Anda di halaman 1dari 13

[9] Dawam Rahardjo, Op.cit., hlm.

39
[10] http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/49790779-3745-495A-B097-
156B917448CB/792/DJBberdasarkanOktroi1sd8.pdf (Diakses pada 1 April 2011, pukul 20:00)
[11] Dawam Rahardjo, Op. Cit., hlm. 40-43
[12] Dawam Rahardjo, dkk. Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa. Jakarta: LP3ES,
1995, hlm. 17
[13] Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 25.
[14] Dawam Rahardjo, dkk. Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa. Jakarta: LP3ES,
1995, hlm. 58
[15] Tim Penulis, Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia
dalam Setengah Abad Terakhir, Kanisius, Yogyakarta, 2005, hlm.
95.
[16]Dawam Rahardjo, dkk. Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa. Jakarta: LP3ES,
1995, hlm. 60
[17] Ibid.hlm 60
[18] Dawam Rahardjo, dkk. Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa. Jakarta: LP3ES,
1995, hlm. 82
Perkembangan Javasche Bank

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada zaman Kolonial tidak ada sebuah bank milik pemerintah
(bank gementee) yang ada hanyalah bank partikulir milik pemerintah
swasta. Diantaranya adalah De Bank van Leening didirikan pada
tahun 1746 yang kemudian menjadi De Bank Courant en Bank van
Leening pada tahun 1752. Bank ini merupakan bank pertama yang
lahir di Nusantara dan merupakan cikal bakal dari perbankan di
Indonesia.
De Javasche Bank didirikan pada tanggal 24 Januari 1828.
Javasche Bank merupakan bank pertama yang dimiliki oleh
pemerintah. Awalnya bank ini merupakan bank sirkulasi yang
didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk menertibkan dan
pengaturan sistem pembayaran di Hindia Belanda. Selanjutnya De
Javasche Bank diberi posisi monopoli dalam pengeluaran uang kertas
bank ketika menjalankan fungsinya sebagai bank sirkulasi. Selain
itu De Javasche Bank juga bergerak di bidang komersial seperti
menerima deposito, memberikan kredit, menerima wesel serta
melakukan jual beli emas dan perak batangan.

BAB II
KELAHIRAN BANK INDONESIA

A. De Javasche Bank Sebagai Bank Sirkulasi Pada Masa Hindia


Belanda
Adanya kesulitan keuangan di Hindia Belanda memerlukan
penertiban dan pengaturan sistem pembayaran di Hindia Belanda. Hal
ini menimbulkan munculnya gagasan untuk mendirikan bank sirkulasi
untuk Hindia Belanda. Tepatnya menjelang keberangkatan Komisaris
Jenderal Hindia Belanda Mr. C. T. Elout ke Hindia Belanda, pada
saat upacara penyerahan kembali Hindia Belanda dari Inggris pada
tahun 1816. Demikian juga di Batavia, Hindia Belanda, muncul
desakan kuat dari kalangan pengusaha agar segera didirikan lembaga
bank untuk memenuhi kepentingan bisnis mereka. Terutama untuk
fasilitas pendanaan dan perdagangan luar negeri.1
De Javasche Bank berdiri atas perintah Raja Willem I melalui
Surat Perintahnya tanggal 29 Desember 1826 sebagai tindak lanjut
dari gagasan 1816. Konsepsinya ditangani oleh J. C. Baud, Direktur
Daerah Jajahan dan Schimmelpenninck, Direktur Urusan Hindia

