Anda di halaman 1dari 6

Mayoritas dan Minoritas dalam Islam

indoprogress.com/2019/06/mayoritas-dan-minoritas-dalam-islam/

Mayoritas dan Minoritas dalam Islam 21 June 2019 Ahmad Rizky M. Umar Harian June 21,
IndoPROGRESS 2019

Kredit foto: VIVA

ARTIKEL Tabayyun saya bulan lalu, “Menuju Fikih Mayoritas” mendapatkan beberapa
tanggapan menarik. Salah satunya adalah tanggapan cerdas dari kolega saya, Zain Maulana,
yang mengelaborasi beberapa poin yang saya ajukan tentang Fikih Mayoritas. Meskipun
setuju dengan gagasan besar saya tentang “Fikih Mayoritas”, Zain melihat ada beberapa hal
yang masih perlu dielaborasi dan diperdebatkan tentang konsep “mayoritas” dan
“minoritas”. Menurut Zain, konsepsi ini perlu diperjelas agar keadilan dan perlindungan –
yang penting dalam argumen saya tentang ‘fikih mayoritas’— menjadi terbatas pada satu
kelompok tertentu, yaitu minoritas dan cenderung menafikan kelompok lainnya yang
mayoritas.

Hal ini mengantarkan kita pada satu pertanyaan: bagaimana memahami “mayoritas” dan
“minoritas” dalam Islam? Apakah ia terkait dengan jumlah, akses kekayaan, hubungan
spiritual, atau justru yang lain? Bagaimana rumusan tentang ‘mayoritas’ dan ‘minoritas’ ini
diejawantahkan dalam konteks kehidupan sehari-hari? Artikel ini mencoba untuk menjawab
beberapa pertanyaan ini secara lebih sederhana.

1/6
***

Secara garis besar, gagasan tentang mayoritas dan minoritas membawa kita pada satu
bahasan tentang “ummah” dalam Islam. Konsep ini sentral karena sering disebut-sebut
sebagai penanda kesatuan kelompok dalam Islam. Pandangan tentang “Ummah” kerap
dipahami dalam konteks kesatuan, dimana umat Islam dipandang sebagai entitas yang
homogen, diikat oleh satu pemahaman yang sama, serta antara satu dan yang lainnya tidak
beragam.

Dalam titik tertentu, pandangan ini bisa jadi benar, karena identitas Islam diikat, secara
mendasar, pada konsep Tauhid: keesaan Allah. Untuk menjadi seorang Muslim, tidak ada
jalan lain selain dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, yang mengesahkan seorang
individu menjadi seorang Muslim.

Namun demikian, konsepsi Ummah baik dalam Al-Qur’an maupun dalam kenyataan sejarah
ternyata tidak se-homogen yang sering dibayangkan. Kajian menarik dari Jahidin menyebut
bahwa dalam Al-Qur’an kata “Ummah” disebut sebanyak 64 kali dengan berbagai konteks.
Hal ini, secara lebih spesifik, dijelaskan oleh Professor Quraish Shihab dalam Tafsir Al-
Misbah. Ada beberapa konteks ‘Ummah’ yang termaktub dalam Al-Qur’an: Khairu Ummah
(sebaik-baik umat), Ummatan Wasathan (“Umat pertengahan”), Ummatan Muqtashidan
(“Umat yang adil dan objektif”), serta Ummatan Wahidah (“Umat yang satu”). Kata Ummah
juga merujuk pada hal yang lebih luas: waktu, agama, hewan, bahkan juga jin dan manusia.

Pada intinya, konsepsi tentang “ummah” dalam Al-Qur’an tidak semata merujuk pada
kelompok yang diikat oleh ‘agama’ Islam dengan dua kalimah syahadah sebagai penanda,
tetapi juga hal yang lebih luas. Meskipun kemudian, sebagaimana dijelaskan dengan cukup
detil oleh Ganjar Widhiyoga dalam Disertasi Doktoralnya, secara historis “Ummah” juga
menjadi identitas pemersatu masyarakat Muslim dalam konteks global.

Sehingga, pandangan tentang “Ummah” sebagai sesuatu yang homogen tersebut juga bisa
keliru karena pada dasarnya Islam dianut oleh masyarakat yang dinamis, dan hidup di
tengah lingkungan sosial yang dihuni oleh perbedaan-perbedaan. Pada titik ini, konsepsi
tentang “Ummah” juga tidak lagi menjadi satu, karena pada kenyataannya ada ragam
pemahaman fiqh dalam Islam (misalnya), ragam karakter budaya ketika Islam menyebar ke
berbagai tempat, dan ragam posisi masyarakat Muslim ketika kemudian berhadapan
dengan masyarakat yang tidak sepenuhnya menerima Islam sebagai keyakinan hidup.

***

Harus diakui, banyak pendapat ulama, baik yang klasik maupun kontemporer, ditulis
dengan satu asumsi mendasar: bahwa seorang Muslim hidup dalam masyarakat yang,
secara jumlah, mayoritas Muslim. Di sini, konsepsi Ummah yang dipakai adalah Ummatan
Wahidatan, dimana asumsi yang dipakai adalah Umat Islam yang sifatnya tunggal dan hanya

2/6
berorientasi pada pemahaman terhadap dua sumber hukum –Al-Qur’an dan Sunnah—
secara letterlijk dengan melepaskan konteks sosial dimana Islam diterapkan dalam
kehidupan.

Namun demikian, tentu berbeda halnya ketika Umat Islam hidup dalam masyarakat yang
tidak sepenuhnya menerima Islam. Ilustrasi yang diberikan oleh Muadz ibn Jabal menjadi
menarik untuk diketengahkan. Suatu ketika, Mu’adz diutus Rasulullah untuk berdakwah ke
Yaman, dan Rasulullah bertanya, “Apabila muncul suatu perkara, bagaimana engkau
memutuskan hukumnya?”

Mu’adz menjawab, “Aku putuskan dengan berdasarkan Kitab Allah”. Beliau bertanya,
“Bagaimana jika engkau tidak mendapatkannya dari Kitab Allah?” Mu’adz menjawab, “Maka
aku putuskan berdasarkan Sunnah Rasulullah.” Beliau bertanya lagi, “Bagaimana jika engkau
tidak mendapatkan keputusannya dalam Sunnah Rasulullah?” Mu’adz menjawab, “Aku
berijtihad dengan menggunakan pendapatku dan aku tidak akan mundur.”

Dalam konteks ini, fleksibilitas dalam beragama –dan ijtihad— jadi penting ketika
menghadapi konteks masyarakat yang plural. Ulama-ulama Muslim, terutama yang hidup
dalam konteks masyarakat Barat, kemudian mencoba merumuskan fiqh al-aqalliyat –fiqh
minoritas—yang menjadi panduan ketika hidup di tengah masyarakat Barat yang notabene
sekuler dan, jikapun beragama, bukan beragama Islam. Hal yang kemudian akan sangat
berbeda bagi umat Islam di Indonesia, yang mendapati mesjid dimana-mana, makanan
halal tersedia, serta Masjid yang bisa punya pengeras suara.

Halim Rane dan Adis Duderija melihat bahwa FIqh Aqalliyat dibangun di atas satu
kebutuhan untuk memosisikan umat Islam agar bisa hidup dalam konteks hubungan sosial
dimana Umat Islam menjadi “minoritas”. Di sini beberapa ulama seperti Taha Jabir Al-Alwani
dan Yusuf Al-Qaradhawi kemudian merumuskan konteks Islam dalam masyarakat Barat
dengan menekankan fleksibilitas dan pentingnya ijtihad, agar tidak ada benturan ‘etis’
antara umat Islam dan masyarakat Barat. Fiqh Al-Aqalliyat bukan merupakan produk
hukum baru, melainkan kontekstualisasi dari tradisi hukum yang ada dalam Islam dalam
konteks kehidupan masyarakat yang bukan mayoritas Muslim.

***

Tapi, hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan lain: bagaimana dengan umat Islam yang
hidup sebagai Mayoritas? Di sinilah argument tentang fiqh al-aghlabiyyat (mayoritas) saya
dudukkan. Jika fikih minoritas bertumpu pada fleksibilitas dan pengambilan pendapat
secara sah dalam tradisi hukum Islam (ijtihad), maka fikih mayoritas bertumpu pada dua
konsep lain, yaitu keadilan dan perlindungan (al-muhafazhah).

3/6
Di sini, perlu diketengahkan apa yang dimaksud dengan ‘minoritas’ dan ‘mayoritas’. Ada dua
cara pandang kita dalam memahami dua hal tersebut. Cara pandang pertama melihat
‘mayoritas’ dan ‘minoritas’ dalam konteks jumlah –siapapun yang jumlahnya besar memiliki
kewajiban etis untuk melindungi mereka yang jumlahnya sedikit.

Cara pandang ekonomi politik akan melihatnya sedikit berbeda. Benar, bahwa mayoritas
bisa berarti jumlah yang besar. Namun, yang menjadikan satu kelompok menjadi mayoritas
bukan hanya jumlah, tetapi juga akses terhadap kekuasaan, modal, dan kemampuan yang
besar. Kaidah dalam hal ini sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an: Mereka yang diberi
kekuasaan mendapatkan tanggung jawab (‘amanah) untuk berlaku adil dan melindungi
sessamanya. Adil, dalam arti ada distribusi kesejahteraan dan kekayaan, pemenuhan hak-
hak dasar manusia, serta dihapuskannya ketimpangan.

Di sini, ada kaidah yang bisa dirumuskan: minoritas dan mayoritas akan sangat ditentukan
oleh kekuasaan dan kemampuan. Semakin besar kekuasaan dan kemampuan, maka
semakin ia dibebankan keharusan untuk berlaku adil dan menjaga hak-hak orang lain.
Sebaliknya, jika ia tidak punya kuasa dan kemampuan, semakin ia mendapatkan hak agar
bisa punya standard kehidupan yang layak, dan beragama secara fleksibel. Di sini, ada satu
istilah yang kerap dilekatkan dengan Islam –rahmatan lil’alamin; menebar kebaikan bagi
seluruh alam. Konsep ini mesti dipahami juga sebagai sebuah cara pandang untuk berlaku
adil kepada selurun umat manusia, dengan memperhatikan kekuasaan dan
kemampuannya.

Di sini, ada konsep Ummah yang lain, yaitu Ummatan Muqtashidah (umat yang
pertengahan). Professor Quraish Shihab menafsirkan kalimat ini hampir identik dengan
Ummatan Wasathan –yang juga berarti umat pertengahan dalam menentukan cara
beragama— tetapi menekankan aspek ekonomi, yaitu rezeki yang halal. Allah berfirman
dalam Al-Ma’idah: 66,

“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (al-Quran) yang
diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan atas mereka
dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada sekelompok yang jujur dan taat (ummatan
muqtashidah). Dan banyak di antara mereka sangat buruk apa yang mereka kerjakan.”

Dari ayat ini, poin menarik adalah bahwa ada aspek yang akan didapatkan ketika kita
menjalankan ajaran agama, yaitu rezeki yang halal. Ayat ini bukan hanya terkait dengan
hukum yang terkait dengan ibadah mahdhah (ritual), tetapi juga ibadah ‘muamalah. Quraish
Shihab menafsirkannya sebagai umat yang adil dan objektif, yang sangat terkait dengan
konsepsi keadilan dalam Islam.

***

4/6
Salah satu contoh yang menarik dari mayoritas dan minoritas ini ditunjukkan oleh
Rasulullah dalam Piagam Madinah. Jika kita baca secara lebih detil, “negara Madinah” yang
dibangun oleh Rasulullah dan masyarakat Yatsrib pada hakikatnya adalah sebuah sistem
yang konsoasional. Piagam Madinah yang menjadi “dustur” (konstitusi) adalah potret dari
negosiasi kepentingan antara umat Islam dan kaum Yahudi dalam menjaga keamanan kota
Madinah dan hidup bersama secara berdampingan dan damai.

Dari 47 pasal yang disebutkan dalam piagam Madinah, ada beberapa pasal yang
mencerminkan adanya konsensus tersebut. Pasal 2-10, misalnya, menempatkan kedaulatan
masing-masing suku yang ada dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kedaulatan tersebut
menunjukkan bahwa Rasulullah dan Muslimin Madinah dan seluruh entitas suku mengakui
eksistensi dari masing-masing suku dan keyakinan beragama. Hal ini ditegaskan dalam
pasal 25 yang berbunyi, “Kaum Yahudi dan Bani Awf adalah satu umat dengan mukminin.
Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum Muslimin agama mereka. Juga (kebebasan
ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka. Kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal
demikian akan merusak diri dan keluarganya”.

Artinya, pengakuan atas eksistensi ini menjadi basis dari konsensus yang dibangun.
Kedaulatan dan kebebasan masing-masing suku diakui oleh Rasulullah dan sahabat-
sahabatnya. Akan tetapi, kedaulatan tersebut dibatasi oleh satu hal: ancaman terhadap
keamanan kota Madinah dan keamanan individu.

Pasal 37, misalnya, menegaskan bahwa, “Bagi kaum yahudi ada kewajiban biaya, dan bagi
kaum Muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (yahudi dan Muslimin) bantu membantu
dalam menghadapi musuh warga piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasehat.
Memenuhi janji lawan dari khianat. Seorang tidak menanggung hukuman akibat (kesalahan)
sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya”.

Piagam Madinah menjadi satu bentuk konstruksi Islam dalam masyarakat Madinah yang
sebenarnya plural –terbagi atas beberapa komunitas (Islam, Yahudi, dan Arab Badui yang
tinggal di sana). Piagam Madinah menunjukkan bahwa Islam tidak berlaku universal, dan
semua komponen masyarakat memiliki tanggung jawab untuk saling melindungi atas
ancaman yang muncul terhadap keutuhan kota. Piagam ini menempatkan bahwa dalam
konteks kehidupan bernegara, bukan hukum Islam yang menjadi acuan, melainkan
konsensus, kesaksian, dan negosiasi dari beragam pihak yang ada dalam satu negara.
Termasuk juga bagaimana relasi antara mereka yang punya kekuasaan dengan mereka
yang membutuhkan; relasi antara sesuatu yang sifatnya privat/tribal (diselesaikan dalam
kelompok) dengan sesuatu yang sifatnya ‘publik’ atau membutuhkan komitmen bersama.

***

5/6
Lantas, bagaimana memahami masyarakat Muslim Indonesia? Apakah masyarakat Muslim
Indonesia adalah “mayoritas”, atau justru “minoritas” karena akses ekonomi dan kekuasaan
sebagaimana banyak argumen yang melihat Islam justru terpinggirkan secara ekonomi atau
politik?

Dalam hal ini, kita dituntut untuk melihatnya lebih kritis dalam konteks yang lebih material.
Bisa jadi, ada umat Islam yang menjadi ‘mayoritas’ karena aksesnya terhadap kepemilikan
modal, akses terhadap kekayaan dan pekerjaan yang layak, atau karena ia menjadi bagian
dari struktur kekuasaan ekonomi dan politik yang ada. Banyak umat Islam yang menjadi
mayoritas karena bisa ke Austria dan Amerika Serikat untuk lebaran, atau memiliki usaha
yang memungkinkan ia membangun dinasti politik yang Berjaya. Atau sekadar bisa mudik
lebaran untuk bisa menikmati hangatnya kampung halaman.

Tapi ada juga umat Islam yang menjadi “minoritas” – tanahnya diambil oleh perusahaan
besar karena ada investasi di sana, pekerjaannya tidak cukup menghidupi keluarganya, atau
mungkin mereka hidup di lingkungan orang-orang yang tidak beragama Islam.

Dan di sini, kita tidak bisa memutuskan fiqh seperti apa yang berlaku tanpa memahami
konteks kehidupan dimana seseorang tinggal. Pada akhirnya, pertanyaan tentang Ummat
Islam bukan sekadar soal agama, tapi bagaimana menjadikan Islam sebagai inspirasi untuk
berlaku adil kepada sesama, melindungi orang-orang yang lemah, dan membangun tatanan
masyarakat yang lebih baik untuk para pekerja di alam kapitalisme hari ini.***

Ahmad Rizky Mardhatillah Umaradalah mahasiswa PhD di The University of Queensland –


UQ, Australia

6/6

Anda mungkin juga menyukai