Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1. Judul

Efek lokal obat (pengaruh obat terhadap membran dan kulit mukosa).

2. Tujuan Praktukum

Setelah menyelesaikan perconaan ini mahasiswa dapat:

 Memahami efe local dari berbagai obat/ senyawa kimia terhadap kulit dan membrane

mukosa berdasarkan cara kerja masing-masing; serta dapat diaplikasikan dalam

praktek dan dampak sebagai dasar keamanan penanganan bahan.

 Memahami sifat dan intensitas kemampuan merusak kulit dan membrane mukosa dari

berbagai obat yang bekerja local.

 Menyimpulkan persyaratan farmokologi untuk obat yang dipakai secara local.

3. Teori Dasar

Obat yang diapkai secara local terdiri dari beebrapa sifat penggunaan diantaranya:

- Zat yang menggugurkan bulu; bekerja dengan cara memecah ikatan S-S pada

keratin kulit sehingga bulu mudah rusak dan gugur.

- Zat Korosif; bekerja dengan cara mengendapkan protein kult melalui reaksi

oksidasi sehingga kulit dan membrane mkosa akan rusak.

- Zat astringen; bekerja dengan cara mengkougulasikan protein sehingga

permeabilitas sel pada kulit da membrane ukosa menjadi turun.


- Fenol dalam berbagai pelarut akan menunjukan feel local yang berbeda pula;

yang dipengaruhi oleh perbedaan koefisien partisi dan permeabilitas kulit

sehingga mempengaruhi penetrasi fenol kedalam jaringan.


BAB II
METODE PENELITIAN

1. Alat, Bahan dan Prosedur

I. Menggugurkan Bulu

Hewan coba : Tikus putih, jantan (jumlah 1 ekor), usia 2 bulan, bobot tubuh
200-300 g
Obat : - Veet cream
- Larutan NaOH 20%
- Larutan Na2S 20%
- Kertas saring

Alat : Gunting bedah, batang pengaduk, gelas arloji, stop watch

Prosedur Kerja

1. Siapkan tikus yang terlebih dahulu dikorbankan.

2. Ambil kulitnya lalu dibuat tiga potongan: masing-masing berukuran 2,5 x 2,5

cm.

3. Letakan potongan kulit tersebut diatas gelas arloji yang telah diberi alas kertas

saring

4. Catat bau asli/ awal dari obat yang digunakan.

5. Oleskan/ teteskan larutan obat pada bagian atas potongan kilit tikus tersebut.

6. Aati selama 30 menit efek menggugurkan bulu setelah pemberian obat dengan

bantuan batang pengaduk.

7. Catat dan tabelkan pengamatan.


Efek
Gugur Bulu
Percobaan Bahan Obat
Bau Awal (cacat waktu saat
mulai gugur bulu)
Menggugurkan Kulit tikus Veet cream Bunga lili 11.41-12.08
bulu
Larutan NaOH Tidar 11.41-12.08
20% berbau
Larutan Nas 20 Berbau 11.41-12.08
% sufur

II. Korosif
Hewan coba : Tikus putih, jantan (jumlah 1 ekor), usia 2 bulan,
bobot tubuh 200-300 g
Obat : Larutan AgCl2 5 %
Larutan fenol 5%
Larutan NaOH 10%
Larutan H2SO4 pekat
Larutan HCL pekat
Larutan AgNO3 1%
Kertas Saring

Alat : Gunting bedah, batang pengaduk, gelas arloji, stop


watch
Prosedur :
1. Siapkan tikus yang terlebih dahulu dikorbankan

2. Ambil ususnya lalu dibuat enam potongan; masing-masing berukuran 4-5 cm

3. Letakan potongan usus tersebut diatas gelas arloji yang telah diberi alas kertas

saring

4. Teteskan larutan obat pada potongan usus tikus tersebut sehingga terendam.

5. Rendam selama 30 menit

6. Setelah 30 menit, amati efek korosif/ kerusakan jaringan setelah pemberian obat
dengan bantuan pegaduk.
7. Catet dan tabelkan pengamatan.