1 Berdasarkan http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/49790779-3745-495A-B097-156B917448CB/
792/DE JAVASCHE BANKberdasarkanOctrooi1sd8.pdf
Belanda dari Nederlandsche Handel-Mij. Pembentukan De Javasche
Bank itu dilakukan oleh Komisaris Jenderal Hindia Belanda, Leonard
Pierre Joseph Burgraaf Du Bus de Gisignies. Pada tanggal 11
Desember 1827 konsepsioctrooi itu diundangkan oleh Du Bus. Di
tangan Du Bus, De Javasche Bank berdiri pada tanggal 24 Januari
1828.2
Berdasarkan Octrooi en Reglement voor De Javasche Bank tahun
1827 yang kemudian menjadi octrooi pertama yang berlaku sejak 1
Januari 1828 sampai dengan 31 Desember 1837, De Javasche Bank
diberi posisi monopoli dalam pengeluaran uang kertas bank ketika
menjalankan fungsinya sebagai bank sirkulasi. Tapi De Javasche
Bank juga bergerak di bidang komersial dengan menerima deposito,
memberikan kredit, menerima wesel serta melakukan jual beli emas
dan perak batangan.3
Dalam periode 1828-1870, Bank dipimpin oleh sebuah Dewan yang
terdiri dari Presiden, satu Sekretaris, dan tiga Direktur yang
secara bersama-sama menjadi Direksi. Presiden dan Sekretaris
tersebut diangkat oleh Gubernur Jenderal setelah mendapatkan
persetujuan Raja. Para Direktur yang dipilih dalam Rapat Umum
Pemegang Saham tahunan, pada mulanya masih diperbolehkan melakukan
pekerjaan lain yang mereka sukai. Situasi ini terus berlangsung
hingga tahun 1870. Berdasarkan pasal 19 octrooi tahun 1870,
manajemen harus dipegang oleh Presiden dan dua Direktur yang
permanen dan digaji, salah seorang diantaranya bisa menjadi
sekretaris. Para fungsionaris itu masih harus diangkat oleh
Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang dipilih dari daftar nominasi
yang diajukan oleh rapat gabungan antara Dewan Direktur dan Dewan
Pengawas. Presiden atau Ketua Dewan Direktur memegang jabatan
selama 5 tahun dan para Direktur selama 3 tahun dengan syarat
mereka haruslah warga negara Belanda, memiliki saham bank dan
bertempat tinggal di Batavia.4
Fungsi dan peranan De Javasche Bank sebagai bank sirkulasi
berkembang secara gradual berdasarkan octrooi yang dikeluarkan
dari waktu ke waktu. Di Hindia Belanda, pada awalnya De Javasche
Bank pada mulanya dilaksanakan oleh orang-orang yang tidak tahu
soal-soal perbankan dan karena itu mereka tidak tahu pasti tugas
apa yang harus dilaksanakannya. Dihadapkan pada situasi yang sama
sekali baru dan tanpa pengalaman sebelumnya, manajemen Bank
sebenarnya masih meraba-raba. Hal ini dikatakan secara terbuka
oleh Presiden Bank yang pertama Mr. C. de Haan dalam Rapat Umum
Pemegang Saham Pertama.

2 Dawam Rahardjo, dkk. Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa. Jakarta: LP3ES,
1995, hlm. 29
3 Ibid.
4 Ibid., hlm 30
Pada masa octrooi-nya yang pertama (1828-1837), De Javasche
Bank menghadapi masalah awal pelaksanaan Sistem Tanam Paksa yang
secara formal baru diberhentikan pada tahun 1870. Perang
Diponegoro (1825-1830) membutuhkan biaya yang sangat besar juga
ikut mempersulit pelaksanaan Sistem Tanam Paksa dengan tekanan-
tekanan pada keuangan pemerintah. Tapi pada waktu itu De Javasche
Bank belum terkena kewajiban-kewajiban tertentu dalam membantu
keuangan pemerintah. Dengan modal sebesar f 2 juta, De Javasche
Bank dapat berkembang dengan baik, karena uang kertas yang
diterbitkannya mendapat kepercayaan dari masyarakat. Tetapi dalam
periode octrooi pertamanya itu keuntungan bank masih sangat kecil,
sekalipun tingkat keuntungannya meningkat terus.
Pada masa octrooi-nya yang kedua (1838-1848), sistem tanam
paksa memberikan persoalan lain kepada bank, yaitu pada masa ini
semua komoditas pertanian untuk ekspor yang terpenting adalah
monopoli pemerintah, maka para pedagang swasta tak bisa menguasai
hasil ekspornya. Karena itu, timbul kecenderungan umum para
pedagang untuk mengkonversikan uang kertas bank mereka menjadi
emas dan perak untuk pembayaran impor. Itulah sebabnya emas dan
perak tidak kembali lagi ke dalam sirkulasi. Pada masa
akhir octrooi itu, bank mengalami kesulitan dalam mempertahankan
cadangan bank sehingga rasio cadangan emas dan perak terhadap uang
beredar merosot tajam sampai ke titik terendah. Akibatnya, bank
harus menolak konversi uang ke dalam perak dari nasabahnya, karena
cadangan emas dan peraknya hanya f 6.715 saja.5
Melalui surat Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 5 tanggal
3 Maret 1848, octrooi kedua diperpanjang 10 tahun yang berlaku
mulai 1 April 1848 sampai dengan 31 Maret 1858.
Pada octrooi ketiga, bentuk hukum, modal dan tempat kedudukan De
Javasche Bank tidak mengalami perubahan. Kantor cabang masih tetap
terbatas di Semarang dan Surabaya, tidak ada pembukaan kantor
cabang baru. Jenis usaha De Javasche Bank mengalami tambahan yaitu
dalam penerbitan surat perintah membayar kepada Kantor Cabang dan
sebaliknya serta menerima tugas-tugas dari Pemerintah. Dalam
peredaran uang kertas tidak mengalami perubahan, hanya dalam pasal
27 ditetapkan bahwa uang kertas bank dapat ditukar dengan Recepis
sebagaimana telah diumumkan pada octrooi kedua 4 Februari 1846.
Selain itu pada 1 Mei 1854 diberlakukan UU Mata Uang Hindia
Belanda yang menyatakan bahwa uang Belanda 1847 juga berlaku di
Hindia Belanda. UU ini dimuat dalam Staatsblad No. 75 dan
diumumkan pada de Javasche Courant No. 68 tanggal 26 Agustus
1854. Octrooi ketiga menetapkan jumlah maksimum uang yang
diedarkan dari waktu ke waktu ditetapkan oleh Gubernur Jenderal
dan diumumkam di De Javasche Courant untuk memberitahukan jumlah
uang beredar wajib setiap bulan.Octrooi ketiga sebenarnya telah

