Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Angka kematian bayi (AKB) dapat didefinisikan sebagai banyaknya
yang meninggal sebelum usia 1 tahun yang dinyatakan dalam 1.000
kelahiran hidup pada tahun yang sama. AKB merupakan indikator yang
biasanya digunakan untuk menentukan derajat kesehatan masyarakat.
(SDKI, 2011)
Banyak faktor yang dikaitkan dengan kematian bayi, dilihat dari sisi
penyebabnya kematian bayi ada dua macam yaitu endogen dan eksogen.
Faktor yang dapat dikaitkan dengan kematian bayi endogen dan eksogen
adalah kematian endogen atau yang umum disebut kematian neonatal adalah
kematian bayi yang terjadi pada bulan pertama setelah dilahirkan, dan
umumnya disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir yang
diperoleh dari orang tuanya pada saat konsepsi atau didapat selama
kehamilan. Sedangkan kematian eksogen atau kematian postnatal adalah
kematian bayi yang terjadi setelah usia 1 bulan sampai menjelang usia 1
tahun yang disebabkan faktor-faktor yang bertalian dengan pengaruh
lingkungan luar akibat dari kurangnya pengetahuan orang tua dalam merawat
bayinya.
(Depkes, 2007)
Menurut WHO 2009 angka kematian bayi di Negara tetangga tahun
2007 seperti singapura 3% per 1.000 kelahiran hidup, Malaysia 6,5% per
1.000 kelahiran hidup, Thailand 17% per 1.000 kelahiran hidup, Vietnam
18% per 1.000 kelahiran hidup dan philipina 26% per 1.000 kelahiran hidup
sedangkan angka kematian bayi di Indonesia cukup tinggi yakni 46,5% per
1.000 kelahiran hidup.
(Depkes, 2011)
Ikterus merupakan salah satu fenomena yang sering ditemukan pada
bayi baru lahir, kejadian ikterus pada bayi baru lahir berkisar antara 25-50%
pada bayi cukup bulan 80% pada bayi kurang bulan. Ikterus ini pada
sebagian penderita dapat bersifat fisiologis dan sebagian bersifat patologis

1
(hiperbilirubinemia) yang dapat menimbulkan dampak yang buruk. Dampak
buruk yang diderita bayi seperti : kulit berwarna kuning sampai jingga, klien
tampak lemah, urine menjadi berwarna gelap sampai berwarna coklat dan
apabila penyakit ini tidak ditangani dengan segera maka akan menimbulkan
dampak yang lebih buruk lagi yaitu kernicterus (kerusakan pada otak) yang
ditandai dengan bayi tidak mau menghisap, letargi, gerakan tidak menentu,
kejang, tonus otot kaku, leher kaku.
(Suriadi, 2006)

B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Hiperbilirubinemia ?
2. Bagaimana Klasifikasi Hiperbilirubinemia ?
3. Bagaimana Etiologi Hiperbilirubinemia ?
4. Bagaimana Manifestasi Klinis Hiperbilirubinemia ?
5. Bagaimana Patofisiologi Hiperbilirubinemia ?
6. Bagaimana Pathway Hiperbilirubinemia ?
7. Bagaimana Pemeriksaan penunjang Hiperbilirubinemia ?
8. Bagaimana Penatalaksanaan Hiperbilirubinemia ?
9. Bagaimana Komplikasi Hiperbilirubinemia ?
10. Bagaimana Pemeriksaan Penunjang Hiperbilirubinemia ?
11. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Anak dengan
Hiperbilirubinemia?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Setelah mengikuti seminar diharapkan mahasiswa mengetahui tentang
asuhan keperawatan pada klien dengan hiperbilirubinemia.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui Definisi Hiperbilirubinemia.
b. Mengetahui Klasifikasi Hiperbilirubinemia.
c. Mengetahui Etiologi Hiperbilirubinemia.
d. Mengetahui Manifestasi Klinis Hiperbilirubinemia.
e. Mengetahui Patofisiologi Hiperbilirubinemia.
f. Mengetahui Pathway Hiperbilirubinemia.
g. Mengetahui Pemeriksaan penunjang Hiperbilirubinemia.
h. Mengetahui Penatalaksanaan Hiperbilirubinemia.
i. Mengetahui Komplikasi Hiperbilirubinemia.
j. Mengetahui Pemeriksaan Penunjang Hiperbilirubinemia.

2
k. Mengetahui Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Hiperbilirubinemia.

D. Manfaat
1. Bagi mahasiswa
Diaharapkan bagi mahasiswa dapat menambah pengetahuan dan
ketrampilan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien
hiperbilirubinemia.
2. Bagi masyarakat
Diharapkan masyarakat dapat memberikan pengetahuan atau informasi
kepada masyarakat tentang hiperbilirubinemia dan bagaimana cara
penangannya.
3. Bagi tenaga kesehatan
Diharapkan bagi tenaga kesehatan dapat : memberikan asuhan
keperawatan dan pendidikan kesehatan hiperbilirubinemia pada klien.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi

Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin


serum yang menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati
bilirubin bila kadar bilirubin tidak dikendalikan.
(Mansjoer,2008).
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana konsentrasi
bilirubin lebih dari normal yang ditandai dengan adanya jaundice atau
ikterus
(Wong, 2005)

Hiperbilirubinemia merupakan suatu keadaan meningkatnya kadar


bilirubin dalam jaringan ekstravaskular, sehingga konjungtiva, kulit dan
mukosa akan berwarna kuning.

(Azis Alimul, 2005)

3
Hiperbilirubinemia adalah pewarnaan kuning yang tampak pada
sklera dan muka yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin yang
selanjutnya meluas secara sefalokaudal (dari atas kebawah) ke arah dada,
perut dan ekstremitas. Pada bayi baru lahir hiperbilirubunemia sering kali
tidak dilihat pada sklera karena bayi baru lahir umumnya sulit membuka
mata.
( Suradi, 2008)

B. Klasifikasi
1. Ikterus Fisiologis.
Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua
dan ketiga yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak
melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi
menjadi “kernicterus” dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada
bayi.
Ikterus fisiologis adalah ikterus yang memiliki karakteristik
sebagai berikut :
a. Timbul pada hari kedua - ketiga.
b. Kadar bilirubin indirek setelah 2x24 jam tidak melewati 15 mg%
pada neonatus cukup bulan dan 10 mg% pada kurang bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg%
perhari.
d. Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg%.
e. Ikterus hilang pada 10 hari pertama.
f. Tidak mempunyai dasar patologis; tidak terbukti mempunyai
hubungan dengan keadaan patologis tertentu.
g. Ikterus yang kemungkinan menjadi patologis atau
hiperbilirubinemia dengan karakteristik sebagai berikut (Surasmi,
2003) :
1)Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.

4
2)Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau > setiap 24
jam.
3)Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus
< bulan dan 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan.
4)Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah,
defisiensi enzim G6PD dan sepsis).
5)Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36
minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan,
infeksi, hipoglikemia, hiperkapnia, hiperosmolalitas darah.
(Schwats, 2005)
2. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia.
Menurut (Tarigan, 2003) adalah suatu keadaan dimana kadar
konsentrasi bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang
mempunyai potensi untuk menimbulkan kern ikterus kalau tidak
ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan
keadaan yang patologis. Brown menetapkan hiperbilirubinemia bila
kadar bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg%
pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.
3. Kern Ikterus.
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin
indirek pada otak terutama pada korpus striatum, talamus, nucleus
subtalamus, hipokampus, nukleus merah, dan nukleus pada dasar
ventrikulus IV.
Kern ikterus ialah ensefalopati bilirubin yang biasanya
ditemukan pada neonatus cukup bulan dengan ikterus berat (bilirubin
lebih dari 20 mg%) dan disertai penyakit hemolitik berat dan pada
autopsy ditemukan bercak bilirubin pada otak. Kern ikterus secara
klinis berbentuk kelainan syaraf simpatis yang terjadi secara kronik.
(Arief ZR, 2009)

5
C. Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun
dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus
neonatarum dapat dibagi:
1. Produksi bilirubin yang berlebihan.
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misal
pada hemolisis yang meningkat pada inkompabilitas darah Rh, ABO,
golongan darah lain, defisiensi enzim G6PD, piruvat kinase,
perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses pengambilan (uptake) dan transportasi
bilirubin dalam hati.
Gangguan ini dapat disebabkan oleh immaturitas hepar, kurangnya
substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat
asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil
transferase (sindrom Criggler-Najjar) penyebab lain atau defisiensi
protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam “uptake” bilirubin
ke sel hepar.
3. Penyakit Hemolitik, yaitu meningkatnya kecepatan pemecahan sel
darah merah. Disebut juga ikterus hemolitik. Hemolisis dapat pula
timbul karena adanya perdarahan tertutup.
4. Gangguan transportasi.
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke
hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin dapat dipengaruhi oleh obat
misalnya salisilat, dan sulfaforazole. Defisiensi albumin menyebabkan
lebih banyak terdapat bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang
mudah melekat ke sel otak.
5. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme
atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan sel darah merah
seperti : infeksi toxoplasma. Siphilis.
6. Gangguan dalam eksresi

6
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar
hepar. Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan
bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan
hepar oleh penyebab lain.
(Hassan et al.2005)

D. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang jelas pada anak yang menderita
hiperbilirubinemia adalah;
a. Tampak ikterus pada sklera, kuku atau kulit dan membran mukosa.
b. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama disebabkan oleh
penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan
diabetik atau infeksi.
c. Jaundice yang tampak pada hari ke dua atau hari ke tiga, dan
mencapai puncak pada hari ke tiga sampai hari ke empat dan
menurun pada hari ke lima sampai hari ke tujuh yang biasanya
merupakan jaundice fisiologis.
d. Ikterus adalah akibat pengendapan bilirubin indirek pada kulit yang
cenderung tampak kuning terang atau orange, ikterus pada tipe
obstruksi (bilirubin direk) kulit tampak berwarna kuning kehijauan
atau keruh. Perbedaan ini hanya dapat dilihat pada ikterus yang
berat.
e. Muntah, anoksia, fatigue, warna urin gelap dan warna tinja
pucat, seperti dempul
f. Perut membuncit dan pembesaran pada hati
g. Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar
h. Letargik (lemas), kejang, tidak mau menghisap
i. Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental

7
j. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot,
epistotonus, kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot.
(Perry Potter, 2005)

Menurut Surasmi (2003) gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan


menjadi :
1. Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus
pada neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
2. Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi
hipertonus dan opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala
sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis, gengguan pendengaran,
paralysis sebagian otot mata dan displasia dentalis).

E. Patofisiologi
Terjadinya hiperbilirubin diantaranya yaitu, hemolisis, rusaknya
sel-sel hepar, gangguan konjugasi bilirubin. Setelah pemecahan
hemoglobin, bilirubin tak terkonjugasi akan mengalami gangguan dalam
hati dan tidak bisa mengikat bilirubin dan mengakibatkan peningkatan
bilirubin yang terkonjugasi dalam darah yang mengakibatkan warna
kuning pucat pada kulit
(Haws, 2007)
Bilirubin yang tak terkonjugasi dalam hati tidak mampu diubah
oleh enzim glukoronil transferase yang berfungsi untuk merubah bilirubin
tak terkonjugasi menjadi bilirubin konjugasi sehingga bilirubin yang tak
dapat diubah akan larut dalam lemak dan mengakibatkan ikterik pada
kulit. Bilirubin yang tak terkonjugasi tidak larut dalam air ini tidak bisa
diekskresikan dalam urine dan tidak terjadi bilirubinuria. Namun
demikian terjadi peningkatan pembentukan urobilinogen (akibat

8
peningkatan bilirubin terhadap hati dan peningkatan konjugasi serta
ekskresi) yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan ekskresi dalam
feses dan urine dan feses berwarna gelap.
Oleh sebab itu dengan semakin banyaknya bilirubin yang larut
dalam lemak akan memberikan dampak yang buruk terhadap kerja hepar
karna secara terus menerus melakukan transferase tanpa adanya
pembuangan melalui eliminasi, dan jika berlanjut akan menyebabkan
hepatomegaly yang mengakibatkan terjadinya rasa mual muntah, jadi
dengan adanya peningkatan bilirubin didalam darah maka akan
menyebabkan terjadinya hiperbilirubin. apabila bilirubin tak terkonjugasi
melampaui 20 mg/dl maka akan terjadi suatu keadaan yang disebut kern
icterus, jika tidak ditangani dengan segera maka akan dapat
mengakibatkan kejang , tonus otot kaku, spasme otot, reflek hisap lemah.
(Abdul. 2009)

9
F. Pathways
Gangguan intake Gangguan transportasi
bilirubin dalam hepar Penyakit hemolitik bilirubin

Immaturitas hepar Albumin mengikat


bilirubin
Gangguan fungsi hepar Hemolisis defisiensi
Defisiensi albumin

Konjugasi bilirubin indirek Bilirubin indirek beredar


menjadi bilirubin direk lebih Pembentukan blirubin bebas dalam darah
rendah bertambah

HIPERBILIRUBINEMIA

Ikterus fisiologis Ikterus patologis Kern ikterus

Bilirubin tidak terkonjugasi Perlengketan bilirubin


Timbul pada hari Kemungkinan menjadi dalam hepar pada otak
kedua-ketiga patologis

Ikterus pada 24
Bilirubin larut dalam
Ikterus hilang
jam pertama lemak Resti injuri
pada 10 hari
pertama kelahiran
Ikterik pada kulit
Tidak Ikterus disertai
berhubungan hemolisis
Fototerapi
dengan kondisi
patologis Sinar dengan
intensitas tinggi

Penguapan tubuh
Resti hipertermi meningkat

Kekurangan volume
cairan

Kecemasan Gangguan
integritas kulit

10
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan bilirubin serum
1) Pada bayi cukup bulan, bilirubin mencapai kurang lebih 6mg/dl
antara 2-4 hari setelah lahir. Apabila nilainya lebih dari 10mg/dl
tidak fisiologis.
2) Pada bayi premature, kadar bilirubin mencapai puncak 10-12
mg/dl antara 5-7 hari setelah lahir. Kadar bilirubin yang lebih
dari 14mg/dl tidak fisiologis.
b. Pemeriksaan darah lengkap meliputi:
1) Hb (Hemoglobin)
2) Hct (Hematokrit)
3) LED (Laju Endap darah)
4) Leukosit
5) Eritrosit
6) Trombosit
Hb mungkin rendah (kurang dari 14 g/dl) karena hemolisis. Ht
mungkin meningkat (lebih besar 65%) pada polisitemia, penurunan
(kurang dari 45%) dengan hemolisis dan anemia berlebihan
Manfaat pemeriksaan darah lengkap :
1) Sebagai pemeriksaan penyaring untuk membantu diagnosa.
2) Untuk mengetahui reaksi tubuh terhadap suatu penyakit.
3) Sebagain petunjuk kemajuan penderita anemia atau infeksi.

c. Biopsy hati

Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus


yang sukar seperti untuk membedakan obstruksi ekstra hepatic
dengan intra hepatic selain itu juga untuk memastikan keadaan
seperti hepatitis, serosis hati, hepatoma.

11
d. Skrining enzim G6PD (Glukosa 6 Phosfat Dehidrogenase)

Merupakan pemeriksaan sejenis enzim dalam sel darah merah


untuk melihat kententraman seseorang terhadap anemia hemolitika.
Kekurangan G6PD merupakan kelainan genetik terkait gen X yang
dibawa kromosom wanita. Nilai normal dalam darah yaitu G6DP
negatif. Penurunan G6PD terdapat pada anemia hemolitik, infeksi
bakteri, infeksi virus, diabetes asidosis.peningkatan G6PD dapat terjadi
karena obat – obatan seperti aspirin, asam askorbat (vitamin C),
vitamin K, asetanilid.

2. Pemeriksaan Radiology

Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau


peningkatan diafragma kanan pada pembesaran hati, seperti abses hati
atau hepatoma, meliputi :

a. Ultrasonografi

Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic


dengan ekstra hepatic.

b. Peritoneoskopi

Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto


dokumentasi untuk perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada
penderita penyakit ini.

c. Laparatomi

Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto


dokumentasi untuk perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada
penderita penyakit ini.

(Muttaqin, 2008)

12
H. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi
dengan Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan
membatasi efek dari Hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai
tujuan :
a. Menghilangkan Anemia.
b. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi.
c. Meningkatkan Badan Serum Albumin
d. Menurunkan Serum Bilirubin.
Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi,
Transfusi Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat.
1) Fototherapi
Fototerapi (terapi cahaya) adalah bentuk pengobatan untk
kulit dengan mengguanakan panjang gelombang cahaya buatan dari
ultraviolet (cahaya biru), bagian dari spektrum matahari. Dengan
cara ini cahaya dari panjang gelombang tertentu dapat disampaikan
dengan intensitas yang lebih tinggi.
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi
dengan Transfusi Pengganti untuk menurunkan Bilirubin.
Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi
akan menurunkan Bilirubin dalam kulit. Fototherapi menurunkan
kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin
tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi jaringan
mengubah Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang
disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke
pembuluh darah melalui mekanisme difusi.
Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan Albumin
dan dikirim ke Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu
dan diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses
tanpa proses konjugasi oleh Hati. Hasil Fotodegradasi terbentuk

13
ketika sinar mengoksidasi Bilirubin dapat dikeluarkan melalui
urine.
Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan
peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah
penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia.
Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar.
Bilirubin Indirek 4 -5 mg / dl. Neonatus yang sakit dengan berat
badan kurang dari 1000 gram harus di Fototherapi dengan
konsentrasi Bilirubun 5 mg / dl. Beberapa ilmuan mengarahkan
untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama
pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.

2) Transfusi Pengganti
Transfusi pengganti atau transfusi tukar adalah suatu
rangkaian tinakan mengeluarkan darah pasien dan memasukkan
darah donor untuk mengurangi kadar serum bilirubin atau kadar
hematokrit yang tinggi dan mengurangi konsentrasi toksin dalam
aliran darah pasien. Transfusi tukar yang dilakuakan bertujuan
untuk menghindari terjadinya kern ikterus.
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya
faktor-faktor:
a) Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
b) Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
c) Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam
pertama.
d) Tes Coombs Positif.
e) Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu
pertama.
f) Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam
pertama.
g) Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.

14
h) Bayi dengan Hidrops saat lahir.
i) Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.

Transfusi Pengganti digunakan untuk :


a) Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible
(rentan) terhadap sel darah merah terhadap Antibodi Maternal.
b) Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi
(kepekaan)
c) Menghilangkan Serum Bilirubin
d) Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan
keterikatan dengan Bilirubin
Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah
golongan O segera (kurang dari 2 hari), Rh negatif whole blood.
Darah yang dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B
yang pendek setiap 4 - 8 jam kadar Bilirubin harus dicek.
Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil.

3) Therapi Obat
Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan
enzim yang meningkatkan konjugasi Bilirubin dan mengekresinya.
Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari
sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan
penobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan karena
efek sampingnya (letargi). Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin
dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus
Enterohepatika.Penggolongan Hiperbilirubinemia berdasarkan saat
terjadi Ikterus:
a. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama.
Penyebab Ikterus terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya
kemungkinan dapat disusun sebagai berikut:
1. Inkomptabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.

15
2. Infeksi Intra Uterin (Virus, Toksoplasma, Siphilis dan
kadang-kadang Bakteri)
3. Kadang-kadang oleh Defisiensi Enzim G6PD.
4. Pemeriksaan yang perlu dilakukan:
a. Kadar Bilirubin Serum berkala.
b. Darah tepi lengkap.
c. Golongan darah ibu dan bayi.
d.Test Coombs: digunakan untuk mendeteksi adanya
antibodi pada permukaan eritrosit dan anti A/B dalam
serum. Test Coomb pada tali pusat bayi baru lahir : hasil +
tes ini, indirek menandakan adanya anti body Rh-positif,
anti –A, atau anti_B dalam darah ibu. Direk menandakan
adanya sensitisasi (Rh-positif, anti-A, anti-B) SDM dari
neonates.
e. Pemeriksaan skrining defisiensi G6PD, biakan darah atau
biopsi Hepar bila perlu.

b. Ikterus yang timbul 24 - 72 jam sesudah lahir.


1. Biasanya Ikterus fisiologis.
2. Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh,
atau golongan lain. Hal ini diduga kalau kenaikan kadar
Bilirubin cepat misalnya melebihi 5mg% per 24 jam.
3. Defisiensi Enzim G6PD atau Enzim Eritrosit lain juga masih
mungkin.
4. Polisetimia.
5. Hemolisis perdarahan tertutup ( pendarahan subaponeurosis,
pendarahan Hepar, sub kapsula dll).
6. Bila keadaan bayi baik dan peningkatannya cepat maka
pemeriksaan yang perlu dilakukan:
a. Pemeriksaan darah tepi.
b. Pemeriksaan darah Bilirubin berkala.

16
c. Pemeriksaan skrining Enzim G6PD.
d. Pemeriksaan lain bila perlu.
c. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu
pertama.
1. Sepsis.
2. Dehidrasi dan Asidosis.
3. Defisiensi Enzim G6PD.
4. Pengaruh obat-obat.
5. Sindroma Criggler-Najjar, Sindroma Gilbert.

d. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya:


1. Karena ikterus obstruktif.
2. Hipotiroidisme
3. Breast milk Jaundice.
4. Infeksi.
5. Hepatitis Neonatal.
6. Galaktosemia.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan:
1. Pemeriksaan Bilirubin berkala.
2. Pemeriksaan darah tepi.
3. Skrining Enzim G6PD.
4. Biakan darah, biopsi Hepar bila ada indikasi.
(IDAI, 2011)

4) APGAR Score

Apgar score adalah suatu metode penilaian yang


digunakan untuk mengkaji kesehatan neonatus dalam menit
pertama setelah lahir sampai 5 menit setelah lahir , serta dapat
diulang pada menit ke 10 – 15 . Nilai apgar merupakan standart
evaluasi neonatus dan dapat dijadikan sebagai data dasar untuk
evaluasi di kemudian hari .

17
(Adelle , 2002)

Penilaian skor ini dibuat untuk membantu tenaga kesehatan


dalam mengkaji kondisi bayi baru lahir secara umum dan
memutuskan untuk melakukan tindakan darurat atau tidak.

Kriteria Nilai 0 Nilai 1 Nilai 2


Appearance Seluruhnya biru Warna kulit tubuh Warna kulit tubuh ,
(warna kulit) atau pucat normal merah muda , tangan , dan kaki
tetapi kepala dan normal merah muda ,
ekstermitas kebiruan tidak ada sianosis
(akrosianosis)
Pulse Tidak teraba <100 kali/menit >100 kali/menit
(denyut
jantung)
Grimace Tidak ada respons Meringis / menangis Meringis / bersin /
(respons refleks terhadap stimulasi lemah ketika di batuk saat stimulasi
stimulasi saluran napas
Activity Lemah / tidak ada Sedikit gerakan Bergerak aktif
(tonus otot)
Respiration Tidak ada Lemah, tidak teratur Menangis kuat,
(pernapasan) pernapasan baik dan
teratur

Cara Penilaian APGAR


Skor Apgar dinilai pada menit pertama , menit kelima , dan
menit kesepuluh setelah bayi lahir , untuk mengetahui
perkembangan keadaan bayi tersebut . Namun dalam situasi tertentu

18
, Skor Apgar juga dinilai pada menit ke 10 , 15 , dan 20 , hingga
total skor 10 .
1. Appearance (warna kulit) :

Menilai kulit bayi. Nilai 2 jika warna kulit seluruh tubuh


bayi kemerahan, nilai 1 jika kulit bayi pucat pada bagian
ekstremitas, dan nilai 0 jika kulit bayi pucat pada seluruh badan
(Biru atau putih semua).

2. Pulse (denyut jantung) :

Untuk mengetahui denyut jantung bayi, dapat dilakukan


dengan meraba bagian atas dada bayi di bagian apeks dengan dua
jari atau dengan meletakkan stetoskop pada dada bayi. Denyut
jantung dihitung dalam satu menit, caranya dihitung 15 detik, lalu
hasilnya dikalikan 4, sehingga didapat hasil total dalam 60 detik.
Jantung yang sehat akan berdenyut di atas 100 kali per menit dan
diberi nilai 2. Nilai 1 diberikan pada bayi yang frekuensi denyut
jantungnya di bawah 100 kali per menit. Sementara bila denyut
jantung tak terdeteksi sama sekali maka nilainya 0.

3. Grimace (respon reflek) :

Ketika selang suction dimasukkan ke dalam lubang hidung


bayi untuk membersihkan jalan nafasnya, akan terlihat
bagaimana reaksi bayi . Jika ia menarik , batuk , ataupun bersin
saat di stimulasi, itu pertanda responnya terhadap rangsangan
bagus dan mendapat nilai 2. Tapi jika bayi hanya meringis ketika
di stimulasi , itu berarti hanya mendapat nilai 1. Dan jika bayi
tidak ada respon terhadap stimulasi maka diberi nilai 0 .

4. Activity (tonus otot) :

Hal ini dinilai dari gerakan bayi . Bila bayi menggerakkan


kedua tangan dan kakinya secara aktif dan spontan begitu lahir ,

19
artinya tonus ototnya bagus dan diberi nilai 2 . Tapi jika bayi
dirangsang ekstermitasnya ditekuk , nilainya hanya 1 . Bayi yang
lahir dalam keadaan lunglai atau terkulai dinilai 0 .

5. Respiration (pernapasan) :

Kemampuan bayi bernafas dinilai dengan mendengarkan


tangis bayi . Jika ia langsung menangis dengan kuat begitu lahir ,
itu tandanya paru-paru bayi telah matang dan mampu beradaptasi
dengan baik . Berarti nilainya 2 . Sedangkan bayi yang hanya
merintih rintih , nilainya 1 . Nilai 0 diberikan pada bayi yang
terlahir tanpa tangis (diam) .

Dan kriteria keberhasilannya adalah sebagai berikut :


1. Hasil skor 7-10 pada menit pertama menunjukan bahwa
bayi berada dalam kondisi baik atau dinyatakan bayi
normal.
2. Hasil skor 4-6 dinyatakan bayi asfiksia ringan sedang ,
sehingga memerlukan bersihan jalan napas dengan
resusitasi dan pemberian oksigen tambahan sampai bayi
dapat bernafas normal .
3. Hasil skor 0-3 dinyatakan bayi asfiksia berat , sehingga
memerlukan resusitasi segera secara aktif dan pemberian
oksigen secara terkendali .
(Sujiyatini , 2011)

2. Penatalaksanaan Keperawatan
Penanganan hiperbilirubin pada bayi baru lahir menurut Varney (2007),
antara lain :
a. Memenuhi kebutuhan atau nutrisi
1. Beri minum sesuai kebutuhan, karena bayi malas minum,
berikan berulang-ulang, jika tidak mau menghisap dot berikan
pakai sendok. Jika tidak dapat habis berikan melalui sonde.

20
2. Perhatikan frekuensi buang air besar, mungkin susu tidak cocok
(jika bukan ASI) mungkin perlu ganti susu.
b. Mengenal gejala dini mencegah meningkatnya ikterus
1. Jika bayi terlihat mulai kuning, jemur pada matahari pagi
(sekitar pukul 1- 8 selama 30 menit)
2. Periksa darah untuk bilirubin, jika hasilnya masih dibawah7 mg
% ulang esok harinya.
3. Berikan banyak minum
4. Perhatikan hasil darah bilirubin, jika hasilnya 7 mg% lebih
segara hubungi dokter, bayi perlu terapi.
c. Gangguan rasa aman dan nyaman akibat pengobatan
1. Mengusahakan agar bayi tidak kepanasan atau
kedinginan.
2. Memelihara kebersihan tempat tidur bayi dan
lngkungannya
3. Mencegah terjadinya infeksi ( memperhatikan cara bekerja
aseptik).
(Nyoman, 2011)

I. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan penyakit ini yaitu terjadi kern
ikterus yaitu keruskan otak akibat perlangketan bilirubin indirek pada
otak. Pada kern ikterus gejala klinik pada permulaan tidak jelas antara lain
: bayi tidak mau menghisap, letargi, mata berputar-putar, gerakan tidak
menentu (involuntary movements), kejang tonus otot meninggi, leher
kaku, dan akhirnya opistotonus. Selain itu dapat juga terjadi
Infeksi/sepsis, peritonitis, pneumonia.
(Anik, 2008)

21
1. Terjadi kernikterus, yaitu kerusakan pada otak akibat perlengketan
bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum, thalamus,
nucleus subtalamus hipokampus, nucleus merah didasar ventrikel IV.
2. Kernikterus; kerusakan neurologis, cerebral palsy, RM, hyperaktif, bicara
lambat, tidak ada koordinasi otot, dan tangisan yang melengking.
3. Retardasi mental - Kerusakan neurologis
Efek Hiperbilirubinemia dapat menimbulkan kerusakan sel-sel saraf,
meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga dapat terjadi. Bilirubin
dapat menghambat enzim-enzim mitokondria serta mengganggu sintesis
DNA. Bilirubin juga dapat menghambat sinyal neuroeksitatori dan
konduksi saraf (terutama pada nervus auditorius) sehingga menimbulkan
gejala sisa berupa tuli saraf.
4. Gangguan pendengaran dan penglihatan
5. Kematian.
(Donna L. Wong ; 2009)

22
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI HIPERBILIRUBIN

A. Pengkajian
1. Riwayat orang tua :
Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO,
Polisitemia, Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.
a) Riwayat kehamilan dengan komplikasi(obat-obatan, ibu DM, gawat
janin, malnutrisi intrauterine, infeksi intranatal)
b) Riwayat persalinan dengan tindakan/komplikasi
c) Riwayat ikterus/terapi sinar/transfusi tukar pada bayi sebelumnya
d) Riwayat inkompatibilitas darah
e) Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa
(Etika et al, 2006).
2. Pemeriksaan Fisik :
a. KU : biasanya lesu, biasanya letargi coma
b. TTV :
TD :-
N : biasanya 120-160x/i
R : biasanya 40x/i
S : biasanya 36,5 – 37 ºC
c. Kesadaran : biasanya apatis sampai koma.
d. Kepala, mata dan leher
Kulit kepala tidak terdapat bekas tindakan persalinan seperti vakum atau
terdapat caput. Biasanya dijumpai ikterus mata (sclera) dan selaput
mukosa pada mulut. Dapat juga diidentifikasi icterus dengan melakukan
tekanan langsung pada daerah menonjol untuk bayi dengan kulit bersih
(kuning).
e. Hidung :biasanya tampak bersih.
f. Mulut :ada lendir atau tidak, ada labiopalatoskisis atau tidak.
Pada kasus mulut berwarna kuning.
g. Telinga :Biasanya tidak terdapat serumen.
h. Thorak :Biasanya selain ditemukan tanpak icterus juga dapat
ditemukan peningkatan frekuensi nafas. Biasanya status
kardiologi menunjukan adanya tachycardia, khususnya
icterus disebabkan oleh adanya infeksi.

23
i. Abdomen :Biasanya perut buncit, muntah, mencret
merupakan akibat gangguan metabolism bilirubin
enterohepatik.
j. Urogenital :Biasanya feses yang pucat seperti dempul
atau kapur akibat gangguan hepar atau atresia saluran
empedu.
k. Ekstremitas : Biasanya tonus otot lemah.
l. Integument :Biasanya tampak ikterik, dehidrasi
ditunjukan pada turgor tangan jelek, elastisitas menurun.
(NIC - NOC, 2015)

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul :
1. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan kadar
bilirubin indirek dalam darah, ikterus pada sclera leher dan badan.
2. Risiko tinggi kekurangan volume cairan akibat efek samping fototerapi
berhubungan dengan pemaparan sinar dengan intensitas tinggi.
3. Risiko hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi.
4. Risiko tinggi injuri berhubungan dengan efek fototerapi.
5. Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada
bayi.

(NIC - NOC, 2015)

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan kadar
bilirubin indirek dalam darah, ikterus pada sclera leher dan badan.
Tujuan :

24
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
masalah keperawatan integritas kulit kembali baik/ normal.
Kriteria Hasil :
a. Kadar bilirubin dalam batas normal ( 0,2 – 1,0 mg/dl )
b. Kulit tidak berwarna kuning/ warna kuning mulai berkurang
c. Tidak timbul lecet akibat penekanan kulit yang terlalu lama
Intervensi
a. Monitor warna dan keadaan kulit setiap 4-8 jam
Rasional : Warna kulit kekuningan sampai jingga yang semakin pekat
menandakan konsentrasi bilirubin indirek dalam darah
tinggi
b. Monitor keadaan bilirubin direk dan indirek ( kolaborasi dengan dokter
dan analis )
Rasional : Kadar bilirubin indirek merupakan indikator berat ringan
joundice yang diderita.
c. Ubah posisi miring atau tengkurap. Perubahan posisi setiap 2 jam
berbarengan dengan perubahan posisi lakukan massage dan monitor
keadaan kulit
Rasional : Menghindari adanya penekanan pada kulit yang terlalu lama
sehingga mencegah terjadinya dekubitus atau irtasi pada
kuit bayi.
d. Jaga kebersihan kulit dan kelembaban kulit/ Memandikan dan pemijatan
bayi.
Rasional : Kulit yang bersih dan lembab membantu memberi rasa
nyaman dan menghindari kulit bayi meengelupas atau
bersisik.

e. Jelaskan tentang program pengobatan dan alternatif pengobatan


Rasional : mempermudah intervensi.

25
2. Risiko tinggi kekurangan volume cairan akibat efek samping fototerapi
berhubungan dengan pemaparan sinar dengan intensitas tinggi.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
masalah keperawatan cairan tubuh neonatus adekuat.
Kriteria Hasil :
a. Tugor kulit baik
b. Membran mukosa lembab
c. Intake dan output cairan seimbang
d. Nadi, respirasi dalam batas normal ( N: 120-160 x/menit, RR : 35
x/menit ) suhu ( 36,5-37,5 derajat C )
Intervensi:
a. Kaji reflek hisap bayi
Rasional: mengetahui kemampuan hisap bayi
b. Pantau masukan dan haluan cairan, timbang berat badan bayi 2 kali
sehari.
Rasional : Bayi dapat tidur lebih lama dalam hubungannya dengan
fototerapi, meningkatkan resiko dehidrasi bila jadwal
pemberian makan yang sering tidak di pertahankan.
c. Perhatikan tanda- tanda dehidrasi (mis: penurunan haluaran urine,
fontanel tertekan, kulit hangat atau kering dengan turgor buruk, dan
mata cekung).
Rasional : Peningkatan kehilangan air melalui feses dan evaporasi dapt
menyebabkan dehidrasi.
d. Perhatikan warna dan frekuensi defekasi dan urine.
Rasional : Defeksi encer, sering dan kehijauan serta urine kehijauan
menandakan keefektifan fototerapi dengan pemecahan dan
ekskresi bilirubin. Feces yang encer meningkatkatkan
risiko kekurangan volume cairan akibat pengeluaran cairan
berlebih.

26
e. Tingkatkan masukan cairan per oral sedikitnya 25%. Beri air diantara
menyusui atau memberi susu botol.
Rasional : Meningkatkan input cairan sebagai kompensasi pengeluaran
feces yang encer sehingga mengurangi risiko bayi
kekurangan cairan.
f. Pantau turgor kulit.
Rasional : Turgor kult yang buruk, tidak elastis merupakan indikator
adanya kekurangan volume cairan dalam tubuh bayi.
g. Pantau turgor kulit, tanda- tanda vital ( suhu, HR ) setiap 4 jam
Rasional : turgor menurun, suhu meningkat HR meningkat adalah
tanda-tanda dehidrasi
h. Berikan cairan per parenteral sesuai indikasi.
Rasional : Mungkin perlu untuk memperbaiki atau mencegah dehidrasi
berat.

3. Risiko hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi


Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
masalah keperawatan teratasi dengan tidak terjadi hipertermi dengan
kriteria suhu aksilla stabil antara 36,5-37 derajat Celsius.
Kriteria Hasil :
a. Suhu tubuh dalam rentang normal (36,5 derajat Celcius - 37 derajat
Celcius )
b. Nadi dan respirasi dalam batas normal ( N : 120-160 x/menit, RR : 35
x/menit)
c. Membran mukosa lembab
d. Tidak ada perubahan warna kulit

Intervensi :
a. Observasi suhu tubuh ( aksilla ) setiap 4 - 6 jam
Rasional : suhu terpantau secara rutin
b. Pantau kulit neonatus dan suhu inti setiap 2 jam atau lebih sering
sampai stabil ( misal : suhu aksila). Atur suhu incubator dengan tepat.
Rasional : Fluktuasi pada suhu tubuh dapat terjadi sebagai respon
terhadap pemajanan sinar, radiasi dan konveksi.

27
c. Monitor nadi dan respirasi
Rasional : Peningkatan suhu tubuh dapat terjadi karena dehidrasi
akibat paparan sinar dengan intensitas tinggi sehingga
akan mempengaruhi nadi dan respirasi, sehingga
peningkatan nadi dan respirasi merupakan aspek penting
yang harus di waspadai.
d. Monitor intake dan output
Rasional : Intake yang cukup dan output yang seimbang dengan
intake cairan dapat membantu mempertahankan suhu
tubuh dalam batas normal.
e. Pertahankan suhu tubuh 36,5 derajat celcius - 37 derajat celcius, jika
demam lakukan kompres/ axilia
Rasional : Suhu dalam batas normal mencegah terjadinya cold/
heat stress.
f. Cek tanda-tanda vital setiap 2-4 jam sesuai yang dibutuhkan
Rasional : Untuk mengetahui keadaan umum bayi sehingga
memungkinkan pengambilan tindakan yang cepat ketika
terjadi suatu keabnormalan dalam tanda-tanda vital.
g. Matikan lampu sementara bila terjadi kenaikan suhu, dan berikan
kompres dingin serta ekstra minum.
Rasional : mengurangi pajanan sinar sementara )
h. Kolaborasi dengan dokter bila suhu tetap tinggi.
Rasional : Memberi terapi lebih dini atau mencari penyebab lain
dari hipertermi ).

4. Risiko tinggi injuri berhubungan dengan efek fototerapi.


Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan
masalah keperawatan resiko tinggi cedera berhubungan dengan efek
fototerapi dapat teratasi.
Kriteria Hasil :
a. Tidak ada iritasi mata
b. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi
c. Tidak terjadi kerusakan kulit
Intervensi :
a. Letakkan bayi di dekat cahaya
Rasional : mengurangi ikterik pada bayi dengan dijemur / fototerapi
b. Tutup mata dengan kain / kassa yang dapat menyerap cahaya
Rasional : Menghindari resiko kerusakan mata

28
c. Matikan lampu dan buka penutup mata bayi setiap 8 jam, lakukan
inspeksi warna sklera .
Rasional : Untuk mengetahui ada tidaknya perubahan warna sklera
d. Pertahankan suhu tubuh sebelum, selama dan setelah tindakan.
Rasional :Membantu mencegah hipotermia dan vasospasme,
menurunkan risiko fibrilasi ventrikel, dan menurunkan
vikositas darah
e. Buka penutup mata waktu memberikan makanan
Rasional : memungkinkan bayi beradaptasi dengan lingkungan
sekitarnya
f. Ajak bayi berkomunikasi/ bicara selama perawatan.
Rasional : menjalin hubungan komunikasi dengan bayi
g. Pantau nadi, warna dan frekuensi pernapasan/kemudahan sebelum,
selama dan setelah tindakan. Lakukan pengisapan jika diperlukan.
Rasional : Membuat nilai data dasar, mengidentifikasi potensial
kondisi tidak stabil ( misal : apnea atau disritmia/henti
jantung ) dan mempertahankan jalan napas.
h. Catat tanda-tanda atau kejadian selama tindakan fototerapi
Rasional : Membantu mengetahui jika terjadi tanda-anda atau
kejadian yang tidak diharapkan dari tindakan fototerapi.

5. Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada


bayi.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam diharapkan orang tua
menyatakan mengerti tentang perawatan bayi hiperbilirubin dan kooperatif
dalam perawatan bayi.
Kriteria Hasil :
a. Keluarga tidak cemas.
b. Keluarga dapat melaksanakan perawatan bayi secara mandiri.
Intervensi :
a. Bina hubungan saling percaya antara perawat dan klien.
Rasional : hubungan saling percaya adalah dasar hubungan terpadu
yang mendukung klien dalam mengatasi perasaan cemas.
b. Kaji pengetahuan keluarga tentang penyakit pasien
Rasional : mengetahui tingkat pemahaman keluarga tentang
penyakit
c. Kaji tingkat kecemasan keluarga pasien

29
Rasional : untuk mengetahui tingkat kecemasan yang dialami
keluarga pasien.
d. Beri kenyamanan dan ketentraman hati dengan mendengarkan keluhan
keluarga klien.
Rasional : Agar klien atau keluarga klien tidak terlalu cemas
memikirkan kondisi klien.

e. Anjurkan keluarga selalu di dekat klien


Rasional : agar keluarga dapat segera mengetahui bila ada
perubahan kondisi / keadaan klien.
f. Bantu keluarga klien mengenal situasi yang dapat menimbulkan
kecemasan.
Rasional : Agar keluarga terbiasa dengan kondisi klien dan tidak
cemas.
g. Beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi dan
perawatannya
Rasional : Meningkatkan pemahaman tentang keadaan penyakit
h. Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi dirumah
Rasional : meningkatkan tanggung jawab dan peran orang tua dalam
perawatan bayi

(NANDA NIC - NOC, 2015)

30
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hiperbilirubinemia (ikterus bayi baru lahir) merupakan suatu
keadaan meningkatnya kadar bilirubin dalam jaringan ekstravaskular,
sehingga konjungtiva, kulit dan mukosa akan berwarna kuning. (Alimul,
2005)
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir yaitu produksi bilirubin yang berlebihan,
gangguan dalam proses pengambilan (uptake) dan transportasi bilirubin dalam hati,
penyakit hemolitik, gangguan transportasi, gangguan fungsi hati, dan gangguan dalam
eksresi.
Tanda dan gejala hiperbilirubinemia adalah warna kuning (ikterik)
pada kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat saat
kadar bilirubin darah mencapai sekitar 40 μmol/l.
Penanganan hiperbilirubinemia dapat dilakukan dengan fototerapi,
transfusi pengganti, dan terapi obat untuk membatasi efek dari
hiperbilirubinemia.

B. Saran
1. Bagi mahasiswa keperawatan
Diharapkan dapat memahami konsep dasar penyakit apendisitis yang
berguna bagi profesi dan orang sekitar kita.
2. Bagi masyarakat
Diharapkan dapat memanfaatkan makalah ini untuk menambah
pengetahuan tentang penyakit apendisitis.
3. Bagi tenaga kesehatan
Diharapkan dapat memberikan penanganan dan asuhan keperawatan
yang tepat dan sesuai dengan standar operasional prosedur tindakan
dalam menangani klien dengan hiperbilirubinemia.

31

Anda mungkin juga menyukai