Efek
Percobaan Bahan Obat Karusakan
Sifat korosif
pada jaringan
Korosif Usus tikus Larutan AgCl Putih pucat hancur
5%
Larutan fenol Putih pucat mengerut
5%
Larutan NaOH Putih pucat mengerut
10%
Larutan Warna hitam Mengerut dan
H2SO4 pekat berwarna hitam
Larutan HCL Agak hancur
Pekat kecoklatan
Larutan kehitaman mengerut
AgNO3 1%
III. Asringen

Prosedur :

1. Mulut praktikan dibalas/ dikumur dengan larutan tannin 1%

2. Rasakan jenis sensasi yang dialami di mulut

3. Catat dan tabelkan pengamatan.

Percobaan Bahan Obat Efek sensasi mulut


Astringen Mulut untuk kumur Larutan tannin 1%

IV. Efek Local Fenol

Prosedur :

1. Celupkan empat jari tangan selama 5 menit kedalam larutan fenol yang tersedia.

2. Rasakan jenis sensasi yang dialami jari tangan (rasa tebal, dingin, panas)

3. Jika jari terasa nyeri sebelum 5 menit, agkat segera dan bilas dengan etanol

4. Catat dan tabelkan pengamatan.

Percobaan Bahan Obat Efek Senssasi Jari Tangan (


Rasa Tebal, Dingin, Panas)
Fenol Jari tangan Larutan fenol 5% dalam Rasa tebal
dalam air
berbagai Larutan fenol 5% dalam Rasa tebal dan dingin
pelarut etanol
Larutan fenol 5% dalam
gliserin 25%
Larutan fenol 5% dalam
miyak lemak
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari percobaan kelompok kami, dari 3 obat yang dapat menggugurkan bulu memiliki bau

yang khas. Seperti veet cream memiliki bau seperti bunga lili, larutan Na2s memiliki bau seperti

sulfur. Bau pada obat-obat sebelum digunakan tidak terlalu menyengat sedangkan setelah

digunakan untuk menggugurkan bulu pada hewan percobaan baunya terasa lebih menyengat.

Pada pengujian efek menggugurkan bulu, semua obat menghasilkan hasil yang sama yakni hasil

uji menunjukkan adanya kerontokan bulu setelah diberikan larutan. Efek gugur bulu yang

tercepat adalah dengan pemberian Veet Cream.

Pada percobaan zat korosif, zat- zat korosif bekerja dengan cara mengandapkan protein

kulit, sehingga kulit membrane mukosa akan rusak. Pada larutan AgCl2 5%, kulit tikus menjadi

pucat dan hancur. Pada larutan Fenol 5 %, kulit tikus mencadi berwarna pucat dan mengkerut.

Pada larutan NaOH 10%, kulit tikus berubah warna menjadi kecoklatan dan hancur. Pada larutan

H2SO4 pekat kulit tikus berubah warna menjadi hitam dan kulit hancur. Pada larutan HCl pekat,

kulit tikus berubah menjadi warna kecoklatan dan kulit hancur. Pada larutan AgNO3, kulit tikus

berubah warna menjadi kehitaman tetapi tidak hancur. Hal demikian berarti zat- zat tersebut

bersifat korosif dan merusak jaringan kulit.

Pada percobaan efek local fenol, ketika tangan dimasukkan dalam larutan Fenol 5%

dalam etanol, sensasi jari tangan terasa dingin. Efek local Fenol yang berbeda pada berbagai

pelarut karena koefisien partisi yang berbeda dan juga karena permeabilitas kulit akan

mempengaruhi penetrasi fenol kedalam jaringan.


BAB IV

KESIMPULAN

Semua zat penggugur bulu menunjukkan hasil uji adanya kerontokan bulu setelah

diberikan larutan. Efek gugur bulu yang tercepat adalah dengan pemberian Veet Cream.

Dari semua zat korosif yang digunakan, semua menyebabkan kerusakan jaringan kulit

terlihat dari perubahan warna dan bentuk kulit.

Efek local Fenol yang berbeda pada berbagai pelarut karena koefisien partisi yang

berbeda dan juga karena permeabilitas kulit akan mempengaruhi penetrasi fenol kedalam

jaringan.
DAFTAR PUSTAKA

Engine.Lubis, Y., (1993), Pengantar Farmakologi, PT. Pustaka Widyasarana,Medan, Hal. 133

Priyanto, 2008, Farmakologi Dasar Edisi II, Depok: Leskonfi

Sulaksono, M.E., 1987, “Peranan, penggolongan dan Pengembanggan Hewan Percobaan”,

Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN

1. Judul

Efek Diuretika (Uji Potensi Diuretika).

2. Tujuan Praktikum

Setelah menyelesaikan percobaan ini, mahasiswa dapat:

1. Memahami kerja farmakologi dari berbagai kelompok diuretika.

2. Memperoleh gambaran tentag cara evaluasi potensi deuretika

3. Dasar Teori

Deuretika adalah senyawa yang dapat menyebabkan ekskresi urin enjadi lebih

banyak frekuensi dan kuanrtitasnya.Jika pada peningkatan ekskresi air terjadi juga

eksresi garam-garam, maka deuretika ini disebut natriuretika atau saluretika.

