Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah yang terjadi di negara berkembang salah satunya adalah
kepadatan penduduk. Karena di negara maju jumlah penduduknya sudah
semakin terkendali pertumbuhannya atau sudah berada pada keseimbangan,
maka sebagai akibat sebagian penduduk dunia khususnya di negara
berkembang masih belum menikmati hidup yang layak. Mereka menderita
kekurangan makan dan gizi, sehingga tingkat kesehatannya buruk,
mempunyai pendidikan yang rendah, dan kekurangan lapangan pekerjaan.
Secara khusus, tingkat kelahiran dan tingkat kematian bayi masih cukup
tinggi. Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia juga tidak luput dari
masalah kependudukan. Secara garis besar masalah-masalah pokok di bidang
kependudukan yang dihadapi Indonesia adalah jumlah penduduk yang besar
dengan laju pertumbuhan penduduk yang relatif masih tinggi, persebaran
penduduk yang tidak merata, struktur umur muda, dan kualitas penduduk
yang masih harus ditingkatkan (Sarwono, 2005, h.892). Solusi untuk itu salah
satunya adalah pemberian alat kontrasepsi pada pasangan usia subur (PUS).
Kontrasepsi ialah usaha-usaha untuk mencegah terjadinya kehamilan.
Usaha-usaha itu dapat bersifat sementara, dapat juga bersifat permanen. Yang
bersifat permanen pada wanita dinamakan tubektomi dan pada pria
dinamakan vasektomi (Sarwono, 2008, h.534). Salah satu jenis alat
kontrasepsi tubektomi adalah MOW atau tubektomi, serta biasa disebut juga
dengan sterilisasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pemilihan kontrasepsi MOW
antara lain faktor pasangan yang berhubungan dengan umur, frekuensi
senggama, jumlah keluarga yang diinginkan, faktor metode kontrasepsi yang
berhubungan dengan tingkat pengetahuan pasangan tentang kontrasepsi, dan
biaya (Hartanto, 2003). Hasil penelitian tersebut di atas sejalan dengan
pendapat Palmore dan Bultoa yang menyatakan faktor dalam pemilihan
kontrasepsi antara lain yaitu ongkos, dan faktor sosial budaya (Singarimbun,

1
2

2004). Demikian pula dengan menurut WHO (1994) antara lain adalah faktor
individu antara lain usia atau usia muda, frekuensi koitus, faktor ekonomi dan
kemudahan memperolehnya, serta faktor sosial budaya (Dhini Hariyo Seto,
2011).
MOW atau tubektomi atau sterilisasi itu bersifat permanen, maka wanita
atau pasangan usia subur tidak dapat memiliki keturunan. Sehingga dapat
mengurangi laju pertumbuhan penduduk terutama di negara-negara
berkembang. Tubektomi adalah prosedur bedah sukarela untuk menghentikan
fertilitas (kesuburan) seorang perempuan (Sujiyatini, 2011, h.162).
MOW ialah tindakan yang dilakukan pada kedua tuba Fallopii
perempuan atau kedua vas deferens laki-laki, yang mengakibatkan yang
bersangkutan tidak dapat hamil atau tidak menyebabkan kehamilan lagi.
Hippocrates menyebut bahwa tindakan sterilisasi itu dilakukan terhadap
orang dengan penyakit jiwa. Dahulu tindakan sterilisasi pada laki-laki
diselenggarakan sebagai hukuman, misalnya pada mereka yang melakukan
perkosaan. Sekarang tindakan ini dilakukan secara sukarela dalam rangka
keluarga berencana (Sarwono, 2011, h.456).
Sterilisasi bagi pria (vasektomi) maupun wanita (tubektomi) merupakan
salah satu cara KB modern yang paling efektif. Keefektifan metode sterilisasi
tidak perlu diragukan lagi (98,85 persen) asal dilakukan seusai dengan SOP
(standar, operasional, prosedur) yang telah ditetapkan. Di dalam pelaksanaan
program, animo masyarakat terhadap sterilisasi sangat kurang. Peserta
sterilisasi sejak program KB dicanangkan pada tahun 1970 hingga saat ini
masih menunjukkan angka yang sangat sedikit. Rendahnya minat masyarakat
terhadap sterilisasi dimungkinkan karena program KB di waktu yang lalu
yang ”bias gender”, di sisi lain sikap pemerintah sendiri dinilai masih kurang
tegas mengenai sterilisasi. Sementara BKKBN beranggapan bahwa sterilisasi
sudah menjadi program pemerintah, terbukti dengan tersedianya dukungan
dana dan sarana untuk kegiatan operasionalnya. Selain menyediakan dana
yang tidak sedikit untuk pelayanan sterilisasi, BKKBN juga telah melatih
dokter pemberi pelayanan, memberikan dukungan sarana pelayanan serta
dana penggerakan di lapangan. Namun, hal ini tidak diikuti dengan
3

pencapaian yang menggembirakan. Rendahnya proporsi peserta KB sterilisasi


tentu saja tidak memberikan kontribusi yang nyata terhadap penurunan angka
kelahiran di Indonesia (BKKBN, 2011).
Sebagian besar wanita di Indonesia yang tidak menggunakan alat
kontrasepsi pada saat survey berkaitan dengan alasan fertilitas yaitu sebesar
40,2%. Diantara mereka 19,1% adalah yang telah memasuki masa
menopause, 9,2% ingin memiliki anak banyak, 7,4% abstinensi, 3% tidak
subur dan fatalistic 1,6%. Adapun wanita yang tidak menggunakan
kontrasepsi berkaitan dengan alasan atau cara KB sebesar 23,4%, dimana
11,5% dari mereka adalah yang takut dengan efek samping, 7,8% berkaitan
dengan masalah kesehatan, 2,3% merasa tidak nyaman menggunakan alat
kontrasepsi, 1% menjadi gemuk atau kurus, dan selebihnya karena alasan
kurangnya akses dan biaya yang terlalu mahal (BKKBN, 2013, h.20).
Berdasarkan hasil survey BKKBN seluruh Indonesia perbulan Agustus
2014 didapatkan hasil akseptor KB sebanyak 640,149 peserta, yang
didominasi oleh pengguna KB Suntik 323,207 (50,49%), kedua adalah KB
Pil 164,217 (25,65%), Implan 61,559 (9,62%), IUD 44,631 (6,97%), Kondom
36,207 (5,66%), MOW 9,218 (1,44%), MOP 1,110 (0,17%).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Muniroh, ID, 2014
diketahui bahwa penyebab pasangan usia subur unmeet need KB MOW
antara lain: Pengetahuan tentang kontrasepsi MOW rendah, Larangan suami
atau ketidak setujuan suami terhadap pemakaian alat kontrasepsi MOW,
Hambatan biaya.
Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi besar di Indonesia
dan merupakan penyangga utama dalam pembangunan nasional khususnya
dalam pelaksanaan Program KB Nasional, artinya kegagalan atau
keberhasilan Provinsi Jawa Tengah akan sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan tingkat nasional (BKKBN Jawa Tengah, 2008; h.8).
Jawa Tengah hasil akseptor KB sebanyak 71,922 peserta, yang
didominasi oleh pengguna KB suntik 43,292 (60,19%), kedua adalah KB Pil
11,769 (16,36%), Implan 6,987 (9,71%), IUD 5,245 (7,29%), kondom 3,111
(4,33%), MOW 1,426 (1,98%), MOP 92 (0,13%).
4

Kabupaten Tegal sebanyak 3.521 peserta, yang di dominasi oleh


pengguna KB suntik 2.826 (80,26%), kedua adalah KB Pil 350 (9,94%),
Implan 137 (3,89%), IUD 113 (3,21%), kondom 37 (1,05%), MOW 54
(1,53%), MOP 4 (0,11%).

Jumlah Keluarga Anggota BKB (BINA KELUARGA BALITA)


kecamatan Bojong 647, berstatus PUS 596 dan 540 PUS ber-KB. Jumlah
peserta KB baru KKB Bojong 73 peserta, KB IUD 3 (4,11%), KB MOW 0
(0,00%), KB MOP 0 (0,00%), KB Kondom 0 (0,00%), KB Implant 0
(0,00%), KB Suntikan 69 (94,52%), KB Pil 1 (1,37%) (BKKBN, 2014).

