Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

MEKANISME DEMAM

Disusun oleh :
Humaerah (1102014122)
Ranny Ayu Farisah (1102014221)

Pembimbing :
Dr. Sutiadi Kusuma, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD ARJAWINANGUN
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Masalah demam berawal dari suatu hipotesis yang menyatakan bahwa demam
merupakan suatu proses alamiah yang timbul sebagai akibat suatu stimulus. Ahli dari
mesir beranggapan bahwa demam diakibatkan oleh inflamasi lokal. Bilroth pada
tahun 1868 membuktikannya dengan menyuntikan pus kepada kelinci percobaan,
kemudian kelinci tersebut menjadi demam yang terjadi akibat adanya endotoksin,
yaitu suatu produk bakteri gram negatif yang mengkontaminasi bahan suntikan.
Menkin pada tahun 1943 berhasil mengisolasi bahan penyebab demam yang disebut
pyrexin. Kemudian Gery dan Waksman berhasil mengidentifikasi interleukin-1 (IL-
1), dikenal sebagai sitokin yang terbukti identik dengan pirogen endogen. Dalam
evolusi kehidupan, tubuh telah mengembangkan suatu sistem pertahanan yang cukup
ampuh terhadap infeksi. Dan peninggian suhu badan memberikan suatu peluang kerja
yang optimal untuk sistem pertahanan tubuh. Pengaturan suhu memerlukan
mekanisme perifer yang utuh, yaitu keseimbangan produksi dan pelepasan panas,
serta fungsi pusat pengatur suhu di hipotalamus yang mengatur seluruh mekanisme.
Bila laju pembentukan panas dalam tubuh lebih besar daripada laju hilangnya panas,
timbul panas dalam tubuh dan temperatur tubuh meningkat. Sebaliknya, bila
kehilangan panas lebih besar, panas tubuh dan temperatur tubuh akan menurun.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Temperatur normal tubuh dipertahankan (<37.2 o C pada pagi hari dan <37.7 o C
pada sore hari) karena pusat termoregulator hipotalamus menyeimbangkan produksi
panas yang berlebihan dari aktivitas metabolic pada otot dan hati dengan
menghilangkan panas dari kulit dan paru-paru. (Fauci,2009).
Demam adalah peningkatan suhu tubuh yang normal bersama dengan
peningkatan set point hipotalamus. Suhu tubuh normal berkisar antara 36.5o – 37.2o C.
Demam adalah peningkatan suhu tubuh diatas 37.2o C. (IPD). Demam juga dapat
diartikan sebagai peningkatan suhu tubuh sebagai akibat dari infeksi atau peradangan
(Sherwood, 2011).
Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh yang berhubungan langsung
dengan tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi berbagai rangsang,
misalnya terhadap toksin bakteri, peradangan, dan rangsang pirogenik lain. Bila
produksi sitokin pirogen secara sistemik masih dalam batas yang dapat ditoleransi
maka efeknya akan menguntungkan tubuh secara keseluruhan; tetapi bila telah
melampaui batas kritis tertentu maka sitokin ini membahayakan tubuh. Batas kritis
sitokin pirogen sistemik tersebut sejauh ini belum diketahui.

2
2. Etiologi
Demam terjadi oleh karena perubahan pengaturan homeostatik suhu normal pada
hipotalamus yang dapat disebabkan antara lain oleh infeksi, vaksin, agen
biologis (faktor perangsang koloni granulosit-makrofag, interferon dan
interleukin), jejas jaringan (infark, emboli pulmonal, trauma, suntikan
intramuskular, luka bakar), keganasan (leukemia, limfoma, hepatoma, penyakit
metastasis), obat-obatan (demam obat, kokain, amfoterisin B), gangguan
imunologik-reumatologik (lupus eritematosus sistemik, artritis reumatoid),
penyakit radang (penyakit radang usus), penyakit granulomatosis (sarkoidosis),
ganggguan endokrin (tirotoksikosis, feokromositoma), ganggguan metabolik
(gout, uremia, penyakit fabry, hiperlipidemia tipe 1), dan wujud-wujud yang
belum diketahui atau kurang dimengerti (demam mediterania familial).

Penyebab demam terbagi menjadi 3, yaitu:

1. Demam Non-infeksi
Demam non-infeksi adalah demam yang bukan disebabkan oleh masuknya
bibit penyakit ke dalam tubuh. Demam ini jarang diderita oleh manusia dalam
kehidupan sehari-hari. Demam non-infeksi timbul karena adanya kelainan
pada tubuh yang dibawa sejak lahir, dan tidak ditangani dengan baik. Contoh
demam non-infeksi antara lain demam yang disebabkan oleh adanya kelainan
degeneratif atau kelainan bawaan pada jantung, demam karena stres, atau
demam yang disebabkan oleh adanya penyakit-penyakit berat misalnya
leukimia dan kanker.

2. Demam Infeksi
Demam infeksi adalah demam yang disebabkan oleh masukan patogen,
misalnya kuman, bakteri, viral atau virus, atau binatang kecil lainnya ke
dalam tubuh. Bakteri, kuman atau virus dapat masuk ke dalam tubuh manusia
melalui berbagai cara, misalnya melalui makanan, udara, atau persentuhan

3
tubuh. Imunisasi juga merupakan penyebab demam infeksi karena saat
melakukan imunisasi berarti seseorang telah dengan sengaja memasukan
bakteri, kuman atau virus yang sudah dilemahkan ke dalam tubuh balita
dengan tujuan membuat balita menjadi kebal terhadap penyakit tertentu.
Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan infeksi dan akhirnya
menyebabkan demam pada anak antara lain yaitu tetanus, mumps atau
parotitis epidemic, morbili atau measles atau rubella, demam berdarah, TBC,
tifus dan radang paru-paru.

