Kepaniteraan Klinik Senior/G1A218023/Januari 2019 Pembimbing: Dr. Rini Chrisna, M.Ked (DV), SP - KK
Kepaniteraan Klinik Senior/G1A218023/Januari 2019 Pembimbing: Dr. Rini Chrisna, M.Ked (DV), SP - KK
Oleh:
Sartika Eka Putri, S.Ked*
G1A218023
Pembimbing:
dr. Rini Chrisna, M.Ked (DV), Sp.KK**
Oleh:
Sartika Eka Putri, S.Ked
G1A218023
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah Yang Maha
Esa sebab karena rahmatnya, tugas baca jurnal atau clinical science session
(CSS) yang berjudul “Mekanisme patofisiologi dan pencarian biomarker
pada psoriasis, penyakit kulit yang terkait stress” ini dapat terselesaikan.
Tugas ini dibuat agar penulis dan teman – teman sesama koass periode ini
dapat memahami tentang patogenesis, komplikasi, dan pengobatan dari
kasus ini. Selain itu juga sebagai tugas dalam menjalankan Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Raden
Mattaher Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Rini Chrisna, M.Ked
(DV), Sp.KK selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior ini dan
khususnya pembimbing dalam tugas baca jurnal ini. Penulis menyadari
bahwa laporan ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan
kritik dan saran agar lebih baik kedepannya. Akhir kata, semoga tugas baca
jurnal ini bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah informasi serta
pengetahuan kita.
Penulis
Mekanisme Patofisiologi dan Pencarian Biomarker Pada Psoriasis,
Penyakit Kulit yang Terkait Stress.
Abstrak
Psoriasis adalah kelainan multifaktorial yang secara fisik, emosional,
dan sosial berdampak secara signifikan pada kualitas hidup pasien. Stres
adalah salah satu pemicu utama untuk psoriasis dan juga dikaitkan dengan
onset penyakit dan flare-up, sementara flare-up sendiri sering menyebabkan
ketidaknyamanan psikologis. Pengobatan psoriasis bersifat individual,
tergantung pada tingkat keparahan penyakit yang dapat diukur oleh pasien,
dan dampak kondisi kulit terhadap kualitas hidup pasien yang dinilai dengan
menggunakan kuesioner standar. Skala klinis saat ini yang digunakan untuk
mengukur keparahan psoriasis memiliki reproduktifitas yang rendah dan
variabilitas yang tinggi diantara penguji. Karena itu, dibutuhkan pengukuran
biomarker yang objektif untuk membakukan penilaian keparahan
psoriasis. Kami bermaksud meninjau mekanisme patofisiologis yang terlibat
dalam psoriasis, dengan fokus pada kemajuan paling kritis dalam penemuan
biomarker psoriasis, terutama biomarker yang telah dipelajari dalam kondisi
terkait stres, sehingga menekankan hubungan antara psoriasis dan stress.
1. Pendahuluan
Psoriasis adalah penyakit kulit poligenik, yang dimediasi imun,
bersifat kronis dengan kejadian universal mengenai sekitar 2% dari populasi
Kaukasia. Kondisi yang secara fisik, emosional, dan sosial berdampak pada
kualitas hidup pasien. Pasien dengan psoriasis sering mengalami stigma
sosial. Psoriasis bisa muncul pada usia berapa pun, tetapi puncak dalam dua
onset usia telah dilaporkan: pertama antara 20 dan 30 tahun dan yang kedua
antara 50 dan 60 tahun. Laki-laki dan perempuan sama-sama
1
terkena. Beberapa varian klinis penyakit telah dijelaskan yaitu, guttate
psoriasis, psoriasis erythrodermic, pustular psoriasis, danpsoriasis vulgaris
dengan plak kronis terhitung lebih dari 90% dari kasus.
Psoriasis tidak hanya terbatas pada kulit; sendi juga bisa terlibat;
psoriasis arthritis terjadi pada 5-30% pada pasien dengan penyakit
kulit; baik sendi aksial dan periferal. Dalam kebanyakan kasus, psoriasis
arthritis muncul setidaknya satu dekade setelah penyakit kulit, bisa kedua
gangguan tersebut timbul secara bersamaan atau arthropathi mendahului
kelainan kulit. Faktor risiko penting dalam berkembangnya psoriasis
arthritis adalah jenis kelamin perempuan, onset dini, kecenderungan genetik,
dan deteksi awal dari tanda-tanda radiografi.
Penyakit kulit adalah penyebab utama dari penyakit tidak fatal yang
menjadi beban, dan psoriasis adalah salah satu penyakit dermatologis utama
yang terkait dengan tekanan psikologis. Studi menunjukkan bahwa pasien
psoriasis mengalami peningkatan risiko komorbiditas kejiwaan dan ide
bunuh diri dibandingkan pasien yang menderita penyakit kulit lain seperti
melanoma dan gangguan alergi. Apalagi kualitas hidup pasien psoriasis
menurun seperti halnya pasien yang menderita kardiovaskular atau
kanker. Penderita psoriasis sering merasa stigmatisasi, depresi, atau
cemas. Gangguan seksual sangat berat dialami pasien, dan alkoholisme
lebih sering terjadi pada pasien psoriasis daripada di populasi umum. Hal ini
membuktikan bahwa psoriasis arthritis dikaitkan dengan depresi dan
perilaku bunuh diri.
Stres adalah salah satu pemicu psoriasis yang paling diketahui. Hal
ini dikaitkan dengan onset penyakit, flare-up, dan gangguan psikologis.
Kecemasan mungkin terjadi pada pasien psoriasis karena cacat, stigmatisasi,
atau pruritus kronis. Kecacatan, stigmatisasi, dan ketidakpuasan dengan
pengobatan juga dapat menyebabkan depresi. Di samping itu, psoriasis
dapat dipicu atau diperburuk oleh kondisi kejiwaan seperti depresi dan
kecemasan yang bisa masuk ke dalam lingkaran setan. Dalam tinjauan
sistematis terbaru, penulis menemukan bahwa terlepas dari kecemasan dan
2
depresi, psoriasis juga terkait dengan banyak gangguan mental seperti
gangguan makan, gangguan tidur, gangguan seksual, penyalahgunaan dan
ketergantungan zat, psikosis, gangguan bipolar, atau gangguan somatoform.
Berdasarkan banyak bukti, psoriasis terkait dengan ide bunuh diri,
dan subjek ini membuat beberapa peneliti tertarik. Dua penelitian terbaru
menunjukkan hubungan ikatan antara psoriasis dan bunuh diri. Di sebuah
tinjauan sistematis dan meta-analisis dari delapan belas studi dengan
1.767.583 peserta, di antaranya 330.207 didiagnosis dengan psoriasis, Singh
et al. menemukan bahwa pasien dengan psoriasis lebih cenderung
menunjukkan perilaku ingin bunuh diri, mencoba bunuh diri, dan bunuh diri
daripada pasien tanpa psoriasis, pasien dengan penyakit yang lebih parah
dan pasien lebih muda yang memiliki risiko tertinggi. Sebuah studi kohort
berbasis populasi yang terdiri dari 408.663 individu, termasuk 57.502 pasien
dengan psoriasis ringan dan 11.009 pasien dengan psoriasis parah, juga
menemukan peningkatan risiko melukai diri sendiri dan upaya bunuh diri
yang tidak fatal pasien dengan psoriasis parah. Menurut penelitian ini, risiko
bunuh diri hingga selesai tidak terjadi peningkatan.
Pasien psoriasis juga mengalami sejumlah besar stres psikologis, dan
pada 40 hingga 80% pasien, aktivitas penyakit ini dipengaruhi oleh
peristiwa stres. Beberapa penulis menunjukkan bahwa dua faktor utama
yang berkontribusi pada dampak psikososial dari psoriasis: stres yang
berhubungan dengan perilaku antisipatif atau penghindaran dengan
membatasi intrusi sosiokognitif dari psoriasis dan stress dihasilkan dari
keyakinan pasien atau pengalaman aktual yang dievaluasi oleh orang lain
berdasarkan kulit mereka. Menariknya, beban psikologis psoriasis tidak
selalu sebanding dengan konsentrasi keparahan penyakit, sebagaimana
diukur oleh skala klinis yang tersedia sejauh ini. Untuk alasan itulah
merekomendasikan bahwa langkah-langkah menilai morbiditas psikososial
juga harus dipertimbangkan ketika menentukan keparahan psoriasis.
Mekanisme stres psikologis mempengaruhi onset atau eksaserbasi
psoriasis tidak sepenuhnya dipahami. Studi psikologioneuroimunologi
3
menunjukkan bahwa stresor dapat mempengaruhi fungsi kekebalan tubuh.
Karena itu, stres menyebabkan terjadinya sekresi Corticotropin releasing
Hormone (CRH) di hipotalamus. CRH akan membuat kadar hormon
Adrenocorticotropic Hormone (ACTH) meningkat dan akan menginduksi
pelepasan glukokortikoid. CRH juga terlibat dalam sekresi noradrenalin
dalam sistem saraf simpatis perifer dan noradrenalin dan adrenalin di
medula adrenal. Karena itu stress meningkatkan kadar neurohormon
perifer. Sel-sel sistem kekebalan tubuh, termasuk limfosit T, limfosit B, dan
monosit akan mengekspresikan reseptor untuk hormon-hormon tersebut.
Stres kronis telah dikaitkan dengan peningkatan kronis pada sitokin
proinflamasi, terutama interleukin- (IL-) 6, tumor necrosis factor-
(TNF) α, dan IL-1 beta. Sementara peran inflamasi dalam pengembangan
psoriasis sudah mapan, ada semakin banyak bukti bahwa inflamasi mungkin
juga berperan dalam berkembangnya gangguan neuropsikiatri. Depresi
dikaitkan dengan tingginya IL-6, TNF- α , IL-1 beta, Protein C-reaktif
(CRP), kemokin, dan adhesi molekul. IL-6 dan TNF- α akan mengubah
metabolisme norepinephrine, serotonin, dan dopamin yang akan
menimbulkan gejala depresi. Di sisi lain, IL-6 mempromosikan produk dari
T helper (Th) 17 sel dan, bersama-sama dengan TNF α, berperan sentral
dalam pengembangan lesi psoriasis. Pemberian sitokin atau penginduksi
sitokin di sukarelawan sehat dan hewan laboratorium menentukan simptom
depresi dan kecemasan yang selanjutnya meningkatkan kadar sitokin. Di sisi
lain, pemberian terapi anti-inflamasi pada pasien dengan gangguan
inflamasi seperti psoriasis telah dikaitkan dengan signifikan peningkatan
gejala depresi.
4
Pengobatan disesuaikan menurut kebutuhan masing-masing pasien
yang diukur berdasarkan konsentrasi keparahan penyakit. Psoriasis Area
and Severity Index (PASI) saat ini dianggap sebagai gold standard untuk
mengevaluasi aktivitas penyakit. Skor ini dibutuhkan memperhitungkan
intensitas eritema, ketebalan lesi, dan scaling di empat wilayah tubuh, yaitu,
kepala dan leher, punggung, tungkai atas, dan tungkai bawah, dan
persentase daerah yang terkena. Saat menilai konsentrasi keparahan
penyakit dan memilih pengobatan, dokter juga harus mempertimbangkan
persepsi pasien tentang penyakit. Beberapa alat untuk pengukuran kualitas
hidup saat ini tersedia. Dermatology Life Quality Index (DLQI) dilaporkan
merupakan kuesioner yang berisi sepuluh item untuk mengevaluasi dampak
penyakit pada aktivitas sehari-hari, perasaan, pekerjaan, studi, hubungan
pribadi, dan pengobatan. Skor DLQI berkisar dari 0 (tidak berpengaruh pada
kehidupan subjek) hingga 30 (efeknya sangat besar terhadap kehidupan
subyek). Pengukuran spesifik psoriasis juga tersedia. The Psoriasis Life
Stress Inventory (PLSI) adalah kuesioner 15 item yang mengukur stres
psikososial terkait dengan mengatasi peristiwa sehari-hari. Psoriasis
Disability Index (PDI) terdiri dari 15 pertanyaan spesifik psoriasis yang
membahas kecacatan dalam kegiatan sehari-hari, pekerjaan, hubungan
pribadi, waktu luang, dan pengobatan. Psoriasis Index of Quality of Life
(PSOR-IQoL) adalah instrumen item 25-dikotomi yang dirancang untuk
praktik klinis dan uji coba yang menilai kemampuan individu untuk
memenuhi kebutuhan mereka.
Realibilitas beberapa skor ini tidak pasti karena ada tingginya
variabilitas dan rendahnya reproduktifitas antara dokter. Karena itu para
ilmuwan berusaha mengidentifikasi biomarker yang dapat dinilai secara
obyektif untuk membakukan pengukuran konsentrasi keparahan psoriasis.
Biomarker adalah karakteristik yang secara objektif diukur dan
dievaluasi sebagai indikator proses biologis normal, proses patogen, atau
respons farmakologis untuk intervensi terapeutik . Dalam praktik klinis,
mereka dapat digunakan sebagai alat diagnostik, untuk stadium penyakit,
5
indikator prognosis, atau untuk memantau respon klinis setelah
intervensi. Mereka juga dapat membantu memahami patogenesis berbagai
penyakit atau pengembangan terapi. Di masa depan, biomarker mungkin
memainkan peran sentral dalam terapi yang dipersonalisasi karena mereka
dapat membantu mengidentifikasi pasien yang tidak respon terhadap
pengobatan tertentu atau yang mengalami efek samping. Apalagi, biomarker
punya memiliki peran yang sangat penting dalam memahami patogenesis
psoriasis dan memfasilitasi pengembangan terapi biologis.
6
Sel T CD8 memainkan peran sentral dalam patogenesis arthritis
psoriasis. Sel-sel tersebut ditemukan dalam kadar tinggi di jaringan dan
cairan sinovial. Sel T yang diaktifkan melepaskan sitokin dan kemokin yang
mempengaruhi jaringan secara langsung dan tidak langsung dengan
mengaktifkan sel-sel inflamasi lainnya.
7
hipotalamus yang menentukan pelepasan ACTH di hipofisis anterior. ACTH
mengatur sekresi glukokortikoid . Pada pasien psoriasis yang sangat reaktif
terhadap stres, kadar kortisol rendah. Akibatnya, terjadi peningkatan
inflamasi dan kekebalan tubuh menjadi terlalu aktif.
Hubungan antara skor PASI dan reseptor CRH tipe 1 (CRH-R1)
dipelajari pada 46 pasien dewasa dengan psoriasis dan 20 kontrol
sehat. Ekspresi CRH-R1 ditentukan secara imunohistokimia dalam biopsi
kulit. Ditemukan peningkatan CRH-R1 yang signifikan secara statistic pada
lesi psoriasis, dan korelasi antara konsentrasi keparahan penyakit yang
diukur dengan PASI dan ekspresi CRH-R1 diidentifikasi. Hasil ini
mendukung peran stres pada eksaserbasi penyakit.
Peran neurotensin (NT), peptida yang secara luas didistribusikan di
dalam sistem saraf pusat dan perifer, dapat meningkatkan kemampuan CRH
untuk meningkatkan permeabilitas pembuluh darah kulit, juga telah
dipelajari pada pasien dengan psoriasis. Konsentrasi serum NT yang tinggi
diidentifikasi pada pasien psoriasis dibandingkan dengan kontrol. Ekspresi
gen untuk NT dan Reseptor NT-1 pada kulit psoriasis menurun
dibandingkan dengan kontrol. NT menginduksi pelepasan VEGF, sebuah
molekul terlibat dalam patogenesis psoriasis, dari sel mast dan sebagian
mungkin menjelaskan peran stres pada kulit penyakit.
8
9
5.1. Biomarker terlarut
5.1.1. Protein C-Reaktif dan Indikator Inflamasi Nonspesifik Lainnya
Karena psoriasis adalah inflamasi kronis penyakit, Rocha-Pereira et
al. mengevaluasi konsentrasi respon inflamasi pada psoriasis ringan dan
berat dengan mengukur kadar CRP, fibrinogen, erythrocyte sedimentation
rate (ESR), haptoglobin, serta komplemen protein C3 dan C4. Para penulis
menunjukkan bahwa semua pasien dengan psoriasis memiliki konsentrasi
CRP yang lebih tinggi daripada kontrol. 97% dari pasien dengan psoriasis
juga memiliki konsentrasi haptoglobin yang lebih tinggi daripada
kontrol. Komplemen fibrinogen, ESR, serta protein C3 dan C4 juga lebih
tinggi tetapi tidak pada konsentrasi yang sama. Di dalam studi, penanda
inflamasi secara signifikan lebih rendah pada pasien dengan psoriasis tidak
aktif daripada pada pasien dengan aktif psoriasis. Coimbra et
al. mempelajari CRP sebagai potensi untuk memonitor psoriasis
vulgaris. Para penulis menemukan konsentrasi CRP berkorelasi dengan
PASI dan menyimpulkan bahwa CRP bisa digunakan untuk menilai
konsentrasi keparahan psoriasis dan untuk memantau respon terhadap
pengobatan.
Konsentrasi CRP juga diukur pada pasien dengan gangguan
psikologis. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada 80 pasien,
peningkatan kadar CRP dikaitkan dengan depresi dan kecemasan. Sebuah
studi dilakukan pada 73.131 peserta menunjukkan bahwa kadar CRP tinggi
dikaitkan dengan risiko tinggi stres psikologis dan depresi. Penulis lain juga
menemukan hasil yang serupa.
Platelet P-selectin juga diusulkan sebagai biomarker untuk
psoriasis. Platelet P-selectin adalah adhesi sel molekul trombosit, yang
setelah distimulasi trombosit, akan ditranslokasi ke membran plasma dan
bertindak sebagai reseptor untuk monosit dan neutrofil. Garbaraviciene et al.
menyelidiki platelet P-selectin pada pasien dengan psoriasis dan pasien
dengan penyakit inflamasi kulit menunjukkan bahwa konsentrasi platelet P-
selectin meningkat pada pasien dengan psoriasis dan berkorelasi dengan
10
keparahan psoriasis yang diukur dengan PASI. Para penulis juga
menunjukkan bahwa ada korelasi kuat antara P-selectin diekspresikan pada
trombosit dengan P-selectin terlarut yang dapat dengan mudah diukur
melalui tindakan rutin dan hal ini menunjukkan bahwa plasma P-selectin
dapat digunakan sebagai biomarker pada psoriasis.
Tingginya kadar platelet P-selectin dan norepinefrin dan pemulihan
yang tertunda juga diidentifikasi pada pasien depresi dan cemas yang
terkena stres psikologis akut.
11
VEGF saat ini dianggap sebagai target yang mungkin untuk terapi
baru untuk psoriasis karena beberapa penulis menunjukkan bevacizumab,
antibodi monoklonal terhadap VEGF, menentukan remisi lengkap dari lesi
psoriasis pada pasien dirawat karena kanker usus besar. Penelitian lain
dilakukan pada model tikus psoriasis menunjukkan blokade sistemik VEGF-
A oleh antibodi monoklonal menormalkan proliferasi epidermis,
menurunkan ukuran pembuluh kulit, dan mengurangi sel-sel inflamasi.
Namun diperlukan penelitian lebih lanjut.
Peran VEGF dan brain-derived neurotrophic factor (BDNF) dalam
patogenesis gangguan psikologis juga dipelajari. VEGF dan BDNF terlibat
dalam neurogenesis dan plastisitas sinaptik. Stres jangka panjang
menentukan perubahan permanen pada struktur otak. Studi hewan
menunjukkan bahwa stres dan karakteristik perilaku depresi dikaitkan
dengan rendahnya konsentrasi BDNF dan VEGF di otak.
12
penyakit. Meki et al. menganalisis korelasi antara serum VEGF, TGF- β 1,
dan nitric oxide serta konsentrasi keparahan penyakit di pasien dengan
psoriasis dan mereka menemukan bahwa semua bisa digunakan sebagai
penanda keparahan psoriasis. Beberapa penulis mempertimbangkan plasma
TGF- β 1, tissue inhibitors of metalloproteinases- (TIMP-) 1, matrix
metalloproteinase- (MMP-) 1, dan IL-18 semuanya harus diukur pada
pasien psoriatic untuk hasil superior.
Penulis lain mempelajari hubungan antara sitokin dan depresi pada
model hewan dan menemukan tikus-tikus tersebut mengalami stres ringan
kronis selama empat minggu ditunjukkan dengan perubahan perilaku seperti
depresi dan ekspresi sitokin di otak yang berubah yaitu dengan peningkatan
kadar proinflamasi sitokin matory (IL-1 β , TNF- α , dan IL-6) dan menurun
kadar TGF- β dan IL-10.
13
level HBD-2 berkorelasi baik dengan level IL-17A dan HBD-2, karena itu
dapat divalidasi sebagai biomarker untuk IL-17A didorong dengan patologi
kulit. Peran neutrofil ekstraselulerlar traps (NETs) dalam menginduksi
produksi HBD-2 pada plak psoriasis juga dipelajari.
Stres psikologis dikaitkan dengan rendahnya konsentrasi ekspresi
peptida antimikroba epidermal pada tikus dan peningkatan risiko terkena
infeksi kulit. Ekspresi peptida antimikroba diatur oleh mekanisme
glukokortikoid dan β- adrenergik.
14
itu protein semua yang diteliti sangat diekspresikan dalam serum dan kulit
pasien dengan psoriasis aktif. S100A7 dan kadar serum S100A12 terkait
erat dengan aktivitas penyakit pada pasien psoriasis, dan S100A8, S100A9,
dan konsentrasi serum S100A12 menurun setelah perawatan dengan
etanercept. Para penulis menyimpulkan bahwa level S100A12 berkorelasi
dengan aktivitas penyakit dan respons terapeutik, serta serum ini merupakan
penanda paling signifikan di antara protein S100.
5.1.6. Sitokin.
Sitokin memiliki peran yang sangat penting dalam patogenesis
psoriasis, terutama yang diproduksi oleh sel Th1 (IFN- γ, IL-2, dan TNF- α)
dan yang diproduksi oleh sel dendritik (IL-18, IL-20, TNF- α, dan IL-
23). Semua sitokin tersebut adalah biomarker potensial untuk psoriasis.
Arican et al. mengukur kadar serum IFN- γ, TNF- α, IL-6, IL-8, IL-
12, IL-17, dan IL-18 pada pasien dengan psoriasis dan kelompok kontrol
yang sehat. Penulis menemukan konsentrasi IFN- γ , TNF- α , IL-6, IL-8,
IL-12, dan IL-18 lebih tinggi secara signifikan pada pasien dengan
psoriasis. Level IL-17 sedikit lebih tinggi pada pasien psoriasis, tetapi
perbedaannya tidak signifikan secara statistik. Para penulis juga menemukan
korelasi antara IFN- γ, IL-12, dan IL-18 dengan konsentrasi keparahan dan
aktivitas klinis dari penyakit yang diukur dengan PASI. Pietrzak et al.
mengukur kadar serum IL-18 pada pasien antara psoriasis dengan subyek
sehat, serta mereka menemukan peningkatan kadar IL-18 di pasien psoriasis
dan korelasi antara sitokin dan aktivitas penyakit. Hasil serupa juga
diperoleh oleh Flisiak et al. Selanjutnya, penulis menemukan bahwa
pengukuran gabungan IL-18 dan TGF- β 1 bisa menjadi biomarker aktivitas
psoriasis.
Konsentrasi sitokin yang tinggi juga teridentifikasi pada gangguan
terkait stres. Sebuah studi yang dilakukan pada 38 mahasiswa kedokteran
menunjukkan bahwa stres psikologis dikaitkan dengan peningkatan TNF- α,
IL-6, IL-1 receptor antagonist (IL-1Ra), IFN- γ, dan IL-10. Tingginya
15
konsentrasi TNF- α , IL-6, IFN- γ , dan IL-1Ra diidentifikasi pada siswa
yang merasakan stres tinggi saat terkena peristiwa stres, dan tingginya
konsentrasi IFN- IF dan konsentrasi IL-10 serta rendahnya IL-4
diidentifikasi pada mereka dengan respon kecemasan yang tinggi. Studi lain
menemukan bahwa stres akut dikaitkan dengan peningkatan kadar IL-6 dan
IL-1 β.
Kadar sitokin juga diukur pada pasien psoriasis terkena stres
psikologis. Mastrolonardo et al. mengukur kadar IL-1 β dari saliva pada 25
pasien dengan psoriasis dan 50 kontrol yang terpapar prosedur stres
standar. Para penulis menemukan pada awalnya konsentrasi IL-1 β lebih
tinggi pada pasien dengan psoriasis daripada pada kontrol. Setelah peristiwa
stres, konsentrasi IL-1 β meningkat di kelompok kontrol tetapi tidak pada
kelompok psoriasis. Para ilmuwan menyimpulkan bahwa pasien psoriasis
memiliki respon sistem kekebalan yang menurun terhadap rangsangan
adrenergik. Sebuah studi yang dilakukan pada tikus dengan psoriasis
mengevaluasi pengaruh kurang tidur pada konsentrasi sitokin
inflamasi. Penulis menemukan terjadinya peningkatan kadar sitokin
proinflamasi IL-1 β, IL-6, dan IL-12 dan terjadinya penurunan level sitokin
anti-inflamasi IL-10, sehingga menyimpulkan bahwa kurang tidur dikaitkan
dengan eksaserbasi penyakit.
16
SCCA2 dan dibandingkan dengan PASI. Konsentrasi SCCA2 ditemukan
lebih tinggi pada pasien psoriatic dibandingkan kontrol sehat, peningkatan
kadar SCCA2 dikaitkan dengan konsentrasi keparahan penyakit. Ekspresi
SCCA2 di kulit juga dinilai menggunakan analisis imunohistokimia, dan
penulis melaporkan bahwa terjadi peningkatan ekspresi SCCA2 pada kulit
lesi dibandingkan dengan kulit nonlesional pada pasien psoriasis. Selain itu,
IL-17 dan IL-22 ditemukan untuk meningkatkan produksi SCCA2, dan
penulis menyimpulkan bahwa SCCA2 mungkin merupakan biomarker yang
berguna pada psoriasis, yang mencerminkan peradangan T helper tipe 17.
17
dengan peningkatan sel K10+K6- dan penurunan sel K10-K6+ dalam keadaan
ringan dan bentuk penyakit yang parah.
5.2.2. Connexins.
Connexins adalah protein gap junction. Connexin 30 dan connexin
26 diregulasi pada kulit psoriasis dan telah dikaitkan dengan hiperproliferasi
epidermal.
18
Ki67 adalah penanda proliferasi sel, karena itu ditemukan kadarnya
tinggi pada lesi psoriasis. Beberapa penulis menunjukkan bahwa ekspresi
Ki67 berkurang setelah terapi.
Studi mendukung gagasan bahwa semua protein yang disebutkan di
atas bisa berfungsi sebagai penanda biologis pada psoriasis.
19
penurunan signifikan dalam aktivitas SOD, CAT, dan PON1, semua
antioksidan yang sangat penting.
MDA merupakan produk akhir dari peroksidasi lipid pada kadar
serum yang berkorelasi dengan konsentrasi peroksidasi jaringan
lipid. Konsentrasi MDA dan nitric oxide (NO) diukur pada plasma pasien
psoriasis dan kontrol sehat, serta kadar MDA diukur dalam lesi dan nonlesi
dari pasien psoriasis. Kadar MDA dan NO dalam plasma ditemukan lebih
tinggi secara signifikan pada pasien psoriasis dibandingkan dengan
kontrol. Kadar MDA juga lebih tinggi pada lesi psoriasis daripada di
jaringan nonlesional. Tidak ditemukan korelasi antara level jaringan MDA
dan NO dengan aktivitas penyakit.
Oxidized low-density lipoproteins (Ox-LDL) juga meningkat pada
jaringan psoriasis, dan antibodi anti-OxLLL meningkat dalam plasma pasien
psoriasis. Hal ini dapat dianggap sebagai penanda keterlibatan
kardiovaskular dalam pasien dengan psoriasis .
Biomarker urin dari stres oksidatif juga diajukan oleh beberapa
penulis. Konsentrasi nitrat, MDA, dan 8-hydroxydeoxyguanosine (8-OHdG)
diukur dalam sampel urin dari pasien psoriasis dan pasien dengan dermatitis
atopik. Konsentrasi Nitrat dan 8-OHdG urin ditemukan meningkat secara
signifikan pada pasien dengan psoriasis. Pasien dengan dermatitis atopik
mengalami peningkatan konsentrasi nitrat. Tingkat keparahan psoriasis dan
dermatitis atopic berkorelasi dengan konsentrasi nitrat urin. Pruritus dan
urtikaria idiopatik kronis dikaitkan dengan peningkatan kadar 8-
OHdG . Konsentrasi vitamin C dan lipoperoksida (thiobarbituric acid
reactive substances, TBARS) pada urin, juga diukur pada pasien psoriasis.
Konsentrasi vitamin C lebih rendah pada pasien dengan psoriasis daripada
kelompok kontrol yang sehat, dan di antara pasien dengan psoriasis, pada
pasien yang parah memiliki konsentrasi vitamin C lebih rendah daripada
mereka dengan psoriasis saat remisi. Kadar lipoperoksida lebih tinggi pada
pasien psoriasis daripada kontrol, pada pasien yang terkena sangat parah
memiliki konsentrasi tertinggi.
20
Beberapa penulis menganalisis efek terapi yang berbeda dengan stres
oksidatif pada pasien dengan psoriasis. Hasilnya saling bertentangan,
beberapa penulis melaporkan peningkatan level antioksidan setelah
perawatan sedangkan yang lainnya melaporkan tidak ada perubahan yang
signifikansi. Terapi biologis seperti infliximab dan etanercept, tampaknya
mengurangi konsentrasi ROS dan CRP, sambil meningkatkan kadar
antioksidan.
21
mungkin merupakan cara yang lebih baik untuk membedakan antara
psoriasis tipe I dan tipe II.
Lokasi kerentanan baru untuk psoriasis telah diidentifikasi, termasuk
RUNX3, TAGAP, dan STAT3 yang terlibat dalam regulasi fungsi sel T,
DDX58 yang terlibat dalam INF-mediated tanggap antivirus, ZC3H12C
dengan peran dalam aktivasi makrofag, serta CARD14 dan CARM1 yang
terlibat dalam pensinyalan NF- κ B.
Varian sekuens pada gen untuk reseptor IL-23 (IL-23R) dan IL-12B
telah terbukti berperan dalam patogenesis peradangan epitel kronis. Gen lain
yang terkait dengan psoriasis adalah gen yang mengkode protein zinc-finger
313 (ZNF313), TNFAIP3 berinteraksi proprotein 1 (TNIP1), dan TNF- α 3
yang diinduksi protein (TNFAIP3) dalam nuclear factor- (NF-) κB
pathway.
22
kontrol. Menurut mereka, perubahan ini mungkin menjelaskan peran stresor
dalam memicu erupsi psoriasis.
Meskipun hasilnya menjanjikan, penelitian lebih lanjut diperlukan
untuk mendukung penggunaan subset sel sebagai biomarker di psoriasis.
23
konsentrasi tinggi pada highly sensitive CRP (hsCRP), osteoprotegerin
(OPG), dan MMP-3 pada pasien dengan psoriasis dan psoriasis arthritis
dibandingkan dengan pasien dengan psoriasis saja dan menyimpulkan
bahwa ini bisa menjadi penanda biologis untuk psoriasis arthritis pada
pasien dengan psoriasis. hsCRP penanda sensitive terhadap inflamasi. OPG
adalah penanda periostitis dan pembentukan tulang baru sedangkan MMP-3
adalah enzim dengan peran dalam penghancuran tulang dan tulang rawan.
Penulis lain menunjukkan bahwa konsentrasi S-calprotectin
(S100A8 / S100AP) dan hsCRP secara signifikan lebih tinggi pada pasien
dengan psoriasis arthritis daripada kontrol yang sehat. S-Calprotrectin
mencerminkan beban yang lebih baik dari penyakit sendi dibandingkan
hsCRP dan merupakan biomarker potensial untuk psoriasis arthritis.
Kadar sitokin juga diukur pada pasien dengan psoriasis
arthritis. Konsentrasi antagonis reseptor IL-1 (IL-1ra) berkorelasi dengan
konsentrasi keparahan penyakit sendi. Il-6 juga secara signifikan lebih
tinggi pada pasien dengan psoriasis dan psoriasis arthritis dibandingkan
pasien dengan psoriasis sendiri.
Biomarker cairan sinovium dan sinovial juga diselidiki pada pasien
dengan arthritis psoriasis. TNF- α, IL-6, Konsentrasi IFN- γ, dan IL-
1 β meningkat pada sinovium mereka. Hubungan antara psoriasis arthritis
dan natural killer pathway juga telah dijelaskan .
Berkenaan dengan biomarker genetik, HLA-Cw6 dihubungkan
dengan psoriasis kulit dan psoriasis arthritis. HLA-B27 dikaitkan dengan
psoriasis arthritis, dan merupakan indikator untuk penyakit yang lebih
parah, lebih sering dikaitkan dengan entesitis, daktilitis, dan kerusakan sendi
perifer dan aksial . HLA-B39 dikaitkan dengan perkembangan pada
penyakit awal. HLA-B22 dikaitkan dengan risiko perkembangan yang lebih
rendah.
24
7. Kesimpulan
Psoriasis adalah gangguan pada fisik, emosional, dan sosial dengan
dampak besar pada kualitas hidup pasien yang telah menarik minat beberapa
penulis beberapa terakhir tahun. Stres merupakan pemicu penting bagi
timbulnya keduanya penyakit dan eksaserbasi selanjutnya; beberapa
biomarker dipelajari untuk penilaian keparahan psoriasis juga telah
diidentifikasi dalam gangguan terkait stres. Sementara biomarker yang ideal
untuk psoriasis belum ditemukan, namun semakin banyak bukti yang
mendukung peran potensial VEGF,TGF- β 1, HBD-2, dan IL-18 dalam
mengevaluasi keparahan penyakit. Selain itu, CRP, platelet P-selectin, TNF-
α , dan IL-6 bisa membantu menilai penyakit kulit dan yang terkait
psikopatologi. Biomarker memiliki potensi untuk membantu
mengidentifikasi molekul baru yang berperan penting dalam patogenesis
penyakit, target pengobatan baru atau penanda untuk tingkat keparahan
penyakit dan respons terhadap pengobatan, mencari tanda ideal untuk
psoriasis vulgaris dan psoriasis arthritis lanjut.
Konflik Kepentingan
Para penulis menyatakan bahwa mereka tidak memiliki konflik
kepentingan.
Kontribusi Penulis
Semua penulis memiliki kontribusi yang sama terhadap jurnal ini.
25