Undang-Undang Penyiaran
Namun realitas yang terjadi di Indonesia ada suatu permasalahan yang banyak dari
kita tidak pernah menyadari permaslahan tersebut.. Film “Di Balik Frekuensi”
mencoba memberitahu kita permasalahan yang kita tidak pernah menyadarinya, atau
menganggap bahwa permasalahan tersebut bukanlah suatu masalah. Permasalahan
tersebut yaitu mengenai kepemilikan atas media massa. Fakta di Indonesia
menyatakan jika kepemilikan atas media massa di Indonesia yang dikonsumsi oleh
kurang lebih 250 juta penduduk Indonesia hanya dimiliki oleh 12 pihak saja. 12 grup
media dengan pemilik yang memiliki kepentingannya sendiri-sendiri, membanjiri
publik dengan tayangan-tayangan dalam kanal-kanal media milik mereka yang
memanisfestasikan kepentingan yang jelas bukan merupakan kepentingan publik. 12
grup media itu mengendalikan ribuan media dengan aneka format. Untuk seluruh
televisi di negeri ini, baik dalam tingkatan nasional maupun lokal, sebagian besar
sahamnya hanya dimiliki oleh 5 orang saja. Seperti Ketua Umum Partai Golongan
Karya (Golkar), Aburizal Bakrie memiliki TVOne dan ANTV. Ketua Umum Partai
Nasional Demokrasi (Nasdem), Surya Paloh, memiliki MetroTV. Politisi partai Hati
Nurani Rakyat (Hanura), Hary Tanoesodibjo, memiliki RCTI, GlobalTV dan
MNCTV. Chairul Tanjung memiliki TransTV dan Trans7. Eddy Kurnadi
Sariaatmadja memiliki SCTV dan Indosiar. Begitupun dengan media massa berupa
stasiun radio dan berbagai macam media onlineyang juga hanya dimiliki oleh
beberapa pihak saja. Selain itu, pemberitaan yang dilakukan oleh ribuan media
massa di Indonesia yang dikuasai oleh beberapa pihak tersebut juga pada dasarnya
tidak pernah menyangkut kepentingan masyarakat, namun bertolak dari kepentingan
orang-orang dibalik media massa tersebut. Hal inilah yang biasa disebut dengan
oligopoli media massa, yang mana media massa hanya dikuasai oleh beberapa pihak
saja, dan pemberitaan yang dilakukan hanyalah untuk kepentingan ekonomi maupun
politik pihak yang ada dibalik media massa tersebut.
Sementara itu terkait jangkauan siaran dari lembaga penyiaran swasta, ditetapkan
jika lembaga swasta dapat menyelenggarakan siaran melalui sistem stasiun jaringan
dengan jangkauan wilayah terbatas (Pasal 31 ayat 3). Bagi lembaga penyiaran yang
sudah mempunyai stasiun relay, sebelum diundangkannya undang-undang ini dan
setelah berakhirnya masa penyesuaian yaitu 2 tahun untuk jasa penyiaran radio dan
3 tahun untuk jasa penyiaran televisi (Pasal 60 Ayat 2), maka masih dapat
menyelenggarakan penyiaran melalui stasiun relainya sampai dengan berdirinya
stasiun lokal yang berjaringan dengan lembaga penyiaran tersebut dalam batas
waktu paling lama 2 tahun, kecuali ada alasan khusus yang ditetapkan oleh Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) bersama dengan pemerintah (Pasal 60 Ayat 3). Ketentuan
ini dipermasalahkan oleh lembaga penyiaran swasta yang telah mengudara secara
nasional , karena mereka menganggap dengan adanya peraturan tersebut maka
lembaga penyiaran swasta yang sudah mengudara secara nasional akan sulit
beroperasi di daerah, karena tidak mudah untuk berjaringan dengan lembaga
penyiaran lokal yang ada nantinya karena ini berkaitan dengan deal bisnis.
Sejak ditetapkannya UU No.32 Tahun 2002 tentang penyiaran, hingga saat ini
sistem penyiaran di Indonesia belum sepenuhnya berubah, kewajiban pembangunan
jarinagn diabaikan begitu saja. Padahal sistem televisi berjaringan adalah sebuah
sistem yang jauh lebih demokratis, adil dan membawa manfaat bagi seluruh daerah
di Indonesia. Selama ini sistem penyiara di Indonesia tersentralisasi hanya di
seputaran daerah JABODETABEK, jika mengingat masyarakat indonesia yang
menetap di berbagai daerah akan memiliki konteks budaya, politik, dan ekonomi
berbeda, penunggalan siaran yang datang dari sebuah Pusat pada
dasarnya mengingkari keberagaman tersebut. Karena itu, dalam sistem jaringan
ini, setiap stasiun televisi yang menjadi bagian dari jaringan nasional harus memuat
program-program lokal, misalnya program berita lokal atau program pendidikan
lokal, dan sebagainya. Data dari penelitian LSM REMOTIVI menjelaskan jika untuk
Daerah Asal Berita (DAB) Jabodetabek mendominasi “DAB Berdasarkan
Frekuensi” dengan angka mencapai 41%. Sementara itu, DAB Non-Jabodetabek
memperoleh angka 45%, dan ini mesti berbagi lagi dengan 32 provinsi lainnya.
Melalui data ini kita bisa melihat perbedaan mencolok perhatian televisi nasional
terhadap Jabodetabek ketimbang provinsi lainnya. Karenanya tidaklah berlebihan
rasanya bila mengatakan televisi nasional menerjemahkan separuh dari Indonesia
sebagai Jabodetabek. Dengan praktik yang demikian, rasanya tidak berlebihan bila
kita mempertanyakan kembali status stasiun televisi swasta Jakarta yang bersiaran
nasional: sebagai televisi nasional atau televisi lokal Jabodetabek? Bisa saja
dikatakan bahwa televisi kita gagal mengemban tugas “nasional”-nya. Namun
mungkin lebih tepat dikatakan tidak ada cukup ruang bagi semua orang dalam sistem
penyiaran yang tersentralisasi. Sebab, kebutuhan informasi warga negara Indonesia
yang beragam latar belakang etnis, agama, ekonomi, politik, dan geografis tidak
akan bisa dipenuhi oleh sistem penyiaran yang tersentralisasi. Dalam penyiaran yang
sentralistis, berita daerah di televisi ada hanya sebagai formalitas, bukan prioritas.
Sentralisasi penyiaran hanya akan menghasilan konten berita televisi yang
memanggungkan Jakarta dan menjadikan berita daerah di luarnya sebatas parade
informasi yang sekilas, sensasional, dan tanpa kedalaman, tak ubahnya Taman Mini
Indonesia Indah ala televisi. (Remotivi, Melipat Indonesia Dalam Berita Televisi).
Namum yang paling penting dari sistem stasiun televisi berjaringan adalah bukan
hanya soal konten lokal dala pemberitaan, namun lebih kepada manfaat ekonominya.
Dengan sistem penyiaran yang hanya tersentralisasi di Jakarta, maka uang iklan
hanya akan mengalir kesana. Seluruh keuntungan ekonomi hanya mengalir ke
daerah Jakarta, sementara daerah yang lain di luar Jakarta hanya menjadi penonton.
Dalam sistem pertelevisian seperti saat ini yang ada di Indonesia, maka tak mungkin
ada stasiun televisi yang berada di luar Jakarta dapat berkembang dengan sehat.
Masyarakat daerah tidak memperoleh manfaat ekonomi apa-apa dari sistem
sentralistik ini. Puluhan triliun rupiah belanja iklan televisi setiap tahunnya hanya
terserap di Jakarta.