Oleh
Sugianto
Sugiantoalfaruqi3@gmail.com
Abstrak
Kepala Madrasah dalam memimpin bawahannya pada dasarnya mempunyai fungsi
kepemimpinan pendidikan. Oleh karena itu gaya kepemimpinan yang dipakai Kepala
Madrasah harus disesuaikan dengan kondisi guru yang dihadapinya. Ini penting karena
guru memegang peranan penting dalam merencanakan dan melaksanakan kurikulum.
Dengan demikian, guru adalah perencana (membuat persiapan mengajar), pelaksana
(mengajar) dan pengembang kurikulum bagi kelasnya (mengevaluasi hasil pengajaran)
yang semuanya diarahkan untuk peningkatan mutu pembelajaran. Penelitian ini dilakukan
pada Madrasah MTs Matlaul Anwar Cintamulya Lampung Selatan, sebuah madrasah yang
berada dalam naungan Yayasan. Sudah menjadi anggapan umum bahwa lembaga yang
berada dalam naungan Yayasan mempunyai kecenderungan adanya kelemahan dalam
bidang manajerial kepemimpinan.
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab tiga pokok permasalahan yaitu: 1)
bagaimanakah pengaruh gaya kepemimpinan Kepala Madrasah terhadap kinerja guru, 2)
bagaimanakan pengaruh kinerja guru terhadap mutu pembelajaran, dan 3) bagaimanakah
pengaruh gaya kepemimpinan Kepala Madrasah terhadap mutu pembelajaran. Jenis
penelitian ini adalah field research dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini juga
bersifat diskriptif analitik dengan memakai sampel seluruh dari populasi guru yang ada di
madrasah ini. Data yang didapat selanjutnya dianalisis dengan analisa statistik
menggunakan path analisys untuk menjawab pokok permasalahan penelitian.
Hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa 29.1% dari kinerja guru
ternyata dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan Kepala Madrasah yang saat ini diterapkan.
Kinerja guru juga mempunyai andil yang cukup besar bagi terciptanya peningkatan mutu
pembelajaran. Pengaruh kinerja guru bagi peningkatan mutu pembelajaran adalah sebesar
35.2%. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan Kepala
Madrasah secara nyata dapat berpengaruh kepada kinerja guru dan mutu pembelajaran di
MTs Matlaul Anwar Cintamulya Lampung Selatan sebesar 32.6 %. Dari hasil tersebut, maka
Kepala Madrasah hendaknya memperlakukan seluruh civitas akademika, khususnya guru,
sesuai dengan tingkat kematangan mereka. Komunikasi terbuka adalah sangat penting
tetapi dengan menghindari pemberian dorongan dan saran yang berlebihan untuk
menghilangkan kesan menggurui dan juga untuk mengurangi kesan kurang percaya kepada
bawahan.
A. Pendahuluan
Pembangunan nasional di bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam mewujudkan
masyarakat yang maju, adil, dan makmur. Pembangunan bidang pendidikan juga
memungkinkan warga negara untuk mengembangkan diri baik berkenaan dengan
aspek jasmaniah maupun rohaniah berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.
Pada Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan
kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia
dalam rangka mewujudkan tujuan nasional. Selanjutnya pendidikan nasional bertujuan
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia, yaitu
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur,
memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian
yang mantap dan mandiri, serta bertanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Semangat tujuan pendidikan nasional di atas juga sejalan dengan semangat al-
Qur’an yang secara jelas memposisikan para intelek pada posisi yang mulia sesuai
dengan sûraù al-Mujâdalaù ayat 11 :
“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-
orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat dan Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. 58 : 11)1
Dari tujuan pendidikan nasional di atas dapat dinyatakan bahwa tegaknya
pendidikan akan berdampak positif bagi kehidupan bangsa. Oleh sebab itu, upaya
peningkatan mutu pendidikan sudah seharusnya menjadi fokus pembangunan negeri
ini. Salah satu isu penting dalam penyelenggaraan pendidikan adalah peningkatan
1
Kementerian Urusan Agama Islam, Wakaf, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, Al-Qur’an dan
Terjemahnya (Madinah: t.np., 1990), hlm. 910.
3
mutu pendidikan, baik tingkat dasar, menengah, maupun tingkat pendidikan tinggi.
Satu permasalahan pendidikan yang sampai sekarang masih menjadi pekerjaan rumah
bangsa Indonesia adalah persoalan tentang rendahnya mutu pendidikan.
Realitas yang ada sampai saat ini adalah telah terjadi kemerosotan mutu
pendidikan khususnya pada pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Masalah ini
terjadi akibat dari penyelenggaraan pendidikan yang lebih menitikberatkan pada aspek
kuantitas dan menomorduakan kualitas.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu
pendidikan ini, diantaranya dengan diadakannya berbagai pelatihan kompetensi guru,
pelatihan bagi karyawan tata usaha dan kepala sekolah guna peningkatan manajemen
sekolah. Tidak itu saja, bantuan-bantuan fisik, seperti pemberian dana pembangunan
gedung sekolah, penyediaan buku pelajaran serta alat-alat belajar lainnya juga telah
sering dilakukan. Akan tetapi usaha-usaha tersebut sampai sekarang belum
menunjukkan hasil yang memuaskan, apa lagi jika yang kita bicarakan adalah
madrasah. Hasil ini tentunya tidak menafikan adanya beberapa sekolah yang sudah
lebih baik di atas rata-rata sekolah kebanyakan. Tetapi lagi-lagi sekolah-sekolah
unggulan ini rata-rata adalah sekolah umum, bukan madrasah.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa rendahnya mutu pendidikan di
Indonesia, khususnya Madrasah, disebabkan karena rendahnya kompetensi guru serta
raw-input yang menjadi peserta didik. Permasalahan kualitas dan efektifitas
pendidikan di madrasah ini juga disebabkan oleh kepemimpinan kepala madrasah
yang tidak memiliki visi dan misi yang jelas, mau ke mana suatu madrasah akan
dibawa.2 Tidak hanya pada madrasah saja, peran pimpinan di organisasi atau lembaga
mana pun mempunyai peran strategis dalam menjadikan apakah suatu
organisasi/lembaga itu berjalan sesuai dengan apa yang direncanakan ataukah
sebaliknya.
Mutu Pengelolaan Madrasah Aliyah Swasta se Jawa Tengah” tanggal 18 Januari 2000 di Ungaran, Semarang,
hlm. 3.
4
pendidikan selalu menyertakan banyak orang, seperti peserta didik, guru, pegawai dan
tata usaha, dan orang lain yang terkait di dalam organisasi pendidikan.5
Kepala Madrasah sebagai seorang pemimpin pada suatu lembaga pendidikan
harus mampu mengatur semua hal yang terkait dengan pencapaian visi dan misi
lembaga yang telah direncanakan. Kemampuan yang menjadi prasarat pengembangan
lembaga diantaranya melalui inovasi metode dan alat sesuai dengan sifat bidang
kerjanya. Kebutuhan inovatif ini diperlukan dalam rangka mengembangkan kerjasama
yang memungkinkan tujuan tercapai secara efektif. Dengan kata lain setiap petugas
pendidikan di lingkungan lembaga pendidikannya tidak saja akan terlibat dalam
kegiatan kependidikan secara profesional, tetapi akan terlibat juga dalam kegiatan
administrasi yang mengharuskan mereka memiliki pengetahuan, keterampilan,
keahlian, dan penerimaan dalam menyusun perencanaan, melakukan
pengorganisasian, pemberian bimbingan, dan koordinasi.
Oleh karena itu, manajemen yang baik tentulah manajemen yang tidak jauh
menyimpang dari konsep dan yang sesuai dengan obyek yang ditanganinya serta
tempat organisasi itu berada. Walaupun harus sesuai dengan konsep manajemen yang
sudah ada, namun seorang manajer yang baik harus bisa berinovasi dan berkreasi
sesuai dengan siapa yang dihadapi dan tempat di mana ia berposisi sebagai manajer.
Karena setiap obyek membutuhkan cara tersendiri untuk menanganinya. Begitu pula
pada masing-masing tempat organisasi memiliki situasi dan kondisi yang berbeda
yang membutuhkan penyesuain pula bagi menajemen pada organisasi itu, termasuk
juga pada lembaga pendidikan. Itulah sebabnya variasi-variasi seperti itu wajar ada
dan bisa diterima. Begitu pula Kepala Madrasah, dia harus bisa mencari cara berbeda
dalam menghadapi guru-guru yang menjadi bawahannya yang tentunya mempunyai
karakter yang beragam.
Perhatian kepala madrasah kepada bawahan, khususnya guru, berpengaruh
pada gaya kepemimpinannya karena bawahan adalah sekumpulan manusia yang
memiliki sifat, kepribadian dan kemauan yang tentu saja tidak selalu sama. Inilah
mengapa gaya kepemimpinan terkadang berubah-ubah dari satu situasi ke situasi yang
5
Sufyarma, Kapita Selekta Manajemen Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2004), hlm. 188.