Masih rendahnya keikutsertaan warga bojong menggunakan MOW salah


satu penyebabnya adalah tingkat pengetahuan yang rendah. Sehingga peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan Antara Tingkat
Pengetahuan Tentang Alat Kontrasepsi Dengan Pemakaian MOW Pada
Pasangan Usia Subur (PUS) Di Puskesmas Bojong Tahun 2014”.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan ibu tentang alat
kontrasepsi dengan pemakaian MOW pada pasangan usia subur (PUS) di
Puskesmas Bojong tahun 2014.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik PUS berdasarkan umur, paritas, tingkat
pendidikan, dan dukungan suami di Puskesmas Bojong tahun 2014.
b. Mengetahui tingkat pengetahuan tentang alat kontrasepsi Pasangan
Usia Subur (PUS) di Puskesmas Bojong.
c. Mengetahui pemakai MOW pada Pasangan Usia Subur (PUS) di
Puskesmas Bojong.
d. Mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan tentang alat
kontrasepsi dengan pemakaian MOW pada pasangan usia subur
(PUS).
5

C. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti lain
a. Dapat lebih memahami bagi peneliti maupun bagi peneliti lain tentang
hubungan antara tingkat pengetahuan tentang alat kontrasepsi dengan
pemakaian MOW pada pasangan usia subur (PUS).
b. Dapat digunakan penelitian lebih lanjut.
2. Bagi Institusi
a. Dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan dalam lingkup
kebidanan STIKes Bhamada Slawi mengenai hubungan antara tingkat
pengetahuan tentang alat kontrasepsi dengan pemakaian MOW pada
pasangan usia subur (PUS).
b. Dapat menambah refrensi bacaan diperpustakaan STIKes Bhamada
Slawi sebagai bahan penelitian lebih lanjut.
3. Bagi Masyarakat
a. Dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya
kontrasepsi khususnya KB MOW.
b. Dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai KB MOW.
c. Dapat meningkatkan minat masyarakat untuk menggunakan KB
MOW.

D. Keaslian Penelitian
Penelitian yang sejenis mengenai tingkat pengetahuan tentang alat
kontrasepsi dengan pemakaian MOW pada pasangan usia subur menurut
pengetahuan peneliti belum pernah dilakukan di Puskesmas Bojong
Kabupaten Tegal.
Penelitian lain yang serupa tetapi dengan kajian dan variabel berbeda
sudah pernah dilakukan antara lain sebagai berikut:
6

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian


No. Metode
Judul Peneliti Responden Tahun
Penelitian
1. “Dukungan Sosial Suami Ismi Dita Deskriptif Akseptor KB 2014
Terhadap Istri untuk Muniroh, Novia Aktif di
Menggunakan Alat Luthviatin, Erdi Kecamatan Puger
Kontrasepsi Medis Operasi Istiaji Kabupaten
Wanita (MOW) (Studi Jember
Kualitatif pada Pasangan
Usia Subur Unmet Need di
Kecamatan Puger
Kabupaten Jember”
2. “Faktor-Faktor Yang Radita Observasional Akseptor KB 2009
Mempengaruhi memilihan Kusumaningrum analitik Desa
Jenis Kontrasepsi Yang Kambangan,
Digunakan Pada Pasangan Kecamatan
Usia Subur” Blado, Kabupaten
Batang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP TEORI
1. PENGETAHUAN
a. Definisi
Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna, dalam
memahami alam sekitarnya terjadi proses yang bertingkat dari
pengetahuan (sebagai hasil dari tahu manusia), ilmu, dan filsafat.
Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu dari manusia, yang
sekedar menjawab pertanyaan “what”, misalnya apa air, apa
manusia, apa alam, dan sebagainya. Sedangkan ilmu (science) bukan
sekedar menjawab “what”, melainkan akan menjawab pertanyaan
“why” dan “how”, misalnya mengapa air mendidih bila dipanaskan,
mengapa bumi berputar, mengapa manusia bernafas, dan sebagainya.
Pengetahuan hanya dapat menjawab pertanyaan apa sesuatu itu.
Perlu dibedakan disini antara pengetahuan dan keyakinan, walaupun
keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat.
Baik pengetahuan maupun keyakinan, keduanya merupakan
respons mental seseorang dalam hubungannya objek tertentu yang
disadari sebagai ‘ada’ atau terjadi. Hanya saja, dalam hal keyakinan,
objek yang disadari sebagai ‘ada’ tersebut tidak perlu harus ada
sebagaimana adanya. Sedangkan dalam hal pengetahuan, objek yang
disadari memang harus ‘ada’ sebagaimana adanya. Dengan
demikian, pengetahuan tidak sama dengan keyakinan, karena
keyakinan dapat saja keliru tetapi sah sebagai keyakinan. Artinya apa
yang disadari (diyakini) sebagai ada, ternyata tidak ada dalam
kenyataannya. Tetapi untuk pengetahuan tidak demikian,
pengetahuan dapat salah atau keliru, karena bila suatu pengetahuan
ternyata salah atau keliru, tidak dapat dianggap sebagai pengetahuan.
Sehingga apa yang dianggap pengetahuan tersebut berubah statusnya
menjadi keyakinan saja.

7
8

Seperti yang dijelaskan diatas bahwa pengetahuan hanya


sekedar menjawab pertanyaan tentang ‘apa’-nya objek atau ‘ada’
serta yang ‘apa’-nya yang terjadi. Sedangkan ilmu tidak hanya
sekedar menjawab ‘apa’-nya ‘ada’ atau yang terjadi, tetapi menjawab
mengapa dan bagaimana sesuatu tersebut terjadi. Apabila
pengetahuan itu mempunyai sasaran yang tertentu, mempunyai
metode atau pendekatan untuk mengkaji objek tersebut sehingga
memperoleh hasil yang dapat disusun secara sistematis dan diakui
secara universal, maka terbentuklah ilmu atau lebih sering disebut
ilmu pengetahuan. Penggunaan istilah ilmu pengetahuan sebenarnya
berlebihan, yang sebenarnya cukup disebut ilmu (science) saja.
Dengan perkataan lain, pengetahuan itu dapat berkembang menjadi
ilmu apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :
1) Mempunyai objek kajian,
2) Metode pendekatan,
3) Disusun secara sistematis,
4) Bersifat universal (mendapat pengakuan secara umum).
Istilah ilmu atau ‘science’ merupakan istilah yang mempunyai
makna ganda. Menurut cakupannya, ilmu merupakan terminologi
umum untuk menyebut segenap pengetahuan ilmiah yang dipandang
sebagai suatu kebulatan. Ilmu merupakan terminologi umum yang
mengacu kepada ilmu yang seumumnya (ilmu pada umumnya).
Sedangkan arti yang lain, ilmu menunjuk pada masing-masing
bidang pengetahuan ilmiah yang mempelajari sesuatu pokok masalah
tertentu. Dalam hal ini ilmu berarti menunjuk suatu cabang ilmu
khusus, misalnya : biologi, ilmu alam, ilmu sosial, ilmu bumi
(geografi), antropologi, sosiologi, ilmu ekonomi, dan sebagainya
(Notoatmojo, 2012).
b. Tingkat Pengetahuan
Notoatmodjo (2010) juga menjelaskan pengetahuan yang
mencakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu :
9

1) Tahu (know)
Tahu adalah sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat
ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari
seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah
diterima. Oleh sebab itu, “tahu” ini merupakan tingkat
pengetahuan paling rendah.
2) Memahami (comprehention)
Memahami artinya sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan
dimana dapat menginterpretasikan secara benar. Orang yang
telah paham terhadap objek atau materi terus dapat menjalankan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan
sebagainya terhadap suatu objek yang dipelajari.
3) Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi ataupun kondisi riil
(sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau
penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan
sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4) Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menyatakan materi
atau suatu objek kedalam komponen-komponen tetapi masih
didalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya
satu sama lain.
5) Sintesis (Syntesis)
Sintesis yang dimaksud menunjukan pada suatu
kemampuan untuk melaksanakan atau menghubungkan bagian-
bagian di dalam suatu keseluruhan yang baru. Dengan kata lain
sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi
baru dari formulasi yang ada.
10

6) Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang
ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah
ada.
c. Cara Memperoleh Pengetahuan
Menurut Notoadmojo (2012) cara memperoleh pengetahuan ada dua
yaitu
1) Cara kuno untuk memperoleh pengetahuan
a) Cara coba salah (Trial and Error)
Cara ini telah dipakai orang sebelum kebudayaan,
bahkan mungkin sebelum adanya peradaban. Cara coba
salah ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan
dalam memecahkan masalah dan apabila kemungkinan itu
tidak berhasil maka dicoba. Kemungkinan yang lain sampai
masalah tersebut dapat dipecahkan.
b) Cara kekuasaan atau otoritas
Sumber pengetahuan cara ini dapat berupa pimpinan-
pimpinan masyarakat baik formal atau informal, ahli agama,
pemegang pemerintah, dan berbagai prinsip orang lain yang
menerima mempunyai yang dikemukakan oleh orang yang
mempunyai otoritas, tanpa menguji terlebih dahulu atau
membuktikan kebenarannya baik berdasarkan fakta empiris
maupun penalaran sendiri.
c) Berdasarkan pengalaman pribadi
Pengalaman pribadi pun dapat digunakan sebagai upaya
memperoleh pengetahuan dengan cara mengulang kembali
pengalaman yang pernah diperoleh dalam memecahkan
permasalahan yang dihadapi masa lalu.
2) Cara modern dalam memperoleh pengetahuan
Cara ini disebut metode penelitian ilmiah atau lebih populer
atau disebut metodologi penelitian.
11

d. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan


Menurut Notoadmojo (2010) faktor-faktor yang mempengaruhi
pengetahuan yaitu :
1) Faktor internal
a) Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang
terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah cita-cita
tertentu yang menentukan manusia untuk berbuat dan
mengisi kehidupan untuk mencapai keselamatan dan
kebahagiaan.
b) Pekerjaan
Menurut Thomas yang dikutip oleh Nursalam (2003),
pekerjaan adalah keburukan yang harus dilakukan terutama
untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga.
Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak
merupakan cara mencari nafkah yang membosankan,
berulang dan banyak tantangan.
c) Umur
Menurut Elisabeth yang dikutip Nursalam (2003), usia
adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan
sampai berulang tahun. Sedangkan menurut Huclok (1998)
semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan
seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja dari
segi kepercayaan masyarakat seseorang yang lebih dewasa
dipercaya dari orang yang belum tinggi tingkat
kedewasaannya.
2) Faktor eksternal
a) Faktor lingkungan
Lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada
disekitar manusia dan pengaruh yang dapat mempengaruhi
perkembangan dan perilaku orang atau kelompok.
b) Sosial budaya
Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat
mempengaruhi dari sikap dalam menerima informasi.
12

2. PERILAKU
a. Perilaku Kesehatan
Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau
makhluk hidup yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2010).
Menurut skiner (1938) perilaku kesehatan (health behavior)
adalah respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan
dengan sehat-sakit, penyakit, dan faktor-faktor yang mempengaruhi
sehat-sakit (kesehatan) seperti lingkungan, makanan, minuman,
pelayanan kesehatan. Dengan kata lain perilaku kesehatan adalah
semua aktivitas atau kegiatan seseorang baik yang dapat diamati
(observable) maupun yang tidak dapat diamati (unobsevable)
(Notoatmodjo, 2010).
Skiner (1938) seorang ahli psikologi merumuskan bahwa
perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus
(rangsangan dari luar). Dengan demikian perilaku manusia terjadi
melaului proses stimulus – organisme – respons, sehingga teori
skiner ini disebut teori “S-O-R” (stimulus – organisme – respons).
Selanjutnya teori skiner menjelaskan adanya dua respon. Pertama
respondent respons atau reflexive, yaitu respon yang ditimbulkan
oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu yang disebut
eliciting stimulus, karena menimbulkan respon-respon yang relatif
tetap. Respondent respons juga mencakup perilaku emosional. Yang
kedua adalah operant respons atau instrumental respons, yaitu respon
yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus dan
rangsangan yang lain. Perangsang yang lain disebut reinforcing
stimuli atau reinforcer, karena berfungsi untuk memperkuat respon.
b. Jenis-jenis Perilaku
1) Perilaku Tertutup (Cover Behavior)
Perilaku tertutup terjadi bila respon terhadap stimulus
tersebut masih belum dapat diamati oleh orang lain (dari luar)
secara jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk
perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap
13

stimulus yang bersangkutan. Bentuk “unobservable behavior”


atau “covert behavior” yang dapat diukur adalah pengetahuan
dan sikap.
2) Perilaku Terbuka (Overt Behavior)
Perilaku terbuka ini terjadi bila respon terhadap stimulus
tersebut sudah berupa tindakan atau praktik ini dapat diamati
orang lain dari luar atau “observable behavior” contoh yang
dalam bentuk tindakan nyata, dalam bentuk kegiatan, atau dalam
bentuk praktik disebut practice. (Notoatmodjo, 2010)
c. Teori-teori Perilaku Kesehatan
1) Teori “Preced-Proceedd”
Teori ini dikembangkan oleh Lawrence Green, yang dirintis
sejak tahun 1980. Lawrence Green mencoba menganalisis
perilaku manusia dari tingkat kesehatan. kesehatan manusia atau
masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yaitu faktor
perilaku (behavior causes) dan faktor diluar perilaku (non-
behavior causes). Selanjutnya perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor
utama, yang dirangkum dalam akronim PRECEDE :
Predisposing, Enabling, dan Reinforcing causes In Educational
Diagnosis and Evaluation. Precede ini adalah merupakan arahan
dalam menganalisis atau diagnosis dan evaluasi perilaku untuk
intervensi pendidikan (promosi) kesehatan. Precede adalah
merupakan fase diagnosis masalah.
Sedangkan PROCEED : Policy, Regulatory, Organizational,
Construction in Educational and Environmental Development,
adalah merupakan arahan dalam perencanaan, implementasi,
dan evaluasi pendidikan (promosi) kesehatan. Apabila precede
merupakan fase diagnosis masalah, maka proceed adalah
merupakan perencaan, pelaksanaan, dan evaluasi promosi
kesehatan (Notoatmodjo, 2010)
14

Predispocing factor

Enabling factor BEHAVIOR

Reinforcing factor

Gambar 2.1 Precede Model Lawrence Green (Notoatmodjo,


2010)

3. KONTRASEPSI
a. Definisi
Kontrasepsi ialah usaha-usaha untuk mencegah terjadinya
kehamilan. Usaha-usaha itu dapat bersifat sementara, dapat juga
bersifat permanen. Yang bersifat permanen dinamakan pada wanita
tubektomi dan pada pria dinamakan vasektomi.
Sampai sekarang cara kontrasepsi yang ideal belum ada.
Kontrasepsi ideal itu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1) Dapat dipercaya
2) Tidak menimbulkan efek yang mengganggu kesehatan
3) Daya kerjanya dapat diatur menurut kebutuhan
4) Tidak menimbulkan gangguan sewaktu melakukan koitus
5) Tidak memerlukan motivasi terus-menerus
6) Mudah pelaksanaanya
7) Murah harganya sehingga dapat dijangkau oleh seluruh lapisan
masyarakat
8) Dapat diterima penggunaanya oleh pasangan yang bersangkutan
(Sarwono, 2008, h.534)
b. Akseptabilitas
Akseptabilitas suatu cara kontrasepsi ditentukan oleh beberapa
faktor, antara lain :
1) Dapat dipercaya
15

2) Tidak ada efek sampingan atau hanya ada efek sampingan


ringan
3) Tidak mempengaruhi koitus
4) Mudah penggunaanya
5) Harga obat/alat kontrasepsi terjangkau
Akseptabilitas ini terbukti apabila pasangan tetap mempergunakan
cara kontrasepsi yang bersangkutan, dan baru berhenti jika pasangan
ingin mendapat anak lagi, atau jika kehamilan tidak akan terjadi lagi
karena umur wanita sudah lanjut atau oleh karena ia telah menjalani
tubektomi atau bilamana suaminya telah divasektomi.
(Sarwono, 2008, h.534)
c. Efektivitas (Daya Guna)
Pada tahun 1930-an Raymond Pearl membuat sebuah rumus
untuk menilai efektivitas suatu cara kontrasepsi. Rumus tersebut
sebagai berikut :
Indeks Pearl per 100 tahun-wanita =

jumlah seluruh kehamilan


x 1200
jumlah bulanmenjalankan koitus

Indeks Pearl ada kelemahannya karena didasarkan atas


anggapan bahwa setiap akseptor mempunyai fekunditas dan fertilitas
yang homogen, sehingga 100 akseptor yang diobservasi untuk 2
tahun dapat disamakan dengan 200 akseptor dengan masa observasi
1 tahun. Dalam praktek anggapan ini tidak benar, oleh sebab itu
untuk membandingkan efektivitas secara statistik dari berbagai cara
kontrasepsi dengan bulan-bulan eksposisi (terhadap kehamilan) yang
berbeda-beda, oleh Tietze digunakan life table technique.
Efektivitas (daya guna) suatu cara kontrasepsi dapat dinilai pada
2 tingkat, yakni :
1) Daya guna teoritis (theoretical effectiveness), yaitu kemampuan
suatu cara kontrasepsi untuk mengurangi terjadinya kehamilan
16

yang tidak diinginkan, apabila cara tersebut digunakan terus-


menerus dan sesuai dengan petunjuk yang diberikan.
2) Daya guna pemakaian (use effectiveness), yaitu kemampuan suatu
cara kontrasepsi dalam keadaan sehari-hari dimana pemakainya
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti pemakai tidak hati-hati,
kurang taat pada peraturan, dan sebagainya.
(Sarwono, 2008, h.535)
d. Tujuan kontrasepsi
Pelayanan kontrasepsi mempunyai 2 tujuan yaitu :
1) Tujuan umum : Pemberian dukungan dan pemantapan
penerimaan gagasan KB yaitu dihayatinya NKKBS.
2) Tujuan pokok : Penurunan angka kelahiran yang bermakna.
Guna mencapai tujuan tersebut, ditempuh kebijaksanaan
menggolongkan pelayanan KB kedalam tiga fase yaitu :
a) Fase menunda kehamilan/kesuburan,
b) Fase menjarangkan kehamilan,
c) Fase menghentikan/mengakhiri kehamilan/kesuburan.
(Saroha Pinem, 2009, h.202)
e. Macam-macam metode kontrasepsi
1) Metode Sederhana
a) Tanpa alat (KB Alamiah)
(1) Teknik Pantang Berkala
(2) Metode Kalender
(3) Metode Suhu Basal
(4) Metode Lendir Servik
(5) Metode Simtotermal
b) Dengan Alat
(1) Mekanisme/Barier
(a) Kondom
(b) Barier Intra Vaginal
(2) Kimiawi
Spermisida
17

(a) Aerosol (Busa)


(b) Tablet Vaginal
(c) Krim
2) Metode Modern
a) Kontrasepsi Hormonal
(1) Oral Kontrasepsi
(a) Pil Kombinasi
(b) Kontrasepsi Pil Progestin
(2) Suntikan
(a) Suntikan Kombinasi (1 bulan)
(b) Kontrasepsi Suntikan Progestin (3 bulan)
(3) Implant
b) Intra Uterine Devices (IUD)
(1) AKDR dengan Progestin
(2) Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)
c) Sterilisasi
(1) Tubektomi
(2) Vasektomi
(Sujiyatini, 2009, h.51-174)

4. KONTRASEPSI MOW
a. Definisi
Sterilisasi ialah tindakan yang dilakukan pada kedua tuba
Fallopii perempuan atau kedua vas deferens laki-laki, yang
mengakibatkan yang bersangkutan tidak dapat hamil atau tidak
menyebabkan kehamilan lagi. Tindakan sterilisasi telah dikenal sejak
zaman dahulu. Hippocrates menyebut bahwa tindakan sterilisasi itu
dilakukan terhadap orang dengan penyakit jiwa. Dahulu tindakan
sterilisasi pada laki-laki diselenggarakan sebagai hukuman, misalnya
pada mereka yang melakukan perkosaan. Sekarang tindakan ini
dilakukan secara sukarela dalam rangka keluarga berencana.
18

Dahulu sterilisasi dilakukan dengan jalan laparotomi atau


pembedahan vaginal. Sekarang dengan alat-alat dan teknik baru,
tindakan ini diselenggarakansecara lebih ringan dan tidak
memerlukan perawatan di rumah sakit.
Akhir-akhir ini sterilisasi telah menjadi bagian yang penting
dalam program keluarga berencana dibanyak negara di dunia. Di
Indonesia sejak tahun 1974 telah berdiri perkumpulan yang sekarang
bernama Perkumpulan Kontrasepsi Mantap Indonesia (PKMI), yang
membina perkembangan sterilisasi atau kontrasepsi mantap secara
suka rela, tetapi secara resmi sterilisasi tidak termasuk ke dalam
program nasional keluarga berencana di Indonesia.
(Sarwono, 2011, h.563-564)
Tubektomi adalah prosedur bedah suka rela untuk menghentikan
fertilitas (kesuburan) seorang perempuan (Sujiyatini, 2011, h.162).
b. Jenis
1) Minilaparotomi
2) Laparoskopi
(Sujiyatini, 2011, h.162)
c. Mekanisme Kerja
Dengan mengoklusi tuba fallopii (mengikat dan memotong atau
memasang cincin), sehingga sperma tidak dapat bertemu dengan
ovum (Sujiyatini, 2011, h.162).
d. Manfaat
1) Kontrasepsi
a) Sangat efektif (0,5 kehamilan per 100 perempuan selama
tahun pertama penggunaan).
b) Tidak mempengaruhi proses menyusui (breastfeeding).
c) Tidak bergantung pada faktor senggama.
d) Baik bagi klien apabila kehamilan akan menjadi resiko
kesehatan yang serius.
e) Pembedahan sederhana, dapat dilakukan dengan anastesi
lokal.
19

f) Tidak ada efek samping dalam jangka panjang.


g) Tidak ada perubahan dalam fungsi seksual (tidak ada efek
pada produksi hormon ovarium).
2) Nonkontrasepsi
Berkurangnya resiko kanker ovarium.
(Sujiyatini, 2011, h.162-163)
e. Keterbatasan
1) Harus dipertimbangkan sifat permanen metode kontrasepsi ini
tidak dapat dipulihkan kembali, kecuali dengan operasi
rekanalisasi.
2) Klien dapat menyesal dikemudian hari.
3) Risiko komplikasi kecil meningkat apabila digunakan anestesi
umum.
4) Rasa sakit/ketidak nyamanan dalam jangka pendek setelah
tindakan.
5) Dilakukan oleh dokter yang terlatih dibutuhkan dokter spesialis
ginekologi atau dokter spesialis bedah untuk proses laparoskopi.
6) Tidak melindungi diri dari IMS, termasuk HBV dan HIV/AIDS.
(Sujiyatini, 2011, h.163-164)
f. Keuntungan
Keuntungan sterilisasi menurut Sarwono (2008) ialah :
1) Motivasi hanya dillakukan satu kali saja, sehingga tidak
diperlukan motivasi yang berulang-ulang
2) Efektivitas hampir 100%
3) Tidak mempengaruhi libido seksualis
4) Tidak adanya kegagalan dari pihak pasien
g. Isu-isu klien
1) Klien mempunyai hak untuk berubah pikiran setiap waktu
sebelum prosedur ini.
2) Informed consent harus diperoleh dan standart consent form
harus ditandatangani oleh klien sebelum prosedur ini dilakukan;
informed consent form dapat ditandatangani oleh seorang
20

saudara atau pihak yang bertanggung jawab atas seorang klien


yang kurang paham atau tidak dapat memberikan informed
consent, misalnya individu yang tidak kompeten secara
kejiwaan.
(Sujiyatini, 2011, h.164)
h. Indikasi
1) Usia >36 tahun.
2) Paritas > 2.
3) Yakin telah mempunyai besar keluarga yang sesuai dengan
kehendaknya.
4) Pada kehamilannya akan menimbulkan risiko kesehatan yang
serius.
5) Pasca persalinan.
6) Pasca keguguran.
7) Paham dan secara sukarela setuju dengan prosedur ini.
(Sujiyatini, 2011, h.164-165)
i. Kontra Indikasi
1) Hamil sudah terdeteksi atau dicurigai.
2) Perdarahan vaginal yang belum terjelaskan hingga harus
dievaluasi.
3) Infeksi sistemik atau pelvik yang akut hingga masalah itu
disembuhkan atau dikontrol.
4) Tidak boleh menjalani proses pembedahan.
5) Kurang pasti mengenai keinginannya untuk fertilitas di masa
depan.
6) Belum memberikan persetujuan tertulis.
(Sujiyatini, 2011, h.165-166)
j. Waktu Pelaksanaan
1) Setiap waktu selama siklus menstruasi apabila diyakini secara
rasional klien tersebut tidak hamil.
2) Hari ke-6 hingga ke-13 dari siklus menstruasi (fase proliferasi).
3) Pasca persalinan
21

a) Minilap : di dalam waktu 2 hari atau setelah 6 minggu atau


12 minggu.
b) Laparoskopi : tidak tepat untuk klien-klien pasca persalinan.
4) Pasca keguguran
a) Triwulan pertama : dalam waktu 7 hari sepanjang tidak ada
bukti infeksi pelvik (minilap atau laparoskopi).
b) Triwulan kedua : dalam waktu 7 hari sepanjang tidak ada
bukti infeksi pelvik (minilap saja).
(Sujiyatini, 2011, h.166)
k. Komplikasi
1) Komplikasi sterilisasi laparoskopik jangka pendek
a) Insendensi adalah 1% dari total prosedur
b) Tergantung keahlian operator
c) Berkaitan dengan prosedur/teknik bedah.
2) Komplikasi sterilisasi laparoskopik jangka lama
Tingkat efektifitas kontraseptif relatif menurun dengan
pertambahan waktu.
3) Komplikasi operatif Tubektomi
a) Minilaparatomi dan laparoskopi
(1) Trauma kandung kemih
(2) Perdarahan dari mesosalfing
(3) Konvulsi dan reaksi toksis anesthesia lokal
(4) Fistula vesiko-vaginalis
(5) Depresi atau henti pernafasan
(6) Cedera organ dalam atau intra-abdominal.
b) Laparoskopi (terutama)
(1) Emboli gas atau udara
(2) Reaksi Vao-vagal.
4) Komplikasi tubektomi segera pasca-operasi
a) Perdarahan atau hematoma disertai nyeri bawah kulit (di
tempat pembedahan)
b) Perdarahan organ dalam (ovarium, tuba, atau usus)
22

c) Demam pasca bedah


d) Infeksi luka insisi atau jaringan sekitarnya
e) Emboli gas (laparoskopik, sangat jarang).
5) Hal-hal yang harus diwaspadai dan hubungi petugas atau
kembalilah ke klinik jika :
a) Demam (>380C atau 100,40F)
b) Pusing atau limbung disertai pingsan
c) Nyeri perut bawah yang terus-menerus atau bertambah
parah/berat
d) Perdarahan atau ada cairan abnormal yang keluar melalui
luka insisi
e) Tanda-tanda atau gejala hamil.
l. Instruksi Kepada Klien
1) Jagalah luka operasi tetap kering hingga pembalut dilepaskan.
Mulai lagi aktivitas normal secara bertahap (sebaiknya dapat
kembali keaktivitas normal dalam waktu 7 hari setelah
pembedahan).
2) Hindari hubungan intim hingga merasa cukup nyaman. Setelah
mulai kembali melakukan hubungan intim, hentikanlah bila ada
perasaan kurang nyaman.
3) Hindari mengangkat benda-benda berat dan bekerja keras
selama 1 minggu.
4) Kalau sakit, minumlah 1 atau 2 tablet analgesik (atau penghilang
rasa sakit) setiap 4 sampai 6 jam.
5) Jadwalkan sebuah kunjungan pemeriksaan secara rutin antara 7
dan 14 hari setelah pembedahan. (Petugas akan memberi tahu
tempat layanan ini akan diberikan).
6) Kembalilah setiap waktu apabila anda menghendaki perhatian
tertentu, atau tanda-tanda dan simptom-simptom yang tidak
biasa.
(Sujiyatini, 2011, h.168)
23

m. Informasi Umum
1) Nyeri bahu selama 12-24 jam setelah laparoskopi relatif lazim
dialami karena gas (CO2 atau udara) dibawah diafragma,
sekunder terhadap pneumoperitoneum.
2) Tubektomi efektif setelah operasi.
3) Periode menstruasi akan berlanjut seperti biasa. (Apabila
mempergunakan metode hormonal sebelum prosedur, jumlah
dan durasi haid dapat meningkat setelah pembedahan).
4) Tubektomi tidak memberikan perlindungan atas IMS, termasuk
virus AIDS. Apabila pasangannya beresiko, pasangan tersebut
sebaiknya mempergunakan kondom bahkan setelah tubektomi.
(Sujiyatini, 2011, h.162-169)

5. PUS
Pasangan Usia Subur (PUS) adalah pasangan suami istri yang terikat
dalam perkawinan yang sah yang umur istrinya antara 15 smpai dengan
49 tahun.
PUS merupakan sasaran utama program KB sehingga perlu
diketahui bahwa:
a. Hubungan urutan persalinan dengan risiko ibu-anak paling aman
pada persalinan kedua atau antara anak kedua dan ketiga.
b. Jarak kehamilan 2-4 tahun, adalah jarak yang paling aman bagi
kesehatan ibu-anak.
c. Umur melahirkan antara 20-30 tahun, adalah umur yang paling aman
bagi kesehatan ibu-anak.
d. Masa reproduksi (kesuburan) dibagi menjadi 3, yaitu:
1) Masa menunda kehamilan (kesuburan
2) Masa mengatur kesuburan (menjarangkan)
3) Masa mengakhiri kesuburan (tidak hamil lagi).
24

Masa reproduksi (kesuburan) ini merupakan dasar dalam pola


penggunaan kontrasepsi rasional.
(Radita Kusumaningrum, 2009)
6. KARAKTERISTIK
a. Umur
Umur dalam hubungannya dengan pemakaian KB berperan
sebagai faktor intrinsik. Umur berhubungan dengan struktur organ,
fungsi faaliah, komposisi biokimiawi termasuk sistem hormonal
seorang wanita. Perbedaan fungsi faaliah, komposisi biokimiawi,
dan sistem hormonal pada suatu periode umur menyebabkan
perbedaan pada kontrasepsi yang dibutuhkan.
Masa reproduksi (kesuburan) dibagi menjadi 3, yaitu:
1) Masa menunda kehamilan (kesuburan)
2) Masa mengatur kesuburan (menjarangkan)
3) Masa mengakhiri kesuburan (tidak hamil lagi).
Masa reproduksi (kesuburan) ini merupakan dasar dalam pola
penggunaan kontrasepsi rasional.
1) Masa Menunda Kehamilan
Sebaiknya istri menunda kehamilan pertama sampai umur
20 tahun.
Ciri-ciri kontrasepsi yang sesuai:
a) Kembalinya kesuburan yang tinggi. Artinya kembalinya
kesuburan dapat dijamin 100%. Ini penting karena akseptor
belum mempunyai anak.
b) Efektifitas yang tinggi. Hal ini penting karena kegagalan
akan menyebabkan tujuan KB tidak tercapai.
Prioritas kontrasepsi yang sesuai:
a) Pil
b) AKDR
c) Cara sederhana (kondom, spermisida)
2) Masa Mengatur Kesuburan
Umur melahirkan terbaik bagi istri adalah umur 20-30 tahun.
25

Ciri-ciri kontrasepsi yang sesuai:


a) Kembalinya kesuburan (reversibilitas) cukup.
b) Efektifitas cukup tinggi.
c) Dapat dipakai 2-4 tahun, sesuai dengan jarak kehamilan
yang aman untuk ibu dan anak.
d) Tidak menghambat produksi air susu ibu (ASI). Ini penting
karena ASI adalah makanan terbaik bagi bayi sampai umur
2 tahun. Penggunaan ASI mempengaruhi angka kesakitan
bayi/anak.
Prioritas kontrasepsi yang sesuai:
a) AKDR
b) Suntikan
c) Mini pil
d) Pil
e) Cara sederhana
f) Norplant (AKBK)
g) Kontap ( jika umur sekitar 30 tahun)
3) Masa Mengakhiri Kesuburan
Pada umumnya setelah keluarga mempunyai 2 anak dan
umur istri telah melebihi 30 tahun, sebaiknya tidak hamil lagi.
Ciri-ciri kontrasepsi yang sesuai:
a) Efektifitas sangat tinggi. Kegagalan menyebabkan terjadi
kehamilan dengan resiko tinggi bagi ibu dan anak. Selain
itu akseptor sudah tidak ingin mempunyai anak lagi.
b) Dapat dipakai untuk jangka panjang.
c) Tidak menambah kelainan/penyakit yang sudah ada. Pada
masa umur tua kelainan seperti penyakit jantung, darah
tinggi, dan metabolik meningkat. Oleh karena itu, sebaiknya
tidak memberikan obat/kontrasepsi yang menambah
kelainan/penyakit tersebut.
Prioritas kontrasepsi yang sesuai:
a) Kontap
26