Diuretika dapat dikelompokan menurut mekanisme kerjanya, yaitu:

- Diuretika inhibitor karboanhidrase; contohnya asetazolamid

- Diuretika lengkung hele; contohnya furusemide

- Diuretika golongan tiazid; contohnya hidroklortiazid

- Diuretika antagonis aldosterone; contohnya spironolakton

- Diuretika hemat kalium jenis siklomidin; contohnya triamterene dan amilorid


BAB II
METODE PENELITIAN

1. Alat dan Bahan

Hewan : Tikus putih, jantan 9jumlah 6 ekor), bobot tubuh 200-300 g


coba
Obat : - CMC Na 1% secara PO
- Furosemid 20mg/ 70 kgBB manusia secara PO
- Spironolakton 100 mg/70 kgBB manusi secara
PO
- Air hangat 50 ml/ kgBB tkus
Alat : Spuit injeksi 1 ml, sonde, timbangan hewan, kandang
diuretic,beaker glass,gelas ukur.

2. Prosedur Kerja :
- Puasakan tikus selama 12-16 jam, tetapi tetap diberikan air minum.

- Sebelum pemberian obat, berikan air hangat per oral sebanyak 50 ml/ kgBB

tikus.

- Tikus dibagi menjadi 3 kelompok dimana masing-masing elompok terdiri dari 2

ekor mencit dengan perbedaan dosis obat yang diberikan :

Kelompok I : CMC Na 1% secar PO.

Kelimpok II : furusemide 20 mg/ 70 kg BB manusia secara V.

Kelompok III : spironolakton 100 mg/ 70 kgBB manusia secara.

- Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepa untuk masing-masing

mencit.

- Berikan larutan obat sesuai kelompok masing-masing.


- Tempatkan tikus kedalam kandang diuretic.

- Kumpulkam urine selama 2 jam, catat frekuensi pengeluaran urine dan jumlah

urine setiap kali diekskresikan.

- Catat dan tabelkan pengamatan.

- Hitung persentase komulatif urine yang diekskreasikan:

Volume urine yang diekskreasikan dalam waktu 2 jam x 100%

Volume air yang diberikan per oral

Efek diuretika jika persentase volume komulatif urine yang diekskreasikan

> 75% dari volume air yang diberikan.


BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Perhitungan Dosis

Kelompok III

Dosis furosemide 20 mg / 70 kgBB manusia

Dosis furosemide untuk tikus 220 gram = 0,018 x 20 mg

= 0,36 mg

Tikus 220 gram

220 𝑔
Dosis = x 0,36 mg
200𝑔

= 0,396 mg

0,396 𝑚𝑔
Volume = x 5 ml
20 𝑚𝑔

= 0,099 ml

Kelompok IV

Dosis furosemide 20 mg / 70 kgBB manusia

Dosis furosemide untuk tikus 227 gram = 0,018 x 20 mg

= 0,36 mg

Tikus 227 gram

227 𝑔
Dosis = x 0,36 mg
200𝑔

= 0,408 mg

0,408 𝑚𝑔
Volume = x 5 ml
20 𝑚𝑔

= 0,102 ml
Kelompok V

Dosis spironolakton 100 mg / 70 kgBB manusia

Dosis spironolakton untuk tikus 160 gram = 0,018 x 20 mg

= 0,36 mg

Tikus 160 gram

160 𝑔
Dosis = x 0,36 mg
200𝑔

= 0,288 mg

0,288 𝑚𝑔
Volume = x 5 ml
100 𝑚𝑔

= 0,0144 ml

Kelompok VI

Dosis spironolakton 100 mg / 70 kgBB manusia

Dosis spironolakton untuk tikus 158 gram = 0,018 x 20 mg

= 0,36 mg

Tikus 158 gram

158 𝑔
Dosis = x 0,36 mg
200𝑔

= 0,284 mg

0,284 𝑚𝑔
Volume = x 5 ml
100 𝑚𝑔

= 0,0142 ml
3.2 Pembahasan

Pada percobaan masing- masing kelompok, kelompok I dengan pemberian CMC Na 1%

pada menit ke 22 menghasilkan urine sebanyak 1 ml, pada menit ke 55 menghasilkan urine

sebanyak 1 ml, dan pada menit ke 111 menghasilkan urine sebanyak 0,4 ml. Selama 2 jam

kumulatif urine sebanyak 2,4 ml dengan pemberian air 5 ml, sehingga diperoleh potensi

diuretika sebesar 48 %.

Kelompok II dengan pemberian CMC Na 1% pada menit ke 27 menghasilkan urine

sebanyak 0,2 ml, pada menit ke 40 menghasilkan urine sebanyak 0,3 ml, pada menit ke 43

menghasilkan urine sebanyak 0,2 ml, pada menit ke 52 menghasilkan urine sebanyak 0,2 ml,

pada menit ke 53 menghasilkan urine sebanyak 0,2 ml, pada menit ke 60 menghasilkan urine

sebanyak 0,3 ml, pada menit ke 67 menghasilkan urine sebanyak 0,1 ml, pada menit ke 70

menghasilkan urine sebanyak 0,1 ml, pada menit ke 78 menghasilkan urine sebanyak 0,2 ml,

dan pada menit ke 113 menghasilkan urine sebanyak 0,05 ml. Selama 2 jam kumulatif urine

sebanyak 1,85 ml dengan pemberian air 5 ml, sehingga diperoleh potensi diuretika sebesar

37 %.

Kelompok III dengan pemberian Furosemide 20 mg/70 kg BB manusia pada menit ke 15

menghasilkan urine sebanyak 0,6 ml, pada menit ke 47 menghasilkan urine sebanyak 1 ml,

pada menit ke 60 menghasilkan urine sebanyak 1 ml, pada menit ke 71 menghasilkan urine

sebanyak 1 ml, pada menit ke 72 menghasilkan urine sebanyak 1 ml, pada menit ke 80

menghasilkan urine sebanyak 0,5 ml, dan pada menit ke 93 menghasilkan urine sebanyak

0,5 ml. Selama 2 jam kumulatif urine sebanyak 5,6 ml dengan pemberian air 5 ml, sehingga

diperoleh potensi diuretika sebesar 112 %.


Kelompok IV dengan pemberian Furosemide 20 mg/70 kg BB manusia pada menit ke 18

menghasilkan urine sebanyak 1,2 ml, pada menit ke 23 menghasilkan urine sebanyak 0,6 ml,

pada menit ke 54 menghasilkan urine sebanyak 2 ml, pada menit ke 68 menghasilkan urine

sebanyak 1,2 ml, pada menit ke 104 menghasilkan urine sebanyak 0,6 ml, dan pada menit ke

119 menghasilkan urine sebanyak 0,6 ml. Selama 2 jam kumulatif urine sebanyak 6,2 ml

dengan pemberian air 5 ml, sehingga diperoleh potensi diuretika sebesar 124 %.

Kelompok V dengan pemberian Spironolakton 100 mg/70 kg BB manusia pada menit ke

25 menghasilkan urine sebanyak 0,4 ml, pada menit ke 34 menghasilkan urine sebanyak 0,5

ml, pada menit ke 47 menghasilkan urine sebanyak 0,2 ml, pada menit ke 56 menghasilkan

urine sebanyak 0,3 ml, dan pada menit ke 70 menghasilkan urine sebanyak 0,2 ml. Selama 2

jam kumulatif urine sebanyak 1,6 ml dengan pemberian air 5 ml, sehingga diperoleh potensi

diuretika sebesar 32 %.

Kelompok VI dengan pemberian Spironolakton 100 mg/70 kg BB manusia pada menit ke

40 menghasilkan urine sebanyak 0,3 ml, pada menit ke 48 menghasilkan urine sebanyak 0,4

ml, pada menit ke 57 menghasilkan urine sebanyak 0,3 ml, pada menit ke 71 menghasilkan

urine sebanyak 0,3 ml, dan pada menit ke 120 menghasilkan urine sebanyak 0,2 ml. Selama

2 jam kumulatif urine sebanyak 1,5 ml dengan pemberian air 5 ml, sehingga diperoleh

potensi diuretika sebesar 30 %.

Dari data diatas, efek diuretik Furosemide 20 mg/70 kg BB manusia lebih besar

dibandingkan dengan Spironolakton 100 mg/70 kg BB manusia. Jika dilihat dari mekanisme

kerjanya, Furosemide adalah golongan diuresis kuat yang bekerja dengan cara menghambat

reabsorbsi ion Na pada lengkung Henle, sedangkan Spironolakton bekerja dengan cara
meningkatkan retensi kalium dan ekskresi natrium di tubulus distal. Efek diuretik

Furosemide positif, karena potensi diuretikanya lebih dari 75 %. Sedangakan Spironolakton

tidak mencapai 75 % bahkan persentase nya lebih kecil daripada tikus yang diberi CMC Na

1%. Hal ini dapat terjadi karena Spironolakton masuk kedalam golongan diuretik hemat

kalium dimana seharusnya dikombinasi dengan diuretika lain atau dengan menaikkan

dosisnya.
BAB IV
KESIMPULAN

Efek diuretik dari Furosemide 20 mg/70 kg BB manusia positif karena persentase potensi

diuretika nya lebih dari 75 %.

Efek diuretik dari Spironolakton 100 mg/70 kg BB manusia negatif karena persentase

potensi diuretika nya kurang dari 75 %.

Furosemide adalah golongan diuresis kuat, sedangakan Spironolakton masuk kedalam

golongan diuretik hemat kalium. Hal ini yang menyebabkan efek Furosemide lebih besar

dibanding Spironolakton.

Penggunaan Spironolakton baiknya di kombinasi dengan diuretik lain atau dosis

Spironolakton dapat dinaikkan.


DAFTAR PUSTAKA

BPOM RI. Pusat Informasi Obat Nasional. Sistem Kardiovaskuler, Diuretik.


Departemen Farmakologi dan Terapeutik, 2007. Farmakologi Dan Terapi, FKUI. Jakarta
Katzung, B.G. 2007. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi X. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2007, Obat-obat Penting Edisi 6 , PT. Elex Media
Komputindo : Jakarta.
BAB I
PENDAHULUAN

1. Judul

Percobaan uji diabetes (uji kadar glukosa dan antidiabetes).

2. Tujuan Praktikum

Setelah menyelesaikan percobaan ini, mahasiswa dapat:

1. Mengetahui secara lebih baik peran insulin dalam tubuh dan pengaruhnya pada penyakit
diabetes.
2. Mengenal teknik untuk mengevaluasi penyakit diabetes dengan cara konversional.
3. Melakukan test glukosa konvensional pada manusia menggunakan alat ukur glikosa

darah.

3. Teori Dasar

Diabetes mellitus adalah penyakit hiperglikimia yang ditadai dengan ketiadaan absolute

insulin atau insentivitas terhadap insulin.Insulin ialah hormo polipeptida yang dihasilkan

oleh sel beta dalam islet Langerhans pancreas dan berperan penting pada metabolism

karbohidrat, lemak dan protein. Hormon ini menurunkan kadar glukosa darah, asam lemak

dan asam amino dalam darah yang mendorong penyimpangan nutrient-nutrien tersebut

dalam bentuk glikogen. Bila kadar glukosa darah rendah maka sel pancreas menghasilkan

glucagon yang berpungdi memecahkan glikogem menjadi glukosa.

Tindakan diagnosis dilakukan untuk menentukan apakah seorang menderita penyakit

diabetes militus. Uji diagnosis diabetes miletus umumnya dilakukan berdasarkan keluhan

penderita yang khas berupa poliuria, polidipsia, pilifagia dan penurunan berat badan yang

tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Keluhan yang lain mungkin dikemukakan pasien
adalah mudah lemas, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, pruritus,

vulvae pada pasien wanita dan adanya peningkatan kadar glikosa darah yang ditentukan

berdasarkan pemeriksaan laboratorium.

Glukosa dapat diukur dengan mengguakan sampel darah total, plasma, serum, cairan,

sereprospinal, cairan pleural, dan urin sesuai dengan tujuan diagnosisnya .Glukosa darah

kapilari merupakan sumber dari kebanyakan alat pengukur glukosa yang menggunakan

specimen darah total. Kadar glukosa darah kapilari ini setara dengan kadar glukosa arterial

tapi dapar berbeda dari kadar glukosa vea,bergantung pada waktu pemerikaan relative

terhadap pencernaan makanan.

Pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu menegakan diagnosis diabetes militus

antara lain, pengukuran kadar glukosa darah (kadar glukosa darah sewaktu, kadar glukosa

darah puasa, kadar glukosa postprodinal, serta test toleransi glukosa oral), analisis urin,

pemeriksaan kadar HbAIc (hemoglobin terglikosilasi), pemeriksaan keton dan pengukuran

kadar hormone intekrein.

Pada praktek sehari-hari, kadar glukosa darah dapat diukur secara konvensional

menggunakan alat ukur kadar glukosa darah yang sudah banyak dijual dipasaran dengan

menggunakan sampel darah kapilari. Percobaan uji diabetes di laboratorium dapat dilakukan

pada hewan percobaan (mencit) dan disebut sebagai percobaan uji diabetes secara

konvensional (wet lab).

Beberapa teknik yang sering digunakan untuk menyebabkan hewan uji menderita

diabetes adalah induksi dengan bahan kimia induksi kimia pada hewan akan menyebabkan

hewan coba diabetes tipe 1 dimana banyaknya sel beta yang hancur dengan jumlah demikian,
jumlah insulin endogen yang diproduksi menjadi sedikit, yang mengarah hiperglikimia dan

penurunan berat badan. Diabetes dengan induksi secara kimia tidak hanya menyediakan

model sederhana dan relative murah teteppi juga apat dipergunakan pada hewan yang lebih

tinggi.

