Anda di halaman 1dari 62

 

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK JAMU SERBUK TERONG


TELUNJUK TERHADAP EFEK ANTIFERTILITAS PADA MENCIT
(MUS MUSCULUS) JANTAN SEBAGAI OBAT KONTRASEPSI
ALTERNATIF

SKRIPSI

EDYANTO

070802012

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
 
 

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK JAMU SERBUK TERONG


TELUNJUK TERHADAP EFEK ANTIFERTILITAS PADA MENCIT
(MUS MUSCULUS) JANTAN SEBAGAI OBAT KONTRASEPSI
ALTERNATIF

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Sains

EDYANTO

070802012

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013

 

PERSETUJUAN
Judul : PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK JAMU SERBUK
TERONG TELUNJUK TERHADAP EFEK
ANTIFERTILITAS PADA MENCIT (MUS MUSCULUS)
JANTAN SEBAGAI OBAT KONTRASEPSI
ALTERNATIF
Kategori : SKRIPSI
NAMA : EDYANTO
Nomor Induk Siswa : 070802012
Program Studi : SARJANA (S1) KIMIA
Departemen : KIMIA
Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Disetujui di,
Medan, Januari 2014

Komisi Pembimbing :
Pembimbing II, Pembimbing I,

Karten Tarigan, SP DR. Ribu Surbakti, MS


NIP : 195608281979021001 NIP : 194507061980031001

Diketahui / Disetujui oleh


Departemen Kimia FMIPA USU
Ketua,

Dr. Rumondang Bulan, MS


NIP : 195408301985032001
ii 
 

PERNYATAAN

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK JAMU SERBUK TERONG TELUNJUK


TERHADAP EFEK ANTIFERTILITAS PADA MENCIT (MUS MUSCULUS)
JANTAN SEBAGAI OBAT KONTRASEPSI ALTERNATIF

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa
kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Januari 2014

EDYANTO
070802012

 
iii 
 

PENGHARGAAN

Puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga Skripsi ini dapat diselesaikan. Dalam hal ini ucapan
terima kasih dan penghargaan saya sampaikan kepada :
1. Kedua orang tua, Ayahanda Tio Min Tong dan Ibunda Sin Kim yang dengan
cinta dan kasihnya selalu memberikan motivasi yang tinggi terhadap anaknya
dan yang selalu mendoakan anaknya agar menjadi manusia berguna bagi bangsa
dan agama serta bermanfaat bagi orang lain
2. Saudara, Chandra, dan kedua kakak, Suwarna, S.Kom dan Suwarni yang selalu
memberikan semangat dan bantuan moril dan materil sehingga penulisan Skripsi
ini dapat disiapkan
3. Pasangan saya Dehsi beserta keluarga yang senantiasa mendukung saya dalam
menyelesaikan kuliah saya
4. Bapak Dr. Ribu Surbakti, MS beserta Bapak Karten Tarigan, SP, sebagai dosen
pembimbing yang selalu memberikan semangat dan motivasi , arahan,
bimbingan dan pemikiran-pemikiran yang logis dan ilmiah sehingga Skripsi ini
dapat disiapkan.
5. Bapak Drs. Firman Sebayang, MS sebagai kepala Laboratorium Kimia Bahan
Makanan yang telah menyetujui saya untuk melangsungkan penelitian pada
laboratorium Kimia Bahan Makanan.
6. Bapak Dekan FMIPA USU beserta jajarannya yang telah memberikan
kesempatan kepada saya untuk menuntut ilmu dibangku perkuliahan hingga lulus.
7. Ketua Departemen Kimia FMIPA USU, Ibu Dr. Rumondang Bulan Nst, MS
beserta Bapak dan Ibu Dosen di Departemen Kimia FMIPA USU, yang
mengajarkan arti keikhlaksan dalam memberikan ilmu pengetahuan
8. Teman seperjuangan di Departemen Kimia FMIPA USU khususnya angkatan
2007 dan adik – adik di Laboratorium Biokimia / KBM FMIPA USU sehingga
skripsi ini dapat disiapkan. Terima kasih juga untuk Kak Fika, Kak Via dan Bang
Edi.
9. Abang, adik, dan rekan-rekan di KMB, khususnya Pengurus periode 2007-2009
yang telah mengajarkan arti kerjasama dan indahnya persaudaraan.
10. Semua pihak yang telah membantu, sehingga saya menjadi seorang sarjana kimia
FMIPA USU. Semoga Tuhan Yang Maha Esa akan membalasnya, Amiin.
Saya menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu diharapan
kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca sekalian agar Skripsi ini menjadi lebih
sempurna dan bermanfaat bagi yang membutuhkan.

 
iv 
 

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang pemberian jamu terung telunjuk terhadap


mencit jantan sehingga menimbulkan efek antifertilitas. Jamu yang diberikan diselidiki
kandungan bahan alamnya, dengan menggunakan skrining fitokimia. Hasil tersebut
menunjukkan reaksi positif pada pemberian pereaksi Skrining Fitokimia Alkaloid.
Pemberian jamu dilakukan secara oral terhadap mencit jantan yang berumur diatas 3
bulan, dengan 3 (tiga) variasi konsentrasi ektrak dalam aquadest. Pada plot 1 digunakan
larutan jamu 10 % b/v selama 14 hari terhadap mencit jantan, dengan tingkat kehamilan
mencit betina 33,33%. Pada plot 2 digunakan larutan jamu 20% b/v selama 14 hari
terhadap mencit jantan, dengan tingkat kehamilan mencit betina 0%. Pada plot 3
digunakan larutan jamu 30% b/v selama 14 hari terhadap mencit jantan, dengan tingkat
kehamilan mencit betina 0%. Setelah mencit jantan tidak diberi jamu terung telunjuk lagi,
mencit betina yang dibuahi ternyata hamil dan melahirkan.

 

 

EFFECT OF GIVING JAMU OF INDEX EGGPLANT(Solanum Sp.) POWDER


AS ANTI FERTILITY TO MALE WHITE MOUSE (Mus musculus) AS
ALTERNATIVE CONTRACEPTION MEDICINE

ABSTRACT

An investigation of the index eggplant crude jamu anti-fertility effects by giving


orally to male mice was done. Given jamu was checked its natural resources composition
by using Phytochemical Screening. Its result positive reaction with alkaloid tester reagent.
The jamu was given orally to at least 3-months old male mice in 3 (tiga) groups varies on
the concentration in distillated water. On control plot, uses 0% jamu (100% distillated
water) to male mice for 14 days, results 100% on mice pregnancy rate. On plot 1, uses 10%
b/v jamu to male mice for 14 days, results 33,33% on mice pregnancy rate. On plot 2,
uses 20% b/v jamu to male mice for 14 days, results 0% on mice pregnancy rate. On plot
3, uses 30% b/v jamu to male mice for 14 days, results 0% on mice pregnancy rate. After
the jamu were stopped giving to male mice, results the female mice got pregnant and had
mice baby.

 
vi 
 

DAFTAR ISI
Halaman
Persetujuan ........................................................................................................................... i
Pernyataan ........................................................................................................................... ii
Penghargaan ....................................................................................................................... iii
Abstrak ................................................................................................................................ v
Abstract .............................................................................................................................. vi
Daftar isi............................................................................................................................ vii
Daftar Tabel ........................................................................................................................ x
Daftar Gambar.................................................................................................................... xi
Daftar Lampiran ................................................................................................................ xii

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................... 1


1.1. Latar Belakang ........................................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ................................................................................................... 3
1.3. Pembatasan Masalah ................................................................................................. 3
1.4. Tujuan Penelitian ....................................................................................................... 3
1.5. Manfaat Penelitian ..................................................................................................... 3
1.6. Metodologi Penelitian ............................................................................................... 4
1.7. Lokasi Penelitian ....................................................................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 5
2.1. Morfologi Terung Telunjuk (Solanum Sp.) ............................................................... 5
2.2. Komposisi Kimia dan Manfaat Tanaman Terung Secara Umum .............................. 6
2.3. Ciri – Ciri dan Data Biologis Mencit (Mus musculus L.) ........................................... 7
2.4. Sistem Reproduksi Hewan Jantan Mamalia .............................................................. 10
2.5. Hormon Yang Diproduksi Oleh Hewan Jantan Mamalia.......................................... 10
2.6. Proses Spermatogenesis............................................................................................. 12
2.7 Proses Spermiogenesis .............................................................................................. 14
2.8 Mekanisme Kehamilan dan Proses Terjadinya Fusi Sel ........................................... 16
2.9 Tinjauan Tentang Kontrasepsi ................................................................................... 18
2.9.1 Kontrasepsi Bersifat Permanen ........................................................................ 18
2.9.2 Kontrasepsi Bersifat tidak Permanen ............................................................... 19
2.9.3 Jamu Sebagai Kontrasepsi ................................................................................ 21

 
vii 
 

2.9.4 Efek Jamu Sebagai Kontrasepsi ....................................................................... 25


2.9.5 Syarat Klinis Jamu Sebagai Kontrasepsi .......................................................... 26
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ........................................................................ 27
3.1. Alat ............................................................................................................................ 27
3.2 Bahan ........................................................................................................................ 27
3.3 Prosedur Penelitian ................................................................................................... 28
3.3.1. Pemilihan Mencit Uji Coba ............................................................................ 28
3.3.2. Penyiapan Kandang Mencti ............................................................................ 28
3.3.3. Pemeliharaan Mencit ....................................................................................... 28
3.3.4. Penyiapan Bubuk Terung Telunjuk ................................................................. 28
3.3.5. Pembuatan Larutan Pereaksi ........................................................................... 29
3.3.6. Uji Kualitatif Buah Terung Telunjuk ............................................................. 29
3.3.7. Uji Bubuk Terung Telunjuk terhadap Mencit (Mus musculus) ....................... 30
3.4. Bagan Penelitian ....................................................................................................... 30
3.4.1. Penyiapan Mencit ........................................................................................... 30
3.4.2. Penyiapan Serbuk Terung Telunjuk ............................................................... 31
3.4.3. Uji Kualitatif Serbuk Terung Telunjuk dengan Metode Skrining Fitokimia .. 31
3.4.4. Uji Serbuk Terung Telunjuk terhadap Mencit................................................. 32
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 33
4.1.Hasil Uji Skrining Fitokimia terhadap Buah Terung Telunjuk .................................. 33
4.2.Uji Ekstrak Alkaloid terhadap Mencit (Mus musculus) ............................................. 33
4.3.Perhitungan ................................................................................................................ 34
4.3.1 Perhitungan persentase (%) Tingkat Kehamilan Mencit Betina ..................... 34
4.3.2 Perhitungan Estimasi Dosis yang Bisa Dikonsumsi Manusia sebagai Obat
Konrasepsi ........................................................................................................ 35
4.4 Pembahsan ................................................................................................................. 36
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 38
5.1.Kesimpulan ................................................................................................................ 38
5.2.Saran .......................................................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 39
LAMPIRAN .................................................................................................................... 43

 
viii 
 

DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Data Biologis Mencit Di Laboratorium ......................................................... 8
Tabel 4.1 Hasil Uji Skrining Fitokimia Alkaloid ........................................................... 33
Tabel 4.2.Data Hasil Kehamilan Mencit Betina Setelah Digabungkan Dengan Mencit
Jantan ............................................................................................................. 34

 
ix 
 

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Buah Terung Telunjuk ................................................................................. 6
Gambar 2.2 Solasodin Yang Terdapat Pada Buah Terung .............................................. 7
Gambar 2.3 Sistem Reproduksi Hewan Jantan Mamalia ................................................. 10
Gambar 2.4 Hormon Tetosteron ...................................................................................... 12
Gambar 2.5 Proses Spermatogenesis ............................................................................... 14
Gambar 2.6 Proses Spermiogenesis ................................................................................. 15
Gambar 2.7 Tampilan Bagian sel Ovum dan Tahampan Fusi Sel Sperma dan Sel
Ovum ............................................................................................................. 16
Gambar 2.8 Kontrasepsi Dengan Cara Tubektomi Pada Wanita ..................................... 19
Gambar 2.9 Alat Kontrasepsi Pria (Tubektomi = Pemotongan Saluran Tuba) ............... 19

 

 

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Grafik Jumlah Kehamilan Mencit ................................................................ 43
Lampiran 2 Gambar Terung Telunjuk Kering ................................................................. 43
Lampiran 3 Gambar Jamu Terung Telunjuk dan Gavage yang berisi Jamu Terung
Telunjuk (Perlakuan I) .................................................................................. 44
Lampiran 4 Gambar Jamu Terung Telunjuk setelah Metode Penelitian
dimodifikasi(Perlakuan II) ............................................................................ 44
Lampiran 5 Gambar Kandang Pemeliharaan Mencit ....................................................... 45
Lampiran 6 Gambar Mencit yang Hamil ......................................................................... 45
Lampiran 7 Gambar Mencit yang Melahirkan beserta Anaknya ..................................... 46

 

 

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia, sebagai salah satu negera yang sedang berkembang saat ini menghadapi
masalah yang cukup serius. Salah satunya adalah masalah kepadatan penduduknya. Sejak
tahun 2000, peningkatan jumlah penduduk Indonesia cukup tinggi yaitu 1,49 %.
Tepatnya pada tahun 2011, penduduk Indonesia mencapai angka 241 juta lebih penduduk.
Menurut Badan Pusat Statistik (2007), tingginya tingkat kepadatan penduduk sangat
berpengaruh pada kualitas kehidupan dan tingkat kesejahteraan penduduk. Alasan inilah
yang menjadi pertimbangan pemerintah untuk mengambil langkah – langkah menekan
angka jumlah penduduk, diantaranya dengan mencanangkan progam Keluarga Berencana
(KB) menjadi progam nasional.

Progam Keluarga Berencana (KB) pada hakikatnya harus diikuti segenap


masyarakat baik, wanita, pria, maupun anak – anak. Akan tetapi di Indonesia sendiri,
kebanyakan alat kontrasepsi ditujukan kepada kaum perempuan saja. Sedangkan untuk
pria, perkembangan kontrasepsi jauh ketinggalan dibandingkan dengan kontrasepsi kaum
wanita. (Muryati et al, 2006)

Pria menjadi fokus baru dalam dunia kontrasepsi yang masih belum banyak
mendapat perhatian. Kontrasepsi bagi pria membuka harapan yang cukup luas untuk
perkembangannya dimasa depan.

Dengan ditemukannya banyak penelitian terbaru. World Health Organization


(WHO) sebagai Badan Kesehatan Dunia telah membuka Task Force untuk mencari dan
mengembangkan pengaturan kesuburan Pria.

 

 

Akibat adanya efek samping seperti ketidaknyamanan pada pasangan yang


diberikan oleh pemakaian alat kontrasepsi kondom, gangguan pada immunoglobulin
yang disebabkan oleh vasektomi (sterilisasi), mengakibatkan alat – alat kontrasepsi yang
disebutkan diatas kurang dapat diterima

Beberapa alat kontrasepsi laki-laki belum bisa diterima oleh masyarakat, karena
memberikan efek samping yang tidak dapat diabaikan (penyuntikan hormon), kelemahan
alat kontrasepsi kondom memberikan ketidaknyamanan pada pasangan, vasektomi
(sterilisasi) menyebabkan terjadinya gangguan pada immunoglobulin (Rusmiati, 2007).
Menurut penelitian S. Yolanda, Z. Edward, W. Nasution (2011) menurunkan 18,5%
kadar tetosteron berhasil diturunkan 18,5% pada mencit dengan pemberian solasodin dari
tanaman Solanum khasianum Clark secara oral dengan menggunakan gavage. Dengan
metode yang sama Ely Suryani H., R. Surbakti, T. Barus (2011), dengan menggunakan
buah terung belanda hasil sambung pucuk dengan tanaman lancing, didapatkan hasil
bahwa dengan pemberian ekstrak solasodin selama 30 hari, dengan konsentrasi 10% g/ml
sudah sangat efetif menekan angka kehamilan mencit betina hingga 100%.
Pada penelitian E. Lubis, R. Surbakti, H. Ridwanto (2013) dengan menggunakan
steroid dari ekstrak tengkua 3% pada mencit betina mampu memberikan efek
antifertilitas yang nyata hingga 0%. Selanjutnya pada penelitian M. Alfian, R. Surbakti
(2012), 5% ekstrak terung ungu mampu memandulkan mencit jantan hingga 0%
kehamilan mencit betina. Berikutnya dengan metode yang sama Erik Krisdayah, R.
Surbakti (2012) menggunakan 5% ekstrak solasodin dari tanaman lancing, memberikan
efek yang nyata dalam menekan angka kehamilan mencit betina hingga 0%.
Namun, dalam hal faktor ekonomisnya dan efesiennya terasa sangat sulit
diaplikasikan sebagai kontrasepsi untuk manusia. Karena kadar solasodin yang
terkandung dalam tanaman terung-terungan dibawah 5 % saja. Dan untuk
mendapatkannya memerlukan tahapan yang sangat rumit. Terang saja, hal ini akan
membuat manusia enggan untuk berpindah ke bahan kontrasepsi alternatif ini.
Maka dari itu peneliti mencoba mengangkat konsep obat herbal atau jamu yang
sudah familiar manusia terutama orang Indonesia. Dengan menggunakan tanaman
Terung telunjuk, dan menyederhanakan metode penelitiannya. Sehingga diharapkan

 

 

menjadi solusi alternatif kontrasepsi yang dapat dengan mudah diterima dengan tangan
terbuka oleh manusia.
1.2 Perumusan Masalah
1. Apakah dengan pemberian ekstrak kasar terung telunjuk yang diberikan kepada mencit
jantan dapat menurunkan / menekan tingkat kehamilan mencit betina.
2. Apakah tanaman terung telunjuk dapat dijadikan obat kontrasepsi untuk mencit jantan
dalam bentuk bubuk tanpa harus terlebih dahulu melalui perlakuan.

1.3 Pembatasan Masalah


Objek Masalah dalam penelitian ini dibatasi sebagai berikut :
1. Varietas tanaman yang digunakan adalah tanaman terung telunjuk yang diperoleh dari
pasar Sambas Medan.
2. Mencit yang digunakan adalah Mencit berumur kira – kira 3 bulan hasil biakan
Laboratorium Hewan Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
USU
3. Suhu dan Kelembaban dari kandang disesuaikan dengan kondisi lapangan.
4. Memperhitungkan waktu untuk mempertemukan mencit betina dan jantan.

1.4 Tujuan Penelitian


Penelitian ini Bertujuan :
1. Untuk memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat bahwa tanaman terung telunjuk
dapat menjadi alternatif kontrasepsi bagi kaum pria dengan dosis yang sesuai.
2. Untuk memberikan informasi kepada pemerintah bahwa dengan penggunaan tanaman
terung dapat membantu mensukseskan progam Keluarga Berencana.
3. Untuk membuktikan bahwa solasodin merupakan obat kontrasepsi yang sifatnya
sementara.

1.5 Manfaat Penelitian


Dengan didapatnya hasil penelitian ini, diharapkan dapat :
1. Dengan adanya pembahasan secara ilmiah di penelitian ini diharapkan muncul pionir dari
pembaca dan masyarakat yang kreatif dengan mencoba tanaman dari keluarga terung-
terungan lainnya sebagai obat kontrasepsi alami
2. Diharapkan dapat dipublikasikan di Jurnal Nasional maupun Internasional

 

 

3. Menciptakan peluang kontrasepsi yang lebih Go Geen dan nyaman.

1.6 Metodologi Penelitian


Penelitian ini dilakukan secara eksperimen laboratorium yang dilakukan dengan beberapa
tahapan sebagai berikut :
1. Pemeliharaan Mencit untuk beradaptasi
2. Pengeringan irisan terung telunjuk
3. Penghalusan irisan terung telunjuk sebagai bahan pembuat serbuk
4. Pemberian bubuk terung telunjuk secara oral

1.7 Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Bahan Makanan Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara

 

 

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morfologi Terung Telunjuk (Solanum Sp.)


Terung Telunjuk (Solanum sp.) ini merupakan sejenis terung yang sering ditanam untuk
dimakan sebagai lalap dengan sambal belacan. Terung telunjuk juga sering dimakan
sebagai obat. Di Indonesia sendiri, terung telunjuk sering dimasak sebagai sambal Tauco
atau sambal Balado.
Tanaman terung telunjuk ini sangat mudah untuk ditanam dan memiliki ketahanan
yang tinggi terhadap penyakit akar dan dapat berbuah sepanjang masa. (Wikipedia.org ,
diunduh dan diterjemahkan pada tanggal 13 Juli 2012)
Terung telunjuk (Solanum sp.) berasal dari famili Solanaceae yang merupakan
kumpulan terung yang asli (primitif). Terung telunjuk berbentuk lonjong, hijau dengan
jalur putih di bagian bawah, dengan ukuran diameter 2 sampai 3 cm, dengan panjang 8
hingga 10 cm. Terung ini awalnya ditemukan di India dan seterusnya menyebar ke seluruh
kawasan tropis. Tidak banyak yang menyukai terung ini karena rasanya agak sedikit pahit.
Namun jika dilihat dari sudut khasiatnya, pasti banyak yang tertegun. Terung telunjuk
kaya dengan karbohidrat, protein, vitamin C, serat, kalsium dan beta karoten yang baik
untuk mata. Selain dimakan sebagai lalap, terung telunjuk juga dapat dijadikan sebagai
obat. Keseluruhan tanaman dari buah, daun hingga ke akar pokok bisa digunakan untuk
mengobati beberapa jenis penyakit, antaranya ialah asma, sakit gigi, bengkak gusi dan
melegakan batuk. (Utusan.com.my, diunduh dari 15 Juli 2012)

 

 

Gambar 2.1. Buah Terung Telunjuk(Wikipedia)


Menurut Wikipedia, terung telunjuk berada dalam klasifikasi genus yang sama dengan
dengan Terung ungu yang mempunyai sistematika tanaman sebagai berikut :
 Kingdom : Plantae
 Divisi : Spermatophyta ( tumbuhan berbiji )
 Sub Divisi : Angiospermae ( tumbuhan berbiji tertutup )
 Kelas : Dicotyledonae ( tumbuhan berkeping dua )
 Ordo : Solanales
 Famili : Solanaceae
 Genus : Solanum
 Species : Solanum sp.
(Wikipedia, diunduh tanggal 13 Juli 2012)

2.2 Komposisi Kimia dan Manfaat Tanaman Terung Secara Umum


Kandungan khasiat terung agak sederhana. Dalam tiap 100 gram (g) bahagian yang
boleh dimakan mengandungi: air 91.2 g, protein 1.7 g, lemak 0.1 g, karbohidrat 5.6 g,
serat 1.0 g, kalsium 25 miligam (mg), fosforus 20 mg, ferum 0.6 mg, karotena 90 ug,
vitamin A 15 ug, vitamin B1 0.07 mg, vitamin B2 0.05 mg, niasin 0.7 mg dan vitamin C
18.4 mg. (Wikipedia.org , diunduh dan diterjemahkan pada tanggal 13 Juli 2012)
Penelitian menunjukkan bahwa dalam buah terung terdapat bahan kontrasepsi
alami, terutama dalam jenis Solanum khasianum, dan Solanum gandiflorum mengandung
senyawa alkaloid berupa Solasodin dalam jumlah yang tinggi, yaitu antara 2,0 %
hingga 3,5 %. Senyawa tersebut merupakan bahan baku untuk kontrasepsi oral untuk
progam keluarga berencana.( Sunarjono, 2004 )

 

 

Gambar 2.2. Solasodin yang terdapat pada buah terung


(http://lipidbank.jp/, diakses tanggal 18 Desember 2012 )
Alkaloid steroid solasodin bersifat kompetitif terhadap reseptor Folicle Stimulating
Hormone (FSH) sehingga pelepasan FSH dari hipofisis akan terganggu.(Soehadi dan
Santa, 1992) FSH berperan sebagai mediator untuk mengikat androgen dalam
spermatogenesis. Jika FSH terganggu maka spermatogenesis menjadi terhambat (Ghufron
dan Herwiyanti, 1995) dan menurunkan kualitas spermatozoa yang dihasilkan. Menurut
Kapsul(2011), kualitas spermatozoa yang dihasilkan akan menentukan fertiitas pria. Jika
kualitas spermatozoa menurun maka fertilitasnya juga akan menurun. Penurunan fertilitas
ini menunjang pemanfaatan terong telunjuk sebagai bahan antifertilitas, namun sangat
diharapkan agar penggunaan terong telunjuk ini tidak akan menurunkan produksi
tetosteron agar tidak menurunkan libido.

2.3 Ciri – Ciri dan Data Biologis Mencit (Mus Musculus L. )


Dalam penelitian ini, yang menjadi objek hewan penelitian adalah Mencit (Mus Musculus
L.). Mencit biasanya disebut dengan panggilan tikus putih, dan sering digunakan di
laboratorium. Mencit memiliki cirri – ciri : Mata berwarna merah, dengan kulit berpigmen,
dan berat badan bervariasi yang pada umumnya pada umur empat minggu berat badan
mencapai 18 - 20 gam. Mencit dewasa akan mempunyai berat sekitar 30 – 40 gam pada
umur enam bulan atau lebih. Sekarang ini mencit memiliki berbagai warna bulu yang
timbul dan berbagai macam galur (Smith, 1988).

 

 

Tabel 2.1 Data biologis mencit di laboratorium


Lama hidup 1-2 tahun, bisa sampai 3 tahun
Lama produksi ekonomis 9 bulan
Lama bunting 19-21 hari
Kawin sesudah beranak 1 sampai 24 jam
Umur disapih 21 hari
Umur dewasa 35 hari
Umur dikawinkan 8 minggu (jantan dan betina)
Berat dewasa 20-40 g jantan; 18-35 g betina
Jumlah anak Rata-rata 6, bisa 15
Suhu (rektal) 35-39oC (rata-rata 37,4oC)
140-180/menit, turun menjadi 80 dengan
Pernafasan
anestasi, naik sampai 230 dalam stress
600-650/menit, turun menjadi 350 dengan
Denyut jantung
anestesi, naik sampai 750 dalam stress
130-160 sistol; 102-110 diastol, turun
Tekanan darah menjadi 110 sistol, 80 diastol dengan
anestesi
Konsumsi oksigen 2,38-4,48 ml/g/jam
Volume darah 75-80 ml/kg
Sumber : Smith, 1988
Mencit membutuhkan makanan sekitar 3 – 5 gram perhari. Biasanya mencit
laboratorium diberi makan berupa pelet dalam jumlah tanpa batas (ad libitum). Komposisi
makanan yang baik bagi mencit adalah: protein, 20-25%; lemak, 10-12%; pati, 45-55%;
serat kasar, 4% atau kurang; dan abu, 5-6%. Selain itu makanan mencit harus berisi
vitamin A (15.000-20.000 IU/Kg); vitamin D (5000 IU/Kg); alfa-tokoferol (50 mg/Kg);
asam linoleat (5-10 g/Kg); tiamin (15-20mg/Kg); riboflavin (8 mg/Kg); pantotenat (20
mg/Kg); vitamin B12 (30 ug/Kg);biotin (80-200 ug/Kg); pirridoksin (5 mg/Kg); inositol
(10-1.000 mg/Kg); dan kolin (20 g/Kg). Setiap hari mencit dewasa membutuhkan minum
4-8 ml air. Air minum yang baik untuk mencit dapat ditambahkan obat supaya steril yaitu
klor dalam bentuk kloramin 5 mg/liter air, atau natrium hipoklorit, 5-10 ppm dalam air
(Smith, 1988).

 

 

Sistem reproduksi pada mencit betina terdiri atas: kelenjar betina (ovarium),
saluran reproduksi dan kelenjar assesori pada umur 10-12 minggu, mencit jantan maupun
betina sudah mencapai kematangan seksual. Periode aktivitas reproduksi berlangsung
sejak umur dewasa seksual yang mencapai sampai mencit berumur 14 bulan dan biasa
lebih lama lagi pada mencit jantan.
Seperti pada mamalia betina pada umumnya , mencit betina hanya akan
berkopulasi dengan mencit jantan selama fase estrus, yaitu ketika sel telurnya telah siap
untuk dibuahi. Kadang-kadang kopulasi dapat terjadi pada waktu antara 5 jam sebelum
ovulasi sampai 8 jam setelah ovulasi.
Fase estrus mencit dapat ditentukan dengan melihat ciri alat kelamin luarnya yaitu
vulva yang membengkak dan berwarna kemerahan. Untuk lebih meyakinkan, fase estrus
dapat diketahui dengan membuat apusan vagina. Banyaknya sel-sel epitel menanduk pada
apusan vagina menunjukkan bahwa mencit berada pada fase estrus. Biasanya fase estrus
mencit dimulai pada tengah malam dan kopulasi alami terjadi sekitar pukul 02.00
menjelang pagi. Sperma yang diejakulasikan ke dalam vagina pada waktu kopulasi akan
mencapai oviduk dalam beberapa menit. Mobilitas dan viabilitas sperma dipertahankan
selama 8 jam setelah ovulasi.
Keberhasilan perkawinan mencit ditandai dengan adanya sumbat vagina merupakan hari
kehamilan ke-0.
Zigot akan mengalami perkembangan menjadi embrio. Segala kebutuhan embrio
diperoleh melalui induk melalui organ ekstra embrio yaitu plasenta. Pembentukan plasenta
dimulai dari kehamilan ke-8,5. Periode kehamilan mencit biasanya berlangsung 9-21 hari
(http://evykingbio.blogspot.com, diakses 18 Desember 2012).

2.4 Sistem Reproduksi Hewan Jantan Mamalia


Menurut yatim (1996) pada hewan jantan mamalia organ-organ membentuk sistem
reproduksi terdiri dari gonad (testis), kelenjar (prostat, vesicular seminalis, bubouretralis,
littre). Penis dan pembuluh (epididimis, vas deferens, urethra). Sistem reproduksi hewan
jantan mamalia dapat ditunjukkan pada gambar 2.2. Karena testis merupakan organ utama
yang berperan dalam proses spermatogenesis maka penulis beranggapan perlu dibuat
subbab khusus tentang sistem reproduksi sebagaimana ditunjukkan dengan gambar
dibawah ini :

 
10 
 

Gambar 2.3 Sistem Reproduksi Hewan Jantan Mamalia (Turner, 1988)

2.5 Hormon Yang Diproduksi Oleh Hewan Jantan Mamalia


Testis memproduksi sejumlah hormon jantan yang kesemuanya disebut androgen.
Hormon yang paling penting adalah hormon androgen dan testosteron. Fungsi testosteron
adalah merangsang pendewasaan spermatozoa yang terbentuk dalam tubuli seminiferi,
merangsang pertumbuhan kelenjar-kelenjar asesori (prostata, vesikularis dan
bulbouthrealis) dan merangsang pertumbuhan sifat jantan. LH merangsang sel
Leydig untuk memproduksi androgen. Suatu reaksi yang menyebabkan meningkatnya
kadar testosteron dalam tubuh. Proses pendewasaan spermatozoa dalam tubuli
seminiferi dan kegiatan metabolisme dalam kelenjar-kelenjar kelamin (Partodihardjo,
1992).
Sel-sel leydig atau sel-sel interstisial yang terletak antara tubulus
semineferus adalah tempat utama sintesis steroid dalam testis yang dipercepat dengan
LH. Testosteron dan dehidrotestosteron adalah hormon androgen yang paling
penting memicu pertumbuhan penis, vas deferen, vesikula seminalis, kelenjar
prostat epidedimis dan sifat kelamin sekunder pada jantan (Soewolo,2000).
Menurut Partodihardjo( 1992), sebagai pengatur seksual jantan dibantu oleh
beberapa hormon yaitu hormon testosterton, hormon gonadotropin, FSH dan LH.
Hormon Gonadotropin adalah hormon-hormon yang menunjang aktifitas gonad,
sedangkan Hormon FSH adalah hormon yang memiliki reseptor pada sel tubulus

 
11 
 

semineferus dalam proses spermatogenesis. Hormon LH adalah hormon yang


merangsang sel interstisial pada laki-laki.
Hormon Testosteron adalah hormon yang di produksi oleh testis. Hormon ini
bertanggung jawab terhadap perkembangan dan pemeliharaan karakteristik seks
sekunder jantan, yaitu meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan genetalia
jantan, bertanggung jawab atas pendistribusian rambut yang menjadi ciri jantan, dan
Perbesaran dan perpanjangan laring serta penebalan pita suara (Campbell, 2004).
Hormon Testosteron juga bertanggung jawab dalam meningkatkan ketebalan
dan tekstur kulit, meningkatkan aktifitas keringat, meningkatkan masa tulang dan otot
meningkatkan jumlah sel darah merah dan laju metabolik dasar (Partodihardjo, 1992).

Gambar 2.4. Hormon Testosteron (diunduh dari Wikipedia Agustus, 2012)


Spermatogenesis membutuhkan kerja stimulasi kedua hormon gonadotropin yaitu
LH (Luteinizing Hormone) dan FSH (Follicle Stimulating Hormone). LH berfungsi
menstimulasi sel Leydig untuk memproduksi hormone testosteron di dalam testis.
Selanjutnya fungsi FSH untuk merangsang testis dan memacu proses spermatogenesis,
yaitu pembentukan spermatogonia menjadi spermatid. Selain itu FSH juga berfungsi
untuk merangsang sel sertoli dalam pembentukan protein pengikat androgen (ABP)
dimana protein ini berperan dalam pengangkutan testosteron ke dalam tubulus
seminiferus dan epididimis. Mekanisme ini penting untuk mencapai kadar testosteron
yang dibutuhkan untuk terjadinya spermatogenesis. Oleh karena itu metode kontrasepsi
hormonal pria dapat berperan menurunkan jumlah sperma melalui penekanan sekresi
gonadotropin yang berakibat menurunkan testosteron testis dan menghambat
spermatogenesis (Ganong, 1983).

 
12 
 

Hormon yang dapat menekan produksi spermatozoa, antara lain analog


gonadotropine releasing hormone (GnRH), hormon-hormon seperti androgen, progestine
dan estrogen. Beberapa jenis hormon steroid yang telah terbukti mampu menekan
spermatogenesis juga terdapat pada tumbuhan (steroid nabati) (Wilopo, 2006).

2.6 Proses Spermatogenesis


Spermatogenesis adalah proses perkembangan spermatogenia menjadi
spermatozoa dan berlangsung sekitar 64 hari. Spermatogonia terletak berdekatan dengan
membran basalis tubulus semineferus yang berpoliferensiasi menjadi spermatosis
primer. Setelah itu mengalami pembelaan miosis untuk membentuk spermatosit
sekunder. Tahap akhir spermatogenesis adalah maturasi spermatid menjadi spermatozoa
(sperma) (Junquiera, 1980).
Spermatogenesis pada mencit memerlukan waktu 35,5 hari atau spermatogenesis
akan selesai menempuh 4 kali daur epitel seminiferus. Lama satu kali daur epitel
seminiferus pada mencit adalah 207 jam ± 6,2 jam. (Oakberg, 1957 dalam Rugh, 1968)
Secara umum spermatogenesis dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu tahap
proliferasi, tahap pertumbuhan, tahap pematangan dan tahap
transformasi/spermiogenesis. Pada spermatogenesis, Follicle stimulating hormone (FSH)
memiliki peranan yang penting, yaitu berperan dalam menstimulasi kejadian awal
spermatogenesis diantaranya proliferasi spermatogonia, peranan ini ditunjukkan
dengan fungsi FSH untuk menstimulasi pertumbuhan sel germinatif dalam tubulus
seminiferus (Ghufron, 1995).
Pada tahap proliferasi, spermatogonium mengalami pembelahan mitosis menjadi
spermatogonia tipe A selama tiga mitosis pertama, kemudian menjadi spermatogosia
tipe intermediet setelah pembelahan ke empat dan menjadi spermatogonia tipe B
setelah pembelahan ke lima. Selama tahap pertumbuhan spermatogonia mengalami
pertambahan volume. Spermatogonia tipe B kemudian tumbuh membentuk spermatosit I
(primer). Pada tahap pematangan, spermatosit primer akan mengalami pembelahan
reduksional (meiosis).
Selama pembelahan meiosis, FSH sangat berpengaruh terhadap kelangsungan
pembelahan meiosis. Nurliani (2005), menjelaskan bahwa pembelahan meiosis yang
dialami oleh spermatosit primer dimulai dari meiosis I dilanjutkan ke meiosis II. Dari
masing-masing fase pembelahan ini masih dibagi lagi ke dalam beberapa tahap, yaitu:

 
13 
 

profase, metafase, anafase dan telofase. Tahap profase I meiosis I merupakan tahap
yang sangat panjang sehingga dikelompokkan lagi dalam lima stadia, yaitu: leptotene,
zigotene, pakhitene, diplotene, dan diakinesis.
Menurut Campbell (2004) ciri dari masing-masing stadia sebagai berikut: (a)
Lepototene memperlihatkan kromosom sebagai benang panjang, sehingga
masing-masing kromosom belum dapat dikenal; (b)Zigotene memperlihatkan bahwa
kromosom-kromosom homolog berpasangan; (c) Pakhitene merupakan stadia yang
paling lama dari profase I meiosis, benang-benang kromosom tampak semakin jelas
karena adanya kontraksi dari kromosom sehingga kromosom tampak semakin
menebal. Pada stadia ini berlangsung proses biologis yang sangat penting yaitu pindah
silang (“Crossing over”). Pada stadia ini spermatosit primer mudah mengalami kerusakan
dan degenerasi yang sangat luas (Campbell, 2004); (d) Diplotene ditandai dengan
memisahnya kromatid-kromatid yang semula berpasangan membentuk bivalen; (e)
Diakinesis yang merupakan stadia terakhir memperihatkan kromosom-kromosom
makin memendek dan kiasmata semakin jelas. Dari meiosis I akan dihasilkan dua sel
anak spermatosit sekunder, masing-masing berisi satu set kromosom tunggal.
Proses spermatogenesis ditunjukkan oleh gambar 2.4.

Gambar 2.5. Proses Spermatogenesis (Yatim, 1996)

 
14 
 

2.7 Proses Spermiogenesis


Spermatid mengalami metamorfosis dan mengalami perubahan menjadi
spermatozoa muda. Inti spermatid berada dibagian anterior sel dekat perifer tubuli
seminiferi dan jauh dari lumennya (Salisbury, 1987). Spermiogenesis disebut juga tahap
transformasi yaitu tahap perubahan bentuk dan komposisi spermatid yang bundar
menjadi bentuk cebong yang memiliki kepala, leher dan ekor serta
berkemampuan untuk bergerak (motil) (Yatim, 1996).
Menurut Junquiera (1980) menjelaskan proses spermiogenesis diawali pada
aparatus golgi membentuk ganula proakrosomal. Ganula yang tersebar menyatu
menjadi ganula yang besar, kemudian ganula akrosomal terdapat dalam membran
yang dinamakan vesikel akrosomal. Secara serentak sentriola bermigasi ke kutub
posterior spermatid. Dari salah satu sentriola timbul flagelum bergelombang pada
permukaan sel untuk membentuk ekor spermatozoa (gambar sentriola lain bermigasi
membentuk leher sekitar bagian permulaan ekor. Sitoplasma akan bergeser ke
arah flagelum dan meliputi bagiannya. Proses ini berlangsung pada bagian
sitoplasma. Sitoplasma yang tidak digunakan dalam proses pembentukan
spermatozoa dibuang dari sel sebagai bahan residu yang difagosit dan dicernakan oleh
sel-sel sertoli.

Gambar 2.6. Proses Spermiogenesis (Campbell, 2004) direvisi dan diterjemahkan


oleh Edyanto

 
15 
 

Junquiera (1980) menjelaskan proses spermiogenesis adalah sebagai berikut:


1. Aparatus golgi membentuk ganula proakrosomal yang kaya dengan karbohidrat pada
pertama kali terjadi. Ganula-ganula yang tersebar bersatu menjadi ganula yang
besar, sedangkan ganula akrosomal terdapat dalam membran yang dinamakan
vesikel akrosomal (gambar 1-2).
2. Secara serentak sentriol bermigasi ke kutub posterior spermatid. Dari salah satu
sentriol timbul flagelum bergelombang pada permukaan sel untuk membentuk ekor
spermatozoa (gambar 3-4) sentriola lain bermigasi membentuk leher sekitar bagian
permulaan ekor.
3. Pada saat yang sama sitoplasma bergeser ke arah flagelum dan meliputi bagian
tersebut. Waktu proses ini berlangsung bagian-bagian sitoplasma yang tidak
digunakan dalam proses pembentukan spermatozoa dibuang dari sel sebagai bahan
residu yang difagosit dan dicernakan oleh sel-sel sertoli (gambar 5-6).

2.8 Mekanisme Kehamilan dan Proses Terjadinya Fusi Sel

Gambar 2.7 Tampilan Bagian Sel Ovum dan Tahapan Fusi Sel Sperma dan Sel
Ovum
(aejos.com, diakses 18 Desember 2012)

 
16 
 

Kehamilan adalah suatu keadaan dimana janin dikandung di dalam tubuh wanita, yang
sebelumnya diawali dengan proses pembuahan dan kemudian akan diakhiri dengan proses
persalinan. Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis, akan tetapi pentingnya
diagnosis kehamilan tidak dapat diabaikan (Cunningham, 2006).
Fertilisasi (pembuahan) adalah penyatuan ovum (oosit sekunder) dan spermatozoa
yang biasanya berlangsung diampula tuba. Fertilisasi meliputi penetrasi spermatozoa ke
dalam ovum, fusi spermatozoa dan ovum, diakhiri dengan fusi materi genetik. Hanya satu
spermatozoa yang telah mengalami proses kapasitasi mampu melakukan penetrasi
membran sel ovum.
Untuk mencapai ovum, sperma harus melewati korona radiata (lapisan sel diluar
ovum) dan zona pelusida (suatu bentuk glikoprotein ekstraselular), yaitu lapisan yang
menutupi dan mencegah ovum mengalami fertilisasi lebih dari satu spermatozoa.
Spermatozoa yang telah masuk ke vitelus kehilangan membran nukleusnya, yang tinggal
hanya pronukleusnya, sedangkan ekor spermatozoa dan mitokondrianya berdegenerasi.
Itulah sebabnya seluruh mitokondria pada manusia berasal dari ibu (maternal). Masuknya
spermatozoa kedalam vitelus membangkitkan nukleus ovum yang masih dalam metafase
untuk proses pembelahan selanjutnya (pembelahan mieosis kedua) sesudah anafase
kemudian timbul telofase dan benda kutub (polar body) kedua menuju ruang perivitelina.
Ovum sekarang hanya mempunyai pronukleus yang haploid. Pronukleus spermatozoa
juga telah mengandung jumlah kromosom yang haploid (Sarwono, 2008).
Kedua pronukleus saling mendekati dan bersatu membentuk zigot yang terdiri
atas bahan genetik dari perempuan dan laki-laki. Pada manusia terdapat 46 kromosom,
ialah 44 kromosom otosom dan 2 kromosom kelamin; pada seorang laki-laki satu X dan
satu Y. sesudah pembelahan kematangan, maka ovum matang mempunyai 22 kromosom
otosom serta 1 kromosom X. Zigot sebagai hasil pembuahan yang memiliki 44
kromosom otosom serta 2 kromosom X akan tumbuh sebagai janin perempuan,
sedangkan yang memiliki 44 kromosom otosom serta 1 kromosom X dan 1 kromosom Y
akan tumbuh sebagai janin laki-laki.
Dalam beberapa jam setelah pembuahan terjadi, mulailah pembelahan zigot. Hal
ini dapat berlangsung oleh karena sitoplasma ovum mengandung banyak zat asam amino
dan enzim. Segera setelah pembelahan ini terjadi, pembelahan-pembelahan selanjutnya
berjalan dengan lancar, dan selama tiga hari terbentuk suatu kelompok sel yang sama
besarnya. Hasil konsepsi berada dalam stadium morula. Energi untuk pembelahan ini

 
17 
 

diperoleh dari vitelus, sehingga volume vitelus makin berkurang dan terisi seluruhnya
oleh morula. Dengan demikian, zona pelisida tetap utuh, atau dengan kata lain, besarnya
hasil konsepsi tetap utuh. Dalam ukuran yang sama ini hasil konsepsi disalurkan terus ke
pars ismika dan pars interstisial tuba (bagia-bagian tuba yang sempit) dan terus
disalurkan kearah kavum uteri oleh arus serta getaran silia pada permukaan sel-sel tuba
dan kontraksi tuba.
Selanjutnya pada hari keempat hasil konsepsi mencapai stadium blastula yang
disebut blastokista, suatu bentuk yang dibagian luarnya adalah trofoblas dan dibagian
dalamnya disebut massa inner cell ini berkembang menjadi janin dan trofoblas akan
berkembang menjadi plasenta. Dengan demikian, blastokista diselubungi oleh suatu
simpai yang disebut trofoblas. Trofoblas ini sangat kritis untuk keberhasilan kehamilan
terkait dengan keberhasilan nidasi (implantasi), produksi hormon kehamilan, proteksi
imunitas bagi janin, peningkatan aliran darah maternal ke dalam plasenta, dan kelahiran
bayi. Sejak tropoblas terbentuk, produksi hormon human chorionic gonadotropin (hCG)
dimulai, suatu hormon yang memastikan bahwa endometrium akan menerima (resesif)
dalam proses implantasi embrio (Sarwono, 2008).
Setelah proses implantasi selesai, maka pada tahap selanjutnya akan terbentuk
amnion dan cairan amnion. Amnion pada kehamilan aterm berupa sebuah membran yang
kuat dan ulet tetapi lentur. Amnion adalah membran janin paling dalam dan
berdampingan dengan cairan amnion. Amnion manusia pertama kali dapat diidentifikasi
sekitar hari ke-7 atau ke-8 perkembangan mudigah. Secara jelas telah diketahui bahwa
amnion tidak sekedar membran avaskular yang berfungsi menampung cairan amnion.
Membran ini aktif secara metabolis, terlihat dalam transpor air dan zat terlarut untuk
mempertahankan homeostatis cairan amnion, dan menghasilkan berbagai senyawa
bioaktif menarik, termasuk peptida vasoaktif, faktor pertumbuhan dan sitoin
(Cunningham, 2006).
Pada awal kehamilan, cairan amnion adalah suatu ultrafiltrat plasma ibu. Pada awal
trimester kedua, cairan ini terutama terdiri dari cairan ekstrasel yang berdifusi melalui
kulit janin sehingga mencerminkan komposisi plasma janin. Volume cairan amnion pada
setiap minggu gestasi cukup berbeda-beda. Secara umum, volume cairan meningkat 10
ml perminggu pada minggu ke-8 dan meningkat sampai 60 ml perminggu pada minggu
ke-21, dan kemudian berkurang secara bertahap hingga kembali ke kondisi mantap pada
minggu ke-33. Dengan demikian, volume cairan biasanya meningkat dari 50 ml pada

 
18 
 

minggu ke-12 menjadi 400 ml pada pertengahan kehamilan dan 1000 ml pada kehamilan
aterm (Cunningham, 2006).
Cairan yang normalnya jernih dan menumpuk di dalam rongga amnion ini akan
meningkat jumlahnya seiring dengan perkembangan kehamilan sampai menjelang aterm,
saat terjadi penurunan volume cairan amnion pada banyak kehamilan normal. Cairan
amnion ini berfungsi sebagai bantalan bagi janin, yang kemungkinan perkembangan
sistem muskuloskletal dan melindungi pertahanan suhu dan memiliki fungsi nutrisi yang
minimal (Cunningham, 2006).

2.9 Tinjauan Tentang Kontrasepsi


Istilah keluarga berencana (KB) dapat diartikan sebagai sebuah usaha yang disengaja
untuk mengatur kehamilan serta tidak berlawanan dengan hukum yang berlaku untuk
mencapai kesejahteraan hidup (Attarmizi, 1999).
Banyak alat kontrasepsi, yang secara garis besar dapat dibagi dalam 2
kelompok besar, yakni;

2.9.1 Kontrasepsi Bersifat Permanen


Kontrasepsi permanen disebut juga dengan kontrasepsi yang menetap atau tidak dapat
kembali kebentuk semula ( irreversibel). Komtrasepsi ini dapat dilakukan dengan
melakukan operasi kelamin baik pria ataupun wanita. Pada wanita dikenal dengan
tubektomi, yakni pemotongan saluran tuba fallopii (oviduk) (Gambar 1). Kadang-
kadang juga dapat dilakukan dengan mengikat oviduk, sehingga ovum tidak dapat
lewat dan mengahalangi pertemuannya dengan sperma, yang pada akhirnya tidak
terjadi proses fertilisasi atau: pembuahan. Namun model ini dapat dikatakan semi-
permanen karena dapat diakhiri kontrasepsinya dengan melepas kembali ikatan oviduk
tersebut.

 
19 
 

Gambar 2.8 Kontrasepsi dengan cara tubektomi pada wanita (Liewellyn, 2009)

Pada pria, kontrasepsi dapat dilakukan dengan pemotongan saluran sperma pada
vas deferen (Gambar 2.9), sehingga apabila terjadi pengeluaran sperma akan tidak
dapat keluar penis, karena terhambat pada vas deferen. Seperti tuba fallopii, vas deferen
ini juga dapat diikat saja dan dapat dilepas kembali. Sebagai tempat saluran sperma,
uretra di dalam penis adalah tempat terakhir sperma untuk ke luar tubuh. Selain itu uretra
juga merupakan saluran air seni (kandung kemih).

Gambar 2.9 Alat kontrasepsi pria (tubektomi = pemotongan saluran tuba)


(Liewellyn, 2009).

2.9.2 Kontrasepsi Bersifat Tidak Permanen


Kontrasepsi non-permanen disebut dengan kontrasepsi tidak tetap (reversible)
Ada beberapa metode yang termasuk dalam cara ini, yaitu:
1. Metode dengan alat bantu, yakni :
a) Yang bertujuan untuk menghalangi terjadinya ovulasi dengan
penggunaan hormone.
20 
 

i. Suntikan; dilakukan dengan menyuntik wanita subur dengan


hormon setiap 3 bulan sekali, yang dapat mencegah terjadinya ovulasi.
Tetapi cara ini dapat menimbulkan efek kegemukan pada beberapa
pemakainya.
ii. Pil KB; pil ini mengandung hormon estrogen dan progesteron
yang diminum menurut kalender yang telah ditetapkan kapan harus
meminumnya. Adapun efek samping dari pil KB diantaranya
jerawat, tekanan darah meningkat, depresi (perubahan suasana hati),
sakit kepala dan migain, serangan jantung dan stroke, haid tidak
teratur atau bahkan tidak mendapatkan haid selama mengkonsumsi pil
KB (Liewellyn, 2009),
iii. Susuk atau implant; diletakkan di bawah kulit lengan, yang pada
waktunya akan mencegah terjadinya ovulasi. Yang bertujuan untuk
menghalangi pertemuan atau fertilisasi sperma dengan ovum atau
menghalangi terjadinya proses implantasi, ada pada wanita atau pria;
1. Pada wanita.
a. IUD (Intra Uterine Device), dikenal dengan spiral yang dipasang dalam
uterus wanita. Saat terbaik untuk memasang IUD adalah pada hari terakhir haid,
6-8 minggu setelah bersalin, dan setelah aborsi. Pada saat tersebut saluran
leher rahim lebih lebar dan mudah dimasuki IUD. Efek samping adanya
pendarahan diluar siklus menstruasi normal (Llewellyn, 2009).
b. Diafragma atau cervical cap, untuk menutupi uterus sehingga sperma tidak
dapat masuk ke uterus.
c. Jeli, tablet busa dan spons, bahan ini mengandung antispermisida
(membunuh sperma) yang dimasukkan ke dalam vagina. Efek samping
adalah alergi bagi beberapa orang.
2. Pada Pria
a. Kondom atau karet KB, dipasang pada penis pria sebelum melakukan
coitus (persetubuhan). Kondom akan menahan sperma di bagian ujungnya
yang mengandung spermisida (membunuh sperma) (Ilyas, 2004).
Metode ini memiliki beberapa kerugian diantaranya dianggap
merepotkan, mengganggu koitus, kehilangan sensitivas. Sedangkan
keuntungannya diantaranya dalam kendali pasangan tersebut, tidak ada

 
21 
 

efek sistemik, mudah didapatkan dan perlindungan terhadap penyakit


menular seksual dan HIV (Everett, 2007).
2. Metode Tanpa Dengan Menggunakan Alat Bantu, dapat dilakukan dengan cara;
a) Memperpanjang masa menyusui atau metode Amenore laktasi.
Metode ini menggunakan praktik menyusui untuk menghambat ovulasi
sehingga berfungsi sebagai kontrasepsi. Apabila seorang wanita
mempunyai bayi kurang dari 6 bulan serta menyusui penuh kemungkinan
kehamilan hanya 2%. Namun jika tidak menyusui penuh maka
resiko untuk terjadi kehamilan akan semakin besar (Everett, 2007).
Secara fisiologis proses menyusui dipacu ekskresi hormon prolaktin.
Sedangkanhormon prolaktin menghambat hormon yang membuat subur
dan haid sehingga, menyusui penuh selama 2 tahun penuh juga
merupakan bentuk pengaturan jarak kehamilan dan persalinan.
Terlalu sering melahirkan, terlalu dekat jarak antara 2 (dua)
kelahiran dan melahirkan pada usia dibawah 20 tahun atau diatas 35 tahun
dapat membahayakan kehidupan perempuan dan merupakan penyebab
dari sepertiga kematian anak. Apa yang harus diketahui oleh setiap
keluarga dan masyarakat tentang peraturan kelahiran. Untuk menjaga
kesehatan ibu dan anak sebaiknya jarak antara dua persalinan paling
sedikit 2 tahun.
b) Pantang berkala atau sistem kalender, dilakukan dengan menahan
atau tidak melakukan hubungan suami isteri (coitus) pada masa subur.
c) Senggama terputus (coitus intemrptus). Pada waktu sperma akan
keluar maka tidak dibiarkan masuk ke uterus tetapi di buang ke luar uterus
(luar tubuh) (Ilyas, 2004).

2.9.3 Jamu Sebagai Kontrasepsi


Penggunaan jamu atau tumbuhan obat sebagai kontrasepsi telah lama dikenal
masyarakat terutama di beberapa dareah di Indonesia. Penggunaan kontrasepsi
tradisional banyak ditemukan di daerah pedesaan, yang tradisi masyarakatnya
masih memegang teguh kebiasaan nenek moyangnya.
Dari beberapa pustaka dan penelitian, tercatat ada 74 tanaman yang secara
empiris digunakan oleh masyarakat di beberapa daerah untuk kontrasepsi.

 
22 
 

Tanaman-tanaman yang digunakan sebagai kontrasepsi tersebut mengandung


senyawa-senyawa yang bersifat antifertilitas, antiesterogenik, dan antiimplantasi
baik terhadap pria, wanita, maupun untuk keduanya.
Dari penelitian terhadap tanaman-tanaman tersebut, ternyata banyak
diantaranya mengandung alkaloid, flavonoid, steroid, tanin, dan minyak atsiri.
Penggunaan kontrasepsi yang berasal dari tanaman perlu diperhatikan
pengaruhnya terhadap sistem reproduksi pria dan wanita. Ada beberapa tanaman
yang dapat mengakibatkan kemandulan, tetapi ada pula tanaman yang
pengaruhnya terhadap sistem reproduksi bersifat sementara sehingga jika tidak
digunakan lagi, sistem reproduksinya kembali normal dan tidak terjadi kemandulan.

Tanaman Obat yang digunakan Sebagai Kontrasepsi Tradisional


Terdapat banyak sekali tanaman yang dapat digunakan sebagai kontrasepsi, antara
lain:
a) Pare (Momordica charantia)
Tanaman pare mengandung senyawa golongan flavonoid yang dapat menghambat
enzim aromatase, yaitu enzim yang berfungsi mengkatalisis konversi androgen
menjadi estrogen yang akan meningkatkan hormon tertosteron. Tingginya
konsentrasi testosteron akan berefek umpan balik negatif ke hipofisis yaitu tidak
melepaskan FSH dan LH, sehingga akan menghambat spermatogenesis.
Enzim tersebut juga mengkatalisis perubahan testosteron ke estradiol
sehingga mepengaruhi proses ovulasi. Ekstrak pare (khususnya biji) juga
mengandung senyawa sitotoksik seperti saponin, momordikosida triterpen, dan
cucurbitacin yang dapat menurunkan kualitas dan jumlah sel sperma.
b) Kunyit (Curcuma domestica)
Kunyit mengandung senyawa golongan terpen dan minyak atsiri yang bekerja pada
proses transportasi sperma. Minyak atsiri dapat menggumpalkan sperma sehingga
menurunkan motilitas dan daya hidup sperma, akibatnya sperma tidak dapat
mencapai sel telur dan pembuahan dapat tercegah.
Kunyit juga mengandung tanin yang kerjanya hampir sama dengan minyak
atsiri yaitu menggumpalkan semen.

 
23 
 

c) Kacang Ercis (kacang polong)


Minyak kacang ercis atau kacang polong efektif dalam manghalangi aktivitas
spermatozoa karena mengandung senyawa m-xilohidroksiquinon. Senyawa ini
digolongkan dalam senyawa antifertilitas nonsteroida. Untuk membatasi kehamilan,
dianjurkan mengkonsumsi kacang ercis 200-250 gam pada hari ke 16 dan 21 siklus
haid.
d) Kapas (Gossypium sp.)
Biji kapas yang diolah menjadi minyak merupakan salah satu kontrasepsi pria
karena mengandung senyawa gosipol yang berperan mengurangi kesuburan sperma.
e) Kembang Sepatu (Hibiscus rosasinensis)
Ektrak kembang sepatu memiliki sifat antiestrogenik, yakni mengganggu aktivitas
hormon reproduksi pada wanita dan pria. Pada pria, air rebusan kembang sepatu
dapat memberikan efek menghambat produksi sperma, mengganggu
kesetimbangan hormon reproduksi (progesteron), mengganggu fungsi endokrin,
dan memperkecil ukuran testis. Tetapi pengaruh itu hanya timbul selama masih
mengkonsumsi ekstrak.
f) Ki meyong (Mallotus philippensis)
Ki meyong mengandung senyawa rottlerin yang bersifat antifertilitas. Penggunaan
senyawa ini dengan dosis 10 mg/kg berat badan, 100% efektif dalam
menggagalkan pembuahan selama sepuluh hari.
g) Tanaman famili Leguminosae
Tanaman dalam famili ini kebanyakan mengandung senyawa sparteina yang telah
banyak digunakan sebagai obat kontrasepsi formal oleh dokter.
h) Pacing (Costus speciosus)
Kandungan kimia yang ada di rimpang dan bijinya termasuk bahan baku obat
kontrasepsi. Pacing dapat digunakan sebagai kontrasepsi pria dan wanita, karena
kandungan steroid dalam pacing merupakan perkusor dan hormon estrogen yang
salah satu kerjanya pada otot polos uterus merangsang kontraksi uterus, selain itu
estrogen menurunkan sekresi FSH, pada sejumlah keadaan tertentu akan
menghambat LH (reaksi umpan balik), sehingga mempengaruhi proses ovulasi.
i) Kemuning
Ekstrak kemuning dapat menurunkan kulaitas sperma manusia meliputi
kemampuan gerak (motilitas), kemampuan hidup (viabilitas), dan integitas sperma.

 
24 
 

Hal ini disebabkan oleh zat yang terkandung dalam daun kemuning yang bersifat
toksis, yaitu indol alkaloid.
j) Sirih (Piper betle)
Pemberian ekstrak daun sirih yang mengandung alkohol secara oral pada
mempunyai efek antikesuburan. Menurut penelitian, pemberian dosis ekstrak yang
meningkat menyebabkan terjadinya penurunan jumlah sperma.
k) Kayu Secang (Caesalpinia sappan)
Tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan kontrasepsi pria karena dapat
menghambat spermatigenesis dan sistem hormon.
l) Tumbuhan Kamunah, Kontrasepsi Alami dari Kalteng
Menurut penelitian Prof Dr H Ciptadi di Palangkaraya, kebiasaan
masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah dalam menggunakan tumbuhan kamunah
(Croton tiglium) sebagai obat untuk mengatur jarak kelahiran diakui sebagai obat
kontrasepsi yang positif.
Suku Dayak mengonsumsi serbuk dari batang atau air rebusan dari batang
tumbuhan tersebut dan menjadikannya sebagai obat kontrasepsi tradisional.
Kandungan steroid dan terpenoid dalam tumbuhan kamunah bisa dikembangkan
menjadi obat-obatan untuk membantu masyarakat dalam menyukseskan progam
nasional Keluarga Berencana (KB).
Berdasarkan uji fitokimia kandungan metabolit sekunder untuk ekstrak
tumbuhan kamunah adalah positif untuk steroid dan terpenoid, dan dari analisis
brine shrimp dan ekstrak tersebut menunjukkan senyawa yang sangat aktif dengan
Lethal Concentration 50 (LC50).
Obat kontrasepsi oral yang efekif dan paling banyak digunakan sekarang
ini berasal dari golongan steroid. Perbedaannya kalau menggunakan batang
tumbuhan kamunah hampir tidak ada efek sampingnya.
Kalteng memang kaya akan tumbuhan yang berpotensi obat, dan beberapa
sudah dilakukan penelitian, termasuk tumbuhan sepang (Claoxylon polot men)
yang diketahui mengandung obat diabetes serta tanaman sarang semut untuk
beberapa jenis obat bagi kesehatan manusia.
Masih banyak lagi tanaman-tanaman lain yang dapat berfungsi sebagai alat
kontrasepsi alami yang terdapat disekitar kita. Diperlukan penelitian lebih lanjut
untuk mengetahui kebenaran tentang manfaat tumbuhan menurut masyarakat

 
25 
 

dengan uji farmakologi dan analisis zat aktif yang khasiatnya sebagai alat
kontrasepsi alami(http://informasisehat.wordpress.com,diakses tanggal 18
Desember 2012).

2.9.4 Efek Jamu Sebagai Kontrasepsi


Meski berasal dari tumbuh-tumbuhan (bahan alam) yang relatif sedikit efek
samping, penggunaan kontrasepsi alami tetaplah harus hati-hati. Sebab, senyawa-
senyawa yang berperan sebagai kontrasepsi dapat juga memberikan efek negatif
jika pemakaian berlebihan dan tidak terkontrol.
Tidak semua tanaman aman digunakan untuk satu tujuan tertentu. Satu
tumbuhan bisa mengandung puluhan, bahkan ratusan, senyawa kimia dengan
beragam khasiat dan kegunaan. Sehingga dosis yang akan digunakan akan sangat
mempengaruhi diperolehnya khasiat yang diinginkan dan efek yang tidak
diinginkan.
Misalnya pada pria dapat mengakibatkan kemandulan (sterilitas) atau
ketidakmampuan membuahi pada sperma, impotensi (disfungsi ereksi), dan
kualitas sperma yang kurang baik atau cacat.
Penggunaan kontrasepsi untuk pria perlu juga diperhatikan daya
spermisidnya, sebaiknya daya spermisidnya 100% dengan waktu yang singkat,
sebab jika daya bunuhnya tidak 100% dikhawatirkan sperma yang abnormal bila
sempat membuahi sel telur mengakibatkan janin akan abnormal.
Kehati-hatian juga diperlukan bagi wanita yang ingin menggunakan
kontrasepsi alami, karena beberapa jenis tanaman bersifat mendua. Ia dapat
bersifat antifertilitas, tetapi juga dapat menyebabkan keguguran (abortifacien).
Selain itu ada beberapa senyawa yang terdapat pada tumbuhan seperti minyak
inggu, tansy, dan minyak savin, jika dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan
kontraksi berlebihan pada rahim sehingga dapat terjadi iritasi rahim.
Penggunaan bahan alam sebagai kontrasepsi secara terkontrol dan dalam
batas dosis aman dan dianjurkan, tidak akan menyebabkan efek samping yang
permanen. Seperti pada penggunaan ekstrak kembang sepatu, dapat memberikan
efek menghambat produksi sperma dan mengganggu fugnsi endokrin. Efek
tersebut hanya timbul selama pemberian ekstrak, jika pemberian dihentikan organ
reproduksi kembali normal.

 
26 
 

Penggunaan kontrasepsi alami dalam batas dosis aman yang dianjurkan,


dapat menjadi alternatif dari alat kontrasepsi modern karena relatif lebih murah dan
mudah didapat serta memiliki efek samping yang sangat sedikit dibandingkan
dengan alat kontrasepsi modern (sintesis)(http://informasisehat.wordpress.com/ ,
diakses tanggal 18 Desember 2012).

2.9.5 Syarat Klinis Jamu Sebagai Kontrasepsi


Secara umum, menurut Hanafi (1996), syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
suatu metode kontrasepsi yang baik ialah: Aman/tidak berbahaya, dapat
diandalkan , sederhana sedapat-dapatnya tidak usah dikerjakan oleh seorang dokter,
murah, dapat diterima oleh orang banyak, pemakaian jangka lama.

Secara terpisah, Menurut Pemenkes 003 Tahun 2010 tentang Saintifikasi


jamu dalam penelitian berbasis Pelayanan kesehatan, menerangkan :
Jamu harus memenuhi kriteria:
a. aman sesuai dengan persyaratan yang khusus untuk jamu;
b. klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris yang ada; dan
c. memenuhi persyaratan mutu yang khusus untuk jamu.
Dan Jamu dan/atau bahan yang digunakan dalam penelitian berbasis
pelayanan kesehatan harus sudah terdaftar dalam vademicum, atau merupakan
bahan yang ditetapkan oleh Komisi Nasional Saintifikasi Jamu.
Penggunaan kontrasepsi asal tanaman perlu diperhatikan sifat merusak
atau pengaruhnya terhadap sistem reproduksi baik pada pria atau wanita,
sebaiknya digunakan tanaman-tanamanyang pengaruhnya terhadap sistem
reproduksi yang sifatnya sementara (reversibel) yaitu bila obat tidak digunakan
lagi, sistem reproduksinya normal kembali, sehingga tidak terjadi kemandulan.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh R. Sumastuti (1994), pada
Curcumadomestica Vahl. terlihat gambaran jaringan testis, vesikula seminalis,
prostat dan Cowper pada beberapa hewan percobaan ada bagian-bagian erosi.
Demikian juga untuk tanaman Avicinia officinale L. terlihat terjadi kerusakan
(integitas) jaringan testis(42).

 
27 
 

Penggunaan kontrasepsi untuk pria perlu juga diperhatikan daya


spermisidnya, sebaiknya daya spermisidnya 100% dengan waktu yang singkat
(beberapa detik), sebab jika daya bunuhnya tidak 100% dikhawatirkan sperma
yang abnormal bila sempat membuahi sel telur mengakibatkan janin yang
dikandung akan abnormal; hal tersebut memerlukan penelitian lebih lanjut
(Winarno, 1997).

 
 
 
 
 

 
28 
 

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Alat
 Gavage
 Timbangan Digital
 Saringan Teh
 Blender
 Botol Aquadest
 Beaker Glass
 Spatula
3.2 Bahan
 Mencit Dewasa
 Terung Telunjuk
 Aquadest
 Pereaksi Maeyer
 Pereaksi Bouchardat
 Pereaksi Dragendroff
 Perealso Lieberman-Bouchard

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pemilihan Mencit Uji Coba


Mencit yang digunakan adalah mencit umur 3 bulan hasil pembudidayaan Laboratorium
Hewan Jurusan Biologi Universitas Sumatera Utara.
3.3.2 Penyiapan Kandang Mencit

 
29 
 

Kandang mencit yang dipakai dalam penelitian ini adalah container berukuran 18 cm x
30 cm yang diberi tatakan telor sebagai tempat tidur mencit, dot mencit sebagai wadah
air minumnya, serta wadah pelet.

3.3.3 Pemeliharaan Mencit


Mencit sebelum diuji coba, terlebih dahulu dibiarkan beradaptasi selama 1 minggu
dengan diberi makan dan minum secukupnya setiap hari, dengan mencuci kandangnya
tiap 3 hari sehari agar mencit merasa nyaman.

3.3.4 Penyiapan Bubuk Terung Telunjuk


Proses perlakuan awal terung telunjuk dimulai dengan pengirisan dengan tipis terung
telunjuk yang telah terlebih dahulu dicuci bersih. Kemudian dijemur dibawah sinar
matahari hingga kering dan rapuh dan dilanjutkan dengan proses penghalusan menjadi
bubuk terung telunjuk. Selanjut bubuk tersebut dicampur dengan aquadest dalam 3 botol.
Botol P1 adalah botol berisi campuran terung telunjuk 20 %, botol P2 adalah botol berisi
campuran terung telunjuk 40%, dan botol P3 adalah botol berisi campuran terung
telunjuk 60%.

3.3.5 Pembuatan Larutan Pereaksi


1. Larutan Pereaksi Bouchardat
Larutan pereaksi Bouchardat diperoleh dengan menimbang 4 g senyawa kalium iodida
dan dilarutkan dengan air suling, kemudian ditambahkan 2 g iodium, dan dicukupkan
dengan air suling hingga 100ml.
2. Larutan Pereaksi Mayer
Sebanyak 1,4 g raksa (II) klorida ditimbang dan dilarutkan dalam air suling hingga 60 ml.
Pada wadah lain ditimbang sebanyak 5 g kalium iodida lalu dilarutkan dalam 10 ml air
suling. Kemudian dicampur dan ditambahkan air suling hingga 100 ml.
3. Larutan Pereaksi Dragendorff
Pembuatan pereaksi Dragendorff untuk pereaksi kualitatif, sebanyak 0,8 g bismut (III)
nitrat ditimbang dan dilarutkan dala 20 ml asam nitrat pekat. Pada wadah lain ditimbang
sebanyak 27,2 g kalium iodida lalu dilarutkan dalam 50 ml air suling, kemudian kedua
larutan dicampurkan dan didiamkan sampai memisah sempurna. Larutan yang jernih
diambil dan diencerkan dengan air suling sampai 100 ml. Pembuatan pereaksi

 
30 
 

Dragendorff untuk pereaksi penyemprot, larutan A : sebanyak 0,85 g bismutsubnitrat


dilarutkan dalam campuran 40 ml air suling dengan 10 ml asam asetat. larutan B :
sebanyak 8 g kalium iodidea dilarutkan dalam 20 ml air suling. Larutan penyemprot :
masing-masing 5 ml larutan A dan larutan B dicampur dengan 20 ml asam asetat glasial
dan dicukupkan dengan air suling hingga 100 ml.
4. Larutan Pereaksi Liebermann-Burchard
Pembuatan pereaksi Liebermann-Burchard untuk pereaksi kualitatif, sebanyak 20 bagian
asam asetat anhidrat dicampurkan dengan 1 bagian asam sulfat pekat. Pembuatan
pereaksi Liebermann-Burchard untuk penyemprot, sebanyak 50 bagian kloroform
dicampur dengan 20 bagian asam asetat anhidrat dan 1 bagian asam sulfat pekat. Larutan
penyemprot ini harus dibuat baru.

3.3.6 Uji Kualitatif Buah Terung Telunjuk


Pengujian bubuk terung telunjuk secara kualitatif adalah dengan teknik skrining fitokimia,
dimana sebanyak 10 g bubuk terung telunjuk dimasukkan kedalam erlemeyer kemudian
dengan dengan penambahan 100ml methanol lalu dipanaskan dengan waterbath sekitar 5
menit. Ekstrak lalu dipisahkan kedalam 4 vial, yang masing – masing dengan larutan
pereaksi yang telah dibuat.

3.3.7 Uji Bubuk Terung Telunjuk terhadap Mencit (Mus musculus)


Perlakuan terhadap mencit dilakukan terhadap mencit yang sebelumnya telah dibiarkan
beradaptasi tadi. Perlakuan dikelompokkan menjadi 4 kelompok dengan ulangan masing
– masing sebanyak 3 ulangan.
Dalam setiap kelompok terdapat 1 ekor mencit jantan dan 3 ekor mencit betina,
dimana kelompok P0 adalah kelompok control (blangko) yang diberi makanan mencit
produksi Lembaga Makanan Rakyat (LMR). Kelompok P1 adalah kelompok perlakuan
yang diberi makanan LMR dan disertai dengan pencekokan dengan 0,5 ml 10% b/v
bubuk terung telunjuk. Kelompok P2 adalah kelompok perlakuan yang diberi makanan
LMR dan disertai dengan pencekokan dengan 0,5 ml 20% b/v bubuk terung telunjuk.
Kelompok terakhir atau kelompok P3 adalah kelompok yang diberi makanan LMR dan
disertai dengan pencekokan dengan 0,5 ml 30% b/v bubuk terung telunjuk.

3.4 Bagan Penelitian

 
31 
 

3.4.1 Penyiapan Mencit

Mencit Umur ±3bulan

Diberi makan dengan makanan produksi


LMR secukupnya
Diberi minum secukupnya

Dibersihkan kandangnya 3 hari sekali

Mencit Siap Uji


3.4.2 Penyiapan Serbuk Terung Telunjuk

Terung Telunjuk

Dicuci dengan air bersih


Diiris tipis-tipis
Dijemur dibawah sinar matahari ± 1 minggu
Diblender dan diayak hingga Halus ± 200 – 250 µm

Serbuk Terung Telunjuk

 
32 
 

3.4.3 Uji Kualitatif Serbuk Terung Telunjuk dengan Metode Skrining Fitokimia

Serbuk Terung Telunjuk

Ditimbang 10 g
Ditambahkan 100 ml Metanol
Dipanaskan diatas waterbath selama ± 5 menit

Ekstrak
Dimasukkan kedalam 4 buah tabung vial

Ekstrak di Vial I Ekstrak di Vial II Ekstrak di Vial III Ekstrak di Vial IV


Diuji dengan Diuji dengan Diuji dengan Diuji dengan
pereaksi pereaksi pereaksi pereaksi
Bouchardat Mayer Dragendroff Lieberman-Bouchard
Hasil Hasil Hasil Hasil 

3.4.4 Uji Serbuk Terung Telunjuk terhadap Mencit


PLOT 1*
Serbuk Terung Telunjuk

Ditimbang 1 g
Dimasukkan kedalam tabung yang berisi10ml Akuades
Diaduk secara merata

Campuran Serbuk Terung Telunjuk 10 %


Disedot 0,5ml dengan Gavage
Diinjeksikan terhadap mencit jantan secara oral
Diulangi perlakuan injeksi selama 15 hari
Digabungkan mencit jantan dengan 3 ekor mencit betina
selama 1 minggu
Dilihat jumlah mencit yang hamil.

Hasil

* Pelakuan yang sama dilakukan variasi konsentrasi campuran serbuk terung telunjuk
untuk :
 Plot 2 dengan variasi konsentrasi : 20 %
 Plot 3 dengan variasi konsentrasi : 30 %

 
33 
 

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Uji Skrining Fitokimia terhadap Buah Terung Telunjuk

Sebelum dilakukan perlakuan terhadap mencit jantan, terung telunjuk diuji menggunakan
teknik skrining fitokimia. Dimana detail reaksi positif, seperti berikut :

Pereaksi Meyer : Endapan putih kekuningan


Pereaksi Wagner : Endapan Coklat
Pereaksi Bouchardart : Endapan Coklat
Pereaksi Dragendroff : Endapan Merah Kecoklatan

Hasil Skrining Fitokimia terhadap ekstrak terung telunjuk penyusun sajikan pada tabel
dibawah ini :

Tabel 4.1 Hasil Uji Skrining Fitokimia Alkaloid

Pereaksi
Sampel
Maeyer Wagner Bouchardart Dragendoff

Buah Terung +
- + +
Telunjuk

Dari hasil uji pendahuluan (skrining) fitokimia yang dilakukan terhadap buah
terung telunjuk menunjukkan reaksi positif terhadap semua senyawa pereaksi. Meskipun
literatur untuk kandungan terung telunjuk sangat minim, namun hasil penelitian
membuktikan bahwa terung telunjuk mengandung senyawa bahan alam alkaloid.

4.2. Uji Ekstrak Alkaloid terhadap Mencit (Mus musculus)


Pada penelitian yang penyusun lakukan, mencit jantan yang telah diberi perlakuan,
digabungkan kepada masing-masing 3 mencit betina selama 1 minggu. Kemudian
dipisahkan dan diamati secara visual jumlah mencit yang hamil. Berikut penyusun
menyertakan tabel seperti dibawah ini :

 
34 
 

Tabel 4.2. Data Hasil Kehamilan Mencit Betina Setelah di Gabungkan dengan
Mencit Jantan
Perlakuan Jumlah Mencit Jumlah Mencit Jumlah Mencit yang
Betina yang yang hamil tidak hamil
mendapat perlakuan
P0 (control) 3 3 0

P1(10%) 3 1 2

P2(20%) 3 0 3

P3(30%) 3 0 3

Total 12 4 8

Dari tabel ditunjukkan dengan bertambahnya konsentrasi jamu alkaloid yang


diberikan kepada mencit (Mus musculus) memberikan pengaruh yang cukup nyata
terhadap tingkat kehamilan mencit. (Gafik tersedia dibagian Lampiran)

Setelah mencit jantan dipisahkan dari mencit betina, kemudian digabungkan


kembali. Ternyata selang 4 – 5 hari kemudian, mencit betina semuanya hamil.

4.3.Perhitungan

4.3.1.Perhitungan persentase ( % ) Tingkat Kehamilan Mencit Betina

Tujuan diadakan perhitungan persentase adalah untuk mengetahui apakah senyawa


alkaloid yang terkandung didalam buah terung telunjuk dapat secara efektif menghambat
kehamilan mencit betina. Persentasenya sebagai berikut :

Persentase jumlah kehamilan Mencit betina yang digabungkan dengan mencit


jantan yang telah diperlakukan dengan aquadest (Plot Kontrol)

% %

% % %

 
35 
 

Dengan cara perhitungan yang sama didapatkan persentase jumlah kehamilan Mencit
Betina, yaitu :
- Plot 1 : 33,33%
- Plot 2 : 0%
- Plot 3 : 0%

Setelah mencit jantan dan mencit betina digabungkan selama 7 hari, kemudian
dipisahkan. Selang 4 hari peneliti kembali menggabungkan mencit jantan dan mencit
betina kembali. Yang terjadi adalah mencit betina hamil. Dan pada hari ke 20 setelah
digabungkan kembali. Mencit betina mulai melahirkan anak mencit. Dengan persentase
kehamilan untuk seluruh plot :

% %

% % %

4.3.2.Perhitungan Estimasi Dosis yang Bisa Dikonsumsi Manusia sebagai Obat


Kontrasepsi

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menaikkan peringkat tanaman herbal dan
sayur mayur, khususnya terung telunjuk agar dapat menikmati khasiat senyawa aktifnya.
Dalam hal ini sebagai obat kontrasepsi. Untuk itu peneliti berpikir sangat penting untuk
menghitung kadar yang tepat dari konsumsi terung telunjuk sehingga efektif dapat
menurunkan tingkat kehamilan, yang secara tidak langsung akan turut menyukseskan
progam keluarga berencana (KB).

Dengan asumsi :

‐ Massa Badan Manusia (Pria) = ± 60kg = 60.000 g


‐ Massa Badan Mencit (Jantan) = ± 50g

Dengan variable :

‐ Kadar jamu yang efektif = 10% g/ml


‐ Volume Pemberian = 0,5 ml
‐ Massa Terung Telunjuk Basah = 2 kg
‐ Massa Terung Telunjuk Kering = 2 ons = 0,2kg

Dengan menggunakan cara Clarke(Suryani,2005)

 
36 
 

Perhitungannya :

% %

,
% %

g
% x , ml/hari
ml
, g/hari

%
, /
%
, /

.
,

. ,

4.4.Pembahasan

Pada uji fitokimia, jamu menunjukkan hasil yang positif pada pereaksi Wagner,
Bouchardart, Dragendroff. Akan tetapi tidak menunjukkan hasil positif pada pereaksi
Maeyer. Tidak terbentuk endapan putih kekuningan.

Kemungkinan besar diakibatkan pemeriksaan skrining fitokimia terung telunjuk


seharusnya dilakukan pada terung telunjuk yang segar. Seperti yang dilakukan Ely
Suryani (2011), dengan memakai buah segar hasil sambung pucuk antara terung belanda
dan tomat dalam pemeriksaan skrining fitokimianya.

 
37 
 

Pemeliharaan mencit sendiri memiliki beberapa masalah diantaranya rentannya


mencit mati. Tentu saja akan sangat berpengaruh pada waktu pengerjaannya. Dalam hal
ini, Kusumawati (2004) menerangkan perlunya perhatian yang lebih pada keadaan
lingkungan yang tepat terutama factor kelembaban dan kebersihan kandang.

Untuk itu dilakukan pembersihan serta pencucian kandang secara teratur 3 kali
sehari, sehingga mencit tidak mengalami stress. Serta untuk pakan sendiri, beliau
melanjutkan bahwa mencit termasuk tipe yang tidak mengenal jadwal makan, maka
pemberikan pakan dan minum secara berlebih.

Dalam pemberian jamu, hal yang menjadi hambatan utama masih adalah dengan
matinya mencit jantan. Stress menjadi faktor yang membutuhkan perhatian khusus.
Karena pemberian jamu dengan gavage sama artinya dengan pemasukan paksa melalui
rongga tengorokan langsung menuju ke lambung.

Pertama kali peneliti memberikan jamu dengan volume 1 ml dengan konsentrasi


5%, 10 % dan 15%. Namun pada hari ke-4, mencit-mencit mati. Dengan bertolak pada
anatomi mencit, kapasitas mencit cuma minimal 0,8ml dengan maksimal 1,5ml. Volume
pemberian 1 ml yang menyebabkan kekenyangan dan stress. Kemudian peneliti
memodifikasi metode penelitian dengan menggunakan volume ½ dari volume awal yaitu
0,5ml dan konsentrasi 2 kali lipat.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa dengan konsentrasi 10% dan volume
pemberian 0,5ml/ hari selama 2 minggu cukup efektif untuk memandulkan mencit jantan.
Namun, sebenarnya dalam penelitian ini yang terpenting adalah mengetahui kualitas dan
seberapa jauh keefektifan dari terung telunjuk dalam memandulkan mencit jantan.

Berhubungan dengan kemandulan mencit jantan, eksperimen Septy Yolanda


(2011) memberikan hasil bahwa, senyawa solasodin mampu menurunkan kadar
tetosteron dalam darah hingga 18,5% pada tikus (Rattus norvegicus) jantan dewasa
dengan pemberian pemberian solasodin per oral.

Dalam pengaturan spermatogenesis, salah satu hormon yang berperan adalah


testosteron (Hadley, 1992). Apabila terjadi gangguan terhadap biosintesis testosteron atau
terjadi penghambatan aksi testosteron pada testis, maka akan terjadi gangguan
spermatogenesis. Testosteron juga berperan dalam mempertahankan potensi seksual pria
dewasa (Sherwood, 1995). Jika kadar testosteron turun, kemungkinan potensi seksual
juga akan menurun.

Sebagai suatu senyawa yang bersifat estrogenik, kemungkinan solasodin berefek


seperti estrogen atau estradiol, yaitu pada dosis tinggi dapat menghambat sekresi LH dan
FSH oleh hipofisis anterior atau menghambat keseimbangan GnRH oleh hipotalamus.

Dalam studi lain, Umi Daniati (2009) menyebutkan solasodin merupakan


senyawa yang bersamaan dengan diosgenin merupakan prekursor untuk pembentukan
progesteron. Pemberian solasodin sendiri dengan dosis yang sesuai, menurut Johanes

 
38 
 

Sugianto (1983) dapat menjadi efek toksik secara nyata pada perkembangan embrio
mencit (Mus musculus) galur Australia.

Dengan hamilnya semua mencit betina setelah dikawinkan kembali dengan


mencit jantan, membuktikan bahwa jamu terung telunjuk yang diduga mengandung
solasodin hanya bersifat temporer. Yang artinya, mencit akan mengalami kemandulan
apabila mengkonsumsi terung telunjuk secara terus menerus untuk jangka waktu 2
minggu.

 
39 
 

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN


5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan yang peneliti lakukan, dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut :

(a) Terung telunjuk dengan diuji skrining fitokimia, mengandung senyawa alkaloid yang
diduga merupakan senyawa solasodin

(b) Jamu terung telunjuk dalam larutan aquadest mampu menurunkan tingkat kehamilan
secara signifikan dengan volume pemberian 0,5ml dan konsentrasi 10% secara teratur
selama 2 minggu.

(c) Senyawa alkaloid yang terkandung pada tanaman terung – terungan khususnya dalam
penelitian ini adalah terung telunjuk, hanya menimbulkan efek kemandulan sementara
pada saat jamu dikonsumsi secara kontinu dan akan kembali hilang efeknya setelah tidak
mengkonsumsi ektrak selama minimal 4 hari.

5.2.Saran

Setelah menyelesaikan penelitian ini, peneliti menunjukkan minat untuk menyarankan


pembaca, diantaranya sebagai berikut :

(a) Agar kiranya setiap skrining fitokimia yang dilakukan pembaca, harus memperhatikan
kesegaran sampel. Sehingga tingkat kesalahan dalam hasil skrining dapat diminimalisir.
(b) Seharusnya diperhatikan faktor lingkungan dengan menambahkan mainan pada kandang
dan makanan yang berlebih serta kebersihan kandang untuk mengurangi tingkat stress
pada mencit.
(c) Pemberian jamu pada mencit hendaknya memperhitungkan kapasitas volume lambung
dari mencit, semakin kecil volume semakin bagus. Dapat dimodifikasi dengan
meningkatkan konsentrasi bahan.
(d) Karena dengan pemnberian jamu terung telunjuk, produksi feses mencit sangat banyak,
maka diharapkan ada peneliti selanjutnya yang menelitinya lebih jauh sebagai pupuk
kandang.

 
40 
 

Lampiran
 

 
41 
 

LAMPIRAN
Lampiran L.1 Gambar Terung Telunjuk Kering

Lampiran L.2 Gambar Ekstrak Terung Telunjuk dan Gavage yang berisi Ekstrak Terung
Telunjuk (Perlakuan I)

 
42 
 

Lampiran L.3 Gambar Ekstrak Terung Telunjuk setelah Metode Penelitian


dimodifikasi(Perlakuan II)

Lampiran L.4 Gambar Kandang Pemeliharaan Mencit

Lampiran L.5 Gambar Mencit yang Hamil

 
43 
 

Lampiran L.6 Gambar Mmencit yang Melahirkan beserta Anaknya

Lampiran L.6 Gafik Jumlah Kehamilan Mencit

 
44 
 

Grafik Jumlah Mencit yang Hamil 
Setelah Diberi Perlakuan
Jumlah Mencit yang hamil Jumlah Mencit yang tidak hamil

3
Jumlah Mencit 2.5
2
1.5
1
0.5
0
P0 (control) P1(10%) P2(20%) P3(30%)
Konsentrasi
45 
 

DAFTAR PUSTAKA

Adiati, U., D.A. Kusaningrum, T. Kostaman . 2009. Seminar Nasional Teknologi


Peternakan Dan Veteriner: Isolasi Solasodin Dari Buah Solanum Khasianum
Sebagai Bahan Aktif Pembentuk Progesteron. Balai Penelitian Ternak. Bogor

Alfian, M., R. Surbakti, Anry Sartika D. 2012. Isolasi Dan Uji Efektifitas Zat Berkhasiat
Solasodin Dari Terong Ungu (Solanum Melongena L.) terhadap penghambat
kehamilan mencit putih (Mus musculus) Percobaan. Jurusan Farmasi. FMIPA
UMN Al-Washliyah. Medan

Biro Pusat Statistik.2007. Statistik Kesejahteraan Rakyat. BPS. Jakarta

Campbell, Reece, Mitchell. 2004. Biologi. Penerbit Erlangga. Jakarta

Everett, Suzanne. 2007. Buku Saku Kontrasepsi Dan Kesehatan Reproduksi Edisi 2.
Penerbit
Buku Kedokteran ECG. Jakarta.

F. Gary Cunningham [Et Al.]. (2006). William Obstetrick, Vol. I. EGC. Jakarta

Ganong, MD, Wiliam F. 1983. Fisiologi Kedokteran. Terjemahan Adji Dharma. EGC
Penerbit
Buku Kedoteran. Jakarta

Ghufron, M Dan Herwiyanti, S. 1995. Gambaran Histologik Spermatogenesis Tikus


Wistar
(Rattus Norvegicus L) Setelah Diberi Terong Tukak (Solanum Torvum Sw)
Laporan Penelitian. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.

Junquiera, Luis C Dan Carneiro, Jose. 1980. Histologi Dasar. Penerbit Buku
Kedokteran
EGC. Jakarta

Ilyas M, Syafruddin. 2004. Prospek Luffa Aegyptica Sebagai Bahan Antifertilitas.


Artikel.
Jurusan Biologi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Sumatera Utara. Sumatera Utara.

Kapsul, 2001. Kualitas Spermatozoa Tikus Wistar (Rattus Norvegicus L) Setelah


Mengkonsumsi

 
46 
 

Buah Terong Tukak (Solanum Torvum Sw). Laporan Hasil Penelitian Universitas
Lambung Mangkurat, Banjarmasin.

Kusumawati, D. 2004. Bersahabat Dengan Hewan Coba. Gadjah Mada University


Press. Yogyakarta

Liewellyn, Derek Dan Jones. 2009. Setiap Wanita. Delapratasa Publishing. Jakarta

Lubis, E., R. Surbakti., H. Ridwanto. 2013. Isolasi Dan Uji Efektifitas Zat Berkhasiat
Steroid
Dari Ekstrak Tengkua (Commelina nudifira L.) Teradap Efektifitas Penghambat
Kehamilan Mencit Betina (Mus musculus) Percobaan. Jurusan Farmasi. FMIPA
UMN Al-Washliyah. Medan

Muryati, Et Al. 2006. Kadar Testosteron Serum Darah Dan Kualitas Spermatozoa Mencit
(Mus
Musculus) Setelah Diberi Ekstrak Biji Saga (Abrus Precatorius L). Sekolah
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Nurliani, Anni, Rusmiati Dan Budi Santoso, Heri. 2005. Perkembangan Sel
Spermatogenik
Mencit (Mus Musculus L.) Setelah Pemberian Ekstrak Kulit Kayu Durian (Durio
Zibethinus Murr.). Jurnal Penelitian Berk. Penel. Hayati: 11 (77–79), 2005.
Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin. Kalimantan Selatan

Partodihardjo, Soebadi. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya.


Jakarta.

Prawirohardjo, Sarwono. (2008). Ilmu Kebidanan. FKUI. Jakarta

Rugh, R. 1968. The Mouse: Its Reproduction & Development. Burgess Publishing. Co
USA

Rusmiati, 2007. Pengaruh Ekstrak Kayu Secang (Caesalpinia Sappan L) Terhadap


Viabilitas
Spermatozoa Mencit Jantan (Mus Musculus L). Jurnal BIOSCIENTIAE Vol: 4
No:2 Salisbury, G.W. 1987. Fisiologi Reproduksi Dan Inseminasi Buatan Pada
Sapi. Gadjah Mada University Press. Jogjakarta

R. Sumastuti, Sri Kadarsih S. 1994. Pengaruh Rimpang Kunyit (C. Dumestica Vahl.) Dan
Zat
Kandungan Utamanya (Analog Kurkamin Dan Minyak Atsiri) Terhadap
Spermatogenesis Dan Organ-Organnya Serta Kelenjar Asesori Yang
Bersangkutan Pada Tikus In Vivo. Penelitian FK. UGM. Yogyakarta

Syamsuni, H. 2005. Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi. Penerbit Buku


Kedokteran EGC.
Jakarta

 
47 
 

Smith, John Dam Mangkoewidjojo, Soesanto. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan Dan


Penggunaan Hewan Percobaan Di Daerah Tropis. Penerbit Universitas
Indonesia Press. Jakarta

Soehadi, K Dan Santa, IGP. 1992. Perspecitve Of Male Contraception With Regards To
Indonesian Traditional Drugs. In : Andrology In Perspective (Edited By Arif
Adimulya And Eddy Karundeng). PT. Kenrose Indonesia.

Soewolo. 2000. Pengantar Fisiologi Hewan. Proyek Pengembangan Guru


Sekolah
Menengah Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan. Jakarta.

Sugianto, Johanes. 1983. Efek Solasodin Terhadap Perkembangan Embrio Mencit Putih
(Mus
Musculus) Galur Australia. Institut Teknologi Bandung. Bandung

Sunarjono, H. 2004. Bertanam 30 Jenis Sayuran. Jakarta : Penebar Swadaya

Suryani, E. , Surbakti, R., Barus, 2011 T. Aktivitas Alkaloid Dari Buah Terung Belanda
(Solanum
Betaceum) Hasil Sambung Pucuk Dengan Lancung (Solanum Mauritianum)
Terhadapa Tingkat Kehamilan Mencit (Mus Musculus). Universitas Sumatera
Utara. Medan

Turner, Donnel Dan Bagnara, Joseph. 1988. Endokrinologi Umum. Airlangga


University
Press. Surabaya

Wijaya, E. K., R. Surbakti. 2012. Isolasi Zat Berkhasiat Solasodine Dari Tanaman Dari
Tanaman Lancing (Solanum verbamcifolium S.) Terhadap Efektifitas Kehamilan
Mencit (Mus musculus) Percobaan. Jurusan Farmasi. FMIPA UMN Al-
Washliyah. Medan

Wilopo, S.A. 2006. Perkembangan Teknologi Kontrasepsi Pria Terkini. Gema Pria.
Available
From: Http://Pikas.Bkkbn.Go.Id/Gemapria/Article-Detail Php. (Di Akses Tanggal
17 Januari, 2010)

Winarno, M.W. 1997. Cermin Dunia Kedokteran No 120 : Informasi Tanaman Obat
Untuk
Kontrasepsi Tradisional. Depkes RI. Jakarta

Yatim, W. 1996. Histologi. Tarsito. Bandung

Yolanda, S. 2011. Pengaruh Pemberian Solasodin Per Oral Terhadap Kadar Testosteron
Darah
Tikus (Rattus Norvegicus) Jantan Dewasa. Bogor

 
48 
 

ms.wikipedia.org/wiki/Pokok_Terung_Telunjuk, diakses dan diterjemahkan pada


tanggal 13 Juli 2012

http://www.utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2011&dt=0801&pub=utusan_malaysia&se
c=Agobiz&pg=ag_04.htm&arc=hive, diakses dan diterjemahkan pada tanggal 10 Juli
2012

http://id.wikipedia.org/wiki/Testosteron, diakses dari Wikipedia Agustus 2012


 
http://lipidbank.jp/cgi-bin/detail.cgi?id=SST0119, diakses tanggal 18 Desember 2012

http://evykingbio.blogspot.com/2012/06/laporan-praktikum-embrio-mencit.html diakses
tanggal 18 Desember 2012
 
http://informasisehat.wordpress.com/2009/09/03/penggunaan-bahan-alam-sebagai-alat-
kontrasepsi-tradisional/ diakses tanggal 18 Desember 2012
 
http://aejos.com/sains/proses-konvergensi-sperma-dan-ovum.html, diakses tanggal 18
Desember 2012
 

 
 

 
iv 
 

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang pemberian jamu terung telunjuk terhadap


mencit jantan sehingga menimbulkan efek antifertilitas. Jamu yang diberikan diselidiki
kandungan bahan alamnya, dengan menggunakan skrining fitokimia. Hasil tersebut
menunjukkan reaksi positif pada pemberian pereaksi Skrining Fitokimia Alkaloid.
Pemberian jamu dilakukan secara oral terhadap mencit jantan yang berumur diatas 3
bulan, dengan 3 (tiga) variasi konsentrasi ektrak dalam aquadest. Pada plot 1 digunakan
larutan jamu 10 % b/v selama 14 hari terhadap mencit jantan, dengan tingkat kehamilan
mencit betina 33,33%. Pada plot 2 digunakan larutan jamu 20% b/v selama 14 hari
terhadap mencit jantan, dengan tingkat kehamilan mencit betina 0%. Pada plot 3
digunakan larutan jamu 30% b/v selama 14 hari terhadap mencit jantan, dengan tingkat
kehamilan mencit betina 0%. Setelah mencit jantan tidak diberi jamu terung telunjuk lagi,
mencit betina yang dibuahi ternyata hamil dan melahirkan.

 

 

EFFECT OF GIVING JAMU OF INDEX EGGPLANT(Solanum Sp.) POWDER


AS ANTI FERTILITY TO MALE WHITE MOUSE (Mus musculus) AS
ALTERNATIVE CONTRACEPTION MEDICINE

ABSTRACT

An investigation of the index eggplant crude jamu anti-fertility effects by giving


orally to male mice was done. Given jamu was checked its natural resources composition
by using Phytochemical Screening. Its result positive reaction with alkaloid tester reagent.
The jamu was given orally to at least 3-months old male mice in 3 (tiga) groups varies on
the concentration in distillated water. On control plot, uses 0% jamu (100% distillated
water) to male mice for 14 days, results 100% on mice pregnancy rate. On plot 1, uses 10%
b/v jamu to male mice for 14 days, results 33,33% on mice pregnancy rate. On plot 2,
uses 20% b/v jamu to male mice for 14 days, results 0% on mice pregnancy rate. On plot
3, uses 30% b/v jamu to male mice for 14 days, results 0% on mice pregnancy rate. After
the jamu were stopped giving to male mice, results the female mice got pregnant and had
mice baby.

Anda mungkin juga menyukai