6
lain.6 Tetapi perubahan gaya kepemimpinan ini masih berkisar diantara empat gaya
kepemimpinan, yaitu gaya instruktif (telling) yang berarti semua hal berada di bawah
kendali penuh Kepala Madrasah, gaya konsultatif (selling) ditandai dengan adanya
dialog antara Kepala Madrasah dan guru tetapi Kepala Madrasah masih banyak
mengarahkan tugas guru, gaya partisipasif (participating) yang ditandai dengan
Kepala Madrasah melatih para guru dalam mengambil keputusan sendiri, dan gaya
delegatif (delegating) yang ditandai dengan Kepala Madrasah mendiskusikan masalah
yang ada dengan para guru dan membiarkan guru tersebut untuk mengambil langkah
sendiri untuk masalah itu karena dianggap sudah mampu melaksanakan tugas dengan
baik.7
Fleksibelitas gaya kepemimpinan tersebut diharapkan bisa menciptakan nilai-
nilai kebahagiaan, ketaatan, integritas, dan kesetiaan.8 Kebahagiaan merupakan nilai
tertinggi yang bukan saja harus ada pada manajemen tetapi pada setiap aktivitas
manusia. Kepala Madrasah dan orang-orang yang dipimpinnya (guru dan karyawan)
yang merasa bahagia akan melaksanakan setiap tugas dan tanggung jawabnya dengan
senang hati karena tugas dan tanggung jawab tersebut dirasakannya sebagai sesuatu
yang indah yang memikat dirinya. Ketaatan akan peraturan-peraturan yang ada pada
madrasah juga akan ada jika hal yang pertama tadi sudah terwujud. Nilai konsistensi
hampir sama dengan ketaatan pada hukum/aturan, sebab prilaku dan tata kerja para
guru, pengawai, dan kepala madrasah sudah diatur oleh peraturan madrasah. Perilaku
dan tata kerja yang patuh kepada peraturan menunjukkan konsistensinya terhadap
peraturan itu. Jika kesetiaan dan kepatuhan berlangsung lama maka terjadilah
konsistensi yang berkelanjutan.
Khusus bagi Kepala Madrasah, di samping hal-hal di atas, integritas
merupakan sesuatu yang sangat diperlukan. Agar dapat diterima di tengah-tengah guru
dan karyawan di lingkungan madrasah, maka Kepala Madrasah perlu mempunyai
ingtegritas pribadi yang mampu berbaur dengan orang lain, termasuk berinterkasi
6
Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia (Jakarta : Rieneka Cipta, 2004), cet. ke-4, hlm.
16.
7
Burhanuddin, Analisis Administrasi Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan (Jakarta : Bumi
Aksara, 1994), hlm. 134-136.
8
Pidarta, Manajemen Pendidikan, hlm. 16.
7
dengan bawahan dan lingkungan sekitar madrasah. Kemampuan ini bersumber dari
kemampuan dalam menghormati, menghargai, mengayati perasaan orang lain,
toleransi dan bekerja sama. Sebagai pemegang kebijakan dalam menyelenggarakan
pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, Kepala
Madrasah harus memperhatikan guru dan tenaga kependidikan yang profesional,
karena ini sebagai syarat utamanya.9 Guru memegang peranan penting dalam
merencanakan dan melaksanakan kurikulum. Dengan demikian, guru adalah
perencana, pelaksana dan pengembang kurikulum bagi kelasnya. Dalam pada itu,
Ahmad Tafsir merinci tugas guru, yaitu membuat persiapan mengajar, mengajar, dan
mengevaluasi hasil pengajaran.10
Menyadari hal tersebut di atas, guru hendaknya memiliki standar kemampuan
profesional untuk melakukan pembelajaran yang berkualitas. Kualitas guru dapat
ditinjau dari dua segi, dari segi proses dan dari segi hasil. Dari segi proses, guru
dikatakan berhasil apabila mampu melibatkan peserta didik secara aktif dalam proses
pembelajaran. Sedangkan dari segi hasil, guru dikatakan berhasil apabila
pembelajaran yang diberikannya mampu mengubah perilaku peserta didik ke arah
penguasaan kompetensi dasar.
Nilai-nilai yang sudah disebutkan tadi berujung pada peningkatan kinerja
pada semua orang yang terlibat dalam madrasah, terlebih lagi bagi para guru. Kinerja
merupakan usaha untuk mencapai derajat penyelesaian yang menjadi tugas dan
kewajibannya. Hal ini merupakan refleksi seberapa baik seorang bawahan, khususnya
guru, dalam memenuhi permintaan akan tugasnya dan hasil kerjanya dapat diukur,
baik bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Bila kinerja guru meningkat dengan rasa
tanggung jawab yang besar, maka akan berpengaruh terhadap siswa yang menajadi
peserta didiknya. Mutu pembelajaran atau keberhasilan peserta didik dalam
pembelajaran tidak hanya dipengaruhi oleh faktor intern dari siswa sendiri melainkan
juga adanya pengaruh faktor ekstern yang salah satunya adalah kinerja guru.11
9
E.Mulyasa, Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelejaran Kreatif dan Menyenangkan
(Bandung : Remaja Rosda Karya, 2007), hlm. 3.
10
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004),
hlm. 86.
11
Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar Agama (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), hlm. 39-41.
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar (Jakarta : Logos, 2001), cet. ke-3, hlm. 138.
8
12
Hasil prasurvei di MTs Matlaul Anwar Cintamulya awal 12 November 2017.
13
John M Echols dan Hassan Sadhily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta : Gramedia, 1995), cet. ke-
21, hal. 351.
14
Merriam-Websters, Webter’s Ninth New Collegiate Dictionary (USA: Merriam-Websters Inc.,
1983), p. 679.
9
15
Onong Uchjana Effendi, Psikologi Manajemen dan Administrasi (Bandung: Mandar Maju, 1989),
hlm. 174.
16
Soekarno Indrafachrudi, Mengantar Bagaimana Memimpin Sekolah yang Baik (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1994), cet. ke-3, hlm. 12.
17
Kusmintarjo, Dasar-Dasar Manajemen (Jakarta : Depdikbud, 1998), hlm. 3.
18
Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 1995), hlm. 26.
19
Gary A Yukl, Leardership in Organizations (New Jersey : Prentice-Hall, 1998), hlm. 3.
10
Apakah sebenarnya arti kinerja itu? Jika dilihat dari asal katanya, kata
kinerja adalah terjemahan dari kata performance. Dalam kamus al-Tarbiyah kata
"performance" adalah kata benda yang diartikan dengan al-ada' (menyelesaikan atau
menunaikan).23 Dalam kamus Webster’s kata ini diartikan the execution of an action
(pelaksanaan tindakan), something accomplished (sesuatu yang telah dilaksanakan),
the fulfillment of a claim, promise or request, (memenuhi klaim, janji atau
permintaan), behavior (perilaku), the ability to perform, competence (kemampuan).24
20
Pidarta, Manajemen Pendidikan, hlm. 16.
21
Handoko, Manajemen, hlm. 295.
22
Yukl, Leadership in Organizations,hlm. 8-9.
23
Muòammad ‘Alī al-Óulī, Qāmūs al-Tarbiyyaù (Bairūt : Dār al-'Ilm li al-Malāyīn, 1980), hlm. 347.
24
Websters, Webter’s Ninth, hlm. 873.
11
Dari berbagai pengertian dia atas, maka secara sederhana dapat dikatakan
bahwa kinerja atau performance adalah kemampuan untuk dapat melaksanakan dan
menyelesaikan tugas serta berhasil mencapai hasil yang menjadi tujuannya
(Performance is getting the job done. Producing the result that you aimed at).28
Menurut Syamsudin, kinerja adalah kata lain dari prestasi kerja yang berarti
penampilan hasil kerja SDM dalam suatu organisasi.29 Kinerja atau kemampuan
melaksanakan tugas ini mengandung dua komponen utama :
a. Kompetensi, berarti individu atau organisasi memiliki kemampuan untuk
melaksanakan dan menyelesaikan tugas dengan benar.
25
http://ronawajah.wordpress.com/2007/05/29/kinerja-apa-itu/ (diakses tanggal 5 September 2007).
26
http://ronawajah.wordpress.com/2007/05/29/kinerja-apa-itu/ (diakses tanggal 5 September 2007).
27
Faustino Cordoso Gomes, Manajemen Sumber Daya Manusia (Yogyakarta : ANDI, 2003), cet.
ke-4, hlm. 135.
28
http://www.lifehack.org/articles/lifehack/what-is-performance.html (accessed September 5 th,
2007).
29
Sadili Samsudin, Manajemen Sumber Daya Manusia (Bandung : Pustaka Setia, 2006), hlm. 162.
12
Pembelajaran tidak sama persis dengan pengajaran. Jika kata pengajaran ada
dalam konteks guru dan murid di kelas formal, maka pembelajaran atau instruction
mencakup kegiatan belajar mengajar yang tidak mesti dihadiri guru dan murid secara
fisik. Oleh karena dalam instruction yang ditekankan adalah proses belajar mengajar,
maka usaha-usaha yang terencana dalam memanipulasi sumber-sumber belajar agar
terjadi proses belajar mengajar dalam diri siswa disebut juga dengan pembelajaran.34
30
Indikator Kinerja, Modul Pelatihan Keterampilan Manajerial SPMK – Januari 2003, hlm. 230.
31
Tim Pengembang MKDK Kurikulum dan Pembelajaran, Kurikulum dan Pembelajaran (Bandung
: FIP UPI, 2002), hlm. 54.
32
Websters, Webster’s Ninth, hlm. 627.
33
A J Romiszowski, Designing Instructional System (New York : Nichols Publishing, 1986), hlm. 4.
34
Syuaeb Kurdi dan Abdul Aziz, Model Pembelajaran Efektif Pendidikan Agama Islam di SD dan
MI (Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2006), hlm. 1.
13
35
E Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan : Suatu Panduan Praktis (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2007), hlm. 11.
36
Mohamad Surya, Psikolagi Pembelajaran dan Pengajaran (Bandung : Pustaka Bani Quraisy,
2004), hlm. 7-17. Juga di dalam Nana Sudjana, Penilaian Proses Hasil Belajar Mengajar (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2005), hlm. 22-34.
37
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta:
Kencana, 2007), cet. ke-2, hlm. 47.
14
38
Susanto, “Model Penjaminan”, hlm. 3-4.
39
Sukardi, Metode Penelitian Pendidikan; Kompetensi dan Praktiknya ( Jakarta: Bumi Aksara,
2005), hlm. 17.
15
adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki. 40
Jenis penelitian survei ini memfokuskan pada pengungkapan hubungan antara satu
variabel denga variabel yang lain, yaitu mengarah pada penyelidikan hubungan sebab
berdasarkan pengamatan terhadap akibat yang terjadi, dengan tujuan memisahkan pengaruh
langsung dan tidak langsung suatu variabel penyebab terhadap variabel akibat. Variabel sebab
akibat tersebut adalah Gaya Kepemimpinan Kepala Madrasah, Kinerja Guru yang berpengaruh
pada Mutu Pembelajaran.
Penelitian ini menuntut ketelitian, ketekunan dan sikap kritis dalam menjaring data dari
sumbernya. Untuk itu diperlukan sumber data yaitu populasi dan sampel dari sisi homogenitas,
volume dan sebarannya. Karena data yang diperoleh berupa angka-angka yang akan diolah
secara statistik, maka antarvariabel haruslah jelas korelasinya sehingga dapat ditemukan
pendekatan statistik yang digunakan untuk mengolah data agar hasil analisisnya dapat dipercaya
(reliabel dan valid).
Menurut Sugiono, penelitian kuantitatif adalah berdasarkan paradigma positivisme
yang didasarkan pada asumsi obyek empiris penelitian. Asumsi-asumsi tersebut adalah:
1. Obyek atau fenomena dapat diklasifikasikan menurut sifat, jenis, struktur,
bentuk, warna dan sebagainya. Berdasarkan asumsi ini maka penelitian dapat
memilih variabel tertentu sebagai obyeknya.
2. Determinisme (hubungan sebab akibat).41 Asumsi ini menyatakan bahwa
setiap gejala pasti ada penyebabnya. Seperti tinggi rendahnya mutu
pembelajaran tentu ada penyebabnya.
Berdasar dua asumsi di atas, maka penelitian yang dilakukan dapat memilih
variabel yang diteliti dan menghubungkan antara satu variabel dengan variabel yang lain
dengan pertimbangan bahwa suatu gejala (variabel) tidak akan berubah dalam waktu
yang singkat. Bila gejala ini berubah-ubah maka akan sulit untuk diteliti.
Selanjutnya, karena menggunakan informasi yang diperoleh dari obyek penelitian
yang selanjutnya disebut sampel, maka jenis penelitian dalam skripsi ini adalah
penelitian lapangan (field research) dengan instrumen pengumpulan data melalui angket
40
M Djunaidi Ghony, Pedoman di dalam Penelitian dan Penilaian (Surabaya: Usaha Nasional, ttp),
hlm. 49.
41
Sugiono, Statistika untuk Penelitian (Bandung : Alfabeta, 2004), hlm. 12-13
16
42
H Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 125.
17
disertai lima pilihan jawaban. Dari kelima alternatif jawaban yang harus dipilih
oleh responden kemudian disusun kriteria penilaian sebagai berikut :
a. Nilai komulatif adalah nilai dari setiap item pertanyaan yang merupakan
jawaban dari 42 responden.
b. Persentase adalah nilai komulatif item dibagi dengan nilai frekuensinya
dikalikan dengan 100%.
c. Jumlah responden 42 orang dan nilai skala pengukuran terbesar adalah 5.
Sedangkan skala pengukuran terkecil adalah 1. Maka nilai komulatif
terbesar adalah 42x5=210 dan jumlah nilai komulatif terkecil adalah
42x1= 42. Adapun nilai persentase terbesar adalah (210/210)x100% =
100% dan nilai persentase terkecil adalah (42/210)x100% = 20%. Dari
persentase tertinggi dan terendah tersebut dapat diperoleh nilai rentang
100% - 20% = 80%. Dan jika nila rentang tersebut dibagi dengan 5 skala
pengukuran (80% dibagi 5), maka didapat nilai interval persentase sebesar
16%. Dari perhitungan di atas maka dapat ditetapkan klasifikasi kriteria
penilaian sebagai berikut :
NO PERSENTASE KRITERIA PENILAIAN
1 20.00 – 35.99 Tidak Baik
2 36.00 – 51.99 Kurang Baik
3 52.00 – 67.99 Cukup Baik
4 68.00 – 83.99 Baik
5 84.00 – 100.00 Sangat Baik
Perlu diingat kembali bahwa teori memiliki asumsi dimana berlakunya teori tersebut
sangat tergantung pada situasi dan kondisi yang ada saat sebuah teori diterapkan.
Adanya hubungan antarvariabel dalam penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan
antara gaya kepemimpinan kepala madrasah dengan kinerja guru dan mutu
pembelajaran terah jelas terbukti pada kasus yang terjadi di MTs Matlaul Anwar
Cintamulya ini.
Hubungan dalam angka persentase yang bisa dikatakan rendah tersebut
dimungkinkan karena adanya beberapa faktor lain yang ada pada madrasah ini yang
mempengaruhi kepemimpinan Kepala madrasah. Hakekatnya Kepala Madrasah adalah
orang yang mempunyai ketrampilan untuk mempengaruhi perilaku orang lain dengan
menggunakan kekuasaan. Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengarahkan dan
mempengaruhi bawahan sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakannya.
Semakin banyak jenis sumber kekuasaan yang tersedia bagi pimpinan, akan makin besar
potensi kepemimpinan yang efektif. Bila kita memakai pendekatan pengaruh kekuasaan
(power-influence) yang menganggap semakin besar kekuasaan yang dapat digunakan
seorang pemimpin maka kepemimpinannya akan semakin efektif,43 kemungkinan besar
masalahnya ada di sini.
Seperti yang telah disebut sebelumnya bahwa masalah dualisme kekuasaan
adalah masalah yang biasa timbul pada madrasah swasta. Salah satunya adalah dualisme
dalam bidang manajerial. Lembaga swasta pada umumnya mempunyai dua top manager
yaitu Kepala Madrasah dan Ketua Yayasan atau pengurus. Meskipun telah ada garis
kewenangan yang memisahkan keduanya, yaitu Kepala Madrasah sebagai pemegang
kendali akademik dan Ketua Yayasan (pengurus) membidangi penyediaan sarana dan
prasrana, tetapi keduanya sering terjadi overlapping. Masalah ini biasanya lebih parah
lagi jika pengurus yayasan tersebut ada yang merangkap menjadi tenaga pengajar juga.
Ini akan menimbulkan kesan memata-matai kepala sekolah, dan memang sering terjadi
seperti ini. Dan ketika pengurus sekaligus guru ini melakukan tindakan indisipliner,
Kepala Madrasah tidak berdaya untuk menegurnya.
Praktek manajemen madrasah, khususya madrasah-madrasah yang tumbuh di
sekitar pesantren, sering menggunakan manajemen “bapak-anak” atau paternalistik.
43
Gary A Yukl, Leardership in Organizations (New Jersey : Prentice-Hall, 1998), hlm. 8-9.
21
44
E Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hlm.
75.
22
45
T Hani Handoko, Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia (Yogyakarta: BPFE, 2000),
cet. ke-14, hlm. 196.
46
Edwin B Flippo, Personal Management, terjemah oleh Moh Masud, “Manajemen Personalia”
(Jakarta : Erlangga, 1995), hlm. 117.
47
Eileen Rachman dan Sylvia Savitri, “Etos Kerja”, Kompas (Jakarta) pada rubrik “Karier”, tanggal
22 April 2007, hlm. 36.
23
tersebut untuk puas, (c) kecocokan dengan minat, semakin cocok minat individu
semakin tinggi kepuasan kerjanya, (d) kepuasan individu dalam hidupnya, yaitu
individu yang mempunyai kepuasan yang tinggi terhadap elemen-elemen
kehidupannya yang tidak berhubungan dengan kerja, biasanya akan mempunyai
kepuasan kerja yang tinggi.48
Disamping faktor internal di atas ada juga feksternal yang merupakan faktor
yang datang dari luar individu (guru) yakni faktor lingkungan/organisasi. Yang
termasuk ke dalam faktor tersebut adalah; struktur organisasi, desain pekerjaan,
kepemimpinan, sistem penghargaan (reward system), dan kesempatan kerja atau
kesempatan untuk berkarier. Ketidakcocokan seseorang dengan apa yang ada, misalnya
seorang guru merasa kurang puas dengan kedudukan ataupun tugas mengajar mata
pelajaran tertentu yang dia terima, kepemimpinan Kepala Madrasah yang dianggap
kurang adil, gaji yang dirasakan kurang sesuai dengan harapan, kesempatan berkarier
yang dibatasi, akan mempengaruhi motivasi kerja seorang guru. Dengan adanya
kondisi-kondisi semacam ini mengharuskan seorang Kepala Madrasah untuk jeli dalam
menimbang kemudian memutuskan siapa dan tugas apa yang akan diberikan kepada
seorang guru. Ketepatan dalam penugasan ini, termasuk ketepatan dalam pemilihan
para pembantu Kepala Madrasah yang menduduki jawabatan tertentu. Gaya
kepemimpinan yang tepat yang mampu memberikan penghargaan yang sesuai kepada
bawahannya dapat meningkatkan kinerja orang-orang yang dipimpinnya, tetapi sekali
lagi, ini bukan satu-satunya faktor.
Keinginan individu juga berpengaruh pada kinerja terutama pada semangat dan
kemauan individu tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Ada beberapa hal tentang
keinginan-keinginan individu yang dapat. Jika keinginan ini terpenuhi dimungkinkan
kinerja akan semakin meningkat. Keinginan-keinginan itu adalah :
1. Upah yang memuaskan.
2. Keterjaminan pekerjaan (security of job).
3. Rekan kerja yang menyenangkan (congenial associates).
4. Penghargaan atas pekerjaan yang dilakukan (credit for work done) bisa berupa
materi maupun pujian oleh orang lain.
48
http://ronawajah.wordpress.com/2007/05/29/kinerja-apa-itu/ (diakses tanggal 5 September 2007).
24
5. Pekerjaan yang berarti (a meaningful job) yang mendorong ke arah prestasi dan
aktualisasi diri.
6. Adanya kesempatan untuk maju atau mengembangkan karier (opportunity to
advance).
7. Kondisi lingkungan kerja yang nyaman, aman, dan menarik (kondusif).
8. Kepemimpinan/pemimpin yang kompeten dan adil (competent and fair
leadership). Seorang guru akan merasa senang bila menerima tugas dari Kepala
Madrasah yang dianggapnya sangat cakap, bermutu dan adil. Namun bila
sebaliknya, maka semangat untuk melaksanakan tugas menjadi lemah dan
kinerjanya buruk karena merasa diperintah oleh orang yang tidak bermutu.
9. Perintah dan pengarahan yang masuk akal dari atasan (reasonable orders and
directions). Perintah-perintah yang tidak masuk akal dan tidak berhubungan
dengan masalah sekolah hanya akan memperbesar ketidaknyamanan dan
kekecewaan para guru.
10. Organisasi tempat kerja yang relevan dari segi sosial (a socially relevant
organization).49 Semakin terpandang suatu lembaga pendidikan tempat guru
mengajar, akan menimbulkan rasa tanggung jawab yang besar pada dirinya
dalam melaksanakan tugas kependidikannya.
Faktor-faktor yang telah disebut di atas dapat disederhanakan menjadi lima
faktor saja yang ikut mempengaruhi kerja guru. Kelima fakor ini menurut Surya adalah
:
1. Imbalan kerja atau sesuatu yang diperoleh dari melaksanakan tugas sebagai guru,
baik imbalan yang berupa material ataupun non-material.
2. Rasa aman dalam pekerjaan. Guru harus merasakan adanya keamanan lahir
maupun bathin dalam melaksanakan tugasnva
3. Kondisi kerja yang baik. Guru-guru merasakan adanya kepuasan kerja karena
pada umumnya kondisi kerja guru lebih baik dari kondisi kerja yang lainnya.
4. Kesempatan pengembangan diri. Guru-guru merasa puas karena dalam tugas
sebagai guru, banyak memperoleh kesempatan untuk memperluas dan
mengembangkan diri untuk kepentingan di masa depan.
49
Flippo, Personal Management, hlm. 116-117.
25
memainkan perannya sebagai seorang pendidik dan pengajar. Untuk dapat berperan
maksimal, seorang guru perlu menyiapkan strategi pembelajaran yang efektif. Strategi
pembelajaran adalah pola-pola umum kegiatan guru dan peserta didik dalam
perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Secara garis besar strategi pembelajaran meliputi 4 hal :
1. Mengidentifikasi serta menetapkan spesifikasi dalam kualifikasi perubahan
tingkah laku dan kepribadian anak didik sebagai manusia yang diharapkan.
2. Memilih sistem pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi dan
pandangan hidup masyrakat.
3. Memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan teknik belajar mengajar yang
dianggap paling tepat dan efektif, sehingga dapat dijadikan pegangan oleh guru
dalam menunaikan kegiatan belajar mengajarnya.
4. Menetapkan norma-norma dalam batas minimal keberhasilan atau kriteria serta
standar keberhasilan, sehingga dapat dijadikan pedoman oleh guru yang dapat
melakukan evaluasi hasil kegiatan belajar mengajar yang selanjutnya dapat
dijadikan umpan balik untuk menyempunakan sistem instruksional yang
bersangkutan secara keseluruhan.52
Sedangkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran dapat
diketahui melalui :
1. Memahami dan mengikuti petunjuk yang diberikan guru.
2. Siswa turut serta melakukan kegiatan pembelajaran.
3. Tugas-tugas belajar dapat diselesaikan sebagaimana mestinya.
4. Memanfaatkan sumber belajar yang disediakan guru.
5. Menguasai tujuan-tujuan pengajaran yang telah ditetapkan guru.53
Selain lima hal di atas, mutu proses pembelajaran juga dapat diketahui dengan
keaktifan siswa dalam proses ini. Sejauh mana kualitas pembelajaran dapat diketauhi
dengan :
1. Turut serta dalam melaksanakan tugas belajarnya.
52
Syaeful Bahri Djamaran dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Rineka Cipta,
2002), hlm. 5-6.
53
Nana Sudjana, Penilaian Proses Hasil Belajar Mengajar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005),
hlm. 60-61.
27
54
Ibid., hlm. 61.
28
senantiasa memasang tekad bulat dan selalu optimis bahwa cita-cita dapat dicapai
dengan belajar.
Mengingat motivasi merupakan motor penggerak dalam perbuatan, maka
apabila ada anak didik yang kurang memiliki motivasi intrinsik, diperlukan dorongan
dari luar, yaitu motivasi ekstrinsik. Agar anak didik termotivasi untuk belajar,
diperlukan pemanfaatan bentuk-bentuk motivasi ekstrinsik secara akurat dan bijaksana.
Dari hasil penelitian dapat dikatakan bahwa kinerja guru telah terbukti
berpengaruh dalam peningkatan mutu pembelajaran di MTs Matlaul Anwar
Cintamulya lum ini meskipun nilai pengaruhnya hanya 35.2%. Dari sini dimungkinkan
bahwa motivasi siswalah yang mempunyai andil cukup besar dalam pencapaian
prestasi belajar. Namun bila kita lihat lagi pada rata-rata jawaban angket tentang mutu
pembelajaran dan juga didukung dari data kelulusan yang ada, maka pernyataan bahwa
kepemimpinan Kepala Madrasah dan kinerja guru telah berhasil meningkatkan mutu
pembelajaran juga dapat dibenarkan. Data kelulusan dua tahun terakhir menunjukkan
peningkatn yang cukup signifikan. Bila pada tahun ajaran 2013-2014 tingkat kelulusan
82.05% pada tahun berikutnya meningkat menjadi 100%. Peningkatan persentase
angka kelulusan ini sebagai bukti nyata bahwa kepemimpinan Kepala Madrasah
berpengaruh terhadap kinerja guru dan peningkatan mutu pembelajaran di MTs Matlaul
Anwar Cintamulya.
E. Penutup
1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan:
a. Gaya kepemimpinan Kepala Madrasah berpengaruh secara nyata dan positif
terhadap kinerja guru. Tetapi koefisien determinasi yang diperoleh dari hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan Kepala Madrasah
mempunyai pengaruh yang kurang terhadap kinerja guru. Ini dimungkinkan
karena memang kinerja guru tidak hanya tergantung pada kepemimpinan
Kepala Madrasah saja. Iklim kerja dan hubungan antarpersonal yang baik
dimungkinkan menjadi faktor yang dominan yang mempengaruhi kinerja guru.
b. Kinerja guru berpengaruh secara nyata dan positif terhadap mutu
pembelajaran. Koefisien determinasi yang diperoleh dari hasil penelitian
29