 Streptozotocin (STZ)

STZ [2-deoksdi-2-(3-metil-3-nitrosoureido)-D-glucopyranose] disintesis oleh

streptomycetesachromogenes.Setelah pemberian i.p. atau i.v. obat akan memasuki sel

beta pancreas melalui glut-2 transforter dan menyebabkan alkilasi dari DNA. Aktivitas

berikutnya PARP menyebabkan deplesi NAD+, pengurangan ATP seluler dan hasilnya

penghambatan produksi insulin. Selain itu, STZ merupakan sumber radikal bebas yang

juga dapat berkontrubusi terhadap kerusakan DNA dan akhirnya kematian pada sel. STZ

dapat digunkan dengans sekali pemberian dengan dosis tinggi (100-200mg/kgBB tikus

dan 35-36 mgBB mencit); atau dinerikan berulang dengan dosis rendah selama 5 hari

(20-40 mg/kg per hari).

 Aloksan

Efek diabetes aloksan (2,4,5,6-tetraoxypyrimidine;5,6,dioxyuracil) terutama

disebabkan ambilan cepat oleh sel beta dan pembentukan radikal bebas, dimana sel beta

memiliki mekanisme pertahanan yang buruk untuk radikal bebas tersebut. Aloksan

direduksi menjadi asam dialuric dan kemudian teroksidasi kembali menjadi aoksan,

meenciptakan siklus redoks untuk regenerasi radikal superoksida yang mengalami

dismutase untuk membentuk hydrogen peroksida dan selanjutnya membentuk radikal

hidroksil yang sangat reaktif dan menyebabkan fragmentasi DNA sel beta.Aloksan juga

diambil oleh hati, tetapi hati memiliki perlindungan yang lebih baik untuk oksigen rektif
dan oleh karna itu hati tidak rentan oleh kerusakan. Mekanisme lain kerusakan sel beta

oleh aloksan termasuk oksidasi gugus SH yang esensial, terutama dari glukokinase dan

gangguan dalam homeotatis kalsium intraseluler. Dosis pada tikus berkisar dari 50-200

mg/kg dan mencit dari 40-200 mg/kgBB, tergantung pada straindan rute pemberian

dimana pemberian ip dan s.c membutuhkan hingga 3 kali lebih besar dengan rute i.v

dosis 100mg/kgBB telah digunakan untuk membuat diabetes jangka panjang pada

kelinci. Perlu dicatat bahwa aloksan memiliki indeks dosis dabetogenic yang sempit,

sehingga overdosis ringan bias menyebabkan toksisitas umum, terutama untuk ginjal.

 Glukosa

Pada cara ini mencit yang digunakan adalah mencit normal yang dibebani sukrosa

tanpa merusak pankreasnya, karna berdasarkan teori bahwa dengan pembebanan sukrosa

akan menyebabkan peningkatan kadar gluksa darah darah (hiperglikemik) secara cepat.

Sukrosa didalam tubh dapat terurai menjadi glukosa dan fruktosa.Kadar glukosa yang

tinggi dalam darah dapat diturunkan oleh zat-zat berefek antihiperglikemik.

Metode pengukuran kadar glukosa darah antara lain:

a. Dengan Spektofotometer

Darah mencit diambil melalui ekor sebanyak 0,5-1 ml kedalam tabung ependorf.

Darah disentrifusa selama 10 menit untuk diambil serumnya sebanyak 50 mikro dan

kemudian ditambahkan uranil asetat 500 mikro dan disentrifusa kembali. Supernatan

sebanyak 50 mikro diambil dan ditambahkan preaksi enzim kit glukosa 500 mikro,

kemudian di inkubasi selama 10 menit dan diukur dengan spektofotometer pada

panjang gelombang 546 nm untuk mendapatkan nilai kadar glukosa darah. Hal yang

dilakukan untuk blanko dan standar gula.


b. Dengan Glukometer

Terdiri dari alat glukometer dan strip glikosa glukometer yang sesuai dengan

nomor pada alat. Alat ini secara otomatis akan hidup ketika strip glukosa dimasukan

dan akan mati setelah strip glukosa dicabut. Masukan strip kedalam alat glukometer,

segingga glukometer ini akan hidup secara otomatis, kemudian dicocokan kode

nomor yang muncul pada layar yang ada pada vial chek glucose Tes Strip. Tes strip

yang dimasukan pada glukometer pada bagian layar yang tertera angka yang harus

sesuai dengan kode vial chek glucose test strip, kemudian pada layar monitor

glikometer mumcul tanda siap untuk diteteskan darah. Sentuhkan tetesan darah yang

keluar langsung dari pembuluh darah ke test strip dan tarik sendirinya melalui aksi

kapiler. Ketika wadah terisi penuh oleh darah, alat ini mulai mengukur kadar

gglukosa darah. Hasil pengukuran diperoleh selama 10 detik.


BAB II
METODE PENELITIAN

1. Alat dan Bahan

Hewan : Mencit putih, jantan(jumlah 6 ekor) bobot tubuh 20-


Coba 30 g
- Larutan glukosac5% 1g/kgBB
mencit secara PO
- CMC Na 1 % secara PO
Obat : - Glibenklamid 5 mg/70kgBB
manusia secara PO
- Metformin 500 mg/70 kgBB
manusia secara PO
Spuit injeksi 1 ml, sonde, timbangan hewan, accu
Alat :
check dan strip glukosa

2. Prosedur
1. Puasakan mencit selama 12 – 16 jam, tetapi tetap diberikan air minum.

2. Cek kadar glukosa darah mencit sebelum pemberian glukosa pada menit ke 0 dengan

cara begian ujung ekor mencit dipotong, kemudian darah diteteskan kebagian ujung

strip dan setelah 5 detik kadar glukosa darah akan terlihat pada monitor glukometer.

Kadar glukosa darah ini dicatat sebagai kadar glukosa darah puasa (GDP).

3. Berikan larutan glukosa 1 g/kgBB mencit.

4. Cek kadar glukosa darah mencit stelah pemberian glukosa pada menit ke-5 dengan

cara begian ujung ekor mencit dipotong, kemudian darah diteteskan diteteskan

kebagian ujung strip dan setelah 5 detik kadar glukosa darah akan terlihat pada
monitor glukometer. Kadar glukosa darah ini dicatat sebagai kadar glukosa darah

setelah pembebanan.

5. Tikus dibagi menjadi 3 kelompok dimana masing-masing elompok terdiri dari 2 ekor

mencit dengan perbedaan dosis obat yang diberikan :

Kelompok I : CMC Na 1% secar PO

Kelompok II : glibenklamid 5 mg/ 70 kg BB manusia secara PO

Kelompok III : metformin 500 mg/ 70 kgBB manusia secara PO

6. Hitung dan dosis volume pemberian obat dengan tepat untuk amsing-masing mencit.

7. Berikan larutan obat sesuai kelompok masing-masing pada menit ke -10.

8. Cek kadar glukosa darah mencit setelah pemberian glukosa pada menit

20,40,60,80,100 dan 120.

9. Catat dan tabelkan pengamatan.

10. Data yang diperoleh dianalisa secara statistic berdasarkan analisis variansi dan

bermakna parbedaan kadar glukosa darah anatara kelompok uji kemudian dianalisa

dengan student’s t-test disajikan dalam table dan grafik.


Percobaan Bahan Obat Kadar Glukosa darah g/Dl (menit ke-)
0 5 30 60 120
puasa (diabetic)
Uji kadar Mencit CMC Na 1 134 mg/dl
glukosa 1% secara
dan PO
antidiabetes
2 149 mg/dl 167 mg/dl 148 mg/dl
3 135 mg/dl x x
4
5
6
1 185 mg/dl 208 mg/dl 143 mg/dl 65
2 180 mg/dl 186 mg/dl 110 mg/dl 76
glibenklami 3 142 mg/dl X mg/dl X mg/dl
d 5 mg/ 70
kg BB
manusia
secara PO
4 124 mg/dl 175 mg/dl 107 mg/dl 68
5 139 mg/dl 187 mg/dl 128 mg/dl 59
6 105 mg/dl 145 mg/dl 123 mg/dl 22
Metformin 1 X mg/dl 195 mg/dl 115 mg/dl 80
500 mg/70
kgBB
manusia
secara PO
2 145 mg/dl 182 mg/dl 120 mg/dl 62
3 156 mg/dl 190 mg/dl 119 mg/dl 71
4 138 mg/dl 151 mg/dl 130 mg/dl 21
5 132 mg/dl 149 mg/dl 108 mg/dl 19
6 148 mg/dl 191 mg/dl 139 mg/dl 55
BAB III
PEMBAHASAN

Dari praktikum yang telah dilakukan tentang kadar glukosan obat antidiabetes

menggunakan obat antidiabetes glibenklamid dan metformin. CMC Na yang digunakan untuk

pembanding pada mencit masing-masing mencit diukur kadar glukosa terlebih dahulu dengan

tujuan efektifitas kerja obat antidiabetes yang digunakan dapat diketahui. Secra oral kemudian

diamkan selama lima menit selamjutnya mencit dikelompokan, kelompok 1 diberi CMC Na,

kelompok 2 dan 3 diberi glibenklamid, kelompok 4 dan 5 diberi obat metformin.

Dari tabel pengamatan pada kelompok 1 setelah diberi CMC Na tidak mengalami

penurunan kadar glukosa yang signifikan dapat terjadi dikarnakan CMC Na bukan obat

antidiabetes tetapi banya pembanding. Kelompok 2 setelah pemberian glibenklamid 5 mg/70 BB

manusia mancit satu mengalami penurunan kadar glukosa sebesar 65 mg/dl dan mencit kedua

mengalami penurunan kadar glukosa 76 mg/dl sedangkan pada mancit yang ketiga tidak

dilakukan pengukuran dikarnakan strip rusak, sehingga total penurunan kadar glukosa darah

pada mencit yaitu sebesar 70,5 mg/dl. Pada kelompok ke 3 juga diberikan glibenklamid 5 mg/70

kg BB manusia, mencit pertama mengalami penurunan kadar glukosa 68 mg/dl, sedangkan untuk

menciy yang kedua mengalami penurunan kadar glukosa sebesar 59 mg/dl dan untuk mencit

yang ke tiga mengalami penurunan kadar glukosa darah sebesar 22 mg/dl sehingga total

penurunan kadar glukosa dalam darah yaitu sebesar 50 mg/70 kg BB manusia. Pada kelompok

ke 4 setelah pemberian metformin 500 mg/70 kg BB manusia mancit yang pertama mengalami

penurunan kadar glukosa sebesar 80 mg/dl sedangkan untuk mencit yang kedua mengalami

penurunan kadar glukosa dalam darah sebesar 62 mg/dl dan untuk mencit yang ke tiga

mengalami penurunan kadar glukosa dalam darah sebesar 71 mg/dl sehingga total rata-rata
sebesr 71 mg/dl. Untuk kelompok yang ke 5 dengan pemberian obat metformin 500 mg/70 kg

BB manusia pencit yang pertama mengalami penurunan kadar glukosa dalam darah sebesar 21

mg/dl dan untuk mencit yang ketiga mengalami penurunan kadar glukosa dalam darah sebesar

19 mg/dl sedangkan untuk mencit yang ketiga mengalami penurunan kadar glukosa darah dalam

tubuh sebesar 55 mg/dl sehingal total penurunan kadar glukosa darap pada kelompok ke 5

sehingga total penurunan kadar glukosa dalam darah sebesr 32 mg/dl.

Dari data hasil penurunan darah dari masing-masing kelompok tidak sesuai dengan teori

yang ada diaman secara teori 5 mg/70 kg BB manusia penurunan kadar glukosa darah lebih besar

dibandingkan dengan metformin 500 mg/70 kg BB manusia, ini dikarnakan glibenklamid bekerja

merangsang insuling sehingga penurunan kadar glukosa dalam darah lebih cepat, sedangkan

metformin bekerja merangsang sensitifitas jantung terhadap insuling sehingga penurunan

glukosa darah tidak sebanyak jika menggunakan glibenklamid.


BAB IV
KESIMPULAN

 Glibenklamid dan metformin mampu menurunkan kadar glukosa dalam darah meskipun

tidak sesuai dengan teori yang sebenarnya dimana glibenklamid menurunkan kadar

glukosa lebih banyak dibandingkan dengan metformin.

 Glibenklamid adalah obat golongan antidiabetas yang bekerja merangsang pelepasan

insuling dari pancreas, sehingga dapat menyebabkan hipoglikemia.

 Metformin adalah obat golongan antidiabetes bekerja dengan cara menurunkan produksi

kadar glukosa hepatic, menurunkan absorbs gula dan memperbaiki sensitifitas insuling

dengan menggunakan glukosa sehingg tidak menyebabkan hipoglikemia.


DAFTAR PUSTAKA

- Destyis. P. 2015. Penetuan Kadar Glukosa. Bandung


- Ahmad. F. 2009. Penentuan Kadar Glukosa Dalam Darah. Institute Pertanian Bogor.
- Andreanus. A. S. 2016. Penentuan Glukosa Darah Mencit Secara Cepat Untuk
Diterapkan Dalam Penapisan Aktifitas Antidiabetes In Vivo. Bandung.

Anda mungkin juga menyukai