3. Demam fisiologis,
Demam fisiologis dapat terjadi karena kekurangan cairan (dehidrasi), suhu
udara terlalu panas dan kelelahan setelah bermain disiang hari.

3. Termoregulasi
Termoregulasi manusia berpusat pada hipotalamus anterior terdapat tiga
komponen pengatur atau penyusun sistem pengaturan panas, yaitu termoreseptor,
hipotalamus, dan saraf efferent. Dalam termoregulasi dikenal istilah eksoterm
dan endoterm yang mendasarkan pada sumber panas yang diperoleh dari tubuh.
Manusia mendapatkan sumber panas yang berasal dari dalam tubuh sehingga
disebut sebagai endoterm.
Pusat termoregulasi menerima masukan dari termoreseptor di hipotalamus itu
sendiri yang berfungsi menjaga temperature ketika darah melewati otak dan
reseptor dikulit yang menjaga temperature eksternal. Keduanya diperlukan untuk
melakukan penyesuaian.
• Termoreseptor perifer terletak di dalam kulit, memantau suhu kulit
diseluruh tubuh dan memberikan informasi mengenai perubahan suhu
permukaan ke hipotalamus.

4
• Termoreseptor sentral terletak diantara hipotalamus anterior, medulla
spinalis, organ abdomen dan struktur internal lainnya untuk mendeteksi
perubahan suhu tubuh.
Dalam hipotalamus terdapat dua pusat pengaturan suhu, yaitu:
1. Regio posterior yang diaktifkan oleh suhu dingin dan kemudian memicu
refleks-refleks yang memperantarai produksi panas dan konveksi panas.
2. Regio anterior yang diaktifkan oleh rasa hangat, memicu refleks-refleks yang
memperantarai pengurangan panas.

PENGATURAN SUHU TUBUH



Keseimbangan produksi panas dan kehilangan panas
Pengaturan suhu memerlukan mekanisme perifer yang utuh, yaitu keseimbangan
produksi dan pelepasan panas, serta fungsi pusat pengatur suhu di hipotalamus yang
mengatur seluruh mekanisme. Bila laju pembentukan panas dalam tubuh lebih besar
daripada laju hilangnya panas, timbul panas dalam tubuh dan temperatur tubuh
meningkat. Sebaliknya, bila kehilangan panas lebih besar, panas tubuh dan
temperatur tubuh akan menurun.
Produksi Panas
Dalam tubuh, panas diproduksi melalui peningkatkan Basal Metabolic Rate
(BMR). Faktor- faktor yang dapat meningkatkan Basal Metabolic Rate antara lain:
(1) laju metabolisme dari semua sel tubuh; (2) laju cadangan metabolisme yang
disebabkan oleh aktivitas otot; (3) metabolisme tambahan yang disebabkan oleh
pengaruh tiroksin, epinefrin, norepinefrin dan perangsangan simpatis terhadap sel; (5)
metabolisme tambahan yang disebabkan oleh meningkatnya aktivitas kimiawi
didalam sel sendiri.
Pada keadaan istirahat, berbagai organ seperti otak, otot, hati, jantung, tiroid,
pankreas dan kelenjar adrenal berperan dalam menghasilkan panas pada tingkat sel
yang melibatkan adenosin trifosfat (ATP). Bayi baru lahir menghasilkan panas pada

5
jaringan lemak coklat, yang terletak terutama dileher dan skapula. Jaringan ini kaya
akan pembuluh darah dan mempunyai banyak mitokondria. Pada keadaan oksidasi
asam lemak pada mitokondria dapat meningkatkan produksi panas sampai dua kali
lipat. Dewasa dan anak besar mempertahankan panas dengan vasokonstriksi dan
memproduksi panas dengan menggigil sebagai respon terhadap kenaikan suhu tubuh.
Aliran darah yang diatur oleh susunan saraf pusat memegang peranan penting dalam
mendistribusikan panas dalam tubuh. Pada lingkungan panas atau bila suhu tubuh
meningkat, pusat pengatur suhu tubuh di hipotalamus mempengaruhi serabut eferen
dari sistem saraf otonom untuk melebarkan pembuluh darah (vasodilatasi).
Peningkatan aliran darah dikulit menyebabkan pelepasan panas dari pusat tubuh
melalui permukaan kulit kesekitarnya dalam bentuk keringat. Dilain pihak, pada
lingkungan dingin akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah sehingga akan
mempertahankan suhu tubuh.
Kehilangan Panas
Berbagai cara panas hilang dari kulit ke lingkungan dapat melalui beberapa cara
yaitu: (1) Radiasi : kehilangan panas dalam bentuk gelombang panas infra merah,
suatu jenis gelombang elektromagnetik. Dimana melalui cara ini tidak menggunakan
sesuatu perantara apapun. Secara umum enam puluh persen panas dilepas secara
radiasi; (2) Konduksi : kehilangan panas melalui permukaan tubuh ke benda-benda
lain yang bersinggungan dengan tubuh, dimana terjadi pemindahan panas secara
langsung antara tubuh dengan objek pada suhu yang berbeda. Dibandingkan dengan
posisi berdiri, anak pada posisi tidur dengan permukaan kontak yang lebih luas akan
melepas panas lebih banyak melalui konduksi; (3) Konveksi : pemindahan panas
melalui pergerakan udara atau cairan yang menyelimuti permukaan kulit; (4)
Evaporasi : kehilangan panas tubuh sebagai akibat penguapan air melalui kulit dan
paru-paru, dalam bentuk air yang diubah dari bentuk cair menjadi gas; dan dalam
jumlah yang sedikit dapat juga kehilangan panas melalui urine dan feses.
Faktor fisik jelas akan mempengaruhi kemampuan respon perubahan suhu. Pelepasan
panas pada bayi sebagian besar disebabkan oleh karena permukaan tubuhnya lebih

6
luas dari pada anak yang lebih besar.
Konsep “Set-Point” dalam pengaturan suhu tubuh
Konsep “Set-Point” dalam pengaturan temperatur yaitu semua mekanisme
pengaturan temperatur yang terus-menerus berupaya untuk mengembalikan
temperatur tubuh kembali ke tingkat “Set-Point”. Set-point disebut juga tingkat
temperatur krisis, yang apabila suhu tubuh seseorang melampaui diatas set-point ini,
maka kecepatan kehilangan panas lebih cepat dibandingkan dengan produksi panas,
begitu sebaliknya. Sehingga suhu tubuhnya kembali ke tingkat set-point. Jadi suhu
tubuh dikendalikan untuk mendekati nilai set-point.
Peranan Hipotalamus dalam pengaturan suhu tubuh
Suhu tubuh diatur hampir seluruhnya oleh mekanisme persarafan umpan
balik, dan hampir semua mekanisme ini terjadi melalui pusat pengaturan suhu yang
terletak pada area preoptik hipotalamus anterior.
Telah dilakukan percobaan pemanasan dan pendinginan pada suatu area kecil
di otak dengan menggunakan apa yang disebut dengan thermode. Alat ini dipanaskan
dengan elektrik atau dialirkan air panas, atau didinginkan dengan air dingin. Dengan
menggunakan thermode, area preoptik hipotalamus anterior diketahui mengandung
sejumlah besar neuron yang sensitif terhadap panas dan dingin. Neuron-neuron ini
diyakini berfungsi sebagai sensor suhu untuk mengontrol suhu tubuh. Apabila area
preoptik dipanaskan, kulit diseluruh tubuh dengan segera mengeluarkan banyak
keringat, sementara pada waktu yang sama pembuluh darah kulit diseluruh tubuh
menjadi sangat berdilatasi. Jadi hal ini merupakan reaksi yang cepat untuk
menyebabkan tubuh kehilangan panas, dengan demikian membantu mengembalikan
suhu tubuh kembali normal. Oleh karena itu, jelas bahwa area preoptik hipotalamus
anterior memiliki kemampuan untuk berfungsi sebagai termostatik pusat kontrol suhu
tubuh. Walaupun sinyal yang ditimbulkan oleh reseptor suhu dari hipotalamus sangat
kuat dalam mengatur suhu tubuh, reseptor suhu pada bagian kulit dan beberapa
jaringan khusus dalam tubuh juga mempunyai peran penting dalam pengaturan suhu.
Daerah spesifik dari interleukin-1 (IL-1) adalah regio preoptik hipotalamus anterior,

7
yang mengandung sekelompok saraf termosensitif yang berlokasi di dinding rostral
ventrikel III, disebut juga sebagai korpus kalosum lamina terminalis (OVLT) yaitu
batas antara sirkulasi dan otak. Saraf termosensitif ini terpengaruh oleh daerah yang
dialiri darah dan masukan dari reseptor kulit dan otot. Saraf yang sensitif terhadap
hangat terpengaruh dan meningkat dengan penghangatan atau penurunan dingin,
sedang saraf yang sensitif terhadap dingin meningkat dengan pendinginan atau
penurunan dengan penghangatan. Telah dibuktikan bahwa IL-1 menghambat saraf
sensitif terhadap hangat dan merangsang cold-sensitive neurons. Korpus kalosum
lamina terminalis (OVLT) mungkin merupakan sumber prostaglandin. Selama
demam, IL-1 masuk kedalam ruang perivaskular OVLT melalui jendela kapiler untuk
merangsang sel untuk memproduksi prostaglandin E-2 (PGE-2); secara difusi masuk
kedalam regio preoptik hipotalamus anterior untuk menyebabkan demam atau
bereaksi dalam serabut saraf dalam OVLT. PGE-2 memainkan peran penting sebagai
mediator, terbukti dengan adanya hubungan erat antara demam, IL-1 dan peningkatan
kadar PGE-2 di otak. Penyuntikan PGE-2 dalam jumlah kecil kedalam hipotalamus
binatang, memproduksi demam dalam beberapa menit, lebih cepat dari pada demam
yang diinduksi oleh IL-1.
Hasil akhir mekanisme kompleks ini adalah peningkatan thermostatic set-point
yang akan memberi isyarat serabut saraf eferen, terutama serabut simpatis untuk
memulai menahan panas (vasokonstriksi) dan produksi panas (menggigil). Keadaan
ini dibantu dengan tingkah laku manusia yang bertujuan untuk menaikkan suhu
tubuh, seperti mencari daerah hangat atau menutup tubuh dengan selimut. Hasil
peningkatan suhu melanjut sampai suhu tubuh mencapai peningkatan set-point.
Peningkatan set-point kembali normal apabila terjadi penurunan konsentrasi IL-1 atau
pemberian antipiretik dengan menghambat sintesis PGE-2. PGE-2 diketahui
mempengaruhi secara negative feed-back dalam pelepasan IL-1, sehingga dapat
mengakhiri mekanisme ini yang awalnya diinduksi demam. Sebagai tambahan,
arginin vasopresin (AVP) beraksi dalam susunan saraf pusat untuk mengurangi
pyrogen induced fever. Kembalinya suhu menjadi normal diawali oleh vasodilatasi

8
dan berkeringat melalui peningkatan aliran darah kulit yang dikendalikan oleh serabut
saraf simpatis.
Bila suhu lingkungan dingin, maka tubuh melakukan mekanisme peningkatan laju
metabolisme melalui perubahan-perubahan hormone yang terlibat didalamnya
sehingga dihasillkan produksi panas optimal. Sedangkan bila suhu lingkungan panas,
maka tubuh melakukan mekanisme pengurangan produksi panas melalui proses
pengeluaran cairan tubuh agar terjaga keseimbangan suhu endoterm. kontrol
keseimbangan suhu tubuh manusia dilakukan dengan menyeimbangkan antara heat
production dan heat loss. Umumnya, ketika laju panas terproduksi di dalam tubuh
besar dibandingkan panas yang hilang, panas suhu inti umumnya cenderung tetap,
sedangkan suhu kulit berubah-ubah bergantung pada kondisi lingkungan.
(Sherwood,2011).
Hipotalamus mendeteksi perubahan kecil suhu tubuh. Jika sel saraf di
hipotalamus anterior menjadi panas di luar batas pengaturan (set point) maka impuls
dikirimkan untuk menurunkan suhu tubuh. Mekanisme kehilangan panas adalah
berkeringat, vasodilatasi pembuluh darah dan hambatan produksi panas. Tubuh akan
mendistribusikan darah ke pembuluh darah permukanaan untuk menghilangkan
panas. Semakin banyak darah dari bagian tengah tubuh yang mencapai kulit, semakin
dekat suhu kulit dengan suhu inti. Pembuluh darah kulit melenyapkan efektivitas kulit
sebagai isolator dengan mengangkut panas ke permukaan, tempat panas tersebut
dapat dikeluarkan tubuh melalui radiasi, konduksi, dan konveksi. Dengan demikian
vasodilatasi pembuluh darah kulit yang menyebabkan peningkatan aliran darah ke
kulit, meningkatkan pengurangan panas atau apabila suhu lingkungan lebih tinggi
daripada suhu inti, mengurangi pertambahan panas.
Tubuh dapat memperoleh panas sebagai proses internal yang berasal dari aktivitas
metabolik atau dari lingkungan eksternal. Perubahan aktivitas rangka merupakan cara
utama untuk mengontrol suhu melalui penambahan panas. Menggigil merupakan
suatu bentuk respon terhadap penurunan suhu inti tubuh. Dalam hal ini hipotalamus
meningkatkan tonus otot rangka (tonus otot mengacu pada tingkat ketegangan

9
konstan di dalam otot). Setelah itu segera timbul mengigil. Menggigil terdiri dari
kontraksi otot rangka yang ritmik bergetar yang terjadi dengan frekuensi tinggi 10-40
x/detik. Mekanisme ini sangat efektif untuk meningkatkan produksi panas.
Selain respon menggigil, hipotalamus juga berespon untuk mengurangi
pengeluaran panas dengan vasokontriksi pada kulit. Vasokontriksi mengurangi aliran
darah hangat ke kulit, sehingga suhu kulit tubuh turun.
Selain itu, rambut di kulit terperangkap oleh udara yang lebih hangat jika dalam
posisi berdiri dan kurang hangat pada posisi mendatar. Otot-otot kecil di kulit dapat
dengan cepat menarik rambut menjadi tegak untuk mengurangi hilangnya panas dan
membuatnya mendatar untuk menambah hilangnya panas. (Sherwood, 2011).

4. Patofisiologis
Tanpa memandang etiologinya, jalur akhir penyebab demam yang paling sering
adalah adanya pirogen, yang kemudian secara langsung mengubah set-point di
hipotalamus, menghasilkan pembentukan panas dan konversi panas. Pirogen adalah
suatu zat yang menyebabkan demam, terdapat 2 jenis pirogen yaitu pirogen eksogen
dan pirogen endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh seperti toksin,
produkproduk bakteri dan bakteri itu sendiri mempunyai kemampuan untuk
merangsang pelepasan pirogen endogen yang disebut dengan sitokin yang
diantaranya yaitu interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF), interferon
(INF), interleukin-6 (IL-6) dan interleukin-11 (IL- 11). Sebagian besar sitokin ini
dihasilkan oleh makrofag yang merupakan akibat reaksi terhadap pirogen eksogen.
Dimana sitokin-sitokin ini merangsang hipotalamus untuk meningkatkan sekresi
prostaglandin, yang kemudian dapat menyebabkan peningkatan suhu tubuh.
4.1 Pirogen eksogen
Pirogen eksogen biasanya merangsang demam dalam 2 jam setelah terpapar.
Umumnya, pirogen berinteraksi dengan sel fagosit, makrofag atau monosit,
untuk merangsang sintesis interleukin-1 (IL-1). Mekanisme lain yang mungkin
berperan sebagai pirogen eksogen, misalnya endotoksin, bekerja langsung pada

10
hipotalamus untuk mengubah pengatur suhu. Radiasi, racun DDT dan racun
kalajengking dapat pula menghasilkan demam dengan efek langsung terhadap
hipotalamus. Beberapa bakteri memproduksi eksotoksin yang akan
merangsang secara langsung makrofag dan monosit untuk melepas IL-1.
Mekanisme ini dijumpai pada scarlet fever dan toxin shock syndrome. Pirogen
eksogen dapat berasal dari mikroba dan non-mikroba.

a. Pirogen Mikrobial
Pirogenitas bakteri Gram-negatif (misalnya Escherichia coli, Salmonela)
disebabkan adanya heat-stable factor yaitu endotoksin, yaitu suatu pirogen
eksogen yang pertama kali ditemukan. Komponen aktif endotoksin berupa lapisan
luar bakteri yaitu lipopolisakarida (LPS). Endotoksin menyebabkan peningkatan
suhu yang progresif tergantung dari dosis (dose-related). Apabila bakteri atau
hasil pemecahan bakteri terdapat dalam jaringan atau dalam darah, keduanya akan
difagositosis oleh leukosit, makrofag jaringan dan natural killer cell (NK cell).
Seluruh sel ini selanjutnya mencerna hasil pemecahan bakteri dan melepaskan
interleukin-1, kemudian interleukin-1 tersebut mencapai hipotalamus sehingga
segera menimbulkan demam. Endotoksin juga dapat mengaktifkan sistem
komplemen dan aktifasi faktor Hageman.

Pirogen utama bakteri gram-positif (misalnya Stafilokokus) adalah peptidoglikan


dinding sel. Bakteri gram-positif mengeluarkan eksotoksin, dimana eksotoksin ini
dapat menyebabkan pelepasan daripada sitokin yang berasal dari T-helper dan
makrofag yang dapat menginduksi demam. Per unit berat, endotoksin lebih aktif
daripada peptidoglikan. Hal ini menerangkan perbedaan prognosis yang lebih
buruk berhubungan dengan infeksi bakteri gram-negatif. Mekanisme yang
bertanggung jawab terjadinya demam yang disebabkan infeksi pneumokokus
diduga proses imunologik. Penyakit yang melibatkan produksi eksotoksin oleh
basil gram-positif (misalnya difteri, tetanus, dan botulinum) pada umumnya

11
demam yang ditimbulkan tidak begitu tinggi dibandingkan dengan gram-positif
piogenik atau bakteri gram-negatif lainnya.

Telah diketahui secara klinis bahwa virus dapat menyebabkan demam. Pada tahun
1958, dibuktikan adanya pirogen yang beredar dalam serum kelinci yang
mengalami demam setelah disuntik virus influenza. Mekanisme virus
memproduksi demam antara lain dengan cara melakukan invasi secara langsung
ke dalam makrofag, reaksi imunologis terjadi terhadap komponen virus yang
termasuk diantaranya yaitu pembentukan antibodi, induksi oleh interferon dan
nekrosis sel akibat virus.

b. Pirogen non-mikrobial
• Fagositosis

Fagositosis antigen non-mikrobial kemungkinan sangat bertanggung jawab


untuk terjadinya demam, seperti dalam proses transfusi darah dan anemia
hemolitik imun (immune haemolytic anemia).
• Kompleks Antigen-antibodi
Demam yang disebabkan oleh reaksi hipersensitif dapat timbul baik sebagai
akibat reaksi antigen terhadap antibodi yang beredar, yang tersensitisasi
(immune fever) atau oleh antigen yang teraktivasi sel-T untuk memproduksi
limfokin, dan kemudian akan merangsang monosit dan makrofag untuk
melepas interleukin-1 (IL-1). Contoh demam yang disebabkan oleh
immunologically mediated diantaranya lupus eritematosus sistemik (SLE) dan
reaksi obat yang berat. Demam yang berhubungan dengan hipersensitif
terhadap penisilin lebih mungkin disebabkan oleh akibat interaksi kompleks
antigen-antibodi dengan leukosit dibandingkan dengan pelepasan IL-1.
• Sistem Monosit-makrofag

12
Sel mononuklear bertanggung jawab terhadap produksi interleukin-1 (IL-1)
dan terjadinya demam. Granulosit polimorfonuklear tidak lagi diduga sebagai
penanggung jawab dalam memproduksi interleukin-1 (IL-1) oleh karena
demam dapat timbul dalam keadaan agranulositosis. Sel mononuklear selain
merupakan monosit yang beredar dalam darah perifer juga tersebar di dalam
organ seperti paru (makrofag alveolar), nodus limfatik, plasenta, rongga
peritoneum dan jaringan subkutan. Monosit dan makrofag berasal dari
granulocytemonocyte colony-forming unit (GM-CFU) dalam sumsum tulang,
kemudian memasuki peredaran darah untuk tinggal selama beberapa hari
sebagai monosit yang beredar atau bermigrasi ke jaringan yang akan berubah
fungsi dan morfologi menjadi makrofag yang berumur beberapa bulan. Sel-sel
ini berperan penting dalam pertahanan tubuh termasuk diantaranya merusak
dan mengeliminasi mikroba, mengenal antigen dan mempresentasikannya
untuk menempel pada limfosit, aktivasi limfosit-T dan destruksi sel tumor
(Tabel 1.1). Keadaan yang berhubungan dengan perubahan fungsi sistem
monositmakrofag diantaranya bayi baru lahir, kortikosteroid dan terapi
imunosupresif lain, lupus eritematosus sistemik (SLE), sindrom Wiskott-
Aldrich dan penyakit granulomatosus kronik. Dua produk utama monosit-
makrofag adalah interleukin-1 (IL-1) dan Tumor necroting factor (TNF).

4.2 Pirogen Endogen


Interleukin-1 (IL-1)
Interleukin-1 (IL-1) disimpan dalam bentuk inaktif dalam sitoplasma sel
sekretori, dengan bantuan enzim diubah menjadi bentuk aktif sebelum dilepas
melalui membran sel kedalam sirkulasi. Interleukin-1 (IL-1) dianggap sebagai
hormon oleh karena mempengaruhi organorgan yang jauh. Penghancuran
interleukin-1 (IL-1) terutama dilakukan di ginjal. Interleukin-1 (IL-1) terdiri
atas 3 struktur polipeptida yang saling berhubungan, yaitu 2 agonis (IL-1α dan
IL-1β) dan sebuah antagonis (IL-1 reseptor antagonis). Reseptor antagonis IL-

13
1 ini berkompetisi dengan IL-1α dan IL-1β untuk berikatan dengan reseptor
IL-1. Jumlah relatif IL-1 dan reseptor antagonis IL-1 dalam suatu keadaan
sakit akan mempengaruhi reaksi inflamasi menjadi aktif atau ditekan. Selain
makrofag sebagai sumber utama produksi IL-1, sel kupfer di hati, keratinosit,
sel langerhans pankreas serta astrosit juga memproduksi IL-1. Pada jaringan
otak, produksi IL-1 oleh astrosit diduga berperan dalam respon imun dalam
susunan saraf pusat (SSP) dan demam sekunder terhadap perdarahan SSP.

Interleukin-1 mempunyai banyak fungsi, fungsi primernya yaitu menginduksi


demam pada hipotalamus untuk menaikkan suhu. Peran IL-1 diperlukan untuk
proliferasi sel-T serta aktivasi sel-B, maka sebelumnya IL-1 dikenal sebagai
lymphocyte activating factor (LAF) dan B-cell activating factor (BAF).
Interleukin-1 merangsang beberapa protein tertentu di hati, seperti protein fase
akut misalnya fibrinogen, haptoglobin, seruloplasmin dan CRP, sedangkan
sintesis albumin dan transferin menurun. Secara karakteristik akan terlihat
penurunan konsentrasi zat besi (Fe) serta seng (Zn) dan peningkatan
konsentrasi tembaga (Cu). Keadaan hipoferimia terjadi sebagai akibat
penurunan asimilasi zat besi pada usus dan peningkatan cadangan zat besi
dalam hati. Perubahan ini mempengaruhi daya tahan tubuh hospes oleh karena
menurunkan daya serang mikroorganisme dengan mengurangi nutrisi
esensialnya, seperti zat besi dan seng. Dapat timbul leukositosis, peningkatan
kortisol dan laju endap darah.

Tumor Necrosis Factor (TNF)


Tumor necrosis factor ditemukan pada tahun 1968. Sitokin ini selain
dihasilkan oleh monosit dan makrofag, limfosit, natural killer cells (sel NK),
sel kupffer juga oleh astrosit otak, sebagai respon tubuh terhadap rangsang
atau luka yang invasif. Sitokin dalam jumlah yang sedikit mempunyai efek

14
biologik yang menguntungkan. Berbeda dengan IL-1 yang mempunyai
aktivitas anti tumor yang rendah, TNF mempunyai efek langsung terhadap sel
tumor. Ia mengubah pertahanan tubuh terhadap infeksi dan merangsang
pemulihan jaringan menjadi normal, termasuk penyembuhan luka. Tumor
necrosis factor juga mempunyai efek untuk merangsang produksi IL-1,
menambah aktivitas kemotaksis makrofag dan neutrophil serta meningkatkan
fagositosis dan sitotoksik. Meskipun TNF mempunyai efek biologis yang
serupa dengan IL-1, TNF tidak mempunyai efek langsung pada aktivasi stem
cell dan limfosit. Seperti IL-1, TNF dianggap sebagai pirogen endogen oleh
karena efeknya pada hipotalamus dalam menginduksi demam. Tumor necrosis
factor identik dengan cachectin, yang menghambat aktivitas lipase lipoprotein
dan menyebabkan hipertrigliseridemia serta cachexia, petanda adanya
hubungan dengan infeksi kronik. Tingginya kadar TNF dalam serum
mempunyai hubungan dengan aktivitas atau
prognosis berbagai penyakit infeksi, seperti meningitis bakterialis,
leismaniasis, infeksi virus HIV, malaria dan penyakit peradangan usus. Tumor
necrosis factor juga diduga berperan dalam kelainan klinis lain, seperti artritis
reumatoid, autoimmune disease, dan graft-versushost disease.

Limfosit yang Teraktivasi


Dalam sistem imun, limfosit merupakan sel antigen spesifik dan terdiri atas 2
jenis yaitu sel-B yang bertanggung jawab terhadap produksi antibodi dan sel-
T yang mengatur sintesis antibodi dan secara tidak langsung berfungsi sebagai
sitotoksik, serta memproduksi respon inflamasi hipersensitivit tipe lambat.
Interleukin-1 berperan penting dalam aktivasi limfosit (dahulu disebut sebagai
LAF). Sel limfosit hanya mengenal antigen dan menjadi aktif setelah antigen
diproses dan dipresentasikan kepadanya oleh makrofag. Efek stimulasi IL-1
pada hipotalamus (seperti pirogen endogen menginduksi demam) dan pada

15
limfosit-T (sebagai LAF) merupakan bukti kuat dari manfaat demam. Sebagai
jawaban stimulasi IL-1, limfosit-T menghasilkan berbagai zat.

Interferon
Interferon dikenal oleh karena kemampuan untuk menekan replikasi virus di
dalam sel yang terinfeksi. Berbeda dengan IL-1 dan TNF, interferon
diproduksi oleh limfosit-T yang teraktivasi. Terdapat 3 jenis molekul yang
berbeda dalam aktivitas biologik dan urutan asam aminonya, yaitu interferon-
α (INF alfa), interferon-β (INF beta) dan interferon-gama (ITNF gama).
Interferon alfa dan beta diproduksi oleh hampir semua sel (seperti leukosit,
fibroblast dan makrofag) sebagai respon terhadap infeksi virus, sedangkan
sintesis interferon gama dibatasi oleh limfosit-T. Meski fungsi sel limfosit-T
pada neonatus normal sama efektifnya dengan dewasa, namun interferon
(khususnya interferon gama) fungsinya belum memadai, sehingga diduga
menyababkan makin beratnya infeksi virus pada bayi baru lahir. Interferon
gama dikenal sebagai penginduksi makrofag yang poten dan menstimulasi
sel-B untuk meningkatkan produksi antibodi. Fungsi interferon gama sebagai
pirogen endogen dapat secara tidak langsung merangsang makrofag untuk
melepaskan interleukin-1 (macrophage-activating factor) atau secara
langsung pada pusat pengatur suhu di hipotalamus. Interferon mungkin
mempengaruhi aktivitas antivirus dan sitolitik TNF, serta meningkatkan
efisiensi natural killer cell. Aktivitas antivirus disebabkan penyesuaian dari
sistem interferon dengan berbagai jalur biokimia yang mempunyai efek anti
virus dan beraksi pada berbagai fase siklus replekasi virus. Interferon juga
memperlihatkan aktivitas antitumor baik secara langsung dengan cara
mencegah pembelahan sel melalui pemanjangan jalur siklus multiplikasi sel
atau secara tidak langsung dengan mengubah respon imun. Aktivitas antivirus
dan antitumor interferon terpengaruhi oleh meningkatnya suhu. Interleukin-4
(IL-4), yang menginduksi sintesis imunoglobulin IgE dan IgG4 oleh sel

16
polimorfonuklear, tonsil atau sel limpa dari manusia sehat dan pasien alergi,
dihalangi oleh interferon gama dan interferon alfa, berarti limfokin ini beraksi
sebagai antagonis IL-4. Interferon melalui kemampuan biologiknya, dapat
digunakan sebagai obat pada berbagai penyakit. Interferon alfa semakin sering
dipakai dalam pengobatan berbagai infeksi virus, seperti hepatitis B, C dan
delta. Efek toksik preparat interferon diantaranya demam, rasa dingin, nyeri
sendi, nyeri otot, nyeri kepala yang berat, somnolen dan muntah. Demam
dapat muncul pada separuh pasien yang mendapat interferon, dan dapat
mencapai 40˚C. Efek samping ini dapat diatasi dengan pemberian parasetamol
dan prednisolon. Efek samping berat diantaranya gagal hati, gagal jantung,
neuropati dan pansitopenia.

Interleukin-2 (IL-2)
Interleukin-2 merupakan limfokin penting kedua (setelah interferon) yang
dilepas oleh limfosit-T yang terakivasi sebagai respons stimulasi IL-1.
Interleukin-2 mempunyai efek penting pada pertumbuhan dan fungsi sel-T,
Natural killer cell (sel NK) dan sel-B. Telah dilaporkan adanya kasus
defisiensi imun kongenital berat disertai dengan defek spesifik dari produksi
IL-2. Interleukin-2 memperlihatkan efek sitotoksik antitumor (terhadap
melanoma ginjal, usus besar dan paru) sebagai hasil aktivasi spesifik dari
natural killer cell (lymphokine-activated killer cell atau LAK), yang memiliki
aktivitas sototoksik terhadap proliferasi sel tumor. Uji klinis dengan IL-2
sedang dilakukan saat ini pada tumor tertentu pada anak. Respon
neuroblastoma tampak cukup baik terhadap terapi imun dengan IL-2.
Sayangnya, terapi imun dengan IL-2 dapat menyebabkan defek kemotaksis
neutrofil yang reversibel, diikuti peningkatan kerentanan terhadap infeksi
pada pasien yang menerimanya. Efek samping lainnya diantaranya lemah
badan, demam, anoreksia dan nyeri otot. Gejala ini dapat dikontrol dengan
parasetamol. Interleukin-2 menstimulasi pelepasan sitokin lain, seperti IL-1,

17
TNF dan INF alfa, yang akan menginduksi aktivitas sel endotel, mendahului
bocornya pembuluh darah, sehingga dapat menyebabkan oedem paru dan
resistensi cairan yang hebat. Penyakit yang berhubungan dengan defisiensi IL-
2 diantaranya SLE (Systemic Lupus Erytematosus), diabetes melitus (DM),
luka bakar dan beberapa bentuk keganasan.

Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF)


Dari empat hemopoetic colony-stimulating factor yang berpotensi tinggi
menguntungkan adalah eritropoetin, granulocyte colony-stimulating factor
(G-CSF), dan macrophage colonystimulating factor (M-CSF). Granulocyte-
macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) adalah limfokin lain yang
diproduksi terutama oleh limfosit, meskipun makrofag dan sel mast juga
mempunyai kemampuan untuk memproduksinya. Fungsi utama GM-CSF
adalah menstimulasi sel progenitor hemopoetik untuk berproliferasi dan
berdeferensiasi menjadi granulosit dan makrofag serta mengatur kematangan
fungsinya. Penggunaan dalam pengobatan diantaranya digunakan untuk
pengobatan mielodisplasia, anemia aplastik dan efek mielotoksik pada
pengobatan keganasan serta transplantasi. Pemberian GM-CSF dapat disertai
dengan terjadinya demam, yang dapat dihambat dengan pemberian obat anti
inflamasi non steroid (Non Steriod Anti Inflamation Drug = NSAID) seperti
ibuprofen.

5. Tipe Demam
Berberapa tipe demam yang sering dijumpai:
• Demam Septik
Pada tipe demam septik, suhu tubuh berangsur naik ke tingkat yang tinggi
sekali pada malam hari, dan turun kembali ke tingkat diatas normal pada pagi
hari. Tipe demam ini sering disertai dengan keluhan menggigil dan
berkeringat.

18
• Demam Remiten
Pada tipe demam remiten, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak
pernah mencapai suhu badan normal.perbedaan suhu yang mungkin tercatat
dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat
pada demam septik.
• Demam Intermiten
Pada tipe demam intermiten, suhu badan turun ke tingkat yang normal selama
beberapa jam dalam 1 hari. Bila demam seperti ini terjadi setiap 2 hari sekali
dan bila terjadi 2 hari bebas demam diantara dua serangan demam.
• Demam Kontinyu
Pada tipe demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih
dari 1 derajat.
• Demam Siklik
Pada tipe demam siklik terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari
yang diikuti pleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian
diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.

19
Daftar Pustaka

Bellig L.L. 2005. Fever.


http://www.eMedicine.com.Inc/fever/topic359.htm
Dale C.D. 2004.
The Febrile Patient. In : Lee Goldman., Dennis Ausiello. Cecil
Textbook of

Brahmer J., Sande A.M. 2001. Fever of Unknown Origin. In : Walter R.W.,
Merle S.A.Current Diagnosis & Treatment in Infectious Disease. 7th
edition.San Francisco. Lange Medical Book Mc Graw Hill. 240-246.

Fauci AS., Kasper DL., Longo DL., Loscalzo J., Braunwald E., Hauser SL., et
al. 2009. Harrison manual Kedokteran Jilid Satu. Tangerang Selatan:
Karisma Publishing Group.

Ganong F.W. 2003. Temperature Regulation. Review of Medical Physiology.


21st edition.San Francisco. Lange Medical Book Mc Graw Hill. 254-
259.

Guyton C.A., Hall E.J. 1997. Pengaturan Suhu. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran.Jakarta. EGC. 1141-1155.

Hariyanto W. 1995. Mengapa Kita Demam.Jakarta. Penerbit Arcan. 1-


23.
Jawetz E. 2003. Toxin Production. In : Warren L., Ernest J.
Medical Microbiology &

Immunology. 7th edition.San Francisco. Lange Medical Book Mc Graw Hill.


35-44. Kaiser E.G. 2001. Microbiology Home Page.
http://www.cat.cc.md.us.

Kirana S., Widjaja T. 2004. Pemeriksaan Keadaan Umum. Dalam : Edhiwan


P., J Teguh W. Buku Panduan Diagnosis Fisik di Klinik.Bandung.
Concept Publishers. 28-29.

Medicine. Volume 2. 22nd edition. Philadelpia. Saunders. 1729-

20
1733.
Dinarello A.C., Gelfan A.J. 2001. Fever and Hypertermia.
http://www.harrisononline.com.

Pediatrics. Volume 2. 17th edition. Philadelpia. Saunders. 839-841.

Peterson J.C. 2002. Interleukin-1. http:/www.rndsystem.com/imag.
Powel


R.K. 2004. Fever. In : Richard E.B., Robert M.K., Hal B.J. Nelson
Textbook of

Sherwood, L. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 6. EGC.


Jakarta, hal 600-2.

Sumarno S.P.S., Herry G., Sri Rezeki S.H. 2002. Demam, Patogenesis dan
Pengobatan. Buku Ajar Kesehatan Anak Infeksi & Penyakit Tropis.
IDAI. Edisi 1. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 27-38.

21

Anda mungkin juga menyukai