Anda di halaman 1dari 17

GOOD GOVERNANCE

Makalah ini ditujukan sebagai prasyarat untuk mata kuliah Kewarganegaraan

Oleh :
Kelompok 9 :
Nama : 1. RD Reihan Kusuma Pradana ( 44217210051 )
2.Rizky Muhammad Fajar ( 44217210055 )

Public Relations
Ilmu Komunikasi
2018

1
KATA PENGANTAR

Segala puji beserta syukur kita panjatkan kepada Allah yang masih memberikan kesehatan dan
kesempatannya kepada kita semua, terutama kepada penulis. Sehingga penulis dapat
menyelesaikan masalah ini.
Berikut ini, penulis persembahkan sebuah makalah (karya tulis) yang
berjudul“GOODGOVERNANCE”Penulis mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca semua, terutama bagi penulis sendiri.
Kami sadar bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari sempurna, karena itu kami
mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan makalah ini menjadi
lebih baik lagi. Oleh karena itu kami mohon bantuan dari para pembaca,
Demikianlah makalah ini kami buat, apabila ada kesalahan dalam penulisan, kami mohon maaf
yang sebesarnya dan sebelumnya kami mengucapkan terima kasih.

10 Juni 2018

(Raden Reihan & Rizky M. Fajar)

2
DAFTAR ISI

 KATA PENGANTAR ………………………………………………………………. 2


 DAFTAR ISI ………………………………………………………………………... 3
 BAB I PENDAHULUAN…..……………………………………………………….. 4
A. Latar belakang ………………………………………………………………. 4
B. Rumusan masalah …………………………………………………………… 5
C. Tujuan ……………………………………………………………………….. 5
 BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………………… 6
A. Pengertian Good Governance ………………………………………………. 6
B. Prinsip dan Pilar Good Governance di Indonesia …………………………… 8
C. Latar belakang Good Governance di Indonesia ……………………………. 11
 BAB III PENUTUP ………………………………………………………………… 16
A. Kesimpulan …………………………………………………………………. 16
B. Saran ………………………………………………………………………... 16
 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………… 17

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Good Governance diperkenalkan oleh Bank Dunia dalam publikasinya Sub Saharan Africa :
From Crisis to Sustainable Growth pada tahun 1989. Wacana ini memiliki tujuan untuk
“memberdayakan masyarakat umum” yang ada di Benua Afrika. Wacana Good Governance
sendiri yang bergulir pada dekade tahun 90-an tentunya tidak lepas dari perubahan peta politik
dunia yang begitu dinamis kala itu. Adapun perubahan – perubahan tersebut disinyalir
disebabkan oleh tiga faktor antara lain hilangnya legitimasi, keruntuhan ekonomi, dan protes
rakyat. Pemikiran tentang good governance ini pertama kali dikembangkan oleh lembaga dana
internasional seperti world bank, UNDP dan IMF dalam rangka menjaga dan menjamin
kelangsungan dana bantuan yang diberikan kepada negara sasaran bantuan. Penyandang dana
bantuan memandang bahwa setiap bantuan untuk negar-negara didunia terutama negara
berkembang, sulit berhasil tanpa adanya Good Governance. Karena itu Good Governance
menjadi isu sentral dalam hubungan lembaga-lembaga multilateral tersebut bersama negara
sasaran, disisi lain memaknai Good Governance sebagai aplikasian kongkrit dari pemerintahan
demokrasi dengan demikian Good Governance adalah pemerintahan yang baik dalam standar
proses dan maupun hasil-hasilnya semua unsur pemerintahan bisa bergerak secara sinergis, tidak
saling berbenturan, memperoleh dukungan dari rakyat dan terlepas dari gerakan-gerakan anarkis
yang dapat menghambat proses pembangunan.

4
B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Apa pengertian dari Good Governance?

2. Apa saja prinsip-prinsip Good Governance ?

3. Apa yang menjadi penyebab Good Governance masuk ke Indonesia?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Memenuhi tugas mata kuliah Kewarganegaraan

2. Memberikan pemahaman mengenai pengertian dari Good Governance

3. Memberikan gambaran bagaimana penerapannya di Indonesia

4. Menelusuri bagaimana Governance menjadi jalan keluar yang di gembar-gemborkan pada


masa orde baru ke reformasi.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Good Governance

Administrasi publik mengalami perkembangan paradigma secara dinamis. Diawali dengan Old
Public Administration, di mana terjadi dikotomi locus dan fokus, dan masih kental orientasinya
dengan government. OPA pada perkembangannya bergeser menjadi paradigma baru, yaitu New
Public Manajemen, New Public Services hingga Good Governance (Keban, 2008). Good
Governance diterjemahkan sebagai tata pemerintahan yang baik merupakan tema umum kajian
yang populer, baik di pemerintahan, civil society maupun di dunia swasta. Kepopulerannya
adalah akibat semakin kompleksnya permasalahan, seolah menegaskan tidak adanya iklim
pemerintahan yang baik. Good Governance dipromosikan oleh World Bank untuk menciptakan
tatanan pemerintahan yang sehat. Pemahaman pemerintah tentang good governance berbeda-
beda, namun setidaknya sebagian besar dari mereka membayangkan bahwa dengan good
governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan yang lebih baik. Banyak di antara
mereka membayangkan bahwa dengan memiliki praktik good governance yang lebih baik, maka
kualitas pelayanan publik menjadi semakin baik, angka korupsi menjadi semakin rendah, dan
pemerintah menjadi semakin peduli dengan kepentingan warga (Dwiyanto, 2005). Lalu
bagaimana sebenarnya asal usul ide Good Governance itu muncul? Bagaimana pula Konsep
yang menjadi landasan untuk terwujudnya Good Governance? Kritik apa saja yang muncul
akibat adanya Paradigma Good Governance?. Makalah ini menjelaskan tentang pengertian good
governance, kronologi munculnya ide good governance, dan kritik yang muncul terhadap good
governance. Good Governance bisa diartikan juga sebagai kinerja suatu lembaga baik itu
pemerintahan, perusahaan, dan organisasi kemasyarakatan. Pemerintahan yang baik, citra negara
berdasarkan hukum, dimana masyarakatnya merupakan self regulatory society. Dengan
demikian, pemerintahan sudah dapat mereduksi perannya sebagai pembina dan pengawas
implementasi visi dan misi bangsa dalam seluruh sendi-sendi kenegaraan melalui pemantauan
terhadap masalah-masalah hukum yang timbul dan menindak lanjuti keluahan-keluahan
masyarakat dan sebagai fasilitator yang baik. Dengan pengembangan informasi yang baik,

6
kegiatan pemerintahan menjadi lebih transparan, dan akuntabel, karena pemerintah mampu
menangkap feedback dan meningkatkan peran serta masyarakat.

Menurut bahasa Good Governance diartikan dengan “pemerintahan yang baik”. Sedangkan
menurut istilah Good Governance adalah suatu kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang
diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat madani (civil society) dan sektor suasta.
Kesepakatan tersebut mencakup keseluruhan bentuk mekanisme, kepentingan, menggunakan hak
hukum, memenuhi kewajiban, dan menjembatani perbedaan diantara mereka (ICCE UIN Syahid
Jakarta, 2003:181).

Konsep good governance yang dimajukan di atas menggambarkan bahwa sistem pemerintahan
yang baik menekankan kepada kesepakatan pengaturan negara yang diciptakan bersama
pemerintah, lembaga-lembaga negara yang baik di tingkat pusat maupun daerah, sektor swasta,
masyarakat madani.

Dengan demikian Good governance dikategorikan pemerintahan yang baik, dalam standar proses
dan maupun hasil-hasilnya, semua unsur pemerintahan bisa bergerak secara sinergis, tidak saling
berbenturan, memperoleh dukungan dar rakyat dan terlepas dari gerakan-gerakan anarkis yang
dapat menghambat proses pembangunan. Dapat di kategorikan pemerintahan yang baik, jika
pembangunan itu dapat dilakukan dengan biaya sangat minimal menuju cita-cita kesejahteraan
dan kemakmuran, memperlihatkan hasil indikator kemampuan ekonomi rakyat meningkat,
kesejahteraan spiritualisasinya meningkat dengan indikator masyarakat rasa aman, tenang,
bahagia dan penuh dengan kedamaian.

7
B. Prinsip dan Pilar Good Governance di Indonesia

Berikut adalah prinsip-prinsip Good Governance :

a. Partisipasi masyarakat

Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung
maupun melalui lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi
menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat,
serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.

b. Tegaknya supremasi hukum

Menurut Asep Sulaiman (2012:156) kerangka hukum harus adil dan di berlakukan tanpa
pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia. Karna
prinsip penegakan hukum menunjukan adanya penegakan hukum yang adil bagi semua pihak
tanpa kecuali, menjungjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai hidup masyarakat.[5]

c. Transparansi

Tranparansi di bangun atas darsar arus informasi yang bebas, dengan adanya transparansi maka
pemerintahan menunjukan kinerjanya sebagai tolak ukur dan informasi bagi masyarakat
dipemerintahan.

d. Peduli pada stakeholder

Maksud dari peduli pada stakeholder lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus
berusaha mngayomi semua pihak yang berkepentingan.

e. Berorientasi pada konsensus

Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi


terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaikbagi kelompok-kelopok
masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.

8
f. Kesetaraan

Kesetaraan adalah perlakuan yang sama kepada semua unsur tanpa memandang atribut yang
menempel pada subyek tersebut (prasetya,2001:78). Dalam hal ini jelas bahwa setiap warga juga
mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahtraan mereka.

g. Efektifitas dan Efesien

Proses-proses pemerintahan lembaga –lembaga membuahkan hasil seseuai kebutuhan warga


masyarakat dan dengan menggunaka sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.

h. Akuntabilitas

Para pengambil keputusan di pemerintah sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat


bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang
berkepentingan.

i. Visi strategis

Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata
pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang
dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki
pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif
tersebut.

Berikut adalah pilar-pilar Good Governance :

Good governance hanya bermakna bila keberadaannya ditopang oleh lembaga yang melibatkan
kepentingan publik . jenis lembaga tersebut adalah :

a. Negara

1. Menciptakan kondisi politik, ekonomi dan sosial yang stabil.

2. Membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan

3. Menyediakan public service yang efektifdan accountable

9
4. Menegakkan HAM

5. Melindungi lingkungan hidup

6. Mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik [12]

b. Sektor Swasta

1. Menjalankan industri

2. Menceiptakan lapangan kerja

3. Menyediakan insentif bagi karyawan

4. Meningkatkan standar hidup masyarakat

5. Memilahara lingkungan hidup

6. Menaati peraturan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat

7. Menyediakan kredit bagi pengembangan HAM

c. Masyarakat Madani

1. Menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi

2. Mempengaruhi kebijakan publik

3. Sebagai sarana cheks dan balances pemerintah

4. Mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah

5. Mengembangkan SDM

6. Sarana berkomunikasi antara anggota masyarakat

10
C. Latar belakang Good Governance di Indonesia

Transformasi government sepanjang abad ke-20 pada awalnya ditandai dengan konsolidasi
pemerintahan demokratis (democratic government) di dunia Barat. Tahap II berlangsung pada
pasca Perang Dunia I, diindikasikan dengan semakin menguatnya peran pemerintah. Pemerintah
mulai tampil dominan, yang melancarkan regulasi politik, redistribusi ekonomi dan kontrol yang
kuat terhadap ruang-ruang politik dalam masyarakat. Peran negara pada tahap ini sangat
dominan untuk membawa perubahan sosial dan pembangunan ekonomi. Tahap III, terjadi pada
periodisasi tahun 1960-an sampai 1970-an, yang menggeser perhatian ke pemerintah di negara-
negara Dunia Ketiga. Periode tersebut merupakan perluasan proyek developmentalisme
(modernisasi) yang dilakukan oleh dunia Barat di Dunia Ketiga, yang mulai melancarkan
pendalaman kapitalisme. Pada periode tersebut, pendalaman kapitalisme itu diikuti oleh kuatnya
negara dan hadirnya rezim otoritarian di kawasan Asia, Amerika Latin dan Afrika. Modernisasi
mampu mendorong pembangunan ekonomi dan birokrasi yang semakin rasional, partisipasi
politik semakin meningkat, serta demokrasi semakin tumbuh berkembang merupakan asumsi
perspektif Barat yang dimanifestasikan dalam tahapan tersebut. Perspektif ini kemudian gugur,
karena pembangunan ekonomi di kawasan Asia dan Amerika Latin diikuti oleh meluasnya rezim
otoritarian yang umumnya ditopang oleh aliansi antara militer, birokrasi sipil dan masyarakat
bisnis internasional (Bourgon, 2011). Tahap IV, ditandai dengan krisis ekonomi dan finansial
negara yang melanda dunia memasuki dekade 1980-an. Krisis ekonomi juga dihadapi Indonesia
yang ditandai dengan anjloknya harga minyak tahun 1980-an. Krisis ekonomi pada periode
1980-an mendorong munculnya cara pandang baru terhadap pemerintah. Pemerintah dimaknai
bukan sebagai solusi terhadap problem yang dihadapi, melainkan justru sebagai akar masalah
krisis. Karena itu pada masa ini berkembang pesat “penyesuaian struktural”, yang lahir dalam
bentuk deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, pelayanan publik berorientasi pasar.
Berkembangnya isu-isu baru ini menandai kemenangan pandangan neoliberal yang sejak lama
menghendaki peran negara secara minimal, dan sekaligus kemenangan pasar dan swasta. Tahap
V, adalah era 1990-an, dimana proyek demokratisasi (yang sudah dimulai dekade 1980-an)
berkembang luas seantero jagad. Pada era ini muncul cara pandang baru terhadap pemerintahan,
yang ditandai munculnya governance dan good governance. Perspektif yang berpusat pada
government bergeser ke perspektif governance. Sejumlah lembaga donor seperti IMF dan World

11
Bank dan para praktisi pembangunan internasional yang justru memulai mengembangkan
gagasan governance dan juga good governance.

Sebagai reaksi terhadap krisis pada tahun 1985, Secretary of the Treasury Amerika Serikat,
James Baker menginisiasi sebuah kebijakan baru, yaitu Structural Adjustment Program (SAP).
Kebijakan ini berbasis pada Washington Consensus. Berdasarkan kebijkana baru ini, Negara-
negara yang ingin mendapatkan utang dari IMF dan Bank Dunia harus berkomitmen untuk
melakukan re-strukturisasi atau perubahan dalam kebijakan ekonomi makro mereka, yang
berarah pada ekonomi yang berorientasi ekspor (export-led growth), mengurangi peranan Negara
dalam ekonomi (good governance), dan privatisasi sector-sektor publik (Gilpin, 2001 :314).

Bank Dunia sendiri dalam mempromosikan good governance di Indonesia melalui tiga pintu
yaitu CGI (Consultative Group on Indonesia), Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan
(Partnership for Governance Reform) dan Justice for the Poor. Dalam forum tahunan CGI,
Bank Dunia memimpin dan memiliki kekuasaan untuk mengarahkan kebijakan ekonomi
(termasuk desakan pembentukan peraturan perundang-undangan). Ini bisa terjadi karena
pemerintah masih menerima kucuran utang sehingga prasyarat utang tersebut harus dipenuhi
sebagai kompensasinya. Sedangkan Bank Dunia pula bekerja secara dekat dengan UNDP dan
ADB sebagai sponsor dana utama untuk Partnership for Governance Reform. Melalui forum
kelompok multi-stakeholder di Kemitraan ini, Bank Dunia telah terlibat aktif dalam membuat
kerangka kerja hukum untuk pembangunan (legal framework for development), seperti
pembaruan peradilan, pembaruan hukum, dan pembentukan lembaga pemerintahan baru.
Pengaruh besar kemitraan ini adalah justru peran hegemoninya sebagai lembaga dana untuk
proyek-proyek governance yang dijalankan oleh tidak saja lembaga negara, namun juga
organisasi non-pemerintah. Sedangkan Justice for the Poor adalah sebuah institusi yang baru-
baru saja dikreasi Bank Dunia dalam mempromosikan pengurangan kemiskinan di Indonesia,
khususnya sebuah strategi pemberdayaan untuk kaum miskin melalui bantuan hukum.

Bagi Bank Dunia, program-program pemberdayaan hukum dan penyadaran hukum merupakan
hal penting dalam mewujudkan kaum miskin atas akses keadilan. Dalam urusan pemantauan
korupsi, Bank Dunia sendiri memilih menfokuskan lebih banyak pada proyek-proyek yang
didanainya sendiri, semacam Proyek Pengembangan Kecamatan (PPK). Proyek pembaruan
ketatapemerintahan melalui good governance cenderung untuk melayani promosi konsensus

12
pembaruan sosial dan ekonomi, khususnya dengan mengaplikasikan pemberdayaan teknokratik
dan bahasa liberal partisipasi. Di titik ini, diskursus dan arah kecenderungan hak-hak asasi
manusia lebih menyesuaikan dengan liberalisasi pasar. Inilah yang disebut “market friendly
human rights paradigm‟ (paradigma hak-hak asasi manusia yang ramah pasar). Muncul dan
berperannya Justice for the Poor di Indonesia adalah tak terpisahkan dengan program global
dalam Poverty Reduction Strategy Papers (PRSPs) yang disponsori Bank Dunia. PRSPs telah
mengaplikasikan proyek dan mekanisme seragam untuk berbagai persoalan kemiskinan di negara
ketiga. PRSPs yang demikian harus diimplementasikan sebagai kondisi untuk menerima
pinjaman. Berdasarkan laporan Focus on Global South yang bermarkas di Bangkok, PRSPs telah
mempromosikan kebijakan-kebijakan berorientasikan pasar, perdagangan terbuka, investasi,
rezim finansial, dan mendesakkan peran negara agar menghapus perusahaan-perusahaan milik
negara.(Wiratraman 2006: 67). Kritik Good Governance Berdasarkan uraian diatas dalam
perjalanan penerapan good governance hampir banyak negara mengasumsikannya sebagai
sebuah ideal type of governance, padahal konsep itu sendiri sebenarnya dirumuskan oleh banyak
praktisi untuk kepentingan praktis-strategis dalam rangka membangun relasi negara-masyarakat-
pasar yang baik dan sejajar.

Prinsip Good Governance sebenarnya sudah ditanamkan pada saat Undang – Undang Dasar
(UUD) 1945 pertama kali lahir. Prinsip ini dapat dilihat dalam pembukaan UUD 1945 alenia IV.
Namun pada perkembangannya Good Governance mulai urgent dibicarakan pasca tumbangnya
rezim orde baru.

Tumbangnya rezim orde baru (atau populer disebut masa reformasi) membuat supremasi
terhadap sistem demokrasi semakin santer. Demokrasi menjadi menjadi kata kunci dalam Good
Governance.

Prinsip dasar yang kami maksud adalah tentang prinsip musyawarah mufakat, menjunjung
moralitas, bersikap terbuka, tanggap, menjaga persatuan, berkeadilan social, bergotong-royong,
bertanggung jawab, dan berkeinginan luhur.

Hal ini sejalan dengan sembilan nilai prinsipil dalam Good Governance. Misalnya, prinsip
transparansi yang sudah terkandung dalam prinsip musyawarah mufakat. Dimana pengambilan
keputusan dalam musyawarah mufakat lebih mengutamakan unsur maslahat dibanding politis.

13
Pengambilan keputusan dalam musyawarah mufakat pun dapat diakses oleh keseluruhan
stakeholder terkait.

Prinsip lain adalah akuntabilitas. Prinsip akuntabilitas sudah terkandung dalam nilai bertanggung
jawab.

Orientasi ideal Good Governance diarahkan pada pencapaian tujuan nasional danpemerintahan
yang berfungsi ideal apabila melakukan upaya mencapai tujuan nasional secara efektif dan
efisien.

Pada Pembukaan Alenia IV UUD 1945 dinyatakan Tujuan Nasional adalah sebagai berikut;

1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,

2) Memajukan kesejahteraan umum;

3) Mencerdaskan kehidupan bangsa,

4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi


dan keadilan sosial.

Dengan demikian maka Good Governance di Indonesia, dapat didefinisikan sebagai praktek
penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis dengan kemampuan mengelola berbagai
sumberdaya sosial dan ekonomi dengan baik untuk kepentingan rakyat Indonesia berdasarkan
asas musyawarah dan mufakat.

Sedangkan wujudnya di Indonesia berupa Penyelenggaraan tata pemerintahan yang bersih dan
berwibawa, efisien dan efektif, tanggap dan bertanggungjawab, bertindak dan berpihak pada
kepentingan rakyat, serta mampu menjaga keselarasan hubungan kemitraan melalui proses
interaksi yang dinamis dan konstruktif antara pemerintah, rakyat, dan berbagai kelompok
kepentingan di dalam tata kehidupan masyarakat Indonesia berdasarkan Pancasila.

Kemasan wujud good governance dalam paradigma dalam negeri, terefleksi dari penekanan
pokok-pokok kebijakan yang mencakup tiga bidang, yaitu :

1) Politik: memposisikan pemerintah sebagai fasilitator, mendorong dialogis yang interaktif,


dan dorongan untuk berkembangnya lembaga politik dan tradisi.

14
2) Partisipasi masyarakat: mendorong prakarsa lokal terus berkembang dan mendorong
peranan maksimal lembaga kemasyarakatan.

3) Pembangunan Daerah : pengakuan kewenangan daerah (kecuali yang dipusatkan),


pemisahaan eksekutif dan legislatif daerah, serta mengawal berkembangnya dinamika Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Memberikan tekanan orientasi regional/local, menjawab masalah
kunci daerah/wilayah, dan memperkuat kerja sama wilayah/antar daerah.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian–uraian dari bab–bab sebelumnya maka penulis mengambil kesimpulan yaitu:

1. Pemerintahan yang baik tidak di lihat dari sistem yang berbuat atau rancanggan undang-
undang yang di rumuskan, melainkan suatu sikap yang pasti dalam menangani suatu
permasalahn tanpa memandang siapa serta mengapa hal tersebut harus di lakukan.

2. Good Governance merupakan pengertian dalam hal yang luas sehingga untuk memberikan
arti serta defenisi tidak semudah mengartikan kata perkata melainkan perlunya aspek –aspek
serta pemikiran yang luas menyangkut bidang tersebut.

3. Perlunya pengertian menggenai aspek-aspek dalam Good Governance sehingga tidak ada
kesalahan dalam aplikasinya.

4. Penerapan Good Governance dalam sistem kepemerintahan saat ini sangat di perlukan
karena peranan perintah dalam memajukan suatu negara sangatlah besar.

B. Saran

Atas kesimpulan di atas, penulis mengemukakan beberapa saran untuk membenahi kelemahan-
kelemahan dalam penegakkan prinsip good governance di Indonesia yaitu:

1. Integritas dan nilai etika perlu ditingkatkan atau dikomunikasikan dengan perilaku yang
terbaik dan melibatkan pihak terkait. Karena sebaik apapun desain sebuah pengawasan tidak
akan terlaksana dengan efektif, efisien dan ekonomis jika dilaksanakan oleh orang-orang yang
memiliki integritas dan nilai etika yang rendah.

2. Kinerja Inspektorat atau pengendalian intern perlu terus ditingkatkan meskipun penulis
mengusulkan sektor publik, namun itu bukan berarti mengabaikan sektor pengawasan intern.

16
DAFTAR PUSTAKA

 Saepuloh Aep dan Tarsono, Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi Islam,


Bandung:Batic Press, 2012.
 Sofhian Subhan dan Sahid Gatara Asep, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic
Education), Bandung:Fokusmedia, 2012.
 Sulaiman Asep, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (Civic Education),
Bandung:Asman Press, 2012.

17

Anda mungkin juga menyukai