b) AKDR
c) Norplant (AKBK)
d) Suntikan
e) Mini pil
f) Pil
g) Cara sederhana.
(Radita Kusumaningrum, 2009)
b. Paritas
Menurut Radita (2009) anak adalah harapan atau cita-cita dari
sebuah perkawinan. Berapa jumlah yang diinginkan, tergantung dari
keluarga itu sendiri. Apakah satu, dua, tiga dan seterusnya. Dengan
demikian keputusan untuk memiliki sejumlah anak adalah sebuah
pilihan, yang mana pilihan tersebut sangat dipengaruhi oleh nilai
yang dianggap sebagai satu harapan atas setiap keinginan yang
dipilih oleh orang tua.
Program KB selain upaya untuk mewujudkan keluarga
berkualitas melalui promosi, perlindungan, dan bantuan dalam
mewujudkan hak-hak reproduksi juga untuk penyelenggaraan
pelayanan, pengaturan, dan dukungan yang diperlukan untuk
membentuk keluarga dengan usia kawin yang ideal; mengatur
jumlah, jarak dan usia ideal melahirkan anak.
Seperti dalam definisi Keluarga Berencana menurut WHO
Expert Committee 1970. KB adalah tindakan yang membantu
individu atau pasangan suami istri untuk:
1) Mendapatkan objektif-objektif tertentu
2) Menghindari kelahiran yang tidak diinginkan
3) Mengatur interval diantara kehamilan
4) Mengontrol waktu saat kelahiran dalam hubungan dengan umur
suami istri
5) Menentukan jumlah anak dalam keluarga.
Serta dalam Pasal 18 UU No.10 tahun 1992 yang menyatakan
bahwa setiap pasangan suami istri dapat menentukan pilihannya
27

dalam merencanakan dan mengatur jumlah anak dan jarak antara


kelahiran anak yang berlandaskan pada kesadaran dan tanggung
jawab terhadap generasi sekarang maupun yang akan datang.
Dalam merencanakan jumlah anak dalam keluarga, suami dan
istri perlu mempertimbangkan aspek kesehatan dan kemampuan
untuk memberikan pendidikan dan kehidupan yang layak. Dalam hal
ini suami perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan 4 terlalu
yaitu :
1) Telalu muda untuk hamil/melahirkan (<18 thn)
2) Terlalu tua untuk melahirkan (>34 thn)
3) Terlalu sering melahirkan (>3 kali)
4) Terlalu dekat jarak antara kehamilan sebelumnya dengan
kehamilan berikutnya (<2 thn).
Merencanakan jumlah anak dalam keluarga dapat dilakukan dengan
memperhatikan usia reproduksi istri.
Program KB selama ini telah banyak mengubah struktur
kependudukan Indonesia, tidak saja dalam arti menurunkan tingkat
kelahiran laju pertumbuhan penduduk namun juga mengubah
pandangan hidup penduduk terhadap nilai anak serta kesejahteraan
dan ketahanan keluarga.
KB melalui karya kelima dalam strategi Panca Karya,
mendorong generasi tua untuk berpikir positif dan memberikan
ketauladanan ataupun petuah kepada generasi yang lebih muda,
sehingga mampu melihat nilai anak tidak sekadar sebagai tenaga
kerja dan gantungan hidup ketika masa tua.
Berikut ini dijelaskan tentang Nilai Keluarga Kecil (alasan
mempunyai keluarga “Kecil”), yaitu:
1) Kesehatan Ibu
Terlalu sering hamil tidak baik untuk kesehatan ibu.
2) Beban Masyarakat
Dunia ini menjadi terlalu padat. Terlalu banyak anak sudah
merupakan beban bagi masyarakat.
28

Apabila semua keluarga di Indonesia hanya memiliki 2 orang


anak, secara otomatis resiko kematian ibu akibat kehamilan,
melahirkan dan nifas hanya terjadi 2 kali.
c. Tingkat Pendidikan
Menurut Bouge dalam Lucas (1990) menyatakan bahwa
pendidikan menunjukkan pengaruh yang lebih kuat terhadap
fertilitas dari pada variabel lain.
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat
menentukan pengetahuan dan persepsi seseorang terhadap
pentingnya sesuatu hal, termasuk pentingnya keikut sertaan dalam
KB. Ini disebabkan seseorang yang berpendidikan tinggi akan lebih
luas pandangannya dan lebih mudah menerima ide dan tata cara
kehidupan baru (BKKBN, 1980).
Hubungan antara pendidikan dengan pola pikir, persepsi dan
perilaku masyarakat memang sangat signifikan, dalam arti bahwa
semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin rasional dalam
pengambilan berbagai keputusan. Peningkatan tingkat pendidikan
akan menghasilkan tingkat kelahiran yang rendah karena pendidikan
akan mempengaruhi persepsi negatif terhadap nilai anak dan akan
menekan adanya keluarga besar. Orang tua dalam keluarga tentu saja
menginginkan agar anaknya berkualitas dengan harapan dikemudian
hari dapat melanjutkan cita-cita keluarga, berguna bagi masyarakat
dan negara. Untuk sampai pada cita-cita tersebut tentu saja tidak
mudah, dibutuhkan strategi dan metode yang baik. Apakah mungkin
menciptakan anak yang berkualitas di tengah waktu yang terbatas,
karena kesibukan bekerja, dan apakah mungkin menciptakan anak
berkualitas di tengah kondisi keuangan atau pendapatan yang
terbatas.
Dalam hubungan dengan pemakaian kontrasepsi pendidikan
akseptor dapat mempengaruhi dalam hal pemilihan jenis kontrasepsi
yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kelangsungan
pemakaiannya.
29

Penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang dimiliki


mempunyai pengaruh yang kuat pada perilaku reproduksi dan
penggunaan alat kontrasepsi. Berdasarkan SDKI 2002-2003,
pemakaian alat kontrasepsi meningkat sejalan dengan tingkat
pendidikan. Sebesar 45% wanita yang tidak sekolah menggunakan
cara kontrasepsi modern, sedangkan wanita berpendidikan menengah
atau lebih tinggi yang menggunakan cara kontrasepsi modern
sebanyak 58%. Jadi, secara umum semakin tinggi tingkat pendidikan
wanita, semakin besar kemungkinannya memakai alat/cara KB
modern (Radita Kusumaningrum, 2009).
d. Dukungan suami/istri
Peran atau partisipasi suami istri dalam Keluarga Berencana
(KB) antara lain menyangkut :
1) Pemakaian alat kontrasepsi
2) Tempat mendapatkan pelayanan
3) Lama pemakaian
4) Efek samping dari penggunaan kontrasepsi
5) Siapa yang harus menggunakan kontrasepsi
Dalam hal komunikasi, peran suami istri antara lain :
1) Suami memakai kontrasepsi
2) Istri memakai kontrasepsi tapi tidak dibicarakan dengan suami
3) Suami istri tidak memakai kontrasepsi, tapi dibicarakan antara
suami istri
4) Suami istri tidak memakai dan tidak dibicarakan antara suami
istri.
Partisipasi pria dalam kesehatan reproduksi adalah tanggung
jawab pria dalam kesehatan reproduksi terutama dalam pemeliharaan
kesehatan dan kelangsungan hidup ibu dan anak, serta berperilaku
seksual yang sehat dan aman bagi dirinya, istri, dan keluarganya.
Peningkatan partisipasi pria dalam KB dan kesehatan reproduksi
adalah langkah yang tepat dalam upaya mendorong kesetaraan
gender.
30

Dalam kurun waktu 30 tahun keberhasilan program KB masih


banyak didominasi oleh peran serta wanita dalam penggunaan alat
dan metode kontrasepsi. Pada tahun 2002 tercatat Tingkat Pemakaian
Kontrasepsi (CPR) adalah 60,3%. Kontribusi pria terhadap angka
tersebut hanya 1,3% saja yang terdiri dari kondom (0,9%) dan
vasektomi (0,4%). Ini berarti 59% pemakai kontrasepsi adalah
wanita.
Ada banyak faktor yang menyebabkan rendahnya peserta KB
pria antara lain:
1) Kondisi lingkungan sosial budaya, masyarakat dan keluarga
yang masih menganggap partisipasi pria belum atau tidak
penting dilakukan serta pandangan yang cenderung
menyerahkan tanggung jawab pelaksanaan KB dan kesehatan
reproduksi sepenuhnya kepada para wanita.
2) Pengetahuan, kesadaraan Pasangan Usia Subur (PUS) dan
keluarga dalam KB pria rendah.
3) Keterbatasan jangkauan (aksesibilitas) dan kualitas pelayanan
KB pria.
Meskipun dari dua metode KB pria telah tersedia berbagai
merek kondom dan telah dikembangkan beberapa teknik
vasektomi yang relatif lebih baik, namun seringkali menjadi
alasan utama yang dikemukakan dari berbagai pihak mengapa
kesertaan pria dalam KB rendah adalah terbatasnya metode atau
cara kontrasepsi yang tersedia.
4) Dukungan politis dan operasional masih rendah di semua
tingkatan.
Hal tersebut di atas membahas tentang partisipasi pria secara
langsung dalam ber-KB (sebagai peserta KB pria dengan
menggunakan salah satu cara atau metode pencegahan kehamilan)
namun ada pula partisipasi pria secara tidak langsung dalam ber-KB.
Partispasi pria secara tidak langsung salah satunya dengan cara
mendukung istri dalam ber-KB.
31

Apabila disepakati istri yang akan ber-KB, peranan suami


adalah memberikan dukungan dan kebebasan kepada istri untuk
menggunakan kontrasepsi atau cara/metode KB, adapun
dukungannya meliputi:
1) Memilih kontrasepsi yang cocok, yaitu kontrasepsi yang sesuai
dengan keinginan dan kondisi istrinya.
2) Membantu istrinya dalam menggunakan kontrasepsi secara
benar, seperti mengingatkan saat minum pil KB dan
mengingatkan istri untuk kontrol.
3) Membantu mencari pertolongan bila terjadi efek samping
maupun komplikasi dari pemakaian alat kontrasepsi.
4) Mengantar istri ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk kontrol
atau rujukan.
5) Mencari alternatif lain bila kontrasepsi yang digunakan saat ini
terbukti tidak memuaskan.
6) Membantu menghitung waktu subur, apabila menggunakan
metode pantang berkala.
7) Menggunakan kontrasepsi bila keadaan kesehatan istri tidak
memungkinkan.
(Radita Kusumaningrum, 2009)
32

B. KERANGKA TEORI
Kerangka teori dalam suatu penelitian merupakan uraian sistematis
tentang teori dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan variabel yang
diteliti (Sugiyono, 2009). Berdasarkan tinjauan pustaka, kemudian dikaitkan
dengan masalah penelitian maka kerangka penelitian sebagai berikut :

Predipocing Factor
- Pengetahuan
tentang alat
kontrasepsi

Reinforcing Factor
- Umur Pemakaian Pencegahan
- Jumlah keluarga MOW Kehamilan
yang diinginkan
- Status kesehatan

Enabling Factor
- Efektivitas MOW
- Efek samping
MOW

Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian


Lawrence Green (Notoatmodjo, 2010)
33

C. KERANGKA KONSEP
Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan
atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau antara
variabel yang satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti
(Notoadmojo, 2012).

Tingkat pengetahuan Pemakaian


tentang kontrasepsi MOW

Karakteristik
- Umur
- Paritas
- Tingkat Pendidikan
- Dukungan Suami/Istri

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan


Tentang Alat Kontrasepsi Dengan Pemakaian MOW Pada
Pasangan Usia Subur (PUS) di Puskesmas Bojong.

D. HIPOTESIS
Ada hubungan antara tingkat pengetahuan tentang alat kontrasepsi dengan
pemakaian MOW pada Pasangan Usia Subur (PUS) di Puskesmas Bojong.
34

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan adalah studi korelasi yang merupakan
penelitian atau penelaahan hubungan antara dua variabel pada suatu situasi
atau sekelompok subjek. Dalam penelitian ini menganalisis hubungan tingkat
pengetahuan tentang alat kontrasepsi dengan pemakaian MOW pada
pasangan usia subur (PUS) di Puskesmas Bojong.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross-sectional. Dalam
penelitian seksional silang atau potong silang, variabel sebab atau risiko dan
akibat atau kasus yang terjadi pada objek penelitian diukur atau dikumpulkan
secara simultan (dalam waktu yang bersamaan). Pengumpulan data untuk
jenis penelitian ini, baik untuk variabel risiko atau sebab (independent
variable) maupun variabel akibat (dependent variable) dilakukan secara
bersama-sama atau sekaligus.
(Notoatmodjo, 2012)

B. Prosedur Sampel
1. Populasi
Populasi merupakan seluruh subjek (manusia, binatang percobaan,
data laboratorium, dll) yang akan diteliti dan memenuhi karakteristik
yang ditentukan. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasangan
usia subur yang ada dalam pengkajian Puskesmas Bojong. Jumlah
pasangan usia subur yang menggunakan KB MOW pada tahun 2014
adalah 30 orang.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Jika
populasi kurang dari 100 lebih baik diambil semua, tetapi jika populasi
lebih 100 dapat diambil 10%-15% atau 20%-25% atau lebih (Arikunto,
35

2010). Teknik sampling yang digunakan adalah total sampling. Sampel


yang diambil adalah semua pasangan usia subur yang menggunakan KB
MOW yang berada di wilayah Puskesmas Bojong selama 2014 yaitu
sebanyak 30 responden.
a. Kriteria Inklusi
Merupakan persyaratan umum yang harus dipenuhi oleh subyek
agar dapat diikut sertakan ke dalam penelitian (Notoatmodjo, 2010).
1) Pasangan Usia Subur yang memeriksakan kesehatannya di
Puskesmas Bojong
2) Pasangan Usia Subur yang sehat jasmani dan rohani
3) Pasangan Usia Subur yang bersedia menjadi responden
b. Kriteria Eksklusi
Merupakan keadaan yang menyebabkan subyek yang memenuhi
kriteria inklusi tidak dapat diikut sertakan dalam penelitian
(Notoatmodjo, 2010).
1) Pasangan Usia Subur yang tidak memeriksakan kesehatannya di
Puskesmas Bojong
2) Pasangan Usia Subur yang dalam keadaan sakit
3) Pasangan Usia Subur yang tidak bersedia menjadi responden

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian


Agar variabel dapat diukur dengan menggunakan instrumen atau alat
ukur, maka variabel harus diberi batasan atau definisi yang operasional atau
“definisi operasional variabel”. Definisi operasional ini penting dan
diperlukan agar pengukuran variabel atau pengumpulan data (variabel) itu
konsisten antara sumber data (responden) yang satu dengan responden yang
lain (Notoatmodjo, 2012)
36

Tabel 3.1 Definisi Operasional


Alat
Variabel Definisi Operasional Hasil Ukur Skala
Ukur
Tingkat Kemampuan/pemahaman Kuesioner Kategori: Ordinal
pengetahuan responden dalam a. Baik (76-100%)
ibu tentang alat menjawab pertanyaan b. Cukup (56-75%)
kontrassepsi tentang :
c. Kurang (>55%)
MOW a. Definisi
b. Mekanisme kerja
c. Manfaat
d. Keterbatasan
e. Keuntungan
f. Indikasi
g. Kontra Indikasi
h. Waktu pelaksanaan
i. Komplikasi
j. Instruksi tentang
pelaksanaan MOW
k. Informasi umu tentang
pelaksanaan MOW
Pemakaian KB Responden yang Kuesioner Kategori : Nominal
MOW pada menggunakan alat a. Memakai MOW
pasangan usia kontrasepsi MOW. b. Tidak memakai
subur (PUS) MOW
Kriteria : Jumlah usia responden saat Kuesioner Kategori : Interval
a. Umur melakukan MOW. a. < 20 th
b. 20 th – 30 th
c. > 30 th
b. Paritas Jumlah anak yang Kuesioner Kategori : Nominal
dilahirkan. a. Primi
b. Multi
c. Grabde

c. Tingkat Jenjang pendidikan formal Kuesioner Kategori : Ordinal


pendidikan yang ditempuh oleh a. SD
responden. b. SMP
c. SMA
d. Dukungan Memberikan dukungan dan Kuesioner Kategori : Nominal
suami/istri kebebasan kepada istri a. Mendukung
untuk menggunakan b. Tidak
kontrasepsi atau mendukung
cara/metode KB.
37

D. Metode Pengumpulan Data


1. Data Primer
Pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menggunakan
kuesioner. Peneliti mengumpulkan responden pada tempat yang sudah
ditentukan lalu peneliti meminta responden untuk mengisi lembar
persetujuan untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Peneliti
membagikan kuesioner tingkat pengetahuan tentang alat kontrasepsi untuk
di isi sesuai dengan pengetahuan ibu.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diambil dari PLKB Bojong yaitu
jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) yang menggunakan alat kontrasepsi
pada tahun 2014 adalah 30 orang.

E. Uji Validitas dan Reliabilitas


1. Uji Validitas
Validitas adalah suatu indeks yang menunjukan alat ukur itu benar-
benar mengukur apa yang diukur (Notoatmodjo, 2012).
Untuk mengetahui apakah kuesioner yang kita susun tersebut
mampu mengukur apa yang hendak kita ukur, maka perlu diuji dengan
uji korelasi antara skors (nilai) tiap-tiap item (pertanyaan) dengan skors
total kuesioner tersebut. Bila semua pertanyaan itu mempunyai korelasi
yang bermakna (construct validity). Apabila kuesioner tersebut telah
memiliki validitas konstruk, berarti semua item (pertanyaan) yang ada
didalam kuesioner itu mengukur konsep yang kita ukur.
Uji Validitas dilakukan di Puskesmas Danasari Kecamatan Bojong
sebanyak 10 responden.
Teknik korelasi yang dipakai adalah teknik korelasi “product moment”
yang rumusnya sebagai berikut :
38

X
∑¿
¿
2
n . ∑ X −¿
¿
Y
∑¿
¿
n .∑ Y 2−¿
¿
√¿
n ( ∑ XY ) −( ∑ X ) . ( ∑Y )
r= ¿

Keterangan :
r = koefisien korelasi
∑X = jumlah skor item
∑Y = jumlah skor total (item)
n = jumlah responden
Hasil perhitungan tiap-tiap item kemudian dibandingkan dengan
tabel nilai product moment. (p value < 0,05) dan n=10
maka r tabel = 0,62. Sebuah item dikatakan valid jika r
hitung > r tabel, tetapi jika r hitung < r tabel maka butir
soal tersebut tidak valid sehingga diputuskan untuk tidak
digunakan.

2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas ialah indeks yang menunjukan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti
menunjukan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten atau tetap
asas (ajeg) bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala
yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama.
Demikian juga kuesioner sebagai alat ukur untuk gejala-gejala sosial
(nonspesifik) harus mempunyai reliabilitas yang tinggi. Untuk itu
sebelum digunakan untuk penelitian harus dites (diuji coba) sekurang-
kurangnya dua kali. Uji coba tersebut kemudian diuji dengan tes
39

menggunakan rumus korelasi product moment, seperti tersebut tadi.


Perlu dicatat, bahwa perhitungan reliabilitas harus dilakukan hanya pada
pertanyaan-pertanyaan yang sudah memliki validitas. Dengan demikian
harus menghitung validitas terlebih dahulu sebelum menghitung
reliabilitas.

Berikut rumus Cronbach alpha :

r= [ K
( K−1)][
1−
∑σ b2
σ t2 ]
Keterangan :
r = koefisien reliabilitas instrumen (cronbach alpha)
k = banyaknya butir pertanyaan
∑ σ b2 = total varians butir
∑ σ t 2 = total varians

F. Teknik Pengolahan Data


Menurut Notoatmodjo (2010) tahapan pengolahan data dalam penelitian
meliputi :
1. Editing (Pengelompokan Data)
Yaitu meneliti apakah isian dalam lembar kuesioner sudah lengkap
dan diisi semua, editing dilakukan ditempat pengumpulan data, sehingga
jika ada kekurangan data dapat segera dilengkapi dan dikonfirmasikan
pada responden. Dalam penelitian ini semua responden memberikan
jawaban yang lengkap dan semua kuesioner terisi semua.
2. Coding (Pemberian Kode)
40

Yaitu mengklasifikasikan jawaban-jawaban yang ada menurut


macamnya. Klasifikasi dilakukan dengan jalan menandai masing-masing
jawaban dengan kode berupa angka kemudian dimasukan dalam
lembaran tabel kerja guna mempermudah pembacaan.
3. Tabulating
Yaitu langkah memasukan data-data hasil penelitian kedalam tabel
sesuai kriteria yang telah ditentukan. Dalam penelitian ini mencakup
umur, pendidikan, pekerjaan, komunikasi, pengetahuan orang tua tentang
toilet training dan kemampuan anak dalam melakukan toilet training.
4. Entry Data
Yaitu proses memasukan data kedalam kategori tertentu untuk dilakukan
analisis data terkait komunikasi, pengetahuan orangtua tentang toilet
training, dan kemampuan anak dalam melakukan toilet training dengan
menggunakan program komputer.
5. Cleaning
Yaitu mengecek kembali data yang sudah di entry apakah ada kesalahan
atau tidak saat memasukan data ke komputer.

G. Teknik Analisis Data


1. Analisis Data
Analisis data dilakukan untuk menjawab hipotesis penelitian. Untuk
alasan tersebut dipergunakan uji statistik yang cocok dengan variabel
penelitian (Notoatmodjo, 2010). Variabel-variabel tersebut akan
dilakukan uji dengan tabel distribusi dengan rumus sebagai berikut:
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan melalui:
a. Analisa Univariat
Analisa univariat disajikan untuk mendeskripsikan variabel
bebas dan variabel terikat dengan menggunakan tabel distribusi yang
konfirmasinya dalam bentuk persentase (Notoatmodjo, 2010).
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau
mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Dimana
setelah semua data diolah masing-masing variabel dimasukkan
dalam tabel distribusi frekuensi. Yang meliputi data: pengetahuan
41

keluarga tentang gangguan jiwa. Dengan menggunakan rumus


sebagai berikut :

P=
[ F
N
×100 ]
Keterangan :
P : besar persentase jawaban
F : frekuensi
N : jumlah soal

b. Analisa Bivariat
Analisa yang dilakukan terhadap dua variabel yang berhubungan
atau berkolerasi. Teknik analisa bivariat digunakan untuk
mengetahui hubungan dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel
terikat. Pengujian ini digunakan untuk menguji dua variabel apakah
ada hubungan atau tidak, dengan jenis data keduanya adalah sama
yaitu nominal atau ordinal dan berdistribusi normal. Rumus sebagai
berikut:
Rumus Chi-square :

X 2=∑ n−e 2
k ( )
Keterangan :
X2 = Chi-square
O = Frekuensi yang diobservasi
e = Frekunsi yang diharapkan
dk = (jumlah baris-1) . (jumlah kolom-1)
dk = (B-1) . (K-1)
= (3-1) . (2-1)
=2
Dengan kriteria sebagai berikut:
42

2 2
a. H0 diterima jika X hitung ≤ X table untuk signifikasi
5% dk=2 dengan 0,05 atau p value > 0,05 yang berarti tidak ada
hubungan antara tingkat pengetahuan ibu tentang imunisasi
dasar lengkap dengan kepatuhan pemberian imunisasi pada
balita.
2 2
b. H0 ditolak jika X hitung ≥ X tabel untuk signifikasi 5%
dk=2 dengan 0,05 atau p value > 0,05 yang berarti ada hubungan
antara tingkat pengetahuan ibu tentang imunisasi dasar lengkap
dengan kepatuhan pemberian imunisasi pada balita.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, 2010. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.

BKKBN. 2008. Profil Program KBN Jawa Tengah. Semarang.

_______. (2011). Sterilisasi Kurang Mendongkrak Penurunan Fertilitas. Jakarta.

_______. 2013. Profil Kependudukan Dan Pembangunan Di Indonesia. Jakarta.

Kusumaningrum, Radita. (2009). Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan


Jenis Kontrasepsi Yang Digunakan Pada Pasangan Usia Subur. Semarang:
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Muniroh, et.al. (2014). Dukungan Sosial Suami Terhadap Istri untuk


Menggunakan Alat Kontrasepsi Medis Operasi Wanita (MOW) (Studi
Kualitatif pada Pasangan Usia Subur Unmet Need di Kecamatan Puger
Kabupaten Jember). e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol. 2 (no. 1) Januari
2014

Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka


Cipta.

___________________. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka


Cipta.

Pinem, Saroha. 2009. Kesehatan Reproduksi & Kontrasepsi. Jakarta : Trans Info
Media.
43

Sarwono, Prawirohardjo. 2008. Ilmu Kandungan. Jakarta : PT Bina Pustaka.

____________________. 2011. Ilmu Kandungan. Jakarta : PT Bina Pustaka.

Sujiyatini. 2011. Panduan Lengkap Pelayanan KB Terkini. Jogjakarta : Nuha


Medika.

Varney, Helen. 2006. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Ed.4. Vol.1. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai