Anda di halaman 1dari 5

Sampul hitam

Dia duduk di dapur, menyeruput kopi dan menghisap sepuntung rokok. Aku keluar dari
kamarku, kulihat hari masih gelap, tapi aku harus bangun karena jika tidak ayahku akan marah dan kau
tak akan mau tahu seperti apa kalau dia marah. Dia beranjak dari kursinya danmembuangkeluar sisa
puntung rokoknya kekegelapn dunia luar yang dingin. Aku tidak begitu menyukainya, karena ia selalu
saja cerewet dan tak hentinya mengurus hidupku.sudah sejak 4 tahun yg lalu ibuku meninggal dan
sejak saat itulah ayahku bersikap agak menjengkelkan. Dia bertambah parah seperti pria tua yang
kehilangan akal dan terus menggerutu tanpa sebab.

“Sudah selesai memandangiku?” ia menatapku dengan tajam.

“Maaf.” jawabku dengan lembut

“kalau begitu, siapkan peralatan!” dengan bentak. Sontak akupun berdiri dan berjalan menuju
ke peti tempat penyimpanan peralatan berburu. Kami berdua tinggal di kabin, tinggal jauh ditengah
hutan belantara yang bersalju, jika kau bertanya apa yang kami buru maka kau pasti tahu
jawabannya…

Ya, berburu Moose.

Singkat cerita, setelah dari kabin, kamipun berjalan mendaki bukit bersalju letaknya hanya
beberapa ratus meter dari kabin, 15 menit jalan kaki.

“Jika kau tersesat, aku tak akan mau repot menjemputmu.”

Tanpa sadar aku berjalan sendiri di kaki bukit. “Maaf.” Sekali lagi ku ucapkan setibanya aku diatas.
Akupun membuka ritsleting tas dan mengeluarkan karabin milik ayahku.

Tanpa memerlukan waktu yang lama, satu tembakan meletus, suara tembakannya
menggelegar,terdengar di seluruh angkasa.

“Sudah selesai merenung?” tanpa kusadari aku termenung lagi.

Lekas aku turun untuk mengambil rusa yang sudah ditembak mati oleh ayahku. Tapi ayahku
memintaku hal yang lain,

“Ambil posisi.” Ayahku memrintahkan aku agar berdiri ditempat ia menembak tadi. Tangannya
menyerahkan karabin dan akupun menerimanya. “bidik.” Ayahku mengarahkan kepalaku dan
menunjuk kearah moose yang berada di sebelah kanan rusa yang baru ia tembak. Tapi tatapanku
terpaku pada beruang di sebelah rusa itu. Kurasa target ini akan sedikit menyulitkan. Tanganku
gemetaran, dingin, dan jantungku berdegup tak beraturan.

Tatapanku fokus pada rusa yang akan kutembak. Detik terlalu cepat, tembakanku meleset
mengenai batu yang berada di sebelah beruang yang tadinya kutakuti itu. Ayahku marah bukan main.
Kami turun dari bukit, aku hanya bisa tertunduk, mukaku pucat. Lantaran bukan celotehan ayahku yang
kuhiraukan walau ia sedang menggerutu sekarang juga. Namun aku khawatir kalau beruang yang tadi
akan mencari dan mengejar kami, lebih buruk lagi jika menerkam dan memangsa kami. Tapiaku
mencoba untuk mengacuhcan pikiranku kepohon disekitarku. 10 menit kami berjalan, angin berhembus
lembut membelai dahan pohon cemara disekitar kami.

Di kejauhan terlihat seperti sesosok bayangan kecil, lalu bayangan itu menghilang. Aku
menerka-nerka apakah sosok bayangan tadi. Suara lolongan serigala lalu terdengar beberapa saat
kemudian. Kami lalu dikepung oleh kawanan serigala yang tampak lapar, siap menerkam kami.
Ayahku sontak dan memerintahkanku untuk tetap berada dibelakangnya, tapi tidak. Ia mengeluarkan
karabinnya dan menyerahkannya padaku,

“Respon cepat, Ed!” dengan tatapannya yang kosong, tampak penuh kepercayaan.

Tapi apa dayaku? Seorang anak biasa yang mengikuti kemana ayahnya pergi. Aku bingung
melihat ayahku, lalu kuambil saja senapan yang ia berikan lalu kubidik kearah salah satu serigala
didepanku. Tanganku gemetar, mengingat kalau tembakanku yang sebelumnya meleset. Pemikiran itu
memunculkan keraguan besar dalam hatiku. Pelatuk kutarik, suara karabin itu kembali meraung di
angkasa. Jika kau bertanya apakah tembakanku tepat sasaran? Tidak! Satu kesalahan bisa berakibat
fatal, dan inilah dia.

Ayahku merampas senapan yang kugenggam.

“Idiot..! Menembak di jarak 5 meter saja susah! Bagaimana mau bertarung diranjang besok!”
gertaknya, tapi tunggu dulu… yang dikatakannya… tapi sudahlah, ia memang sudah biasa berbicara
amburadul terutama disaat sedang panik.
Ayahku dengan sigap mengambil tidakan, menembak mati 2 serigala hanya dengan 1 tembakan
di kepala untuk masing-masing ekor. Tapi pergerakan orang tua itu terbatas dan lambat sehingga
memberikan kesempatan bagus untuk 4 serigala lagi disebelahnya untuk menyerang balik. Di point itu,
aku bertambah panik dan syok. Aku memberanikan diri untuk menyerang, untuk pertama kalinya.
Kuambil dahan yang membeku di sebelahku, kupukul tepat pada kepala serigala yang tengah
menerkam ayahku. Setelah beberapa lama, serigala-serigala itupun pergi meninggalkan kami berdua,
ditengah hutan belantara bersalju yang dinginku menusuk. Sekujur tubuh ayahku penuh luka, wajahnya
sobek. Di keheningan, ayahku berbisik padaku,
“Ayah akan menuntunmu dari atas, nak…”
“…Ayah akan mengabari pada ibumu bagaimana keadaanmu sekarang…’
“…jagalah dirimu baik-baik.
Setetes air mata jatuh dari pipinya, membeku sesaat di tanah yang diselimuti salju dan udara
beku. Aku memandanginya dengan mata berkaca-kaca.
“ambilah buku yang ada diatas rak yang berada disebelah kass…”
Suaranya pelan,lalu menghilang. Dan berakhirlah ceritanya.
“Maaf” aku tidak dapat berkata banyak. Kubawa mayatnya pulang, lalu kukubur dengan penuh
kehormatan dan penuh doa, penuh cinta yang berubah dari kebencian yang semula kupendam selama
ini padanya. Sampai akhirnya aku tahu rasanya kehilangan seseorang yang selama ini mencintaimu,
tapi kau tak menghargai kasihnya padamu. Rasa sakitnya jauh lebih dalam dari kehilangan orang yang
sudah pasti kau sayangi.
Seminggu kurenungi perbuatan bodohku, aku tidak mengingat kapan terakhir kali aku mandi,
makan, ataupun tidur. Kini yang kubayangkan hanya wajah ayahku disaat ia sudah terlanjur menjadi
mayat. Hanya karena kebodohanku.
Lalu aku teringat, tentang apa yang dikatakan oleh ayahku sembelum ia menghembuskan nafas
terakhirnya tentang buku di sebelah kasurnya. Aku beranjak dari tempat tidurku, menuju kekamar
ayahku. Terasa tek tega melihat kain ayahku yang masih tergeletak di atas kasur. Kuambil lalu kucium
dengan perlahan dan dalam, membuatku meneteskan air mata dan benar-benar menghancurkan
pikiranku. Lalu kulipat dengan cepat sambil berusaha melupakan masa lalu itu. Kulihat sebuah buku
bersampul hitam diatas rak di sebelah lemari.
Aku mengambilnya, lalu membuka buku yang tebalnya hampir 100 halaman itu. Kulihat di
bagian awal, isinya kosong. Sampai 7 halaman berikutnya, barulah aku menemukan tulisan “untuk
david ward 08 03 1997.” Kurasa buku ini merupakan buku turunan dari kakekku. Setelah kubaca bisa
kusimpulkan kalu buku ini hanya berisi kata-kata yang kurasa merupakan petuah yang sudah turun
temurun.Kubaca dengan perlahan sambil menghayati. Disaat aku sadar bahwa selama ini aku hanya
membantah perkataan ayahku walau aku mengucapkan “ya.”
1 tahun berlalu, kini umurku 16 tahun dan aku sangat kebingungan sekali dengan kemana
arahku pergi. Sudah sekitar sebulan aku belum makan makanan yang sebenarnya, selain roti selai
ataupun kacang kalengan dari toko-toko pinggir jalan. Uangku mulai habis, begitu juga harapanku. Aku
merasa sangat putus asa, sambil merenung, akupun ingat dengan buku yang ayahku berikan, aku
kembali ke kabin. Sesampai disana, kucari lalu kudapatkan buku itu. Aku mencoba kembali
memahaminya. Aku keluar kembali beberapa saat kemudian, kini aku siap untuk menghadapi dunia
luar yang keras. kan kuikuti setiap nasihat yang ditulis olehnya.
Tugas Individu
Menulis Cerpen

Nama : Raja Musthafa Al Ghani


Kelas : IX.I/9.1
Tanggal : 7 Desember 2018
Guru : Novi Kusmalinda S.pd
TP. 2018/2019
A.) Kerangka teks cerpen
a.)Tema : Ayah dan Petuahnya
Judul : Sampul Hitam(s.1)
b.) Tokoh dan penokohan:
-Aku (Edd ward) : plin-plan, penakut
-Ayah(David ward) : tegas,bijaksana, kasar

c.) Latar Tempat : Hutan belantara bersalju


B.) Rankaian Peristiwa
b.1) orientasi
- Ayahku duduk di dapur
- Aku mempersiapkan peralatan untuk berburu
- Aku dan ayahku berangkat berburu
b.2) konflik
- Ayahku menyuruhku untuk menembak, lalu meleset
- Ayahku marah, begitu juga disepanjang jalan pulang kami
- Kami di kepung oleh kawanan serigala
- Aku mencoba untik melawan tapi gagal sehingga membuat ayahku marah
- Ayahku dihabisi oleh serigala
- Aku memberanikan diri untuk melawan
b.3) resolusi
- Ayahku memberitahu tentang buku petunjuk hidup miliknya untuk diberi padaku
- Aku mengubur mayat ayahku, lalu membaca buku yang diwasiatkannya
- Setahun kemudian, aku menghadapi waktu yang sangat krisis
- Aku kembali membaca buku itu untuk menyiapkan diriku, cerita terus berlanjut…

Anda mungkin juga menyukai