana karang foliose (CF), karang masif (CM),
dan karang kerak (CE) mendominasi di stasiun ditemukan di Timur Pulau Pramuka dan
pengamatan tertentu (Gambar 7). terendah (1,11) di Selatan Pulau Panggang
(Gambar 8).

Indeks genus/lifeform
2.50
2.00
1.50 H' (SW Index lifeform)
1.00 H' (SW Index Genus)
0.50
0.00

da
Pa an g

ng

An n da

An Bir a
ka
a

ra
uk

lan
ga
u

Bi
g
am

am

la
gin
ng

ng

gin
Be

Be
Pr
Pr

Pa
Gambar 7 Garafik rata-rata persentase tutupan

S
U
T

yu

yu
Ka

Ka
lifeform

B
Lokasi penelitian
Bentuk pertumbuhan massive tertinggi di
Selatan Pulau Panggang yang memliki
Gambar 8 Indeks keanekaragaman genus dan
kekeruhan yang cukup tinggi. Hal ini sesuai
lifeform karang
dengan Chappel (1980), dalam Supriharyono
(2000) yang menyatakan bahwa karang yang Jumlah genus karang tertinggi ditemukan
tumbuh di perairan dengan sedimentasi tinggi di Utara Pulau Pramuka (23 genus) dan terendah
mengarah ke bentuk massive, sedangkan di di Barat Pulau Panggang (7 genus). Sementara,
perairan yang jernih atau sedimentasi rendah, jumlah lifeform tertinggi (10 jenis) ditemukan di
lebih banyak ditemukan dalam bentuk Utara Pulau Pramuka, sedangkan jumlah
bercabang dan tabulate. terendah (7 jenis) ditemukan di Selatan Pulau
Pada dasarnya jenis karang yang Panggang (Gambar 9).
dominan di suatu habitat tergantung pada
Jumlah Genus/Lifeform

kondisi lingkungan atau habitat tempat karang 25

itu hidup. Daerah rataan terumbu biasanya 20

didominasi karang-karang kecil yang umumnya 15 S (jumlah genus)


10 S (jumlah lifeform)
berbentuk massive dan submassive sementara
5
lereng terumbu biasanya ditumbuhi oleh karang-
0
karang bercabang. Karang massive lebih banyak
da
ng

ng

ra
a
a

ra
d
uk

uk

tumbuh di terumbu terluar dengan perairan


Bi
lan
ga

ga

Bi
lan
am

am

in
ng

ng

gin
Be

Be

ng
Pr
Pr

Pa

Pa

An

berarus. Gelombang berpengaruh terhadap


U

A
U
T

yu

yu
Ka

Ka

perubahan bentuk koloni terumbu. Karang yang


T

hidup di daerah terlindung dari gelombang Lokasi penelitian

(leeward zones) memiliki bentuk percabangan


ramping dan memanjang sementara pada Gambar 9 Jumlah genus dan lifeform karang
gelombang yang kuat (windward zones) Besar kecilnya nilai indeks
kecenderungan pertumbuhan berbentuk keanekaragaman karang ternyata tidak
percabangan pendek, kuat, merayap atau ditentukan oleh besar kecilnya persen tutupan
submassive. Secara umum ada empat faktor karang, tetapi lebih ditentukan oleh jumlah jenis
dominan yang mempengaruhi bentuk (genus maupun lifeform) karang serta merata
pertumbuhan, yaitu cahaya, tekanan tidaknya persen tutupan dari tiap genus/lifeform
hidrodinamis (gelombang dan arus), sedimen karang yang ada. Hal ini dapat dilihat di Timur
dan subareal exposure. Pulau Pramuka yang memiliki nilai tutupan
2. Keanekaragaman Karang karang terendah, akan tetapi memiliki nilai
Keanekaragaman karang di lokasi indeks keanekaragaman genus karang yang
penelitian dilihat pada tingkat genus maupun tinggi dibandingkan di Selatan Pulau Panggang
lifeform dimana indikator yang digunakan yang memiliki persen tutupan karang tertinggi.
adalah indeks keanekaragaman Shannon (H’) Kelimpahan genus tertinggi yang
dan jumlah jenis (S). Dari hasil penghitungan ditemukan terdiri dari genus Acropora,
didapat nilai indeks keanekaragaman genus Montipora dan Porites. Genus Acropora
tertinggi (2,38) ditemukan di Timur Pulau merupakan karang keras yang memiliki
Pramuka dan terendah (1,26) di Barat Pulau pertumbuhan yang cepat dibandingkan dengan
Panggang sedangkan nilai indeks jenis karang lainnya dan sering ditemukan di
keanekaragaman lifeform tertinggi (1,86) setiap lokasi. Menurut Goreau (1959) dalam
Supriharyono (2000), karang Acropora, intensitas cahaya yang diperolehnya dengan
karang bercabang dan foliose umumnya lebih bentuk koloni berupa lembaran. Adapun karang
cepat pertumbuhannya dibandingan karang dari genus Porites memiliki tingkat ketahanan
Porites atau yang berbentuk masif. Genus yang relatif tinggi terhadap faktor-faktor
Acropora memiliki jumlah jenis (spesies) pembatas pertumbuhan dan perkembangan
terbanyak dibandingkan genus lainnya pada karang seperti gelombang.
karang. Karang jenis ini biasanya tumbuh pada
perairan jernih dan lokasi dimana terjadi Sumberdaya Ikan Caesio cuning
pecahan ombak. Bentuk koloni umumnya 1. Kelimpahan Ikan
bercabang dan tergolong jenis karang yang Data kelimpahan ikan Caesio cuning
cepat tumbuh, namun sangat rentan terhadap berdasarkan hasil visual sensus di lokasi
sedimentasi dan aktivitas penangkapan ikan. penelitian memperlihatkan nilai kelimpahan
Sementara itu genus Montipora antara 5 individu/250 m2 - 224 individu/250 m2,
diketahui memiliki ketahanan terhadap tekanan didominasi ikan dengan ukuran <15 cm
lingkungan seperti laju sedimentasi yang tinggi (88,04%). Intensitas kemunculan (kelimpahan)
dan peningkatan suhu permukaan laut (Jordan et tertinggi ditemukan di Selatan Pulau Belanda
al., 1981). Genus Montipora sering ditemukan dan terendah di Selatan Pulau Panggang dengan
mendominasi suatu daerah. Sangat tergantung rata-rata kelimpahan sebesar 67 individu/250 m2
pada kejernihan suatu perairan. Biasanya berada (Tabel 1).
pada perairan dangkal berkaitan dengan

Tabel 1 Kelimpahan ikan Caesio cuning


Range Jumlah/ukuran
Timur Utara Barat Slatan Utara Selatan Timur Kayu Barat Kayu
Ukuran Ikan Pramuka Pramuka Panggang Panggang Belanda Belanda Angin Angin (Individu/ 2000
(cm) m 2)
0-5 6 100 5 18 20 149
5 - 10 15 5 100 62 182
10 - 15 40 100 140
15 - 20 2 2
20 - 25 23 2 10 35
25 - 30 16 11 27
Jumlah/Lokasi
(Individu/ 23 21 100 5 63 224 26 73
250 m 2 )

Berdasarkan tabel 1, dapat dijelaskan sejumlah upaya penangkapan yang berlebihan


bahwa di lokasi Selatan Pulau Belanda terhadap suatu stok ikan dan terbagi ke dalam
ditemukan kelimpahan ikan Caesio cuning dua pengertian yaitu (1) growth over fishing
dalam semua ukuran. Hal ini mengindikasikan yaitu terjadi jika ikan ditangkap sebelum
di lokasi tersebut sangat baik atau mendukung tumbuh mencapai ukuran dimana peningkatan
bagi perkembang biakan sumberdaya ikan lebih lanjut dari pertumbuhan akan mampu
Caesio cuning, sehingga manfaat dari penetapan membuat seimbang dengan penyusutan stok
daerah tersebut sebagai zona inti sudah cukup yang diakibatkan oleh mortalitas alami, (2)
berhasil. recruitment overfishing yaitu pengurangan
Lokasi Utara Pulau Pramuka, Barat dan melalui penangkapan terhadap suatu stok
Selatan Pulau Panggang dan Utara Pulau sedemikian rupa sehingga jumlah stok induk
Belanda hanya memiliki ikan dengan ukuran < tidak cukup banyak untuk memproduksi telur
20 cm (ikan muda), diduga di lokasi tersebut yang kemudian menghasilkan rekrut terhadap
sudah terjadi grow over fishing. Lokasi Timur stok yang sama.
Pulau Pramuka dan Timur Pulau Kayu Angin Informasi tentang kelimpahan ikan ini
hanya ditemukan ikan dengan ukuran >20 cm, penting bagi kestabilan populasinya (Murdoch
hal ini diduga di dua lokasi tersebut sudah 1994 dalam White 2007) dimana kepadatan
terjadi recruitment over fishing. spasial ini tergantung pada tingkat kematian
Menurut Widodo dan Suadi (2006), pada fase juvenil (Schmitt and Holbrook 1999
upaya tangkap lebih (over fishing) secara dalam White 2007).
sederhana dapat diartikan sebagai penerapan
Pertumbuhan memiliki karakteristik
2. Kondisi Biometrik tertentu pada masing-masing kelompok ikan.
Struktur populasi ikan Caesio cuning Pertumbuhan ikan dan organisme lainnya
dilihat berdasarkan ukuran pajang ikan. Hasil menurut Pauly (1998) didefinisikan sebagai
pengukuran terhadap panjang cagak dari 50 waktu yang dihabiskan pada daerah pemangsaan
sampel ikan Caesio cuning yang dikelompokan yang berbeda hubungan dengan ukuran tubuh.
dalam interval kelas 3,11 cm, membentuk 7 Perhitungan panjang berat berdasarkan jumlah
kelas frekuensi panjang, dimana ditemukan sampel ikan yang diperoleh mengacu pada
panjang ikan yang lebih kecil 11,30 cm dalam Rousefeell dan Everhart (1960) dengan nilai
kisaran kelas 1,30 cm-14,41 cm dan panjang n = 50 diperoleh hasil nilai b = 3,123 dan a =
ikan yang lebih besar 33,10 cm dalam kisaran 0,005 dengan logaritma persamaan adalah Log
kelas 29,99 cm – 33,10 cm. W = log -2,242 + 3,123 log L atau
Modus kelas frekuensi panjang tertinggi W=0,005L3,123 (Gambar 12).
pada ukuran 23,6 cm – 26,7 cm (Gambar 10)
dengan panjang rata-rata (Xi) 25,88 cm (26 %)
sedangkan frekuensi panjang ikan yang paling
kecil pada ukuran 17,53 cm – 20,64 cm dengan
panjang rata-rata (Xi) 19,09 cm (2%)

Gambar 12 Grafik hubungan panjang berat ikan


Caesio cuning

Menurut Effendie (1997), nilai b≠3


menggambarkan pertumbuhan allometrik dan
Gambar 10 Grafik sebaran frekuensi panjang jika b>3 menunjukkan keadaan ikan yang
ikan Caesio cuning gemuk dimana pertambahan beratnya lebih
Pola pertumbuhan ikan Caesio cuning cepat dari pertambahan panjangnya. Untuk
dilihat berdasarkan data ukuran berat dari 50 membuktikan bahwa nilai b=3,123 atau “b” > 3
ekor yang dikelompokan dalam interval kelas yang menunjukkan pertumbuhan ikan Caesio
46 gram dan membentuk 7 kelas frekuensi cuning bersifat allometrik atau isometrik, maka
berat. Berdasarkan data, ditemukan berat ikan dilakukan uji “t”.
yang terkecil sebesar 10,69 gram dalam kisaran Hasil uji “t” diperoleh nilai R2=0,916,
kelas 10,69 grm – 56,69 gram dengan berat rata- r=0,96, “t” hitung = 22,86 dan “t” table
rata (Xi) 309,66 gram (2%) dan berat ikan yang (α=5%)=2,01. Hal ini menunjukkan bahwa “t”
terbesar adalah 332,25 gram dalam kisaran hitung > “t” tabel, artinya pada tingkat
kelas 286,29 -332,69 dengan berat rata-rata (Xi) kepercayaan 95% pertambahan panjang ikan
33,66 gram (38%) (Gambar 11). mampu untuk menjelaskan pengaruhnya
terhadap pertambahan berat ikan sebesar 91,6%,
sedangkan 0,84% dipengaruhi oleh faktor lain.
Analisis hubungan panjang berat dari
suatu populasi ikan dapat digunakan untuk
memprediksi berat suatu jenis ikan dari panjang
ikan yang berguna untuk mengetahui biomassa
populasi ikan tersebut (Effendie 1997; Smith
1996). Selain itu menurut Arteaga et al. (1997),
analisis hubungan panjang berat dari suatu
populasi ikan mempunyai kegunaan untuk
Gambar 11 Grafik sebaran frekuensi berat ikan memprediksi hubungan panjang berat suatu
Caesio cuning populasi ikan yang dibandingkan dengan
populasi ikan di badan air yang lain serta dapat
dijadikan parameter pendugaan antara 15,90 cm sebanyak 16 ekor sedangkan ukuran
kelompok-kelompok ikan untuk panjang diatas 20 cm sebanyak 4 ekor.
mengidentifikasi keadaan suatu populasi suatu
Berdasarkan kisaran panjang, maka dapat
jenis ikan berdasarkan ruang dan waktu.
dijelaskan bahwa untuk TKG 1 gonad
Kisaran ukuran ikan Caesio cuning yang
terbanyak pada kisaran ukuran 24,35-28,39 cm
tertangkap di lokasi penelitian adalah 1130-
sebanyak 5 ekor, sedangkan TKG 2 gonad
33,10 cm, sedangkan hasil penelitian Jabbar
terbanyak pada kisaran ukuran 17,91-20,88 cm
(2008) di perairan Kepulauan Seribu
sebanyak 5 ekor. Pada TKG 3 gonad terbanyak
menunjukkan kisaran ukuran ikan Caesio
pada kisaran ukuran 24,35-28,39 cm sebanyak 2
cuning berdasarkan hasil tangkapan muoroami
ekor dan 28,39-33,10 cm sebanyak 2 ekor
adalah antara 7,0–28,0 cm dengan rata-rata 15,7
sedangkan TKG 4 ikan yang memiliki gonad
cm. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran dari
hanya pada ukuran 20,88-24,35 cm sebanyak 2
hasil penelitian mencapai ukuran yang lebih
ekor
maksimal. Perbedaan tersebut diduga
Subroto dan Subani (1994), mengatakan
disebabkan karena perbedaan keturunan, jenis
bahwa ikan Caesio cuning di Perairan
kelamin, umur dan perbedaan lokasi terumbu
Kepulauan Banggai, mulai ”matang telur” pada
karang tempat pengambilan sampel.
ukuran panjang total 27,80 cm yaitu pada
Menurut Fujaya (1999), pertumbuhan
kisaran panjang 26,80-28,90 cm. Menurut
ikan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor
Marnane et al. (2005), ikan Caesio cuning di
dalam antara lain : (1) faktor keturunan, dimana
Kepulauan Karimun Jawa pada umumnya
faktor ini mungkin dapat dikontrol dalam suatu
mencapai tahap dewasa pada ukuran 25-45 cm.
kultur, salah satunya dengan mengadakan
Berdasarkan ukuran mulai “matang telur”
seleksi yang baik bagi pertumbuhannya sebagai
tersebut serta dari hasil visual census yang
induk, (2) faktor jenis kelamin, kemungkinan
dilakukan maka dapat diduga bahwa hampir
tercapainya kematangan gonad untuk pertama
di semua lokasi kondisi ikan Caesio cuning
kali cenderung mempengaruhi pertumbuhan,
didominasi oleh ikan yang belum matang telur
yang menjadi lambat karena sebagian makanan
(mature) artinya masih muda atau dalam kondisi
tertuju pada perkembangan gonad tersebut, dan
pertumbuhan, sehingga kondisi lingkungan
(3) faktor umur, pertumbuhan cepat terjadi pada
perlu dijaga. Royce (1984), menyatakan
ikan yang masih muda, sedangkan ikan yang
semakin banyak makanan tersedia, pertumbuhan
sudah tua umumnya kekurangan makanan
ikan semakin cepat dan fekunditas semakin
berlebih untuk pertumbuhan, karena sebagian
besar. Fekunditas ikan berhubungan erat dengan
besar digunakan untuk pemeliharaan tubuh dan
lingkungan dimana fekunditas spesies akan
pergerakan. Faktor luar yaitu disebabkan oleh
berubah bila keadaan lingkungan berubah
jumlah individu dalam ekosistem terumbu
(Musa, 2007).
karang yang tidak sebanding dengan jumlah
Secara umum berdasarkan data TKG
makanan sehingga terjadi kompetisi dalam
menunjukkan ikan Caesio cuning berada pada
mendapatkan makanan.
semua tingkat kematangan gonad, maka dapat
diperkirakan bahwa pemijahan ikan Caesio
3. Tingkat Kematangan Gonad (TKG)
cuning terjadi secara periodik yaitu pemijahan
Hasil pengamatan TKG baik jantan ke satu selalu diikuti yang ke dua dan begitu
maupun betina, berpedoman pada klasifikasi seterusnya. De Young (1940) dalam Effendi
kematangan gonad ikan laut menurut (1997) terhadap kebiasaan memijah tiga belas
Romimohtarto dan Juwana (2001) diketahui spesies ikan ekonomis penting di laut jawa,
dari 50 ekor ikan yang tertangkap hanya 30 ekor memperlihatkan bahwa pemijahan induvidu
yang memiliki gonad. Adapun klasifikasi betul-betul berkala.
tingkat kematangan gonad digolongkan menjadi
TKG 1, 2, 3, dan 4. TKG 1 sebanyak 20% (10 4. Jenis Makanan
ekor) yang didominasi oleh ikan betina Selain mengukur panjang berat untuk
sebanyak 12% dengan ukuran panjang terkecil mengetahui tingkat pertumbuhan ikan maka
14,90 cm. TKG 2 sebanyak 24% (12 ekor) harus dilihat pula ketersediaan makanan di
yang didominasi oleh ikan jantan sebanyak alam. Untuk memastikan jenis makanan dari
14%. TKG 3 sebanyak 12% (6 ekor) dan TKG ikan Caesio cuning maka dilakukan bedah isi
4 sebanyak 4% atau 2 ekor, untuk TKG 3 dan 4 lambung terhadap 50 ekor ikan dan hasilnya
hanya ditemukan pada ikan jantan. Jumlah ditemukan 13 jenis plankton yang terdiri dari 2
sampel ikan (20 ekor) yang tidak mempunyai jenis phitoplankton dan 11 jenis zooplankton
gonad mempunyai kisaran ukuran 11,30 cm – (Gambar 13).
Gambar 13 Grafik persentase jenis makanan Gambar 14 Regresi keterkaitan plankton dengan
dalam lambung ikan Caesio cuning kelimpahan ikan.

