Anda di halaman 1dari 10

ABORTUS

PENDAHULUAN

Abortus adalah pengeluaran fetus sebelum akhir masa kebuntingan dengan


fetus yang belum sanggup hidup (Toelihere, 1985). Pada tahap awal
setelah terjadinya fertilisasi, tidak akan terjadi abortus kecuali jika ada
perpanjangan siklus estrus. Selain deteksi estrus yang akurat, panjangnya siklus
adalah diagnosa abortus yang sangat lemah. Abortus dapat diidentifikasi dengan
mengobservasi pengeluaran fetus dan/atau plasenta. Beberapa kejadian abortus
dapat terjadi melalui resorpsi atau mumifikasi fetus yang hanya dapat didiagnosis
melalui palpasi.

Menurut laporan, abortus spontan terjadi dalam 2-5% dari seluruh kejadian
kebuntingan pada sapi. Dalam sebuah survei terhadap 83 ekor ternak laktasi di
Virginia barat, rata-rata kejadian abortus terjadi sebesar 2,9% per tahun.

Untuk mengetahui telah terjadi abortus, ternak sapi harus dikonfirmasi


telah bunting sebelumnya. Dimana konsentrasi susu progesteron 22-25 hari
setelah pembiakan untuk memperkirakan kehamilan. Palpasi rektal 35-40 hari
setelah konsepsi telah menjadi indikator kebuntingan secara rutin.

Perbedaan antara jumlah sapi didiagnosis bunting dengan level


progesterton susu dan palpasi adalah perkiraan awal taerhadap kasus abortus.
Dengan menggunakan metode ini, sebagian besar laporan penelitian menyatakan
rata-rata sekitar 10% abortus disebakan oleh kerusakan embrio. Metode yang
lebih lama yaitu dimana perbedaan antara tingkat fertilisasi dan tingkat
kebuntingan yang digunakan mengestimasi kerusakan embrio sebesar 15%. Rata-
rata abortus dari 40 hari adalah 3%. Total kasus abortus sekitar 18%.
ETIOLOGI

Beberapa agen penyebab abortus dapat diklasifikasikan dalam kelompok-


kelompok: sebab-sebab fisik, genetik, nutrisional, obat, keracunan, hormonal,
penyakit dan sebagainya. Penyakit umumnya disebabkan oleh bakteri, virus,
protozoa dan fungi (Toelihere, 1985).
Penyebab abortus yang paling sering adalah dalam masalah pengawasan.
Douching, infusion atau inseminasi pada sapi-sapi bunting yang menyebabkan
abortus, seperti penanganan yang kasar pada sapi-sapi bunting. Pengangkatan
corpus luteum secara manual atau injeksi prostaglandin F2α glucocorticoid atau
progesteron, pemberian pakan dengan kandungan estrogen tinggi juga bisa
menyebabkan abortus.

a. Abortus karena bahan kimia, obat dan tanaman beracun


Keracunan nitrat yang banyak dikandung oleh rumput liar dirawa-
rawa atau daun cemara (pinus ponderosa) bila termakan dalam jumlah
besar pada induk yang sedang bunting, dapat menyebabkan abortus pada
21-142 hari kemudian sesudah ingesti. Abortus dapat terjadi pada umur
kebuntingan 6-9 bulan. Anak sapi dapat lahir premature, lemah dan mati
sesudah beberapa waktu, sering juga terjadi retensi secundae. Bahan toksik
yang terkandung di dalam daun pinus mungkin adalah suatu zat anti
estrogenic yang akan mempengaruhi metabolisme tubuh terutama
menekan sekresi kelenjar kelamin. Daun lamtoro yang diberikan dalam
jumlah besar dapat menyebabkan abortus karena racun mimosin yang
dikandung. Racun mimosin bila termakan induk hewan yang bunting
secara berlebihan dapat mempengaruhi metablisme hormonal, sehingga
menyebabkan penurunan respon ovarium terhadap sekresi hormone
gonadotropin (Hardjopranjoto, 1995).
Nepthalen berchlor dan keracuna arsen khronik dapat
menyebabkan abortus. Konsumsi selenium dalam jumlah besar dapat
menyebabkan abortus (Toelihere, 1985).
Daun cemara (pinus ponderosa) yang dimakan dapat menyebabkan
abortus 21-142 hari sesudah ingesti. Abortus dapat terjadi pada umur
kebuntingan 6-9 bulan (Toelihere, 1985).

b. Abortus karena genetik


Inbreeding menyebabkan kematian embrio, abortus dan kelahiran
anak yang mati karena konsentrasi gen-gen letal perzigot lebih tinggi
dibandingkan dengan pada crossbreeding (Toelihere, 1985). Gen lethal
yang diperoleh dari induk dan bapaknya, dapat menyebabkan abortus.
Kelainan kromosom baik pada autosom maupun kromosom kelamin juga
dapat menyebabkan abortus (Hardjopranjoto, 1995).
Sebelum implantasi, embrio lebih mudah terkena pengaruh mutasi
genetic dan kelainan kromosom diikuti oleh kematian fetus. Kelainan
kromososm dapat dibedakan atas kelainan jumlah kromosm dan struktur
kromosom. Kejadian ini dapat berlangsung karena kegagalan penyebaran
kromosom atau susunan kromatin dalan sel tubuh penderita, terjadi selama
berlangsungnya proses meiosis dan mitosis dari sel ovum atau sel sperma
yang dapat menghasilkan dua bentuk sel yang poliploid. Yang dimaksud
dengan poliploid adalah penambahan jumlah kromosom yang normal
(2n+1) (Hardjopranjoto, 1995).

c. Abortus karena sebab hormonal


Senyawa estrogenik bila diberikan dalam dosis tinggi untuk
periode yang lama dapat menyebabkan abortus pada sapi (Toelihere,
1985). Hormon estrogen dihasilkan oleh folikel ovarium dan mempunyai
fungsi stimulasi kontraksi uterus, juga menyebabkan uterus lebih peka
terhadap pengaruh oksitosin pada saat menjelang partus. Estrogen
bekerjasama dengan relaksin dapat merelaksasi servik dan ligamentum
pelvis. Pada periode kebuntingan gangguan ketidakseimbangan hormone
dapat menyebabkan terjadinya abortus (Hardjopranjoto, 1995).
Defisiensi progesteron merupakan penyebab abortus muda pada
sapi. Abortus karena defisiensi progesteron dapat terjadi pada 45 sampai
180 hari masa kebuntingan, tetapi lebih sering pada 100 hari masa
kebuntingan(Toelihere, 1985). Progesterone dihasilkan oleh korpus luteum
dan mempunyai fungsi berhubungan dengan pertumbuhan sel-sel
endometrium sebelum dan selama hewan bunting. Kemampuan korpus
luteum gravidatum untuk menghasilkan hormone progesterone dapat
mempertahankan kebuntingan (Hardjopranjoto, 1995).

d. Abortus karena defisiensi makanan


Malnutrisi untuk waktu yang lama menyebabkan penghentian
siklus birahi dan kegagalan konsepsi. Defisiensi makanan dan kelaparan
yang parah dapat menyebabkan abortus (Toelihere, 1985).
Defisiensi vitamin A dapat menyebabkan abortus pada sapi umur
kebuntingan tua atau terjadi kelahiran anak lemah atau mati. Provitamin A
dapat dipecah menjadi vitamin A oleh dinding usus. Kekurangan vitamin
A dalam ransom dapat menyebabkan terjadinya gangguan kesuburan
sampai pada tingkat kemajiran. Pada induk yang sedang bunting,
kekurangan vitamin A dapat diikuti oleh abortus. Ini disebabkan
kekurangan vitamin A meyebabkan terjadinya keratinisasi dari epitel
uterus, sehingga proses implantasi menjadi terganggu dan meyebabkan
degenerasi plasenta (Hardjopranjoto, 1995). Apabila kebuntingan
berlangsung sampai akhir waktunya, kelahiran mungkin sulit terjadi dan
disusul olen infeksi dan retensio secundinae (Toelihere, 1985). Hal yang
sama juga pernah dilaporkan tentang defisisensi selenium (Toelihere,
1985). Kekurangan selenium dapat menyebabkan terjadinya degenerasi
urat daging jantung dan rangka dari fetus, sehingga menyebabkan
kematian fetus tersebut (Hardjopranjoto, 1995).

e. Abortus karena gangguan dari luar tubuh induk

Stress karena panas dapat menyebabkan hipotensi fetus, hypoxia,


dan asidosis (Prihatno, 2006). Suhu yang panas dapat menyebabkan
penurunan kadar hormone reproduksi seperti FSH dan LH, selain itu juga
dapat menyebabkan penurunan volume darah yang mengalir ke alat
reproduksi, sehingga menyebabkan perubahan lingkungan uterus yang
lebih panas dan menambah kemungkinan kematian fetus (Hardjopranjoto,
1995).

f. Abortus karena sebab-sebab fisik

Pemecahan kantong amnion dengan penekanan manual pada


kantung amnion selama kebuntingan muda, 30-60 hari umur kebuntingan
dapat menyebabkan abortus. Sebab utama kematian fetus adalah rupture
jantung atau pecahnya pembuluh darah pada dasar jantung fetus yang
menyebabkan perdarahan ke dalam kantung amnion. Pemecahan corpus
luteum gravidatum/verum pada ovarium akan disusul abortus beberapa
hari kemudian. Pada sapi corpus luteum diperlukan selama periode
kebuntingan dan kelahiran normal. Corpus luteum menghasilkan hormone
progesterone yang berfungsi untuk pertumbuhan kelenjar endometrium,
sekresi susu uterus, pertumbuhan endometrium dan pertautan placenta
untuk memberi makan kepada fetus yang berkembang, dan menghambat
pergerakan uterus untuk membantu pertautan placenta. Sehingga
penyingkiran corpus luteum kebuntingan pada sapi pasti menyebabkan
abortus (Toelihere, 1985).

g. Abortus karena sebab-sebab lain


Kembar pada sapi menyebabkan lebih banyak kelahiran prematur,
abortus, distokia, dan kelahiran anak yang lemah atau mati dibandingkan
fetus tunggal (Toelihere, 1985). Banyaknya fetus yang ditampung oleh
kedua cornua uteri dari seekor induk sangat tergantung kepada sifat
genetisnya. Makin bertambahnya jumlah fetus, makin bertambah pula
jumlah plasentanya dan makin bertambah ruangan didalam uterus yang
dibutuhkan, serta makin bertambah kebutuhan darah untuk fetusnya.
Namun demikian, kemapuan rongga uterus untuk menampung fetus secara
alamiah adalah terbatas. Dengan bertambahnya fetus di dalam uterus di
luar kemampuannya, dapat mengurangi penyediaan darah pada tiap fetus.
Kondisi sepetri ini cenderung menyebabkan kematian fetus, khususnya
bila fetus berada dalam satu cornua (Hardjopranjoto, 1995).

h. Abortus karena penyakit


Tabel abortus yang disebabkan oleh agen penyakit (bakteri, virus,
protozoa dan fungi)
Penyakit Simpton Penularan Pencegahan
Bakteri Brucellosis Abortus setelah Ingesti Vaksinasi
umur kebuntngan Kontak pedet
4 bulan dengan Pengujian dan
Retensio plasenta mucus, kulit pemotongan
yang lecet, Pemisahan
Koitus ternak baru
Sanitasi

Leptopsirosis Abortus setelah Pakan Vaksinasi


umur kebuntingan Selaput lendir Pemusnahan
6 bulan Pernapasan hewan carrier
Luka lecet Jauhkan dari
Hewan liar ternak babi

Listeriosis Abortus setelah Ternak baru Isolasi ternak


umur kebuntingan Silase baru
6 bulan Stres Hentikan
Tidak umum pemberian
silase
Sanitasi

Vibriosis Abortus setelah Kontak IB


umur kebuntingan langsng Gunakan
6 bulan Makanan pejantan yang
Berulangnya siklus air tidak terinfeksi
estrus yang
panjang
Virus BVD (Bovine Abortus Kontak Sanitasi
Viral Diarrhea) Demam Makanan Vaksinasi
Erosi pada mulut Air
dan gusi
diare

IBR (Infectious abortus setelah Kontak Penyemprotan


Bovine umur kebuntingan langsung vaksin pada
Rhinotracheitis) 6 bulan Koitus daerah hidung
demam Urin dan
pilek cairan tubuh
mata berputar
perlukaan vagina
perlukaan di alat
kelamin jantan

Protozoa Trichomoniasis Siklus estrus Koitus IB


panjang Gunakan
Abortus setelah pejantan yang
umur kebuntingan tidak terinfeksi
1-4 bulan Culling untuk
pejantan yg
terinfeksi

Mycotic Mycotic abortus Nekrosa pada Ingesti Hindari pakan


cotileydon yang berjamur
Lesi pada kulit
fetus yang
mengalami abortus
Abortus 5-7 bln
kebuntingan
KERUGIAN EKONOMI

1. Kehilangan pedet
2. Kehilangan heifer atau induk pengganti
3. Kehilangan biaya pakan/hari
Kasus abortus pada masa kebuntingan tua, situasinya akan menjadi sangat
kompleks. Tidak hanya permasalahan abortus pada umur kebuntingan tua, tetapi
akan mengikuti permasalahan medis dan peningkatan pengeluaran biaya
pengobatan serta masa pemulihan yang lama. Untuk beberapa alasan
pengulangan inseminasi tidak disarankan,

 Calving interval akan meningkat diatas 18 bulan


 Periode laktasi berikutnya akan menurunkan jumlah produksi
 Perlu dilakukan perawatan intensif
 Ternak dimungkinkan akan menjadi carrier penyakit bagi ternak lain

DIAGNOSA

Saat terjadi kasus abortus, perlu dilakukan uji sampling untuk


mendapatkan hasil uji laboratorium. Tempatkan fetus dan plasenta di kantung
plastik yang terpisah. Gunakan sarung tangan sekali pakai untuk mencegah
kontaminasi oleh organisme penyakit, pada beberapa kasus Brucellosis dapat
menyebakan demam undulant pada manusia. Ambil sampel darah saat terjadi
kasus abortus dan 2-3 minggu kemudian.

PENUTUP
Abortus merugikan dan harus dilakukan tindakan untuk meminimalisir
kasus tersebut. Sanitasi yang baik, pemberian pakan yang benar, melakukan IB
atau penggunaan pejantan yang sehat, dan program vaksinasi sapi yang memadai
akan membantu mengurangi kejadian abortus dan meninkatkan keuntungan.
DAFTAR PUSTAKA

Hardjopranoto, S.1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Airlangga University Press,


Surabaya.

Prihatno,A. 2006. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. PT. Agromedia Pustaka,
Jakarta.

Ratnawati. D., Pratiwi.W.C. dan Affandy.L.S. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan


Gangguan Reproduksi pada Sapi Potong. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan
Peternakan. Departemen Pertanian.

Toelihere, M.R. 1985. Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapi dan Kerbau. Penerbit
Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai