Anda di halaman 1dari 28

Clinic Science Session

* Kepaniteraan Klinik Senior/G1A218023/Januari 2019


** Pembimbing : dr. Rini Chrisna, M.Ked (DV), Sp.KK**

MEKANISME PATOFISIOLOGI DAN PENCARIAN BIOMARKER


PADA PSORIASIS, PENYAKIT KULIT YANG TERKAIT STRESS

Oleh:
Sartika Eka Putri, S.Ked*
G1A218023

Pembimbing:
dr. Rini Chrisna, M.Ked (DV), Sp.KK**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019
LEMBAR PENGESAHAN

MEKANISME PATOFISIOLOGI DAN PENCARIAN BIOMARKER


PADA PSORIASIS, PENYAKIT KULIT YANG TERKAIT STRESS

Oleh:
Sartika Eka Putri, S.Ked
G1A218023

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019

Jambi, Januari 2019


Pembimbing:

dr. Rini Chrisna, M.Ked (DV), Sp.KK


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah Yang Maha
Esa sebab karena rahmatnya, tugas baca jurnal atau clinical science session
(CSS) yang berjudul “Mekanisme patofisiologi dan pencarian biomarker
pada psoriasis, penyakit kulit yang terkait stress” ini dapat terselesaikan.
Tugas ini dibuat agar penulis dan teman – teman sesama koass periode ini
dapat memahami tentang patogenesis, komplikasi, dan pengobatan dari
kasus ini. Selain itu juga sebagai tugas dalam menjalankan Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Raden
Mattaher Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Rini Chrisna, M.Ked
(DV), Sp.KK selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior ini dan
khususnya pembimbing dalam tugas baca jurnal ini. Penulis menyadari
bahwa laporan ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan
kritik dan saran agar lebih baik kedepannya. Akhir kata, semoga tugas baca
jurnal ini bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah informasi serta
pengetahuan kita.

Jambi, Januari 2019

Penulis
Mekanisme Patofisiologi dan Pencarian Biomarker Pada Psoriasis,
Penyakit Kulit yang Terkait Stress.

Mircea Tampa, Maria-Isabela Sarbu, Madalina-Irina Mitran,


Cristina-Iulia Mitran, Clara Matei, and Simona-Roxana Georgescu

Abstrak
Psoriasis adalah kelainan multifaktorial yang secara fisik, emosional,
dan sosial berdampak secara signifikan pada kualitas hidup pasien. Stres
adalah salah satu pemicu utama untuk psoriasis dan juga dikaitkan dengan
onset penyakit dan flare-up, sementara flare-up sendiri sering menyebabkan
ketidaknyamanan psikologis. Pengobatan psoriasis bersifat individual,
tergantung pada tingkat keparahan penyakit yang dapat diukur oleh pasien,
dan dampak kondisi kulit terhadap kualitas hidup pasien yang dinilai dengan
menggunakan kuesioner standar. Skala klinis saat ini yang digunakan untuk
mengukur keparahan psoriasis memiliki reproduktifitas yang rendah dan
variabilitas yang tinggi diantara penguji. Karena itu, dibutuhkan pengukuran
biomarker yang objektif untuk membakukan penilaian keparahan
psoriasis. Kami bermaksud meninjau mekanisme patofisiologis yang terlibat
dalam psoriasis, dengan fokus pada kemajuan paling kritis dalam penemuan
biomarker psoriasis, terutama biomarker yang telah dipelajari dalam kondisi
terkait stres, sehingga menekankan hubungan antara psoriasis dan stress.

1. Pendahuluan
Psoriasis adalah penyakit kulit poligenik, yang dimediasi imun,
bersifat kronis dengan kejadian universal mengenai sekitar 2% dari populasi
Kaukasia. Kondisi yang secara fisik, emosional, dan sosial berdampak pada
kualitas hidup pasien. Pasien dengan psoriasis sering mengalami stigma
sosial. Psoriasis bisa muncul pada usia berapa pun, tetapi puncak dalam dua
onset usia telah dilaporkan: pertama antara 20 dan 30 tahun dan yang kedua
antara 50 dan 60 tahun. Laki-laki dan perempuan sama-sama

1
terkena. Beberapa varian klinis penyakit telah dijelaskan yaitu, guttate
psoriasis, psoriasis erythrodermic, pustular psoriasis, danpsoriasis vulgaris
dengan plak kronis terhitung lebih dari 90% dari kasus.
Psoriasis tidak hanya terbatas pada kulit; sendi juga bisa terlibat;
psoriasis arthritis terjadi pada 5-30% pada pasien dengan penyakit
kulit; baik sendi aksial dan periferal. Dalam kebanyakan kasus, psoriasis
arthritis muncul setidaknya satu dekade setelah penyakit kulit, bisa kedua
gangguan tersebut timbul secara bersamaan atau arthropathi mendahului
kelainan kulit. Faktor risiko penting dalam berkembangnya psoriasis
arthritis adalah jenis kelamin perempuan, onset dini, kecenderungan genetik,
dan deteksi awal dari tanda-tanda radiografi.
Penyakit kulit adalah penyebab utama dari penyakit tidak fatal yang
menjadi beban, dan psoriasis adalah salah satu penyakit dermatologis utama
yang terkait dengan tekanan psikologis. Studi menunjukkan bahwa pasien
psoriasis mengalami peningkatan risiko komorbiditas kejiwaan dan ide
bunuh diri dibandingkan pasien yang menderita penyakit kulit lain seperti
melanoma dan gangguan alergi. Apalagi kualitas hidup pasien psoriasis
menurun seperti halnya pasien yang menderita kardiovaskular atau
kanker. Penderita psoriasis sering merasa stigmatisasi, depresi, atau
cemas. Gangguan seksual sangat berat dialami pasien, dan alkoholisme
lebih sering terjadi pada pasien psoriasis daripada di populasi umum. Hal ini
membuktikan bahwa psoriasis arthritis dikaitkan dengan depresi dan
perilaku bunuh diri.
Stres adalah salah satu pemicu psoriasis yang paling diketahui. Hal
ini dikaitkan dengan onset penyakit, flare-up, dan gangguan psikologis.
Kecemasan mungkin terjadi pada pasien psoriasis karena cacat, stigmatisasi,
atau pruritus kronis. Kecacatan, stigmatisasi, dan ketidakpuasan dengan
pengobatan juga dapat menyebabkan depresi. Di samping itu, psoriasis
dapat dipicu atau diperburuk oleh kondisi kejiwaan seperti depresi dan
kecemasan yang bisa masuk ke dalam lingkaran setan. Dalam tinjauan
sistematis terbaru, penulis menemukan bahwa terlepas dari kecemasan dan

2
depresi, psoriasis juga terkait dengan banyak gangguan mental seperti
gangguan makan, gangguan tidur, gangguan seksual, penyalahgunaan dan
ketergantungan zat, psikosis, gangguan bipolar, atau gangguan somatoform.
Berdasarkan banyak bukti, psoriasis terkait dengan ide bunuh diri,
dan subjek ini membuat beberapa peneliti tertarik. Dua penelitian terbaru
menunjukkan hubungan ikatan antara psoriasis dan bunuh diri. Di sebuah
tinjauan sistematis dan meta-analisis dari delapan belas studi dengan
1.767.583 peserta, di antaranya 330.207 didiagnosis dengan psoriasis, Singh
et al. menemukan bahwa pasien dengan psoriasis lebih cenderung
menunjukkan perilaku ingin bunuh diri, mencoba bunuh diri, dan bunuh diri
daripada pasien tanpa psoriasis, pasien dengan penyakit yang lebih parah
dan pasien lebih muda yang memiliki risiko tertinggi. Sebuah studi kohort
berbasis populasi yang terdiri dari 408.663 individu, termasuk 57.502 pasien
dengan psoriasis ringan dan 11.009 pasien dengan psoriasis parah, juga
menemukan peningkatan risiko melukai diri sendiri dan upaya bunuh diri
yang tidak fatal pasien dengan psoriasis parah. Menurut penelitian ini, risiko
bunuh diri hingga selesai tidak terjadi peningkatan.
Pasien psoriasis juga mengalami sejumlah besar stres psikologis, dan
pada 40 hingga 80% pasien, aktivitas penyakit ini dipengaruhi oleh
peristiwa stres. Beberapa penulis menunjukkan bahwa dua faktor utama
yang berkontribusi pada dampak psikososial dari psoriasis: stres yang
berhubungan dengan perilaku antisipatif atau penghindaran dengan
membatasi intrusi sosiokognitif dari psoriasis dan stress dihasilkan dari
keyakinan pasien atau pengalaman aktual yang dievaluasi oleh orang lain
berdasarkan kulit mereka. Menariknya, beban psikologis psoriasis tidak
selalu sebanding dengan konsentrasi keparahan penyakit, sebagaimana
diukur oleh skala klinis yang tersedia sejauh ini. Untuk alasan itulah
merekomendasikan bahwa langkah-langkah menilai morbiditas psikososial
juga harus dipertimbangkan ketika menentukan keparahan psoriasis.
Mekanisme stres psikologis mempengaruhi onset atau eksaserbasi
psoriasis tidak sepenuhnya dipahami. Studi psikologioneuroimunologi

3
menunjukkan bahwa stresor dapat mempengaruhi fungsi kekebalan tubuh.
Karena itu, stres menyebabkan terjadinya sekresi Corticotropin releasing
Hormone (CRH) di hipotalamus. CRH akan membuat kadar hormon
Adrenocorticotropic Hormone (ACTH) meningkat dan akan menginduksi
pelepasan glukokortikoid. CRH juga terlibat dalam sekresi noradrenalin
dalam sistem saraf simpatis perifer dan noradrenalin dan adrenalin di
medula adrenal. Karena itu stress meningkatkan kadar neurohormon
perifer. Sel-sel sistem kekebalan tubuh, termasuk limfosit T, limfosit B, dan
monosit akan mengekspresikan reseptor untuk hormon-hormon tersebut.
Stres kronis telah dikaitkan dengan peningkatan kronis pada sitokin
proinflamasi, terutama interleukin- (IL-) 6, tumor necrosis factor-
(TNF) α, dan IL-1 beta. Sementara peran inflamasi dalam pengembangan
psoriasis sudah mapan, ada semakin banyak bukti bahwa inflamasi mungkin
juga berperan dalam berkembangnya gangguan neuropsikiatri. Depresi
dikaitkan dengan tingginya IL-6, TNF- α , IL-1 beta, Protein C-reaktif
(CRP), kemokin, dan adhesi molekul. IL-6 dan TNF- α akan mengubah
metabolisme norepinephrine, serotonin, dan dopamin yang akan
menimbulkan gejala depresi. Di sisi lain, IL-6 mempromosikan produk dari
T helper (Th) 17 sel dan, bersama-sama dengan TNF α, berperan sentral
dalam pengembangan lesi psoriasis. Pemberian sitokin atau penginduksi
sitokin di sukarelawan sehat dan hewan laboratorium menentukan simptom
depresi dan kecemasan yang selanjutnya meningkatkan kadar sitokin. Di sisi
lain, pemberian terapi anti-inflamasi pada pasien dengan gangguan
inflamasi seperti psoriasis telah dikaitkan dengan signifikan peningkatan
gejala depresi.

2. Kebutuhan Biomarker Psoriasis - Melampaui Skala yang


Digunakan untuk Menilai Beban Fisik dan Psikologis dari Penyakit

4
Pengobatan disesuaikan menurut kebutuhan masing-masing pasien
yang diukur berdasarkan konsentrasi keparahan penyakit. Psoriasis Area
and Severity Index (PASI) saat ini dianggap sebagai gold standard untuk
mengevaluasi aktivitas penyakit. Skor ini dibutuhkan memperhitungkan
intensitas eritema, ketebalan lesi, dan scaling di empat wilayah tubuh, yaitu,
kepala dan leher, punggung, tungkai atas, dan tungkai bawah, dan
persentase daerah yang terkena. Saat menilai konsentrasi keparahan
penyakit dan memilih pengobatan, dokter juga harus mempertimbangkan
persepsi pasien tentang penyakit. Beberapa alat untuk pengukuran kualitas
hidup saat ini tersedia. Dermatology Life Quality Index (DLQI) dilaporkan
merupakan kuesioner yang berisi sepuluh item untuk mengevaluasi dampak
penyakit pada aktivitas sehari-hari, perasaan, pekerjaan, studi, hubungan
pribadi, dan pengobatan. Skor DLQI berkisar dari 0 (tidak berpengaruh pada
kehidupan subjek) hingga 30 (efeknya sangat besar terhadap kehidupan
subyek). Pengukuran spesifik psoriasis juga tersedia. The Psoriasis Life
Stress Inventory (PLSI) adalah kuesioner 15 item yang mengukur stres
psikososial terkait dengan mengatasi peristiwa sehari-hari. Psoriasis
Disability Index (PDI) terdiri dari 15 pertanyaan spesifik psoriasis yang
membahas kecacatan dalam kegiatan sehari-hari, pekerjaan, hubungan
pribadi, waktu luang, dan pengobatan. Psoriasis Index of Quality of Life
(PSOR-IQoL) adalah instrumen item 25-dikotomi yang dirancang untuk
praktik klinis dan uji coba yang menilai kemampuan individu untuk
memenuhi kebutuhan mereka.
Realibilitas beberapa skor ini tidak pasti karena ada tingginya
variabilitas dan rendahnya reproduktifitas antara dokter. Karena itu para
ilmuwan berusaha mengidentifikasi biomarker yang dapat dinilai secara
obyektif untuk membakukan pengukuran konsentrasi keparahan psoriasis.
Biomarker adalah karakteristik yang secara objektif diukur dan
dievaluasi sebagai indikator proses biologis normal, proses patogen, atau
respons farmakologis untuk intervensi terapeutik . Dalam praktik klinis,
mereka dapat digunakan sebagai alat diagnostik, untuk stadium penyakit,

5
indikator prognosis, atau untuk memantau respon klinis setelah
intervensi. Mereka juga dapat membantu memahami patogenesis berbagai
penyakit atau pengembangan terapi. Di masa depan, biomarker mungkin
memainkan peran sentral dalam terapi yang dipersonalisasi karena mereka
dapat membantu mengidentifikasi pasien yang tidak respon terhadap
pengobatan tertentu atau yang mengalami efek samping. Apalagi, biomarker
punya memiliki peran yang sangat penting dalam memahami patogenesis
psoriasis dan memfasilitasi pengembangan terapi biologis.

3. Gambaran Umum tentang Mekanisme Molekuler yang terlibat


dalam Patogenesis Psoriasis
Psoriasis secara histopatologis ditandai dengan memanjang rete
ridges, hiperkeratosis dengan parakeratosis, dan melebarnya pembuluh
darah di papilla dermal. Perubahan histopatologis bertanggung jawab dalam
penampilan klinis psoriasis. Karena itu, sisik putih keperakan adalah hasil
dari parakeratosis. Lesi meningkat dan berbatas tegas karena perpanjangan
rete ridges, sedangkan eritema hasil dari pembuluh darah kulit yang
melebar.
Hampir semua jenis sel yang ditemukan di kulit terlibat dalam
patogenesis psoriasis. Keratinosit menghasilkan IL-8, IL-12, IL-15, IL-18,
TNF- α, vascular endothelial growth factor (VEGF), dan faktor platelet-
derived growth factor (PDGF). Sel dendritik menghasilkan interferon-
(IFN) α, TNF- α, IL-20, dan IL-23. Limfosit Th1 mensekresi IFN- γ, TNF-α,
dan TNF- β , limfosit Th17 menghasilkan IL-17, IL-21, dan IL-22, dan
jaringan mesenkimal dermal menghasilkan keratinocyte growth factor
(KGF); interaksi semua sitokin dan kemokin sangat kompleks dan
menghasilkan proliferasi keratinosit, angiogenesis berhubungan dengan
terjadinya kapiler melebar, dan inflamasi yang terus terjadi. Proses ini
mendasari terjadinya plak psoriasis. Peran sentral dalam mekanisme
patogenetik yang terlibat dalam psoriasis dimainkan oleh TNF-
α (Gambar 1).

6
Sel T CD8 memainkan peran sentral dalam patogenesis arthritis
psoriasis. Sel-sel tersebut ditemukan dalam kadar tinggi di jaringan dan
cairan sinovial. Sel T yang diaktifkan melepaskan sitokin dan kemokin yang
mempengaruhi jaringan secara langsung dan tidak langsung dengan
mengaktifkan sel-sel inflamasi lainnya.

4. Stres Psikologis dan Psoriasis


Karena stres merupakan pemicu penting untuk psoriasis, mekanisme
dimana stres psikologis dapat memperburuk penyakit dipelajari oleh
beberapa penulis. Teori yang diajukan meliputi perubahan distribusi bagian
leukosit dan produksi sitokin pada pasien psoriasis yang terpapar stres,
terdiri dari peningkatan sel T CD4 + dan monosit, penurunan kadar sel
T CD3 + /CD5 +, dan respon yang tidak adekuat dari Hipotalamus-
Hipofisis-Adrenal Axis (HPA). Peran stres dalam peningkatan inflamasi
neurogenik juga dibahas sebagai vasoactive intestinal peptide (VIP), dan
peptida yang berhubungan dengan calcitonin gene-related peptide (CGRP-)
nervus imunoreaktif yang diamati di dermis papiler kulit lesi pada pasien
yang mengalami stres.
Biasanya, stres mengaktifkan poros HPA pusat dan peningkatan
pelepasan hormon stres seperti CRH dan arginin vasopresin dalam

7
hipotalamus yang menentukan pelepasan ACTH di hipofisis anterior. ACTH
mengatur sekresi glukokortikoid . Pada pasien psoriasis yang sangat reaktif
terhadap stres, kadar kortisol rendah. Akibatnya, terjadi peningkatan
inflamasi dan kekebalan tubuh menjadi terlalu aktif.
Hubungan antara skor PASI dan reseptor CRH tipe 1 (CRH-R1)
dipelajari pada 46 pasien dewasa dengan psoriasis dan 20 kontrol
sehat. Ekspresi CRH-R1 ditentukan secara imunohistokimia dalam biopsi
kulit. Ditemukan peningkatan CRH-R1 yang signifikan secara statistic pada
lesi psoriasis, dan korelasi antara konsentrasi keparahan penyakit yang
diukur dengan PASI dan ekspresi CRH-R1 diidentifikasi. Hasil ini
mendukung peran stres pada eksaserbasi penyakit.
Peran neurotensin (NT), peptida yang secara luas didistribusikan di
dalam sistem saraf pusat dan perifer, dapat meningkatkan kemampuan CRH
untuk meningkatkan permeabilitas pembuluh darah kulit, juga telah
dipelajari pada pasien dengan psoriasis. Konsentrasi serum NT yang tinggi
diidentifikasi pada pasien psoriasis dibandingkan dengan kontrol. Ekspresi
gen untuk NT dan Reseptor NT-1 pada kulit psoriasis menurun
dibandingkan dengan kontrol. NT menginduksi pelepasan VEGF, sebuah
molekul terlibat dalam patogenesis psoriasis, dari sel mast dan sebagian
mungkin menjelaskan peran stres pada kulit penyakit.

5. Penyelidikan Biomarker pada Psoriasis


Beberapa molekul telah dipelajari sebagai biomarker pada psoriasis,
yang paling penting adalah biomarker terlarut, biomarker terkait jaringan,
penanda stres oksidatif, penanda genetik, dan subset sel (Tabel 1).

8
9
5.1. Biomarker terlarut
5.1.1. Protein C-Reaktif dan Indikator Inflamasi Nonspesifik Lainnya
Karena psoriasis adalah inflamasi kronis penyakit, Rocha-Pereira et
al. mengevaluasi konsentrasi respon inflamasi pada psoriasis ringan dan
berat dengan mengukur kadar CRP, fibrinogen, erythrocyte sedimentation
rate (ESR), haptoglobin, serta komplemen protein C3 dan C4. Para penulis
menunjukkan bahwa semua pasien dengan psoriasis memiliki konsentrasi
CRP yang lebih tinggi daripada kontrol. 97% dari pasien dengan psoriasis
juga memiliki konsentrasi haptoglobin yang lebih tinggi daripada
kontrol. Komplemen fibrinogen, ESR, serta protein C3 dan C4 juga lebih
tinggi tetapi tidak pada konsentrasi yang sama. Di dalam studi, penanda
inflamasi secara signifikan lebih rendah pada pasien dengan psoriasis tidak
aktif daripada pada pasien dengan aktif psoriasis. Coimbra et
al. mempelajari CRP sebagai potensi untuk memonitor psoriasis
vulgaris. Para penulis menemukan konsentrasi CRP berkorelasi dengan
PASI dan menyimpulkan bahwa CRP bisa digunakan untuk menilai
konsentrasi keparahan psoriasis dan untuk memantau respon terhadap
pengobatan.
Konsentrasi CRP juga diukur pada pasien dengan gangguan
psikologis. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada 80 pasien,
peningkatan kadar CRP dikaitkan dengan depresi dan kecemasan. Sebuah
studi dilakukan pada 73.131 peserta menunjukkan bahwa kadar CRP tinggi
dikaitkan dengan risiko tinggi stres psikologis dan depresi. Penulis lain juga
menemukan hasil yang serupa.
Platelet P-selectin juga diusulkan sebagai biomarker untuk
psoriasis. Platelet P-selectin adalah adhesi sel molekul trombosit, yang
setelah distimulasi trombosit, akan ditranslokasi ke membran plasma dan
bertindak sebagai reseptor untuk monosit dan neutrofil. Garbaraviciene et al.
menyelidiki platelet P-selectin pada pasien dengan psoriasis dan pasien
dengan penyakit inflamasi kulit menunjukkan bahwa konsentrasi platelet P-
selectin meningkat pada pasien dengan psoriasis dan berkorelasi dengan

10
keparahan psoriasis yang diukur dengan PASI. Para penulis juga
menunjukkan bahwa ada korelasi kuat antara P-selectin diekspresikan pada
trombosit dengan P-selectin terlarut yang dapat dengan mudah diukur
melalui tindakan rutin dan hal ini menunjukkan bahwa plasma P-selectin
dapat digunakan sebagai biomarker pada psoriasis.
Tingginya kadar platelet P-selectin dan norepinefrin dan pemulihan
yang tertunda juga diidentifikasi pada pasien depresi dan cemas yang
terkena stres psikologis akut.

5.1.2. Faktor Pertumbuhan Endotel Vaskular (VEGF).


VEGF adalah faktor proangiogenik ditemukan dalam kadar tinggi
pada psoriasis. faktor ini bertanggung jawab untuk peningkatan
vaskularisasi kulit yang spesifik untuk plak psoriasis. Satu studi mengukur
konsentrasi VEGF dan reseptor VEGF larut (sVEGF R1 dan sVEGF R2)
pada pasien dengan psoriasis sebelum dan sesudah pengobatan. Para
ilmuwan menemukan bahwa konsentrasi VEGF berkorelasi dengan aktivitas
penyakit yang diukur dengan PASI, dan pengobatan psoriasis menyebabkan
penurunan kadar serum VEGF. Mereka juga menemukan bahwa konsentrasi
tinggi VEGF R1 mungkin menjadi indicator perbaikan klinis.
Chen et al. melakukan meta-analisis, dimana termasuk didalamnya
penelitian efek terapi narrow band UVB pada level serum VEGF dan IL-8
pada pasien dengan psoriasis. Didalamnya terdapat 13 studi dengan total
400 pasien dengan psoriasis dan 221 kontrol. Para penulis menemukan
bahwa pasien psoriasis memiliki konsentrasi VEGF yang tinggi signifikan
daripada kontrol sehat sebelum perawatan NB-UVB, dan konsentrasi VEGF
menurun secara signifikan setelahnya pengobatan. Kadar serum IL-8 tidak
signifikan berbeda antara pasien psoriasis dan kontrol sebelum pengobatan
tetapi menurun secara signifikan setelah perawatan NB-UVB. Para penulis
menyimpulkan bahwa VEGF dan IL-8 dapat menjadi penanda sensitive
untuk menilai respon terhadap pengobatan.

11
VEGF saat ini dianggap sebagai target yang mungkin untuk terapi
baru untuk psoriasis karena beberapa penulis menunjukkan bevacizumab,
antibodi monoklonal terhadap VEGF, menentukan remisi lengkap dari lesi
psoriasis pada pasien dirawat karena kanker usus besar. Penelitian lain
dilakukan pada model tikus psoriasis menunjukkan blokade sistemik VEGF-
A oleh antibodi monoklonal menormalkan proliferasi epidermis,
menurunkan ukuran pembuluh kulit, dan mengurangi sel-sel inflamasi.
Namun diperlukan penelitian lebih lanjut.
Peran VEGF dan brain-derived neurotrophic factor (BDNF) dalam
patogenesis gangguan psikologis juga dipelajari. VEGF dan BDNF terlibat
dalam neurogenesis dan plastisitas sinaptik. Stres jangka panjang
menentukan perubahan permanen pada struktur otak. Studi hewan
menunjukkan bahwa stres dan karakteristik perilaku depresi dikaitkan
dengan rendahnya konsentrasi BDNF dan VEGF di otak.

5.1.3. Transforming Growth Factor- (TGF-) β


TGF- β disregulasi, terutama isoform TGF- β 1, dilaporkan dalam
pasien dengan psoriasis. Ekspresi berlebihan TGF- β 1 dalam keratinosit
menginduksi inflamasi pada beberapa penyakit kulit. Satu studi
mengevaluasi hubungan antara TGF- β 1 dan TGF- β 2 dalam skala dan
plasma pasien psoriasis dan aktivitas penyakit. Para penulis menemukan
korelasi antara plasma TGF- β 1 dan konsentrasi keparahan penyakit yang
diukur dengan PASI. Kelompok penulis yang sama juga mengukur
konsentrasi TGF- β 1 dan TGF- β 2 pada pasien psoriasis sebelum dan
setelah pengobatan untuk mengevaluasi apakah bisa menjadi indicator
kemanjuran pengobatan. Para ilmuwan menemukan korelasi antara
konsentrasi plasma TGF- β 1 dan aktivitas penyakit di pasien dengan
psoriasis parah (PASI≥15) dan menyimpulkan TGF- β 1 harus dianggap
sebagai biomarker aktivitas penyakit selama pengobatan. Penulis lain juga
menemukan kadar TGF- β 1 dalam plasma pasien psoriasis lebih tinggi
dibandingkan kelompok kontrol, dan adanya korelasi dengan luasnya

12
penyakit. Meki et al. menganalisis korelasi antara serum VEGF, TGF- β 1,
dan nitric oxide serta konsentrasi keparahan penyakit di pasien dengan
psoriasis dan mereka menemukan bahwa semua bisa digunakan sebagai
penanda keparahan psoriasis. Beberapa penulis mempertimbangkan plasma
TGF- β 1, tissue inhibitors of metalloproteinases- (TIMP-) 1, matrix
metalloproteinase- (MMP-) 1, dan IL-18 semuanya harus diukur pada
pasien psoriatic untuk hasil superior.
Penulis lain mempelajari hubungan antara sitokin dan depresi pada
model hewan dan menemukan tikus-tikus tersebut mengalami stres ringan
kronis selama empat minggu ditunjukkan dengan perubahan perilaku seperti
depresi dan ekspresi sitokin di otak yang berubah yaitu dengan peningkatan
kadar proinflamasi sitokin matory (IL-1 β , TNF- α , dan IL-6) dan menurun
kadar TGF- β dan IL-10.

5.1.4. Peptida Antimikroba: Human Beta Defensin 2 dan Cathelicidin.


Antimikroba peptida memainkan peran penting yang tidak hanya
membunuh mikroorganisme patogen tetapi juga dalam memodifikasi
respons inflamasi host. Human beta defensin 2 (HBD-2) dan cathelicidin
(LL-37), keduanya meningkat di psoriasis sebagai respons terhadap
sitoklamatori proinflamasi dan sitokin tipe I, serta mungkin bertanggung
jawab untuk rendahnya konsentrasi infeksi pada kulit psoriasis. Juga
diyakini berperan dalam patogenesis psoriasis. Studi menunjukkan bahwa
jumlah salinan genomik HBD-2 yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan
risiko psoriasis. Jansen et al. menunjukkan bahwa kadar serum HBD-2
berkorelasi dengan konsentrasi keparahan penyakit pada pasien dengan
psoriasis dan menyimpulkan HBD-2 bisa menjadi biomarker yang berguna
untuk aktivitas penyakit. Hasil serupa ditemukan oleh Jin et al. yang
menganalisis korelasi antara HBD-2 dengan aktivitas penyakit di pasien
psoriasis yang dirawat dengan Janus kinase (JAK) inhibitor dan
menyimpulkan bahwa HBD-2 mungkin merupakan penanda biologis untuk
pemantauan respon terhadap pengobatan. Penulis lain menemukan bahwa

13
level HBD-2 berkorelasi baik dengan level IL-17A dan HBD-2, karena itu
dapat divalidasi sebagai biomarker untuk IL-17A didorong dengan patologi
kulit. Peran neutrofil ekstraselulerlar traps (NETs) dalam menginduksi
produksi HBD-2 pada plak psoriasis juga dipelajari.
Stres psikologis dikaitkan dengan rendahnya konsentrasi ekspresi
peptida antimikroba epidermal pada tikus dan peningkatan risiko terkena
infeksi kulit. Ekspresi peptida antimikroba diatur oleh mekanisme
glukokortikoid dan β- adrenergik.

5.1.5. S-100 Protein.


Protein S-100 adalah keluarga protein berat molekul rendah dimerik
ditandai dengan kehadiran dua sisi pengikatan kalsium. Mereka memiliki
aktivitas proinflamasi, antimikroba, dan kemotaktik. S100A7 (psoriasin),
S100A8 (calgranulin A), S100A9 (calgranulin B), dan S100A12
(calgranulin C) meningkat tajam pada lesi psoriasis. Beberapa ilmuwan
menyelidiki protein ini untuk mengetahui apakah mereka bisa menjadi
biomarker andal di psorias. Benoit et al. mengukur konsentrasi S100A8 dan
100A9 pada pasien dengan psoriasis dengan kontrol sehat, dan menemukan
konsentrasi S100A8 dan S100A9 dalam serum pasien psoriasis. Levelnya
lebih tinggi pada pasien dengan penyakit yang lebih parah
(PASI≥15). Anderson et al. mengukur kadar serum S100A7 dan
autoantibodi spesifik psoriasin pada pasien dengan psoriasis vulgaris. Para
penulis menemukan bahwa meskipun S100A7 diekspresikan dalam lesi
kulit psoriasis, konsentrasi serum S100A7 menurun. Autoantispesifik
psoriasis tubuh juga tidak meningkat secara signifikan. Karena itu, penulis
menyimpulkan bahwa S100A7 bukanlah serum yang menjanjikan untuk
dijadikan biomarker untuk psoriasis. Namun hasil ini tidak ditemukan oleh
penulis lain. Wilsmann-Theis et al. menganalisis ekspresi S100A7, S100A8,
S100A9, dan S100A12 di kulit dan serum pasien psoriatic, lalu
membandingkannya dengan yang ditemukan pada pasien dengan dermatitis
atopik dan lichen ruber dan dalam kontrol sehat. Para penulis menemukan

14
itu protein semua yang diteliti sangat diekspresikan dalam serum dan kulit
pasien dengan psoriasis aktif. S100A7 dan kadar serum S100A12 terkait
erat dengan aktivitas penyakit pada pasien psoriasis, dan S100A8, S100A9,
dan konsentrasi serum S100A12 menurun setelah perawatan dengan
etanercept. Para penulis menyimpulkan bahwa level S100A12 berkorelasi
dengan aktivitas penyakit dan respons terapeutik, serta serum ini merupakan
penanda paling signifikan di antara protein S100.

5.1.6. Sitokin.
Sitokin memiliki peran yang sangat penting dalam patogenesis
psoriasis, terutama yang diproduksi oleh sel Th1 (IFN- γ, IL-2, dan TNF- α)
dan yang diproduksi oleh sel dendritik (IL-18, IL-20, TNF- α, dan IL-
23). Semua sitokin tersebut adalah biomarker potensial untuk psoriasis.
Arican et al. mengukur kadar serum IFN- γ, TNF- α, IL-6, IL-8, IL-
12, IL-17, dan IL-18 pada pasien dengan psoriasis dan kelompok kontrol
yang sehat. Penulis menemukan konsentrasi IFN- γ , TNF- α , IL-6, IL-8,
IL-12, dan IL-18 lebih tinggi secara signifikan pada pasien dengan
psoriasis. Level IL-17 sedikit lebih tinggi pada pasien psoriasis, tetapi
perbedaannya tidak signifikan secara statistik. Para penulis juga menemukan
korelasi antara IFN- γ, IL-12, dan IL-18 dengan konsentrasi keparahan dan
aktivitas klinis dari penyakit yang diukur dengan PASI. Pietrzak et al.
mengukur kadar serum IL-18 pada pasien antara psoriasis dengan subyek
sehat, serta mereka menemukan peningkatan kadar IL-18 di pasien psoriasis
dan korelasi antara sitokin dan aktivitas penyakit. Hasil serupa juga
diperoleh oleh Flisiak et al. Selanjutnya, penulis menemukan bahwa
pengukuran gabungan IL-18 dan TGF- β 1 bisa menjadi biomarker aktivitas
psoriasis.
Konsentrasi sitokin yang tinggi juga teridentifikasi pada gangguan
terkait stres. Sebuah studi yang dilakukan pada 38 mahasiswa kedokteran
menunjukkan bahwa stres psikologis dikaitkan dengan peningkatan TNF- α,
IL-6, IL-1 receptor antagonist (IL-1Ra), IFN- γ, dan IL-10. Tingginya

15
konsentrasi TNF- α , IL-6, IFN- γ , dan IL-1Ra diidentifikasi pada siswa
yang merasakan stres tinggi saat terkena peristiwa stres, dan tingginya
konsentrasi IFN- IF dan konsentrasi IL-10 serta rendahnya IL-4
diidentifikasi pada mereka dengan respon kecemasan yang tinggi. Studi lain
menemukan bahwa stres akut dikaitkan dengan peningkatan kadar IL-6 dan
IL-1 β.
Kadar sitokin juga diukur pada pasien psoriasis terkena stres
psikologis. Mastrolonardo et al. mengukur kadar IL-1 β dari saliva pada 25
pasien dengan psoriasis dan 50 kontrol yang terpapar prosedur stres
standar. Para penulis menemukan pada awalnya konsentrasi IL-1 β lebih
tinggi pada pasien dengan psoriasis daripada pada kontrol. Setelah peristiwa
stres, konsentrasi IL-1 β meningkat di kelompok kontrol tetapi tidak pada
kelompok psoriasis. Para ilmuwan menyimpulkan bahwa pasien psoriasis
memiliki respon sistem kekebalan yang menurun terhadap rangsangan
adrenergik. Sebuah studi yang dilakukan pada tikus dengan psoriasis
mengevaluasi pengaruh kurang tidur pada konsentrasi sitokin
inflamasi. Penulis menemukan terjadinya peningkatan kadar sitokin
proinflamasi IL-1 β, IL-6, dan IL-12 dan terjadinya penurunan level sitokin
anti-inflamasi IL-10, sehingga menyimpulkan bahwa kurang tidur dikaitkan
dengan eksaserbasi penyakit.

5.1.7. Antigen Karsinoma Sel Squamous 2


Squamous cell carcinoma antigen (SCCA) termasuk inhibitor serine
protease dan berfungsi sebagai penanda serologi untuk karsinoma sel
skuamosa pada leher rahim, paru-paru, kepala dan leher, vulva, dan
esofagus. Tingginya konsentrasi SCCA juga diidentifikasi dalam gangguan
inflamasi seperti psoriasis dan dermatitis atopik. Dua protein SCCA telah
diidentifikasi: SCCA1 dan SCCA2. SCCA2 menghambat proteinase
cathepsin- like chymotrypsin G dan sel mast chymase.
Dalam studi cross-sectional prospektif, dilakukan pada 123 pasien
dengan psoriasis dan 25 kontrol sehat dengan mengukur kadar serum

16
SCCA2 dan dibandingkan dengan PASI. Konsentrasi SCCA2 ditemukan
lebih tinggi pada pasien psoriatic dibandingkan kontrol sehat, peningkatan
kadar SCCA2 dikaitkan dengan konsentrasi keparahan penyakit. Ekspresi
SCCA2 di kulit juga dinilai menggunakan analisis imunohistokimia, dan
penulis melaporkan bahwa terjadi peningkatan ekspresi SCCA2 pada kulit
lesi dibandingkan dengan kulit nonlesional pada pasien psoriasis. Selain itu,
IL-17 dan IL-22 ditemukan untuk meningkatkan produksi SCCA2, dan
penulis menyimpulkan bahwa SCCA2 mungkin merupakan biomarker yang
berguna pada psoriasis, yang mencerminkan peradangan T helper tipe 17.

5.2. Biomarker yang Berhubungan dengan Jaringan


5.2.1 Keratin.
Keratin termasuk protein sitoskeletal. Mereka adalah protein
struktural utama dari epidermis pada vertebrata. Keratinosit akan mengalami
migrasi dari lapisan basal ke lapisan korneum, dan lapisan basal akan selalu
mengekspresikan keratin yang berbeda. Keratin 5 (K5) dan K14 biasanya
dihasilkan pada lapisan basal, sedangkan K1 dan K10 mengalami
diferensiasi pada lapisan suprabasal. K6 dan K16 biasanya diproduksi di
selubung akar luar folikel rambut dan di kuku, namun tidak ditemukan pada
interfolikuler epidermis. Pada psoriasis dan gangguan lainnya, K1 dan K10
yang merupakan penanda diferensiasi terminal, akan digantikan oleh K6 dan
K16 yang merupakan penanda hiperproliferasi. IL-1 memiliki peran yang
penting dalam aktivasi keratinosit dan sintesis K6.
Bhawan et al. menunjukkan bahwa ekspresi K16 diamati pada kulit
nonlesional dari pasien psoriasis dan menyimpulkan bahwa K16 bisa
menjadi penanda psoriasis praklinis dan bisa membantu mengidentifikasi
orang yang mengalami pengembangan penyakit. Franssen et
al. menggunakan flow cytometry untuk mengidentifikasi perbedaan
subpopulasi epidermis. Para penulis tersebut menemukan korelasi antara
psoriasis ringan dengan sel K10+K6- dan psoriasis moderat dengan sel K10-
K6+. Mereka juga menemukan bahwa pengobatan psoriasis dikaitkan

17
dengan peningkatan sel K10+K6- dan penurunan sel K10-K6+ dalam keadaan
ringan dan bentuk penyakit yang parah.

5.2.2. Connexins.
Connexins adalah protein gap junction. Connexin 30 dan connexin
26 diregulasi pada kulit psoriasis dan telah dikaitkan dengan hiperproliferasi
epidermal.

5.2.3. Penanda Hiperproliferasi Keratinosit.


Kelompok protein Bcl-2 memiliki peran penting dalam apoptosis,
beberapa anggota kelompok ini mempromosikan apoptosis dan menghambat
yang lain. Hal ini telah diobservasi pada keratinosit dari plak psoriasis yang
mana mereka lebih tahan terhadap apoptosis daripada keratinosit normal.
Beberapa anggota keluarga Bcl-2, terutama proapoptotic protein Bax dan
Bak serta protein antiapoptosis Bcl-2 dan Bcl-X, diyakini terlibat dalam
pathogenesis psorias. Peningkatan kadar semua protein ini pada kulit pasien
psoriasis mendukung gagasan bahwa mereka berperan dalam hiperplasia
epidermal.
Heat-shock protein (HSPs) merupakan kelompok besar protein yang
memiliki berbagai fungsi penting, salah satunya adalah melindungi sel
terhadap apoptosis. HSP dapat menghambat aktivitas protein Bcl-2
proapoptotik. Kakeda et al. menganalisis ekspresi HSP80 dalam penampilan
kulit normal, lesi psoriasis, dan pasien psoriasis yang diobati ustekinumab
dan menyimpulkan bahwa HSP90 diregulasi dalam lesi psoriasis dan
downregulated setelah pengobatan ustekinumab.
Protein p53 berperan penting dalam kontrol proliferasi sel dan
apoptosis. Baran et al. mendeteksi terjadinya peningkatan level protein p53
pada kulit psoriasis dibandingkan dengan kulit nonlesional yang diambil
dari pasien psoriasis dan sampel kulit diambil dari sukarelawan sehat. Para
penulis menyimpulkan bahwa peningkatan ekspresi p53 mungkin
merupakan hasil dari upaya untuk menangkal proliferasi.

18
Ki67 adalah penanda proliferasi sel, karena itu ditemukan kadarnya
tinggi pada lesi psoriasis. Beberapa penulis menunjukkan bahwa ekspresi
Ki67 berkurang setelah terapi.
Studi mendukung gagasan bahwa semua protein yang disebutkan di
atas bisa berfungsi sebagai penanda biologis pada psoriasis.

5.3. Biomarker lainnya


5.3.1 Penanda Stres Oksidatif.
Stres oksidatif (OS) mewakili ketidakseimbangan antara oksidan dan
antioksidan yang menyerupai oksidan. Kulit adalah antarmuka antara tubuh
manusia dan lingkungan dan karenanya merupakan target utama untuk stres
oksidatif. Spesies oksigen reaktif (ROS) dapat diproduksi oleh faktor-faktor
eksternal seperti merokok, UVR, mikroorganisme, atau polusi udara atau
faktor endogen seperti reaksi oksidasi dan reduksi dari metabolisme
selular. Antioksidan endogen seperti superoksida dismutase (SOD), katalase
(CAT), glutathione peroksidase (GP), vitamin C, vitamin E, karoten, thiol
antioksidan, dan sebagainya biasanya menghilangkan atau menipiskan efek
ROS. Ketika kapasitas antioksidan kewalahan, maka OS yang dihasilkan
menyebabkan kerusakan oksidatif pada membran lipid dan protein serta
DNA.
Sitokin Th1 dan sitokin Th2 terlibat dalam patogenesis psoriasis
dengan menghasilkan ROS. TNF- α , misalnya, mengaktifkan jalur nicotine
adenine dinucleotide phosphate (NAPDH) oksidase, karenanya akan
meningkatkan ROS. Di sisi lain, ini mengurangi antioksidan. Peningkatan
produksi metabolit oksigen diketahui merupakan karakteristik psoriasis.
Beberapa penelitian mengukur penanda stres oksidatif pada pasien
dengan psoriasis. Konsentrasi malondialdehyde (MDA), SOD, CAT,
bilirubin total, bilirubin direk, asam urat, apolipoprotein, dan paraoksonase
1 (PON1) diukur pada 100 pasien dengan psoriasis dan 100 kontrol. Mereka
menemukan konsentrasi MDA yang lebih tinggi secara signifikan pada
pasien dengan psoriasis daripada di kontrol sehat. Mereka juga menemukan

19
penurunan signifikan dalam aktivitas SOD, CAT, dan PON1, semua
antioksidan yang sangat penting.
MDA merupakan produk akhir dari peroksidasi lipid pada kadar
serum yang berkorelasi dengan konsentrasi peroksidasi jaringan
lipid. Konsentrasi MDA dan nitric oxide (NO) diukur pada plasma pasien
psoriasis dan kontrol sehat, serta kadar MDA diukur dalam lesi dan nonlesi
dari pasien psoriasis. Kadar MDA dan NO dalam plasma ditemukan lebih
tinggi secara signifikan pada pasien psoriasis dibandingkan dengan
kontrol. Kadar MDA juga lebih tinggi pada lesi psoriasis daripada di
jaringan nonlesional. Tidak ditemukan korelasi antara level jaringan MDA
dan NO dengan aktivitas penyakit.
Oxidized low-density lipoproteins (Ox-LDL) juga meningkat pada
jaringan psoriasis, dan antibodi anti-OxLLL meningkat dalam plasma pasien
psoriasis. Hal ini dapat dianggap sebagai penanda keterlibatan
kardiovaskular dalam pasien dengan psoriasis .
Biomarker urin dari stres oksidatif juga diajukan oleh beberapa
penulis. Konsentrasi nitrat, MDA, dan 8-hydroxydeoxyguanosine (8-OHdG)
diukur dalam sampel urin dari pasien psoriasis dan pasien dengan dermatitis
atopik. Konsentrasi Nitrat dan 8-OHdG urin ditemukan meningkat secara
signifikan pada pasien dengan psoriasis. Pasien dengan dermatitis atopik
mengalami peningkatan konsentrasi nitrat. Tingkat keparahan psoriasis dan
dermatitis atopic berkorelasi dengan konsentrasi nitrat urin. Pruritus dan
urtikaria idiopatik kronis dikaitkan dengan peningkatan kadar 8-
OHdG . Konsentrasi vitamin C dan lipoperoksida (thiobarbituric acid
reactive substances, TBARS) pada urin, juga diukur pada pasien psoriasis.
Konsentrasi vitamin C lebih rendah pada pasien dengan psoriasis daripada
kelompok kontrol yang sehat, dan di antara pasien dengan psoriasis, pada
pasien yang parah memiliki konsentrasi vitamin C lebih rendah daripada
mereka dengan psoriasis saat remisi. Kadar lipoperoksida lebih tinggi pada
pasien psoriasis daripada kontrol, pada pasien yang terkena sangat parah
memiliki konsentrasi tertinggi.

20
Beberapa penulis menganalisis efek terapi yang berbeda dengan stres
oksidatif pada pasien dengan psoriasis. Hasilnya saling bertentangan,
beberapa penulis melaporkan peningkatan level antioksidan setelah
perawatan sedangkan yang lainnya melaporkan tidak ada perubahan yang
signifikansi. Terapi biologis seperti infliximab dan etanercept, tampaknya
mengurangi konsentrasi ROS dan CRP, sambil meningkatkan kadar
antioksidan.

5.3.2. Penanda Genetik.


Psoriasis merupakan penyakit yang diturunkan secara genetik. Cara
pewarisan tidak dipahami dengan baik. Risiko diturunkannya psoriasis pada
individu yang kedua orang tua mengalami psoriasis sebesar 41% dan
sebesar 14% bila hanya satu orang tua yang mengalami keadaan
tersebut. Ada juga konkordansi psoriasis hingga sebesar 73% pada kembar
monozigot. Psoriasis telah dikaitkan dengan beberapa alel leukosit manusia
antigen (HLA) seperti HLA-Cw6, HLA-B37, HLA-B13, HLA-B57, HLA-
Cw1, HLA-DR7, dan HLA-DQ9. Hubungan terkuat adalah antara psoriasis
dan HLA-Cw6. Pasien dengan alel ini lebih cenderung memiliki psoriasis
onset dini. Beberapa penulis mempertimbangkan bahwa pasien yang
memiliki riwayat keluarga psoriasis, timbulnya penyakit sebelum usia 40
tahun, dan ekspresi HLA-Cw6 memiliki psoriasis tipe I, sedangkan pasien
tanpa riwayat dari penyakit, timbulnya psoriasis setelah usia 40 tahun, dan
kurangnya ekspresi HLA memiliki psoriasis tipe II. Klasifikasikan ini tidak
digunakan secara umum karena sering tumpang tindih.
Studi mengenai asosiasi genome mengidentifikasi setidaknya 13
lokus rentan terhadap psoriasis major. Psoriasis susceptibility 1 (PSORS1)
adalah lokus kerentanan yang paling penting, dan terletak di kromosom
6p21. Allen et al. menemukan sebuah asosiasi antara PSORS1 dan psoriasis
onset dini, yang didefinisikan sebagai psoriasis terjadi sebelum usia 50
tahun. Menurut penulis, mengidentifikasikan hubungan dengan PSORS1

21
mungkin merupakan cara yang lebih baik untuk membedakan antara
psoriasis tipe I dan tipe II.
Lokasi kerentanan baru untuk psoriasis telah diidentifikasi, termasuk
RUNX3, TAGAP, dan STAT3 yang terlibat dalam regulasi fungsi sel T,
DDX58 yang terlibat dalam INF-mediated tanggap antivirus, ZC3H12C
dengan peran dalam aktivasi makrofag, serta CARD14 dan CARM1 yang
terlibat dalam pensinyalan NF- κ B.
Varian sekuens pada gen untuk reseptor IL-23 (IL-23R) dan IL-12B
telah terbukti berperan dalam patogenesis peradangan epitel kronis. Gen lain
yang terkait dengan psoriasis adalah gen yang mengkode protein zinc-finger
313 (ZNF313), TNFAIP3 berinteraksi proprotein 1 (TNIP1), dan TNF- α 3
yang diinduksi protein (TNFAIP3) dalam nuclear factor- (NF-) κB
pathway.

5.3.3. Subset Sel.


Sel Th1, Th17, dan Th22 semuanya memiliki peran penting dalam
patogenesis psoriasis dan bisa terdeteksi pada lesi psoriasis. Kagami et
al. menggunakan alur cytometry untuk mengidentifikasi dan mengukur sel-
sel ini di antara CD4 + yang beredar di sel pada pasien dengan psoriasis dan
menemukan bahwa sel Th1, sel Th17, dan sel Th22 meningkat dalam
plasma pada pasien psoriasis. Mereka juga menemukan konsentrasi Th1 dan
Th17 yang beredar menurun setelah pengobatan infliximab.
Sirkulasi natural killer (NK) sel T ditemukan persentasenya lebih
tinggi pada pasien dengan kulit psoriasis dibandingkan pada kontrol dan
pasien dengan arthritis psoriasis.
Subset sel juga diukur pada pasien dengan psoriasis terkena stres
psikososial akut. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada 23 pasien
dengan psoriasis dan 25 kontrol sehat terkena stresor laboratorium standar,
menunjukkan monosit dan jumlah sel CD4 + secara signifikan lebih tinggi
di pasien psoriasis dibandingkan kontrol dan CD3 + / CD5 + secara
signifikan mengalami penurunan pada pasien psoriasis daripada di

22
kontrol. Menurut mereka, perubahan ini mungkin menjelaskan peran stresor
dalam memicu erupsi psoriasis.
Meskipun hasilnya menjanjikan, penelitian lebih lanjut diperlukan
untuk mendukung penggunaan subset sel sebagai biomarker di psoriasis.

5.3.4. Konsentrasi kortisol.


Lebih dari setengah dari pasien psoriasis menyatakan bahwa
penyakit ini diperburuk oleh stres psikologis, beberapa penulis
mengevaluasi peran kortisol dalam eksaserbasi gangguan tersebut. Satu
studi dilakukan pada 40 pasien dengan psoriasis dan 40 kontrol yang
terpapar stres psikologis akut menemukan bahwa pasien dengan psoriasis,
pada awalnya memiliki konsentrasi kortisol saliva yang lebih rendah dan
setelah paparan stres mengalami penurunan konsentrasi kortisol serum,
sehingga konsentrasi yang sangat rendah pada pasien psoriasis tersebut
dapat menyatakan bahwa stres mempengaruhi evolusi penyakit . Penulis
lain meneliti pengaruh stres harian dengan konsentrasi kortisol pada pasien
dengan psoriasis dan menemukan bahwa stresor tinggi dikaitkan dengan
konsentrasi kortisol yang rendah dan hal ini dapat dijadikan predictor
eksaserbasi penyakit. Karena penulis lain tidak menemukan korelasi antara
konsentrasi kortisol dan psoriasis, studi lebih lanjut diperlukan untuk
mendukung peran HPA pada psoriasis.

6. Biomarker pada Psoriatic Arthritis


Studi menunjukkan bahwa psoriasis arthritis kurang terdiagnosis
dengan pasien psoriasis vulgaris mungkin karena heterogennya kondisi ini
tetapi juga kurangnya biomarker sistemik. Karena itu beberapa penulis
mencoba mengidentifikasi biomarker untuk psoriasis arthritis yang dapat
meningkatkan diagnosis penyakit ini.
Sebuah studi dilakukan pada 52 pasien dengan psoriasis (26 dari
mereka dengan psoriasis saja dengan 26 dengan psoriasis dan psoriasis
arthritis) dan 26 kontrol yang bertujuan untuk mengidentifikasi biomarker
serum untuk psoriasis arthritis dan psoriasis. Para penulis menemukan

23
konsentrasi tinggi pada highly sensitive CRP (hsCRP), osteoprotegerin
(OPG), dan MMP-3 pada pasien dengan psoriasis dan psoriasis arthritis
dibandingkan dengan pasien dengan psoriasis saja dan menyimpulkan
bahwa ini bisa menjadi penanda biologis untuk psoriasis arthritis pada
pasien dengan psoriasis. hsCRP penanda sensitive terhadap inflamasi. OPG
adalah penanda periostitis dan pembentukan tulang baru sedangkan MMP-3
adalah enzim dengan peran dalam penghancuran tulang dan tulang rawan.
Penulis lain menunjukkan bahwa konsentrasi S-calprotectin
(S100A8 / S100AP) dan hsCRP secara signifikan lebih tinggi pada pasien
dengan psoriasis arthritis daripada kontrol yang sehat. S-Calprotrectin
mencerminkan beban yang lebih baik dari penyakit sendi dibandingkan
hsCRP dan merupakan biomarker potensial untuk psoriasis arthritis.
Kadar sitokin juga diukur pada pasien dengan psoriasis
arthritis. Konsentrasi antagonis reseptor IL-1 (IL-1ra) berkorelasi dengan
konsentrasi keparahan penyakit sendi. Il-6 juga secara signifikan lebih
tinggi pada pasien dengan psoriasis dan psoriasis arthritis dibandingkan
pasien dengan psoriasis sendiri.
Biomarker cairan sinovium dan sinovial juga diselidiki pada pasien
dengan arthritis psoriasis. TNF- α, IL-6, Konsentrasi IFN- γ, dan IL-
1 β meningkat pada sinovium mereka. Hubungan antara psoriasis arthritis
dan natural killer pathway juga telah dijelaskan .
Berkenaan dengan biomarker genetik, HLA-Cw6 dihubungkan
dengan psoriasis kulit dan psoriasis arthritis. HLA-B27 dikaitkan dengan
psoriasis arthritis, dan merupakan indikator untuk penyakit yang lebih
parah, lebih sering dikaitkan dengan entesitis, daktilitis, dan kerusakan sendi
perifer dan aksial . HLA-B39 dikaitkan dengan perkembangan pada
penyakit awal. HLA-B22 dikaitkan dengan risiko perkembangan yang lebih
rendah.

24
7. Kesimpulan
Psoriasis adalah gangguan pada fisik, emosional, dan sosial dengan
dampak besar pada kualitas hidup pasien yang telah menarik minat beberapa
penulis beberapa terakhir tahun. Stres merupakan pemicu penting bagi
timbulnya keduanya penyakit dan eksaserbasi selanjutnya; beberapa
biomarker dipelajari untuk penilaian keparahan psoriasis juga telah
diidentifikasi dalam gangguan terkait stres. Sementara biomarker yang ideal
untuk psoriasis belum ditemukan, namun semakin banyak bukti yang
mendukung peran potensial VEGF,TGF- β 1, HBD-2, dan IL-18 dalam
mengevaluasi keparahan penyakit. Selain itu, CRP, platelet P-selectin, TNF-
α , dan IL-6 bisa membantu menilai penyakit kulit dan yang terkait
psikopatologi. Biomarker memiliki potensi untuk membantu
mengidentifikasi molekul baru yang berperan penting dalam patogenesis
penyakit, target pengobatan baru atau penanda untuk tingkat keparahan
penyakit dan respons terhadap pengobatan, mencari tanda ideal untuk
psoriasis vulgaris dan psoriasis arthritis lanjut.

Konflik Kepentingan
Para penulis menyatakan bahwa mereka tidak memiliki konflik
kepentingan.

Kontribusi Penulis
Semua penulis memiliki kontribusi yang sama terhadap jurnal ini.

Ucapan Terima Kasih


Jurnal ini didukung oleh Young Researchers Grant from the
Universitatea de Medicina si Farmacie Carol Davila Bucuresti, nos.
33884/11.11.2014 and 33897/ 11.11.2014.

25

Anda mungkin juga menyukai