Berdasarkan Gambar 13, diketahui Untuk membuktikan keeratan hubungan


bahwa di dalam isi perut dari 50 ekor ikan yang atau pengaruh plankton terhadap kelimpahan
ditangkap dari lokasi penelitian diperoleh rata- ikan Caesio cuning maka dilakukan uji “t”.
rata phytoplankton dan zooplankton tertinggi. Hasil uji “t” diperoleh nilai r=0,85, “t”
Rata-rata jumlah individu phytoplankton paling hitung = 3,98 dan “t” table (α=5%)=2,45. Hal
tinggi yaitu jenis Nitszchia sebesar 73,48 % ini menunjukkan bahwa “t” hitung > “t” tabel,
(22,06 individu), sedangkan untuk zooplankton artinya pada tingkat kepercayaan 95%
adalah jenis Parachymula Larva yaitu sebesar kelimpahan plankton mampu untuk menjelaskan
3,06 % (0,92 individu). pengaruhnya terhadap kelimpahan ikan Caesio
Makanan adalah merupakan salah satu cuning sebesar 72,5%, sedangkan 27,5%
fungsi yang terpenting dari organisme. Seperti dipengaruhi oleh faktor lain.
semua organisme, ikan membutuhkan energi Menurut Isnaini (2008) ikan Caesio
untuk bahan bakar tubuh mereka, proses cuning muda makanannya adalah copepoda,
pertumbuhan, metabolisme dan reproduksi sedangkan untuk ikan dewasa memakan ubur-
(Islam 2004). Dari hasil pengamatan terhadap ubur, larva dan jenis ikan kecil. Hasil yang
isi lambung ikan Caesio cuning, komposisi berbeda dengan penelitian dimaksud
makanan berupa phitoplankton dan menunjukkan bahwa ada perubahan pola makan
zooplankton. Hal ini membuktikan bahwa ikan ikan Caesio cuning. Hal ini diduga disebabkan
Caesio cuning adalah plankton feeder (Kuieter oleh rendahnya kelimpahan zooplankton yang
dan Tonozuka 2004; Allen 1999). Sedangkan tersedia di alam dan tingginya tingkat
Nikolsky (1969), mengemukakan besar serta persaingan dalam memperoleh jenis makanan
komposisi dari suplai makanan menentukan tersebut. Hobson (1974), menyatakan bahwa
komposisi jenis ikan yang ada dan juga kebiasaan makan ikan ini berubah dalam daur
mempengaruhi pertumbuhan ikan-ikan tersebut. hidupnya, paling tidak untuk kebanyakan ikan,
Hal ini dapat diartikan bahwa berkurangnya biasanya dengan perubahan-perubahan yang
kelimpahan plankton, akan berpengaruh nyata dalam tingkah laku dan morfologinya.
terhadap keberadaan ikan Caesio cuning. Komposisi makanan ikan akan
Berdasarkan hasil analisa plankton pada membantu menjelaskan kemungkinan-
masing-masing lokasi pengamatan kemungkinan habitat yang seringkali
menunjukkan ada keterkaitan yang erat antara dikunjunginya (Kagwade 1967). Harus disadari
kelimpahan plankton dengan kelimpahan ikan bahwa di dalam lingkungan yang kondisinya
Caesio cuning, dengan tingkat determinasi normal, bergerombolnya biota laut hampir
(R2)= 0,725 dan persamaan regresinya adalah selalu berkaitan erat dengan banyaknya mangsa
Y = 0,096X – 198,1 (Gambar 14). pangan di suatu perairan (Sutomo 1978 dan
Tham 1950 dalam Thoha 2007). Besarnya
populasi ikan di suatu perairan merupakan suatu
fungsi dari potensialitas makanannya, sehingga
pengetahuan yang benar dari hubungan antara
ikan dengan organisme-organisme makanannya
adalah penting untuk ramalan dan eksploitasi
dari keberadaan populasi ikan tersebut (Roa
1974).
lokasi yang mempunyai karakteristik substrat
Pengelompokan habitat berdasarkan dasar sendiri yaitu Selatan Pulau Panggang.
substrat bentik
Perngelompokan habitat berdasarkan Keterkaitan Karakteristik habitat dan
subtrat bentik terdiri dari komponen dead coral kelimpahan sumber daya ikan Caesio cuning
(DC), dead coral with algae (DCA), acropora Keterkaitan sumberdaya ikan Caesio
branching (ACB), acropora digitate (ACD), cuning dengan karakteristik habitat dapat dilihat
accropora submassive (ACS), acropora tabulate berdasarkan pengelompokan substrat bentik
(ACT), coral branching (CB), coral encrusting yang dijelaskan berdasarkan kemiripan dari
(CE), coral foliose (CF), coral massive (CM), masing-masing lokasi dan dihubungkan dengan
coral mushroom (CMR), coral sub massive kelimpahan ikan Caesio cuning.
(CS), coral millepora (CML), algae (A), others, Ciri dari masing-masing kelompok
soft coral, sponge, zoanthids dan abiotik (Englis berdasarkan klaster habitat terhadap substrat
et al., 2008). dasar dapat dijelaskan sebagai berikut :
Hasil cluster analysis menggunakan - Kelompok I : Dicirikan berdasarkan
aplikasi MVSP diperoleh dendogram 4 kelas kemiripan kelompok abiotik, dengan rata-
pada titik potong 0,68 berdasarkan matriks rata kelimpahan ikan Caesio cuning
similarity bray curtis. Secara visual hasil sebesar 33 individu/250 m2.
pengelompokan dapat dilihat pada Gambar 15. - Kelompok II : Dicirikan berdasarkan
kemiripan kelompok coral submassive
(CS), dengan rata-rata kelimpahan ikan
Caesio cuning sebesar 100 individu/250
m2
- Kelompok III : Dicirikan berdasarkan
kemiripan kelompok coral encrusting
(CE) dan dead coral with algae (DCA),
dengan rata-rata kelimpahan ikan Caesio
cuning sebesar 149 individu/250 m2
- Kelompok IV : Dicirikan berdasarkan
kelompok coral foliose (CF) dan coral
massive (CM), dengan rata-rata
kelimpahan ikan Caesio cuning sebesar 5
individu/250 m2.
Kelimpahan sumberdaya ikan Caesio
Gambar 15. Dendogram klaster habitat cuning tertinggi ditemukan di kelompok II yang
berdasarakan kemiripan substrat bentik dicirikan dengan kemiripan coral encrusting
(CE) dan dead coral with algae (DCA).
Penentuan kelas terjadi karena adanya Keberadan coral encrusting (CE) dan dead
kedekatan komposisi tipe dasar yang ada pada coral with algae (DCA), diduga disebabkan
masing-masing lokasi yang mengelompok. karena telah terjadi perubahan keseimbangan
Tingkat similaritas antara lokasi sangat dekat pada daerah terumbu karang dari yang bersifat
pada tingkat keyakinan 68%. oligotrofik (miskin unsur hara) menjadi
Berdasarkan kemiripan karakteristik mesotrofik (unsur hara dan produktivitas
substrat dasar pada setiap lokasi, maka lokasi sedang) yang memungkinkan melimpahnya
dapat digolongkan menjadi empat kelompok. plankton sebagai sumber makanan bagi ikan
Kelompok pertama terdapat 4 lokasi yang Caesio cuning. Menurut Effendi (2003)
memiliki kemiripan karakteristik substrat dasar mesotrofik adalah perairan yang memiliki unsur
yaitu Timur Pulau Pramuka, Utara Pulau hara dan produktivitas sedang (produktivitas
Pramuka, Timur Pulau Kayu Angin dan Utara primer dan biomasa sedang). Peralihan sifat
Pulau Belanda. Kelompok kedua hanya satu perairan pada daerah terumbu karang dapat
lokasi yaitu Barat Pulau Panggang artinya tidak ditunjukkan dengan tingginya persentase DCA
ada lokasi lain yang memiliki kemiripan yaitu karang mati yang sudah ditumbuhi alga
karakteristik substrat dasar. Kelompok tiga dan juga banyaknya karang baru yang tumbuh
terdapat 2 lokasi yang memiliki kemiripan dengan bentuk menjalar (encrusting) sebagai
karakteristik substrat dasar yaitu Selatan Pulau bentuk pertumbuhan awal karang keras.
Belanda dan Barat Pulau Kayu Angin. Ketertarikan ikan Caesio cuning
Kelompok empat hanya terdapat pada satu dengan kelompok coral encrusting (CE) hal ini
diduga bahwa sesuai kebiasaan ikan Caesio
cuning yang selalu hidup berkelompok dari aktivitas eksploitasi terhadap stok ikan
(schooling), ikan tersebut membutuhkan ruang target adalah habitat fisik. Hal yang serupa juga
yang luas sehingga lebih suka pada pola disarankan oleh Hobbs et al. (2004) dalam
pertumbuhan karang yang merayap, dan juga Alpert (2004) tentang pentingnya restorasi atau
disebabkan banyak biota (plankton) yang perbaikan ekologis yang secara khusus
tersingkap tidak berada di rongga-rongga karang mengembalikan keadaan yang lebih alami
yang memudahkan kelompok ikan Caesio seperti keadaan semula dan kedua yaitu
cuning untuk memperoleh makanan. pengelolaan sumberdaya ikan Caesio cuning itu
sendiri. Dengan kata lain, pengelolaan ikan
Rekomendasi pengelolaan ekosistem Caesio cuning merupakan bagian dari perikanan
terumbu karang dan sumberdaya ikan terumbu karang yang dipengaruhi oleh dua
Caesio cuning. manajemen yaitu manajemen perikanan dan
Pengelolaan ekosistem terumbu karang manajemen konservasi. Sale (2002) menyatakan
dan sumberdaya ikan Caesio cuning di bahwa kedua macam manajemen ini dapat
Kepulauan Seribu direkomendasikan dijalankan secara sinergi, namun keduanya
berdasarkan pertimbangan kondisi ekosistem memiliki tujuan yang berbeda dan sering
terumbu karang, kondisi sumberdaya Caesio dilakukan oleh agensi manajemen yang berbeda.
cuning dan berdasarkan keterkaiatan sumber Model pengelolaan ekosistem terumbu
daya ikan Caesio cuning dengan karakteristik karang dan sumberdaya ikan Caesio cuning
habitat. secara lestari di perairan Kepulauan Seribu yang
Keberlanjutan ekosistem terumbu karang diusulkan dalam penelitian ini adalah
dan produktivitas sumberdaya ikan Caesio pengelolaan berbasis ekositem dengan titik
cuning di perairan Kepulauan Seribu didukung penekanan pada habitat dan sumberdaya ikan
oleh kondisi fisik perairan yang masih berada Caesio cuning dapat dijelaskan sebagai berikut :
dalam batas toleransi pertumbuhan terumbu 1. Rehabilitasi habiat dengan program
karang dan sumberdaya ikan Caesio cuning transplantasi coral encrusting yang
dengan nilai suhu 28 0C – 30 0C, salinitas 30- menjadi ciri keberadaan ikan Caesio
33 0/00, kecepatan arus 0,030 m/s – 0,072 m/s, cuning.
kekeruhan 0,43 NTU – 0,50 NTU, kecerahan Alternatif kegiatan rehabilitasi terumbu
rata-rata 100%, NO3 (Nitrat) 0,009 mg/l – karang sangat dibutuhkan mengingat tingginya
0,122 mg/l, PO4 (Phosfat) 0,015 mg/l- 0,029 persentase patahan karang mendominasi
mg/l dan kelimpahan plankton 1,880 diseluruh lokasi hal ini akan mengancam
individu/ml – 3,680 individu/ml. keberlanjutan ekosistem terumbu karang karena
Permasalahan yang perlu diperhatikan terumbu karang tidak dapat hidap dan
bagi pertumbuhan terumbu karang adalah berkembang biak pada substrat yang tidak
bahwa patahan karang mendominasi disemua stabil. Oleh karena itu diharapkan dengan
lokasi, hal ini menunjukkan bahwa kondisi melakukan penempatan substrat dasar yang
substrat tidak stabil sehingga sangat sulit bagi stabil dapat memberi kesempatan kepada
perkembangbiakan karang, karena planula yang planula karang untuk menempel dan
menempel pada substrat yang tidak stabil akan berkembang biak.
terbawah oleh arus. Hal ini didukung oleh Berdasarkan bentuk pertumbuhan karang
keterbatasan rekruitmen karang yang enkrusting, persentase tutupan dari delapan
ditunjukkan dengan kondisi keanekaragaman lokasi hanya memiliki rata-rata 4,47% dan
lifeform dan genus rendah. ditemukan di dua lokasi yang memiliki
Permasalah bagi ikan Caesio cuning persentase tutupan di atas 10% sedangkan di
adalah mata pencaharian utama masyarakat enam lokasi lainnya memiliki persentase
Kepulauan Seribu adalah menangkap ikan dan tutupan di bawah 4%, sehingga diduga
penangkapan dilakukan sepanjang tahun. Faktor mempengaruhi keberadaan ikan Caesio cuning.
tersebut merupakan salah satu faktor utama Kegiatan rehabilitasi diperkirakan akan
yang mengancam keberlanjutan sumberdaya membutuhkan waktu yang cukup lama,
ikan Caesio cuning. sehingga dirasakan perlu dilakukan sentuhan
Pengelolaan langsung secara holistik dan teknologi sehingga pemulihan dapat dilakukan
terintegrasi pada perikanan Caesio cuning di secara cepat. Salah satu upaya yang dapat
perairan Kepulauan Seribu meliputi dua hal, dilakukan adalah dengan cara rehabilitasi
pertama yaitu pengelolaan ekosistem terumbu terumbu karang dengan cara transplantasi
karang sebagai habitat ikan Caesio cuning, terhadap coral encrusting pada daerah yang
sejalan dengan pernyataan Parrish (1980) bahwa mengalami kerusakan sehingga dapat
pengaruh langsung yang harus dipertimbangkan
menyediakan tempat atau ruang bagi kehadiran KESIMPULAN
ikan Caesio cuning untuk berkembang biak.
2. Pengaturan upaya penangkapan dan Kondisi ekosistem terumbu karang
ukuran mata jaring. mempunyai penutupan lifeform 32,27%,
Berdasarkan ukuran pertama matang sehingga berada pada kategori sedang dengan
gonad ikan Caesio cuning menunjukkan ikan keanekaragaman rendah (H’<3).
dewasa atau mature berada pada kisaran ukuran Kondisi sumber daya ikan Caesio
25-45 cm. Hasil visual sensus di delapan lokasi cuning diduga telah terjadi growth over fishing,
penelitian menunjukkan kelimpahan ikan dengan pola pertumbuhan bersifat Alometrik
Caesio cuning dengan ukuran ikan < 25 cm dan didominasi oleh ikan yang belum matang
mendominasi di semua lokasi, hal ini berarti (mature) atau belum dewasa (dalam kondisi
kondisi ikan Caesio cuning di lokasi penelitian pertumbuhan).
didominasi oleh ikan ukuran kecil atau ikan Keterkaitan sumberdaya ikan Caesio
muda artinya masi dalam masa asuh. cuning dengan karakteristik habitat dicirikan
Lokasi yang hanya memiliki kelimpahan dengan keberadaan coral encrusting dan DCA.
ikan Caesio cuning dengan ukuran kecil atau Bentuk pengelolaan ekosistem terumbu
ikan muda di temukan di 6 lokasi yaitu Timur karang dan ikan Caesio cuning di perairan
Pulau Pramuka, Utara Pulau Pramuka, Barat Kepulauan Seribu secara terpadu dan
Pulau Pramuka, Selatan Pulau Panggang, Utara berkelanjutan yang diusulkan dalam penelitian
Pulau Belanda dan Selatan Pulau Belanda, ini adalah pengelolaan berbasis ekositem
sedangkan di dua lokasi lainnya yaitu di Timur dengan titik penekanan pada habitat dan
Pulau Kayu Angin dan Barat Pulau Kayu Angin sumberdaya ikan Caesio cuning antara lain: (1)
dijumpai kelimpahan ikan Caesio cuning rehabilitasi habiat dengan program transplantasi
dengan ukuran muda dan dewasa. coral encrusting yang menjadi ciri keberadaan
Peningkatan upaya penengkapan yang ikan Caesio cuning, (2) pengaturan upaya
terjadi selama 4 tahun terkhir 2003-2007 penangkapan dan ukuran mata jaring.
menunjukkan peningkatan hasil penangkapan
sebesar 262 ton dari tahun 2003 sampai tahun DAFTAR PUSTAKA
2007, namun hasil tangkapan didominasi ikan
dengan ukuran kecil (Dinas Peternakan,
Aktani U. 2003. Fish communities as related to
Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta,
substrate characteristics in the coral
2007). Apabila penambahan upaya penangkapan
reefs of Kepulauan Seribu Marine
tidak dikontrol maka tidak menutup
National Park, Indonesia, five years after
kemungkinan akan mengarah pada hasil tangkap
stopping blast fishing practices.
lebih (over fishing) sehingga berakibat
Dissertation. Bremen University.
menurunnya populasi ikan dan mengancam
Germany.
kelestarian sumberdaya itu sendiri.
Alat tangkap yang beroperasi di
Allen G. 1999. Marine fishes of South-East
Kepulauan Seribu meliputi pancing, payang,
Asia. Western Australian Museum.
muroami, bubu dan jaring. Alat tangkap
Periplus Editions (HK) Ltd. Singapore.
muroami jumlahnya cenderung meningkat dari
292 P.
tahun 2002-2006 dan mengalami kenaikan
tajam pada tahun 2006 yakni sebesar 641 unit
Alpert P. 2004. Managing The Wild: Should
(Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan
Stewards be Pilot?. Frontiers in Ecology
Provinsi DKI Jakarta 2007). Selain mempunyai
and The Environtment, Issue No. 9, Vol.
potensi untuk merusak terumbu karang
2, 494-495
penggunaan alat tangkat tersebut dengan ukuran
mata jaring yang umum digunakan adalah
Arteaga JP, Garcia R, Carlo S, Valle. 1997.
ukuran 1-2 cm yang mengakibatkan ikan-ikan
Lenght-Weight Relationships of Cuban
muda ikut tertangkap.
Marine Fishes, NAGA Volume 2. No 1.
Kondisi tangkap lebih dan dengan alat
ICLARM. Philipines. P 38-43.
tangkap yang menggunakan mata jaring yang
tidak selektif terjadai di perairan Kepulauan
Bawole R. 1998. Distribusi Spasial Ikan
Seribu diduga kondisi ikan Caesio cuning
Chaetodontidae dan Peranannya Sebagai
termasuk ke dalam pengertian growth over
Indikator Kondisi Terumbu Karang di
fishing, sedangkan untuk menduga terjadi
Perairan Teluk Ambon, Thesis Magister
recruitmen over fishing perlu dilakukan
penelitian lanjutan.
Sains, Program Pasca Sarjana, Institut Isnaini. 2008. Pola Rejim Pengelolaan dan
Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan) Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Ekor
Kuning di Kepulauan Seribu. Disertasi,
Bengen DG. 2002. Menuju Pengelolaan Pesisir Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Terpadu Berbasis DAS. Seminar HUT Bogor (tidak dipublikasikan)
LIPI, Jakarta, 25-26 September 2002.
Jabbar MA. 2008. Pengelolaan Sumberdaya
Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Perikanan Ekor Kuning (Caesio
Provinsi DKI Jakarta. 2007. Buku Cuning) di Perairan Kepulauan Seribu.
tahunan statistic perikanan tangkap DKI Skrispsi. Sekolah Ilmu dan Teknologi
Jakarta tahun 2006. Jakarta. 53-82 hlm. Hayati, Institut Teknologi Bandung
(tidak dipublikasikan)
Effendi H. 2003, Telaah Kualitas Air bagi
Pengelolaan Sumberdaya dan Jordan M, Merino M, Moreno O, Martin E.
Lingkungan Perairan, Kanisius, 1981. Community structure of coral reefs
Yogyakarta, 57-59 in the Mexican Caribbean. Proc 4th Int
Coral Reef Symp 2:303–308.
Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan
Pustaka Nusatama. Yogyakarta. Kagwade VN. 1967. Food and Feeding Habits
of the Horsemackerel, Caranx kalla
English S, C. Wilkinson, V Baker. (Editors). (Cuv. & Val.). Indian Journal Fish., 14 (1
1997. Survey Manual for Tropical & 2) : 85 – 96.
Marine Resources. ASEAN-Australian
Marine Science Project: Living Coastal Kohler KE, SM Gill. 2006. Coral Point Count
Resources. Australian Institute of Marine with Excel extensions (CPCe): A Visual
Science, Townsville. 368p. Basic program for the determination of
coral and substrate coverage using
Estradivari, Syahrir M, Susilo N, Yusri S, random point count methodology.
Timotius S. 2007. Terumbu Karang Computers and Geosciences, Vol. 32,
Jakarta: Pengamatan jangka panjang No. 9, pp. 1259-1269.
terumbu karang Kepulauan Seribu (2004
– 2005). Yayasan TERANGI, Jakarta: Kuiter HR, T Tonozuka. 2004. Pictorial Guide
87 + ix hlm. to Indonesia Reef Fisheries Part I, II, III.
Bali Indonesia. PT. Dive&Dive’s
Fujaya Y. 1999. Fisiologi Ikan. Jurusan
Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Marnane MJ, Ardiwijaya RI, Wibowo JT,
Perikanan. Universitas Hasanuddin. Pardede ST, Kartawijaya T, Herdiana Y.
Makassar. 2005. Laporan Teknis Survei 2003-2004
di Kepulauan Karimunjawa, Jawa
Gomez ED, HT Yap. 1988. Monitoring reef Tengah. Wildlife Conservation Society-
condition In: Kenchington, R.A. and Marine Program Indonesia. Bogor
Brydget ET. Hudson (eds.). Coral Reef Indonesia.
Management Hand Book. Unesco
Regional Office for South East Asia. Musa ASM, AS Bhuiyan. 2007. Fecundity on
Jakarta. 171-178 p. Mystus bleekeri (Day, 1877) from the
River Padma Near Rajshahi City.
Hobson E. 1974. Feeding Relationships of Turkish Journal of Fisheries and Aquatic
Teleostean Fishes of coral reefs in Kona, Sciences 7: 161-162 p.
Hawaii. Fish. Bull., 72 (4) ; 915-1.031.
Nikolsky GV. 1969. FUh Population Dynamics.
Islam NM. 2004. Eco-biology of Freshwater Oliver and. Boyd, Edinburgh: 114 p
Gobi, Glossogobius giuris (Hamilton) of
the River Padma in Relation to its Nybakken JW. 1992. Biologi Laut: Suatu
Fishery: A Review. Asian Network for Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan
Scientific Information. Journal of oleh : M. Eidman, D. G. Bengen,
Biological Science 4 (6). 780-794 p. Malikusworo,dan Sukristiono. Marine
Biology and Ecologocal Approacch. PT.
Gramedia, Jakarta. 480 hlm.
Odum EP. 1997. Ecology: A Bridge between Sukarno, Hutomo M, Moosa MK, Darsono P.
science and society. Sinauer Associates 1983. Terumbu Karang di Indonesia,
Inc. Sunderland, Massachusetts. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
34-45
Parrish JD. 1980. Effect of Exploitation Patterns
upon Reef and Lagoon Communities, Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem
Proceedings of the Unesco Seminar on Terumbu Karang. Penerbit Djambatan.
Marine and Coastal Processes in The Jakarta. 108 hlm.
Pacific: Ecological Aspects of Coastal
Zone Management, Jakarta, Munro, J.L., Thoha H. 2007. Kelimpahan Plankton Di
Editor, Unesco Regional Office for Ekosistem Perairan Teluk Gilimanuk,
Science and Technology for South-East Taman Nasional, Bali Barat. Jurnal
Asia, 85-121 Makara, Sains, Vol. 11, No. 1, April
2007:44-48 p
Pauly D. 1998. Tropical fishes: patterns and
propensities. Jurnal of Fish Biology 53 White AT, LZ Hale, R Cortesi. 1994.
(Supplement A) : 1-17 p. Collaborative and Community based
management of Coral Reefs; Lesson
Roa KS. 1974. Food Feeding Habits of Fishes from Experience. Kumarian Press,Inc,
from Trawl Catches in the Bay of Bengal 630 Oakwood Avenue, Suite 119, West
with observation on Diurnal Variation in Harvard
the Nature of the Feed. Indian J. Fish.,
11(1): 277-314. White JW. 2007. Spatially correlated
recruitment of a marine predator and its
Romimohtarto K, S Juwana. 2001. Biologi prey shapes the large-scale pattern of
Laut, Ilmu Pengetahuan Tentang Biota prey mortality. Ecology Letters 10:
Laut. Djambatan. Jakarta. 540 hlm. 1054-1065 p.

Royce WF. 1984. Introduction to the Practice of Widodo J, Suadi. 2006. Pengelolaan
Fishery Science. Academic Press. New sumberdaya perikanan laut. Gajah Mada
York, San Francisco, London. xi, 428 pp. University Press. Yogyakarta. 252 hlm.

Rounsefell GA, WH Everhart. 1962. Fishery


Science its Methods and Applications.
John Wiley & Sons. Inc. New York. 444
p.

Sale PF. 2002. The Science We Need to


Develop for More Effective
Management, in Coral Reef Fishes:
Dynamics and Diversity in a Complex
Ecosystem, Sale, P.F., Editor, Academic
Press, USA, 361-376

Smith KKM. 1996. Length-weight relationship


in a diverse tropical freshwater
community. Malaysia. Journal of Fish
Biology (49): 731-734 p.

Subroto IH, Subani W. 1994. Relasi Panjang


Berat, Faktor Kondisi dan Pertama Kali
Matang Gonad Ikan Ekor Kuning Dari
Perairan Banggai Kepulauan. Jurnal
Penelitian Perikanan Laut No. 91. Bali
Penelitian Perikanan Laut Departemen
Pertanian. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai