KIM Publishing
komunitasislamm@gmail.com
@kimenulis
4 | Nidaussalwa Assa’adah
Tentang Penulis
Nidaussalwa Assa’adah, biasa dipanggil Nida.
Mulai menyapa dunia pada tahun 1996. Baginya
menulis adalah cara paling indah dalam
mengabadikan sebuah momen, pikiran, dan rasa.
6 | Nidaussalwa Assa’adah
Selain itu akademik saya turun drastis
sewaktu di Pesantren. Saya yang dulunya Allah
izinkan untuk meraih predikat bintang kelas selama
9 tahun, tetapi saat SMA, Allah cabut kenikmatan itu.
Saya berubah menjadi pribadi yang sangat tidak
peduli dengan proses belajar. Jika diingat-ingat
sepertinya selama 3 tahun SMA, saya belajar
pelajaran umum hanya ketika dekat UN saja.
Menyedihkan.
Haha… Iya,
Saya Gagal!
Tapi Alhamdulillah, dengan izin Allah saya
tidak bersedih hati sedikit pun. Berbisik pada hati,
“Tidak pernah belajar tapi maunya lolos. Sudah jelas-
jelas masuk Perguruan Tinggi yang pertama kali
dilihat adalah nilai!”
8 | Nidaussalwa Assa’adah
Sedikit tidak logis, bukan? Kenapa saya bisa
tidak sedih? Alhamdulillah, Pesantren mengajarkan
saya bagaimana bersikap cuek terhadap nilai
akademik. Namun yang namanya gagal, pasti ada
sedih menyeruak, itu wajar, manusiawi.
10 | Nidaussalwa Assa’adah
Yang saya lakukan setelah gagal dari
SNMPTN adalah menjadi penonton kesibukan
teman-teman waktu itu yang sama-sama gagal
SNMPTN juga. Sebagian mereka menyelesaikan
hapalan Qur'annya, sebagian lain berkutat dengan
buku pelajaran pribadinya, dan ada juga yang sibuk
mengikuti bimbel dan sebagainya. Bahkan ada yang
mengurusi pemberkasan untuk lanjut di Luar Negri.
12 | Nidaussalwa Assa’adah
dan Ibu begitu baik. Ada bahagia yang berdetak di
nada suara mereka. Tanpa banyak tanya, mereka
langsung mengizinkan. Bahkan rasa syukur mereka
terdengar begitu nyata.
14 | Nidaussalwa Assa’adah
Singkat cerita, saya mulai menyusuri koridor
kampus, mencari ruangan tes yang sesuai dengan
kartu tasjil, dan….. ketemu!
16 | Nidaussalwa Assa’adah
berganti. Tidak peduli berapapun nilai di Ijazah
ataupun rapor. Yang penting “SAYA LULUS” itu
sudah sangat membanggakan. Setelah pengabdian
sebagai santri telah usai, kini saya telah kembali ke
rumah, yang orang-orang bilang adalah “tempat
pulang”. Ada perasaan bahagia, tapi ternyata menjadi
santri itu cukup membuat rindu. Setelah beberapa di
rumah, nyatanya kabar yang ditunggu tak kunjung
datang. Entah apa alasannya.
Saya Gagal!
Sedih? Tidak, Alhamdulillah. ‘Tidak’ maksud
saya disini adalah kesedihan yang saya rasakan hanya
pada saat mengetahui nama saya tidak tercantum
dalam daftar nama-nama yang diterima saja. Setelah
itu, Allah izinkan saya dengan mudahnya
18 | Nidaussalwa Assa’adah
tidak merasakan adanya penambahan ilmu dalam diri
saya.
20 | Nidaussalwa Assa’adah
dimulai dari kelas tamhidi. Persiapan sebelum masuk
ke I’dad (di Dzin).
24 | Nidaussalwa Assa’adah
Ibu satu - satunya manusia yang menjadi saksi
untuk diri ini, dalam berusaha menguatkan diri;
bangkit lagi setelah gagal berkali-kali. Mungkin
orang lain melihat saya ini adalah orang yang
hidupnya lempeng-lempeng saja (((mungkin))).
26 | Nidaussalwa Assa’adah
Teringat juga tentang hadist yang berbicara mengenai
perkara ini;
28 | Nidaussalwa Assa’adah
ke-sekian kalinya karena faktor usia yang semakin
menua. “Yang namanya belajar, gak pantang usia,
gak boleh malu, toh selama ini kamu juga selalu jadi
yang paling tua di kelas, nyatanya gak papa kan? Gak
keliatan bedanya. Lagipula, LIPIA gak melarang
kamu untuk menikah sambil kuliah”, batin saya
untuk menguatkan diri.
30 | Nidaussalwa Assa’adah
ada kendala dalam mengurusi berkas-berkas. Allah
mengizinkan saya mengisi form dengan lancar, saya
mendapat roqm tasjil dengan nomor urut ke 83.
Malam itu rasanya begitu syahdu.
32 | Nidaussalwa Assa’adah
pendaftaran untuk ikhwan dan akhwat, bukan khusus
ikhwan saja. Saat itu rasa syukur saya menyeruak.
Sangat bahagia.
34 | Nidaussalwa Assa’adah
Allah ridho, dan saya diizinkan-Nya untuk bisa lolos
LIPIA.
Allahu Akbar!
Nama saya tercantum!
36 | Nidaussalwa Assa’adah
menenangkan. Memperkenalkan diri dengan salam
dan senyum di awal.
“Ibu, alhamdulillah
Nida lolos!”
Sempat beberapa kali saya lirik kembali,
untuk memastikan bahwa saya tidak salah melihat.
Tak lupa menyempatkan sujud sebagai rasa syukur.
Saya menangis sambil memeluk Ibu. Ibu yang sedang
38 | Nidaussalwa Assa’adah
berbincang dengan Bude yang saat itu juga sedang
ada disitu, menyunggingkan senyuman, “sudah
berapa lama ya kamu nunggu, Alhamdulillah”.
*****
40 | Nidaussalwa Assa’adah
ia mampu untuk berlari. Coba bayangkan, jika sang
bayi menolak untuk belajar berdiri, jatuh sekali lalu
selanjutnya tak berani mencoba lagi, kira-kira apa
yang akan terjadi? Perkembangannya secara otomatis
akan melambat dari bayi lainnya yang seusia
dengannya.
42 | Nidaussalwa Assa’adah
semester. Ditambah mereka dibebani biaya kuliah
per-semesternya. Mata kuliah yang tidak jelas
bagaimana pengaturannya. Tugas yang banyak.
Bahkan dosen yang masuknya terkadang suka-suka.
Belum lagi perjuangan dia yang harus pulang-pergi
dengan berdesakan dalam KRL. Adakah alasan lagi
bagi kita yang kuliah di LIPIA untuk tidak
bersyukur? tidak dibebani biaya kuliah, muqorror
tersedia, bahkan mendapat uang saku, penjadwalan
mata kuliah yang sudah tersusun rapi, dosen yang
telaten, bisa dibilang jarang sekali tidak hadir,
ditambah para dosen selalu melontarkan doa-doa baik
untuk kami para mahasiswa-mahasiswinya.
*****
44 | Nidaussalwa Assa’adah
teman agar kami -terutama saya- diberikanNya
kemudahan selalu.
*****
46 | Nidaussalwa Assa’adah
ampunilah kami serta kasihanilah kami, karena
Engkau-lah Pelindung kami. Maka tolonglah kami
terhadap kaum kafirin.”
Salam Perjuangan!
48 | Nidaussalwa Assa’adah
Tentang Sebuah Perjuangan | 49