Anda di halaman 1dari 49

2 | Nidaussalwa Assa’adah

© 2019, Febriawan Jauhari

Tentang Sebuah Perjuangan


Oleh: Nidaussalwa Assa’adah

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang mereproduksi atau memperbanyak
Seluruh maupun sebagian dari buku ini dalam bentuk
Atau cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit

Desain Sampul: Muhammad

KIM Publishing
komunitasislamm@gmail.com

Tentang Sebuah Perjuangan | 3


“KIM atau Komunitas Islam Menulis
adalah wadah bagi para pegiat literasi di
Kampus Biru. Punya minat yang sama?

Kami tunggu kamu di KIM.”

@kimenulis

4 | Nidaussalwa Assa’adah
Tentang Penulis
Nidaussalwa Assa’adah, biasa dipanggil Nida.
Mulai menyapa dunia pada tahun 1996. Baginya
menulis adalah cara paling indah dalam
mengabadikan sebuah momen, pikiran, dan rasa.

Tentang Sebuah Perjuangan | 5


Tentang Sebuah
Perjuangan
Drama mengharu biru ini dimulai saat masih
duduk kelas 12 SMA, di salah satu Pesantren tempat
saya belajar dulu. Duhai, menjadi seorang santri jelas
bukan keinginan hati. Semuanya adalah paksaan dari
Ayah, yang bahkan belum bisa saya terima sampai
akhir “jabatan”.

Selayaknya orang-orang yang dipaksa, saya


menjalani hari-hari di Pesantren suka-suka, semau
hati. Prinsip yang tertancap waktu itu, “Selama gak
ngelakuin yang pesantren larang maka seharusnya
gak ada masalah, bener gak?” Karena jika melakukan
hal-hal aneh, lalu ketahuan, maka akan dihukum,
mana hukumannya memalukan.lagi.

6 | Nidaussalwa Assa’adah
Selain itu akademik saya turun drastis
sewaktu di Pesantren. Saya yang dulunya Allah
izinkan untuk meraih predikat bintang kelas selama
9 tahun, tetapi saat SMA, Allah cabut kenikmatan itu.
Saya berubah menjadi pribadi yang sangat tidak
peduli dengan proses belajar. Jika diingat-ingat
sepertinya selama 3 tahun SMA, saya belajar
pelajaran umum hanya ketika dekat UN saja.
Menyedihkan.

Masalah utama yang saya hadapi saat itu


adalah saya kehilangan jati diri, disaat yang lain
mungkin sudah menemukan jawaban atas pertanyaan
“Saya ini siapa?” dan “Mau jadi apa kelak?”

Jika ditanya apa keinginan saya setelah tamat


dari SMA kelak? Jawabannya sederhana, saya ingin
melanjutkan studi sebagai mahasiswi Teknik
Lingkungan di Perguruan Tinggi Negeri. Saat
mengisi form SNMPTN pun saya mencantumkan dua
pilihan; pertama, FTSL – ITB dan kedua, Teknik
Lingkungan – UI.

Tentang Sebuah Perjuangan | 7


Jujur, pengambilan keputusan ini tidak
melibatkan Ayah dan Ibu, diam-diam melakukannya.
Karena jika saya beri tahu mereka, jawabannya sudah
jelas; tidak diizinkan.

Setelah cukup lama menunggu hasil


SNMPTN, coba tebak kira-kira hasilnya bagaimana?
Hasil dari usaha seorang anak yang hobinya main
seperti saya ini.

Haha… Iya,
Saya Gagal!
Tapi Alhamdulillah, dengan izin Allah saya
tidak bersedih hati sedikit pun. Berbisik pada hati,
“Tidak pernah belajar tapi maunya lolos. Sudah jelas-
jelas masuk Perguruan Tinggi yang pertama kali
dilihat adalah nilai!”

8 | Nidaussalwa Assa’adah
Sedikit tidak logis, bukan? Kenapa saya bisa
tidak sedih? Alhamdulillah, Pesantren mengajarkan
saya bagaimana bersikap cuek terhadap nilai
akademik. Namun yang namanya gagal, pasti ada
sedih menyeruak, itu wajar, manusiawi.

Jika dipikir-pikir seandainya saya lolospun


kemungkinan besar tidak akan diambil, karena Ayah
tidak mungkin mengizinkan saya merasakan kuliah di
Perguruan Tinggi; entah Negeri atau Swasta. Alasan
lainnya, karena lokasi kampus yang menjadi impian
saya sangat jauh dari rumah.

Perihal alasan kenapa saya bisa tidak terlalu


memikirkan akan kegagalan ini, mungkin bisa jadi
karena didikan dari orangtua terhadap kami anak-
anaknya.

“Ayah sama Ibu insyaallah gak akan pernah


kecewa kalau misalnya kalian gak juara, tapi Ayah
sama Ibu bakal sedih banget kalau kalian gak paham
agama, karena bukti kalau kalian sayang sama Ayah

Tentang Sebuah Perjuangan | 9


dan ibu itu bukan suksesnya kalian di dunia, tapi
suksesnya kalian di akhirat.” kata Ayah dulu sekali.

Memang benar adanya. Dulu, jika saya


memberitahu tentang peringkat saya terhadap
mereka; mereka hanya tersenyum dan berkata,
"Selamat ya, sudah bersyukur belum? tambah kuat ya
ibadahnya". Itu saja, tak lebih. Tak ada pesta, bahkan
hadiah.

Ayah juga pernah bilang kalau saya tidak


akan pernah diizinkan kuliah kalau bukan di Jakarta.
Tidak boleh masuk PTN atau PTS. “Lebih baik kamu
gak kuliah kalau harus di Perguruan Tinggi”, kata
Ayah serius.

Saya sempat merasa bingung karena


berkeinginan kuat jika setelah tamat ini, saya bisa
kuliah. Tapi tak seperti kebanyakan orang tua, Ayah
memiliki standar khusus untuk pendidikan anak-
anaknya.

10 | Nidaussalwa Assa’adah
Yang saya lakukan setelah gagal dari
SNMPTN adalah menjadi penonton kesibukan
teman-teman waktu itu yang sama-sama gagal
SNMPTN juga. Sebagian mereka menyelesaikan
hapalan Qur'annya, sebagian lain berkutat dengan
buku pelajaran pribadinya, dan ada juga yang sibuk
mengikuti bimbel dan sebagainya. Bahkan ada yang
mengurusi pemberkasan untuk lanjut di Luar Negri.

Lalu saya ada di posisi mana?

Ya, masih setia menjadi penonton.

Pernah merasakan hidup di bawah tekanan?


Mungkin bisa dibilang memang hidup saya ada di
posisi itu. Sekuat apapun saya berusaha
memperjuangkan untuk kuliah di PTN, Ayah tidak
akan pernah mengizinkannya.

Kalau ada yang bertanya mengapa saya tidak


berjuang melalui SBMPTN; alasannya adalah sayang
uang. Harus bimbel lagi. Keluar uang lagi. Mahal iya,
lolos belum tentu. Hemat saya, memperjuangkan

Tentang Sebuah Perjuangan | 11


sesuatu yang belum pasti itu hanya membuang-buang
waktu dan uang saja. Apalagi jika itu urusan dunia
dan bukan passion pribadi.

Suatu ketika salah seorang teman kamar


terlihat sangat sibuk. Saya yang selalu kepo ini
penasaran, menanyakan apa yang sedang
dilakukannya. Responnya sungguh di luar dugaan.
Kalimat yang keluar dari lisannya adalah langsung
berupa ajakan kepada saya untuk sama-sama
mengikuti tes LIPIA. Tanpa intro apapun.

Awalnya ragu, merasa tidak pantas dan tidak


cocok untuk ikut tes di LIPIA. Tapi ternyata
dukungan dari mereka untuk saya sangat kuat.
Sampai akhirnya saya berpikiran tidak ada salahnya
untuk mencoba. Why not?

Sayapun menghubungi Ayah dan Ibu, setelah


nada tunggu berbunyi, tak berapa lama, terdengarlah
sebuah salam dari seberang sana. Setelah menjawab
salam, saya langsung mengutarakan niat baik untuk
mengikuti test LIPIA. Tak disangka, sambutan Ayah

12 | Nidaussalwa Assa’adah
dan Ibu begitu baik. Ada bahagia yang berdetak di
nada suara mereka. Tanpa banyak tanya, mereka
langsung mengizinkan. Bahkan rasa syukur mereka
terdengar begitu nyata.

Dengan alasan cari-cari pengalamanlah saya


ikut tes LIPIA. Doa dan restu dari orangtua nun jauh
disana, ditambah dukungan teman-teman
seperjuangan yang tidak mengenal kata bosan,
membuat saya semakin semangat untuk
menyelesaikan berbagai syarat dan menyiapkan
setiap berkas yang dibutuhkan. Bahkan pihak sekolah
pun tak lepas tangan begitu saja. Pihak sekolah
membantu mengurusi bagian pen-transkrip-an nilai.

Bersama-bersama mengikuti test berkas.


Menunggu hasil bersama-sama juga. Bahagia rasanya
setelah melihat nama sendiri terpampang dalam
daftar nama-nama yang berhak mengikuti test tulis.
Akan tetapi ada rasa sedih yan bergelayut ketika
mengetahui beberapa dari kami tidak lolos.

Tentang Sebuah Perjuangan | 13


Hebatnya, mereka tetap menyemangati kami-
kami yang lolos ini. “Gapapa belum rejeki, kalian
semangat ya tes tahririnya,” ketegaran hati terdengar
jelas dari lisan mereka. Ah, mereka hebat-hebat ya?
semoga saya bisa setegar mereka dalam menghadapi
permasalahan.

Hari-haripun berlalu. Tibalah hari dimana tes


tahriri dilangsungkan. Untuk kali pertama kaki ini
menginjak lantai gedung kampus yang di elu-elukan
para penikmat ilmu. Tanpa persiapan yang cukup
mendalam, hanya bermodalkan ilmu “yang pernah
didengar”, kemudian melihat saingan yang
melampaui ekspektasi, sangat, sangat banyak!
membuat sedikit goyah.

Oiya, sebelum hari ujian saya sesekali


mengikuti Tryout. Untuk seorang seperti saya, soal-
soal yang disajikan cukuplah sulit. Banyak soal yang
menyuruh untuk menulis insya’, Qowaidnya juga
banyak jebakan. Waktu itu berpikir, pasrah sudah jika
memang soal yang keluar nanti akan seperti ini.

14 | Nidaussalwa Assa’adah
Singkat cerita, saya mulai menyusuri koridor
kampus, mencari ruangan tes yang sesuai dengan
kartu tasjil, dan….. ketemu!

Ruangannya dingin sekali, menambah gugup


dalam dada. Setelah pembagian soal, ternyata soal
yang diujikan berbeda format dengan soal Tryout
kemarin. Ada jutaan rasa syukur yang tidak bisa
dibendung. Bersyukur karena soal yang ada di
hadapan mata adalah berbentuk pilihan ganda.
Walaupun sebanyak 100 soal, setidaknya tidak
semengerikan soal yang disajikan saat tryout
kemarin.

Soal yang terdiri dari 100 soal itu terdiri dari


fahmul masmu’ 20 soal, Fahmul Maqru 20 soal,
Qowaid 20 soal, Balaghoh 20 soal, dan Syariah 20
soal. Bagi saya pribadi yang termudah adalah soal
Fahmul Masmu’ kemudian setelah itu soal Syari’ah,
dan yang paing susah apa coba? Soal-soal Balaghoh!
Kalau tidak salah, saya hanya mampu menjawab 5
dari 20 soal, itupun belum tahu jawabannya benar

Tentang Sebuah Perjuangan | 15


atau salah. Kala itu saya test penerimaan mahasiswa
baru untuk I’dad Lughowi.

Yang menjadi catatan pribadi adalah


persiapan untuk test pertama kali ini tidak
menghasilkan sesuatu yang memuaskan.

Setelah selesai mengerjakan ujian, saya bukan


tipe orang yang setelah selesai ujian, lalu
membahasnya. Bagi saya jika suatu ujian telah
berlalu, tugas kita selanjutnya adalah menunggu hasil
dengan melakukan hal baru dan berdoa. Dari sinilah
rasa tawakal dan kesabaran kita akan diuji. Jika
gagal berarti harus belajar lagi, bukan diingat - ingat
bagaimana dan kenapa kita bisa gagal. Apalagi
disesali. Jika berhasil, ya bersyukur.

Hari itu telah berlalu, menunggu hasil dari


LIPIA masih saya lakukan. Bersabar dalam
penantian. Sembari menunggu hasil, saya kembali ke
Pesantren untuk menghabiskan masa-masa yang
tersisa menjadi seorang santri. Sampai tibalah hari
dimana saya diwisuda. Predikat santri ini akan

16 | Nidaussalwa Assa’adah
berganti. Tidak peduli berapapun nilai di Ijazah
ataupun rapor. Yang penting “SAYA LULUS” itu
sudah sangat membanggakan. Setelah pengabdian
sebagai santri telah usai, kini saya telah kembali ke
rumah, yang orang-orang bilang adalah “tempat
pulang”. Ada perasaan bahagia, tapi ternyata menjadi
santri itu cukup membuat rindu. Setelah beberapa di
rumah, nyatanya kabar yang ditunggu tak kunjung
datang. Entah apa alasannya.

Setelah menunggu cukup lama, pengumuman


hasil ujian LIPIA keluar. Hasilnya?

Saya Gagal!
Sedih? Tidak, Alhamdulillah. ‘Tidak’ maksud
saya disini adalah kesedihan yang saya rasakan hanya
pada saat mengetahui nama saya tidak tercantum
dalam daftar nama-nama yang diterima saja. Setelah
itu, Allah izinkan saya dengan mudahnya

Tentang Sebuah Perjuangan | 17


melupakannya. Sambil menguatkan diri; masih ada
kesempatan mencoba lagi di lain waktu. Mungkin
bisa jadi juga ini adalah hasil binaan dari orang tua
kalau kesuksesan dan kegagalan adalan bukan
kehendak kita. Kita hanya bisa berencana dan
berusaha, perkara hasil itu hakNya Yang Maha
Kuasa.

Setelah hari itu, Ayah langsung mendaftarkan


saya untuk kuliah di Al Hikmah. Sayapun mengikuti
rangkaian ujian untuk menjadi mahasiswa Al-
Hikmah. Alhamdulillah, Allah izinkan saya diterima
di I’dad semester dua.

Setelah gagal SNMPTN, lalu lulus SMA


dengan nilai seadanya, ditambah GAGAL MASUK
LIPIA, membuat sedikit berpikir; “Mungkin saya
harus mengubah diri saya menjadi versi yang baru.”

Dengan izin Allah, mulailah saya menjalani


hari-hari kuliah di Al Hikmah dengan “saya yang
sedikit baru”. Hampir satu semester berlalu, tapi saya

18 | Nidaussalwa Assa’adah
tidak merasakan adanya penambahan ilmu dalam diri
saya.

Sekitar bulan Oktober atau November 2016,


LIPIA membuka pendaftaran lagi, yang saya pikirkan
hanya satu; masih ada banyak kesempatan untuk
lolos ke LIPIA. Semangat itu masih membara, sama
seperti kemarin. Sayapun mendaftar lagi. Mendaftar
untuk masuk I’dad. Tapi kali ini insyaallah sudah
dengan persiapan yang lebih cukup dari sebelumnya.

Tapi nyatanya Allah hanya mengizinkan saya


lolos sampai test lisan.

“Saya gagal masuk


LIPIA untuk kedua
kalinya!”
Tentang Sebuah Perjuangan | 19
Kali ini benar-benar sedih, tapi saya percaya
Allah punya rahasia yang saya belum tahu itu apa.

Tiba-tiba saya teringat dengan salah satu


teman kelas yang menyarankan untuk masuk
Dzinnurain. Dzinnurain ini kampus khusus akhwat
dari Utsman bin Affan, dibawah naungan AMCF.

Timbullah pemikiran kalau sudah saatnya


mencari tempat belajar baru. Berhubung saya adalah
tipe orang yang suka sekali berburu pengalaman,
saya utarakan niat baik ini kepada orang tua dan lagi-
lagi mereka menyetujui sembari berkata; “Selama itu
tentang akhirat, kami dukung penuh.” MasyaAllah.

Dari mulai awal mengenal dzin, Allah sudah


menunjukkan berbagai kemudahan pada saya. Saya
merasakan adanya semangat belajar baru. Baru saja
mendaftar di Dzin, langsung diajukan untuk
mengikuti test, dan langsung diterima hari itu juga.
MasyaAllah. Saat itu saya diterima di I’dad mustawa
satu. Kalau normalnya di Dzin itu masuk awal

20 | Nidaussalwa Assa’adah
dimulai dari kelas tamhidi. Persiapan sebelum masuk
ke I’dad (di Dzin).

“Loh bukannya di Al-Hikmah kemarin sudah


mustawa dua? Kenapa mau turun mustawa?”

Iya benar. Perkara turun kelas saya sudah


sangat terbiasa, Karena faktor pindah-pindah sekolah.
SMAIT Darul Quran Mulia adalah Pesantren
terakhir yang saya pilih, yang mana sebelumnya saya
sudah pernah nyantri di An-Najiyah Bandung, hanya
bertahan dua minggu saja lalu pindah ke Pesantren
PERSIS Bangil dan bertahan sampai lima bulan saja.
Kalau dijabarkan latar belakangnya, ah itu perkara
yang sangat ruwet. Intinya, saya hanya berbeda satu
tahun saja dari teman-teman seangkatan saya pada
umumnya.

Mulailah saya dengan hal-hal baru di Dzin.


Banyak ilmu baru yang saya dapat. Suasana belajar
yang baru. Bertemu manusia baru dengan
karakternya yang baru juga. Semua ini memaksa saya
untuk “belajar” lebih banyak. Bukan hanya belajar

Tentang Sebuah Perjuangan | 21


tentang pelajaran di kelas, tapi juga belajar
bagaimana menjalani hidup yang seharusnya dijalan-
Nya. Belajar berkomunikasi dengan manusia lain.
Beradaptasi dengan pikiran yang berbeda. Ah
pokoknya, saya belajar banyak tentang hidup dari
mereka-mereka yang baru saya kenal.

Hampir satu semester menjalani hari – hari


belajar di Dzin, LIPIA buka pendaftaran lagi. Saya
dengan beberapa orang teman di kelas mengikuti
ujiannya lagi. Masih dengan format yang sama;
IKHTIBAR QOBUL LIQISMIL I’DAD LUGHOWIY.

Kali ini dengan persiapan yang lebih-lebih


matang lagi, walau sebenernya tetap saja belum
maksimal. Dengan harapan yang lebih kuat untuk
bisa lolos. Tapi nyatanya, Allah masih belum
meridhoi saya menjadi mahasiswa LIPIA.

Saya gagal masuk LIPIA


untuk ketiga kalinya!
22 | Nidaussalwa Assa’adah
Sudah 3 kali saya gagal, saya rasa sudah
cukup! Ditambah semester depan LIPIA tidak buka
pendaftran untuk I’dad lagi karena semester ini
memakai sistem tarobbus (waiting list).

Saya sudah benar-benar menyangka bahwa


LIPIA tidak akan pernah menjadi takdir saya.
Rasanya sudah waktunya saya untuk fokus menjalani
masa belajar di Dzin. Yang saat itu saya pikirkan
adalah,

Bagaimana jika lulus dari Dzin ?

Kemana lagi saya harus belajar untuk


melanjutkan S1 nya ?

Karena di Dzin itu hanya sampai D2. Sempat


terpikirkan akan melanjutkan studi di Ma’had
Utsman bin Affan setelah tamat dari Dzin nanti. Tapi
belum sepenuhnya yakin, apakah Ma’had Utsman bin
Affan adalah solusi yang tepat untuk melanjutkan
sisa studi nanti untuk mencapai strata satu atau tidak.

Tentang Sebuah Perjuangan | 23


Ya intinya, saya sudah lelah “gagal”. Tapi
hebatnya adalah Allah menakdirkan saya menjadi
seorang anak dari seorang Ibu yang tak pernah lelah
mensupport, mendukung, dan mendoakan kebaikan
untuk anak-anaknya. Saat saya gagal untuk yang ke-3
kalinya itu, saya melontarkan sebuah kalimat keputus
asaan pada Ibu,

“Nida gak lolos lagi bu, udah ya


bu, nida capek, nanti nida usaha
cari tempat kuliah lain yang
masih di Jakarta aja, gapapa kan
bu.”
Tanpa ada rasa kesal bahkan Ibu sama sekali
tidak menunjukkan rasa kecewanya sedikitpun,
“Gapapa, belum rejeki. Coba lagi aja nanti, Ibu tau
kamu pengen banget di LIPIA, biasanya Allah suka
kasih di saat kita udah capek begitu. Coba lagi aja
nanti kalau LIPIA buka pendaftaran lagi.”

24 | Nidaussalwa Assa’adah
Ibu satu - satunya manusia yang menjadi saksi
untuk diri ini, dalam berusaha menguatkan diri;
bangkit lagi setelah gagal berkali-kali. Mungkin
orang lain melihat saya ini adalah orang yang
hidupnya lempeng-lempeng saja (((mungkin))).

Ada satu kalimat yang sampai sekarang saya


ingat dengan baik. Cukup membuat hati tergores.
Kejadiannya, insyaaallah kalau tidak salah saat saya
gagal masuk LIPIA untuk yang kedua kalinya, tepat
setelah saya melakukan salat, saat itu saya langsung
mengambil ponsel untuk membalas pesan penting
dari teman, tiba-tiba saja ada beberapa rentetan
kalimat yang terdengar oleh telinga, tapi tertancap
sampai hati,

“Pegang hape terus! Berdoa juga belum,


wajar aja kamu gak lolos-lolos LIPIA, ya
emang karena kamu gak pantes di LIPIA,
liat aja dari kebiasaan kamu gitu! Gak
bakal sanggup kamu di LIPIA!”

Tentang Sebuah Perjuangan | 25


Setelah itu suara itu menghilang. Saya sendiri
tak berani menatap siapa yang berbicara, rasanya
kepala hanya mampu merunduk. Tangisan memecah
tanpa suara. Berharap tidak ada yang mengetahui.
Tak mampu berkata apa-apa. Hanya bisa menangis
pada Allah, sambil berbisik untuk menguatkan diri,

“Iya tau nida bodoh. Bukan berarti nida ga


bisa nyoba terus kan, kamu kuat nida! Senyuuum.”
Mengarahkan dua tangan menuju pipi, berusaha
melukis senyum. Tapi terjadi malah tangisan menjadi
semakin jadi. Beruntungnya sudah tidak ada siapa-
siapa lagi di sekitar saya saat itu. Jadi, cukuplah
Allah menjadi saksi.

Bukan hanya itu, masih ada banyak celaan


lain yang rasanya mau mengakhirkan hidup saja.
Kalau tidak percaya, tanya Ibu saja hehe. Semakin
celaan datang, semakin saya tersadar bahwa untuk
manusia sehina ini memang sangat pantas dicela.

26 | Nidaussalwa Assa’adah
Teringat juga tentang hadist yang berbicara mengenai
perkara ini;

‫ْي اللَّ ِه ِح َجاب‬ ِ ِ ِ


َ ‫َواتَّق َد ْع َوَة الْ َمظْلُوم فَإنَّهُ لَْي‬
َ ْ َ‫س بَْي نَ َها َوب‬

“Takutlah kamu terhadap doa orang yang


terzhalimi, karena tidak ada penghalang antara dia
dan Allah.” (HR. Bukhari)

Bukankah ketika kita dicela, kita diberi satu


kesempatan emas untuk berdoa sebanyak-banyaknya
pada-Nya ? Alangkah baiknya jika kita menggunakan
kesempatan emas itu dengan bijak. Berdoa sebanyak-
banyaknya untuk kebaikan diri kita atau bahkan
untuk orang yang mencela tersebut.

Mulai dari situlah, setiap ada perkataan atau


perbuatan yang menggores luka di hati atau bahkan
sampai membuat air mata tak sanggup lagi
dibendung; selalu saya selipkan doa, “Ya Allah
ridhoi saya untuk masuk LIPIA”.

Tentang Sebuah Perjuangan | 27


Perihal menangis karena dicela itu sangat
wajar teman. Tapi salah juga jika kamu terlarut untuk
itu. Jadikan celaan itu sebagai cambukkan bagi diri
untuk terus selalu memperbaiki kualitas diri. Dan
yakinlah bahwa selalu Allah sisipkan kebaikan
dibalik celaan yang kamu terima. Air mata yang lahir
dari mata kita; entah mengandung unsur kesedihan
atau kebahagian, itu menandakan bahwa hati kita
masih “hidup”.

Perihal celaan yang menggores luka, jadikan


ia pelajaran berharga. Bahwa mustahil bagi kita bisa
mengatur lisan orang lain agar bisa diterima oleh hati
kita. Tapi kita bisa mengatur lisan kita terhadap hati
orang lain. Biarkan mereka mencela. Kita jangan.

Ibu dengan segala super power yang


dimilikinya mampu menguatkan hati ini yang sedikit
demi sedikit merapuh, Masyaallah. Juga doa-doa
yang lahir dari lisan tulusnya, mampu
membangkitkan semangat yang nyaris punah ini.
Awalnya ragu untuk mengikuti test LIPIA lagi untuk

28 | Nidaussalwa Assa’adah
ke-sekian kalinya karena faktor usia yang semakin
menua. “Yang namanya belajar, gak pantang usia,
gak boleh malu, toh selama ini kamu juga selalu jadi
yang paling tua di kelas, nyatanya gak papa kan? Gak
keliatan bedanya. Lagipula, LIPIA gak melarang
kamu untuk menikah sambil kuliah”, batin saya
untuk menguatkan diri.

Di penghujung bulan November 2017, kalau


tidak salah, saya masih menunggu LIPIA buka
pendaftaran lagi. Padahal sudah tahu kalau untuk
I’dad semester ini tidak buka. Tapi kalau Allah bilang
akan buka lagi, siapa bisa mengelak ? Hanya mampu
berhusnudzon pada-Nya sajalah yang bisa saya
lakukan.

Hari-hari saya masih berjalan seperti biasa.


Menjalani perkuliahan di Dzinnurain dengan bahagia.
Sampai akhirnya, satu hari di pagi yang masih sunyi,
salah satu teman kelas tiba-tiba menyodorkan poster
berisikan informasi tentang dibukanya pendaftaran
untuk test LIPIA, bukan untuk test I’dad tentunya.

Tentang Sebuah Perjuangan | 29


“Kak? Lipia buka jurusan lugoh nih, daftar
yuk”.

Tanpa pikir panjang, saya hanya


membalasnya, “Wah, nyoba ah, kayaknya seru”.

Tiba-tiba teman yang lain menyahut, “Kaka


ikut yang Syari’ah aja.” Ah saya sudah ciut lebih
dulu mendengar kata syariah.

“Aku gak berani kalau Syari’ah, hehe.” Saya


membalas sarannya.

Sepulang kuliah, tibalah saya di rumah, lalu


pada malam harinya; dengan memberanikan diri dan
mengumpulkan segala energi positif yang ada,
bermodalkan bismillah saya mulai mengisi form
untuk test berkas masuk Lugoh.

Kali ini saya menyembunyikannya dari


khalayak ramai, kecuali Ibu. Untuk meminta segala
doa dan restunya. Saya terlalu malu kalau nanti gagal
lagi. Setidaknya kalau saya gagal, yang malu dan
sedih hanya diri saya sendiri. Malam itu seperti tak

30 | Nidaussalwa Assa’adah
ada kendala dalam mengurusi berkas-berkas. Allah
mengizinkan saya mengisi form dengan lancar, saya
mendapat roqm tasjil dengan nomor urut ke 83.
Malam itu rasanya begitu syahdu.

Ketika paginya, saya kembali menjalani


rutinitas seperti biasa. Hari itu sedikit
mencengangkan, karena tiba-tiba salah satu teman
bilang kalau test lugoh kala itu hanya untuk tholib
saja. Seperti disayat pisau rasanya hati ini. “Kok bisa
kamu seteledor ini Nida.” batin saya yang seakan
menyalahkan diri sendiri.

“Mungkin benar, sepertinya memang LIPIA


bukan rejeki saya, gak apa, Allah mau kamu tuntasin
dulu di Dzin nya.”

Lagi-lagi saya hanya berusaha menenangkan


diri di tengah-tengah kelebatan pikiran, “Saya harus
kuliah S1 dimana?”

Setelah mendapat kabar bahwa tes hanya


untuk tholib saja, langsung saja saya berkirim pesan

Tentang Sebuah Perjuangan | 31


ke Ibu untuk memberi kabar duka. Saya
mengirimkan gambar screenshoot sebagai bukti
bahwa tesnya untuk ikhwan saja, “Itu udah ada
tulisannya tapi Nida gak engeh, ya udah gapapa
belum waktunya berarti”, saya menulis seperti itu
juga untuk menguatkan diri. Tapi Ibu hanya
membalas dengan emoticon tertawa.

Lemas sekali. Mungkin benar, saya tak pantas


di LIPIA. Sebenarnya, saya juga sedikit bingung,
kalau memang benar diperuntukkan untuk ikhwan
saja, kenapa di form ada pilihan “Laki-laki/
perempuan”. “Ah sudahlah, mungkin memang benar
LIPIA bukan jodoh saya. Tak apa, semoga aja jodoh
saya nanti dari LIPIA, hehehehehehe.” Batin saya
yang mencoba untuk menghibur diri.

Keesokan harinya, Ustazah Nahwu masuk ke


dalam kelas. Tiba-tiba beliau menyinggung soal
pembukaan pendaftaran tes Lugoh, menanyakan apa
di kelas ada yang daftar atau tidak. Dan Masyaallah,
beliau menginfokan ternyata bahwa LIPIA membuka

32 | Nidaussalwa Assa’adah
pendaftaran untuk ikhwan dan akhwat, bukan khusus
ikhwan saja. Saat itu rasa syukur saya menyeruak.
Sangat bahagia.

Selang beberapa hari munculah pengumuman


nama-nama yang berhak mengikuti test tulis.
Masyaallah tsumma Alhamdulillah, nama saya ada di
barisan nama-nama yang berhak ikut test tulis.

Mulailah saya mempersiapkannya bersama


teman-teman sekelas yang juga mengikuti test. Kami
bingung apa yang harus dipelajari, karena tidak tahu
bagaimana nanti soal yang akan diujikan. Hanya
berbekal bank soal untuk test I’dad dan talkhis
sederhana untuk masuk jurusan Syari’ah. Serta
beberapa talkhis untuk pelajaran Nahwu, Shorf, Adab
dan Balaghoh juga kami pelajari semampu kami.
Belajar semampunya. Meminta kesediaan dosen agar
mau membantu kami belajar.

Tibalah dimana hari dilaksanakannya tes tulis.


Saya yang sedikit berusaha menenangkan diri agar
tidak terlalu gugup mulai menyusuri koridor kelas,

Tentang Sebuah Perjuangan | 33


mencari ruangan tempat kami akan diuji. Sebelum
ujian dimulai saya berdoa,

“Ya Allah jika memang


LIPIA terbaik untuk
hamba, mudahkanlah. Jika
memang di LIPIA ini akan
menambah kedekatan
hamba dengan Engkau,
maka ridhoilah Ya Allah”.
Ketika lembaran soal sudah di depan mata,
saya membuka perlahan. Allahu Akbar! Soal macam
apa ini?! Saya menjawab tanpa melihat soal, karena
99% tak paham maksud dari soal tersebut. Dari 21
soal, yang saya bisa jawab dengan penuh kemantapan
hanya 1. Soal terakhir, berbentuk Insya’.
Bermodalkan bismillah, saya mulai mengukir kata,
berusaha menulis semurni mungkin. Dengan harapan

34 | Nidaussalwa Assa’adah
Allah ridho, dan saya diizinkan-Nya untuk bisa lolos
LIPIA.

Setelah selesai mengerjakan ujian, saya


berjalan sedikit lunglai menuju luar. Tapi tetap
berusaha mengukir senyum di hadapan teman yang
lain. “Sudah ya lupakan, ujiannya sudah lewat,
saatnya berdoa”, batin saya menguati. Berusaha
melupakan kesulitan yang dialami saat mengerjakan
soal tadi. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah,
yang bisa saya lakukan hanyalah beristighfar.
Teringat satu kutipan indah dari Ibnul Qayyim;

“Bila engkau ingin berdoa, sementara waktu


yang kau miliki begitu sempit, padahal dadamu
dipenuhi oleh begitu banyak keinginan, maka jadikan
seluruh isi doamu istighfar, agar Allah
memaafkanmu. Karena bila Dia memaafkanmu,
maka semua keperluanmu akan dipenuhi-Nya tanpa
engkau memintanya,”

Ujian telah berlalu, kini saatnya menunggu


hasil. Memasrahkan seluruhnya pada Sang Kuasa.

Tentang Sebuah Perjuangan | 35


Selang beberapa hari, pengumuman untuk test lisan
sudah muncul. Saya membuka link hasilnya dengan
bismillah dan jantung yang berdegup tidak beraturan.

Allahu Akbar!
Nama saya tercantum!

Benar-benar kuasa Allah. Tes lisannya akan


berlangsung dua hari lagi, karena tak tahu apa yang
kira-kira akan ditanyakan, saya berusaha fokus pada
pendekatan kepada Ilahi melalui ibadah dan doa.

Sampai tibalah hari untuk test lisan dimulai.


Ketika nomor urut saya disebutkan, merindingnya
bukan main, berusaha menenangkan diri, agar tidak
gugup di hadapan penguji nanti. Tibalah saya pada
satu ruangan yang berisikan tiga orang penguji. Deg!
Benar-benar sulit mengontrol diri. Sekuat tenaga saya

36 | Nidaussalwa Assa’adah
menenangkan. Memperkenalkan diri dengan salam
dan senyum di awal.

Alhamdulillah saya diuji dengan penguji yang


ramahnya luar biasa. Satu persatu soal mulai
dilontarkan, jawaban saya tidak sepenuhnya benar,
tapi Allah memudahkan lisan ini untuk menjawab apa
yang ditanyakan dengan santai tanpa beban. Rasa
gugup itu sempat hadir. Akan tetapi , atas izinnya;
sang penguji beberapa kali tersenyum di sela-sela
percakapan. Bahkan sedikit tertawa jika mendapati
jawaban saya salah. Tapi momen itulah yang
membuat saya sedikit lebih tenang dan nyaman.

Selesailah sudah semua tahapan tes masuk


LIPIA. Sekarang sudah saatnya benar-benar
memasrahkan hasil pada Yang Maha Kuasa.

Sekitar sebulan kurang sedikit saya


menunggu. Kala itu hari Jumat, saya lupa persisnya
tanggal berapa. Hari itu pula saya sedang izin untuk
tidak hadir di kampus, karena harus pergi menemani
orang tua menjenguk adik di pondok. Sesampainya di

Tentang Sebuah Perjuangan | 37


pondok, sudah hampir waktu Dzuhur. Ayah
melaksanakan sholat Jum’at di Masjid, lalu saya dan
Ibu menunggu di luar. Tiba-tiba munculah sebuah
pikiran untuk melihat akun facebook info LIPIA.
Masyaallah. Saya melihat berita paling atas di
beranda awal adalah pemberitahuan bahwa nama-
nama yang diterima sudah bisa diakses.

Saya membuka linknya perlahan. Men-scroll


dengan bismilah. Dan… Masyaallaaah!! Terharu luar
biasa. Nama saya ada di urutan ke 8. Dengan spontan
saya berteriak ,

“Ibu, alhamdulillah
Nida lolos!”
Sempat beberapa kali saya lirik kembali,
untuk memastikan bahwa saya tidak salah melihat.
Tak lupa menyempatkan sujud sebagai rasa syukur.
Saya menangis sambil memeluk Ibu. Ibu yang sedang

38 | Nidaussalwa Assa’adah
berbincang dengan Bude yang saat itu juga sedang
ada disitu, menyunggingkan senyuman, “sudah
berapa lama ya kamu nunggu, Alhamdulillah”.

Setelah itu, ada beberapa pesan masuk,


berisikan kata “Baarakallah ya Nida”. Dengan tubuh
yang masih bergetar dan air mata yang belum
mengering, berusaha saya menjawab satu persatu
pesan yang masuk. Saya benar-benar bahagia dan
sangat bersyukur.

*****

Satu hal yang ingin selalu saya ingatkan untuk


diri ini dan mungkin bisa juga bermanfaat untuk yang
lainnya adalah bahwa perjuangan untuk masuk LIPIA
memang berat. Bersaing dengan ribuan manusia
hebat. Bahkan dirimupun tanpa kau sadari termasuk
hebat juga. Jika seandainya kamu mendapati kamu
gagal, bukan berarti kamu bodoh. Pun jika kamu
berhasil lolos bukan karena kamu pintar. Bukan pula
karena usahamu yang mati-matian untuk ini. Tapi
semuanya karena Allah. Karena rahmat dan

Tentang Sebuah Perjuangan | 39


taufikNya lah yang membuat kita bisa berhasil lolos.
Dan dari doa-doa baik yang lahir dari banyak lisan.

Lagipula kegagalan bukanlah sebuah aib.


Tapi ia adalah bagian dari proses menuju kesuksesan.
Bahkan termasuk dalam tahapan penting menuju
kesuksesan. Bagaimana rasanya sukses jika kita tidak
pernah merasakan gagal terlebih dahulu ?

Yang akan menjadi sebuah aib adalah jika


setelah gagal kamu tidak memiliki keberanian untuk
kembali bangkit. Atau bahkan bahayanya lagi kamu
tidak memiliki keberanian untuk mencoba. Jika sudah
seperti itu namanya kamu menutup dirimu dari
perkembangan. Membiarkan dirimu terombang-
ambing oleh sekitar yang normalnya adalah selalu
berkembang. Bisa jadi kamu akan berjalan di muka
bumi dengan ‘tidak normal’.

Pernah melihat anak bayi yang belajar untuk


berdiri pertama kali ? Mari kita belajar dari anak bayi
tersebut. Sangat tertatih-tatih, tapi sang bayi pantang
untuk menyerah, jatuh berkali-kali sampai akhirnya

40 | Nidaussalwa Assa’adah
ia mampu untuk berlari. Coba bayangkan, jika sang
bayi menolak untuk belajar berdiri, jatuh sekali lalu
selanjutnya tak berani mencoba lagi, kira-kira apa
yang akan terjadi? Perkembangannya secara otomatis
akan melambat dari bayi lainnya yang seusia
dengannya.

Setelah Allah izinkan kamu berhasil lolos


masuk LIPIA, kamu akan merasakan bahwa bertahan
di LIPIA sampai di wisuda itu lebih berat
pengorbanannya. Membutuhkan perjuangan yang
tidak bisa dibilang sederhana. Hati juga akan selalu
diuji perihal kemurnian niatnya. Apalagi untuk
seorang yang tidak melalui proses I’dad dan Takmily,
jelas harus berkorban lebih ekstra lagi.

Ada salah satu senior yang membuat saya


termotivasi oleh hidupnya. Sesekali pernah saya
tanyakan padanya bagaimana caranya menghadapi
masa futur. Jawabannya sangat sederhana; “selalu
perbaiki niat, perbanyak melakukan amalan dan
berdoa, dan banyak-banyak bantu orang lain.”

Tentang Sebuah Perjuangan | 41


Yang menjadi catatan penting untuk kita
adalah jangan mudah menjadi takabbur atas suatu
nikmat yang Allah beri. Dalam LIPIA sendiri, bukan
berarti anak Syari’ah lebih baik dari anak dari Qism
selainnya, begitupun anak I’dad bukan berarti lebih
buruk dari semua Qism karena masih baru masuk
katanya. Saya pikir tidak ada yang lebih baik atau
buruk disini. Hanya saja yang yang mustawanya
lebih tinggi berarti sudah lebih dulu berpengalaman
dari mustawa yang dibawahnya. Itu saja.

Pernah suatu waktu saya berbincang dengan


teman yang dia sendiri bukan termasuk anak LIPIA.
Dia adalah seorang mahasiswi dari Perguruan Tinggi
Negeri. Kami bertukar kisah tentang kampus kami
masing-masing. Ya Allah, beberapa kali saya merasa
seakan di tampar. Kehidupan anak kuliah umum
begitu menyesakkan. Dari mulai muqorror yang
tidak disediakan sama sekali oleh pihak kampus.
Wajib mencari mandiri dan tak jarang harganya
nyaris jutaan. Dan itu bisa saja terjadi setiap

42 | Nidaussalwa Assa’adah
semester. Ditambah mereka dibebani biaya kuliah
per-semesternya. Mata kuliah yang tidak jelas
bagaimana pengaturannya. Tugas yang banyak.
Bahkan dosen yang masuknya terkadang suka-suka.
Belum lagi perjuangan dia yang harus pulang-pergi
dengan berdesakan dalam KRL. Adakah alasan lagi
bagi kita yang kuliah di LIPIA untuk tidak
bersyukur? tidak dibebani biaya kuliah, muqorror
tersedia, bahkan mendapat uang saku, penjadwalan
mata kuliah yang sudah tersusun rapi, dosen yang
telaten, bisa dibilang jarang sekali tidak hadir,
ditambah para dosen selalu melontarkan doa-doa baik
untuk kami para mahasiswa-mahasiswinya.

Rasanya sedikit tak pantas jika kita mengeluh


jika dosen satu mata kuliah tertentu memberi tugas
yang sedikit terbilang menyita waktu. Apalagi jika
keluhan kita terdengar langsung oleh dosen tersebut;
saya benar-benar tak sanggup memikirkan bagaimana
perasaannya. Saya rasa para dosen itu mencintai kita,
berharap kita bisa membantu mensyiarkan agama-

Tentang Sebuah Perjuangan | 43


Nya. Sudah sepatutnya kita menjaga adab di hadapan
mereka. Pemahaman yang kita kuasai tidaklah berarti
jika dalam diri kita tidak tertancap adab seorang
penuntut ilmu yang sejati. Jikalau tugas-tugas yang
diberikan para dosen itu membuat kita merasa
terbebani, ingat-ingat lagi; apa tujuan kita belajar di
Ma’had ini? lalu kebaikan-kebaikan apa saja yang
sudah Allah hadirkan lewat LIPIA ini? Berapa
banyak manusia lain yang menginginkan bisa duduk
di bangku yang kita duduki saat ini ?

Bersabarlah teman. Dalam kehidupan ini,


termasuk proses belajar, kita akan dituntut untuk
terus bersabar. Sesungguhnya sabar itu sebentar.
Hanya sampai ajal datang. Siapa bisa menjamin 5
menit kedepan masih bisa menikmati dunia ini?

*****

Saya yang pernah gagal di awal ini sebentar


lagi insyaallah akan memasuki Mustawa Robi’.
Sudah mulai penulisan Bahts. Mohon doa dari teman-

44 | Nidaussalwa Assa’adah
teman agar kami -terutama saya- diberikanNya
kemudahan selalu.

Sedikit gambaran yang kami pelajari di qism


lugoh ini adalah; berbagai Mahaaroot (Iistima’,
Kalaam, Qiroah, Kitabah), Nahwu & Shorof kami
lebih daqiiq daripada Qism Syari’ah, wajib
menghafal beberapa syi’ir, khutbah, qishoh dan lain-
lain beserta tahlilnya, balaghoh serta tarikh para
udaba’nya, belajar juga tentang pendalaman lugoh,
seperti ilmu lugoh, fiqh lugoh, ilmu ‘urudh dan lain-
lain yang masih belum diketahui karena adanya
penambahan mata kuliah di setiap mustawanya.

Barangkali setelah membaca ini ada yang


berminat untuk ikut berpetualang bersama kami di
qism lugoh ini. Tenang saja; peminatnya memang
belum sebanyak peminat Syari’ah. Tapi saya yakin,
kalian akan menemukan sesuatu yang berbeda dalam
qism ini hehehe.

*****

Tentang Sebuah Perjuangan | 45


Tentang kesulitan yang kita temui; yakinkan
dalam diri bahwa sesulit apapun permasalahan, kita
harus terus selalu berprasangka baik pada Allah.
Karena Dia sesuai prasangka hambaNya, dan Allah
juga berfirman:

“Allah tidak membebani seseorang kecuali


yang sesuai dengan kemampuannya. Baginya
ganjaran untuk apa yang diusahakannya, dan ia akan
mendapat siksaan untuk apa yang diusahakannya.

Dan mereka berkata, Ya Tuhan kami,


janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa
atau kami berbuat salah.

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau


membebani kami tanggung jawab seperti telah
Engkau telah bebankan atas orang-orang sebelum
kami.

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau


membebani kami apa yang kami tidak kuat
menanggungnya; dan maafkanlah kami, dan

46 | Nidaussalwa Assa’adah
ampunilah kami serta kasihanilah kami, karena
Engkau-lah Pelindung kami. Maka tolonglah kami
terhadap kaum kafirin.”

Dia Maha Tahu kondisi setiap hambaNya.


Mustahil Ia hadirkan masalah tanpa diselipkan solusi
untuk menyelesaikannya.

Jadi, semangat terus ya wahai kamu. Jangan


pernah berhenti untuk terus memperbaiki kualitas
diri yang semata-mata hanya mengharap ridho Ilahi.

Jika dirasa lelah, beristirahatlah sejenak untuk


melanjutkan perjalanan kembali. Ada yang semakin
menua dan harus kau bahagiakan.

Maafkanlah setiap hinaan yang lahir dari


setiap lisan yang dengki. Jadikan guru setiap
pengalaman yang terlewati. Bijaklah dalam
mengambil ibroh dari setiap masalah yang terjadi.

Jangan terlena pada lisan yang memuji,


karena yang pantas dipuji hanyalah Ilahi. Jadikan
sabar dan syukur sebagai pondasi diri. Perkuat akidah

Tentang Sebuah Perjuangan | 47


Saya untuk menjadi tameng dari segala fitnah akhir
zaman ini. Jangan remehkan sekecil apapun
kebaikan. Dan selalu jadikan akhirat sebagai tujuan
hidup ini. Allah lebih dekat dari urat nadimu sendiri.
Dan Dia mencintaimu lebih dari segalanya yang ada
di muka bumi.

Salam Perjuangan!

48 | Nidaussalwa Assa’adah
Tentang Sebuah Perjuangan | 49

Anda mungkin juga menyukai