5 Ibid., hlm. 32-33


berakhir pada 31 Maret 1858 namun berdasarkan Surat Gubernur
Jenderal Hindia Belanda No. 5 tanggal 28 Maret 1858, De Javasche
Bank diberikan octrooisementara yang berlaku selama dua tahun
mulai 1 April 1858 sampai dengan 31 Maret 1860 dengan beberapa
perubahan, seperti, semua pecahan uang kertas-bank dapat ditukar
dengan alat pembayaran yang sah dan kata recepis
dalam octrooiketiga dihapus. Hak suara pemegang saham yang semula
4 saham satu suara berubah menjadi 2 saham satu suara, 5 saham dua
suara, 9 saham tiga suara, 14 saham lima suara dan 20 saham enam
suara.6
Dalam octrooi ke empat tahun 1860-1870, masalah yang dihadapi
oleh bank mulai menghilang. Pada tahun 1868 keluar peraturan
pemerintah yang menetapkan De Javasche Bank sebagai kasir
pemerintah Hindia Belanda tanpa menerima imbalan. Pada masa ini,
De Javasche Bank memasuki babak baru dan fungsinya sebagai bank
sirkulasi mengalami perkembangan. Untuk pertama kali bank diberi
kewajiban untuk memberikan uang muka dalam jangka pendek.
Kewajiban ini diteruskan dalam octrooi-octrooiselanjutnya.
Pada tahun 1868, pemerintah melakukan amandemen
terhadapoctrooi ke empat (1860-1870) yang memulai memperkenalkan
sistem jaminan logam mulia proporsional. Peraturan baru ini member
kesempatan yang lebih besar bagi bank untuk mengembangkan kegiatan
komersialnya. Sementara itu sejak dasawarsa 1860-an, berbagai
perusahaan asing mulai menanamkan modalnya ke Indonesia, menjelang
politik liberal yang baru akan dilaksanakan pada tahun 1870,
bertepatan dengan mulainya era baru dalam perekonomian Hindia
Belanda, telah dibentuk dan dilantik Raad van
Commissarissen (Dewan Pengawas) pada De Javasche Bank. Selain itu,
seorang Komisaris Pemerintah (Gouvernement’s Commissarissen) yang
mewakili pemerintah dalam bank, ditugaskan untuk ikut mengawasi
operasi bank. Sebagai lembaga bank komersial, De Javasche Bank
harus memasuki medan persaingan dengan bank-bank komersial
lainnya, dengan hak-hak khususnya untuk mempengaruhi situasi
perkreditan. Dalam situasi baru itu, bank melakukan reorganisasi,
berdasarkan octrooi keempatnya. Dalam periodeoctrooi ini, De
Javasche Bank diizinkan membuka kantor cabang di luar Pulau Jawa.7
Octrooi V berlaku selama 10 tahun, sejak 1 April 1870 sampai
31 Maret 1880 lewat SK Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 34
tanggal 6 Maret 1870 tanpa ada perubahan bentuk hukum, tempat
kedudukan dan jenis usaha bank. Dengan SK Gubernur Jenderal Hindia
Belanda 25 Maret 1880, octrooidiperpanjang 1 tahun, yaitu sampai
dengan 31 Maret 1881. Pasal satu octrooi kelima menegaskan bahwa

6 http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/49790779-3745-495A-B097-156B917448CB/792/DE
JAVASCHE BANKberdasarkanOktroi1sd8.pdf
7 Dawam Rahardjo, dkk. Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa. Jakarta: LP3ES,
1995, hlm. 36-37
di Hindia Belanda tidak boleh didirikan suatu bank sirkulasi dan
juga dilarang beredar uang kertas bank dari bank sentral luar
negeri, kecuali dengan SK Gubernur Hindia Belanda. Modal bank
ditingkatkan menjadi ƒ 6.000.000,-yang terbagi atas sahampenuh ƒ
500 perlembar dan saham paroan ƒ 250 perlembar. Sedangkan
jenis pecahan uang-kertas-bank yang diedarkan ditambah dengan
pecahan ƒ 5,- Dalam octrooi ini terjadi perubahan struktur
kepengurusan.
1. De Javasche Bank dipimpin oleh Direksi yang terdiri dari
seorang Presiden dibantu dua orang Direktur, yang salah satunya
menjadi sekretaris.
2. Presiden D Javasche Bank pada awal periode ini adalah Mr.
F Alting Mees dibantu DN Versteegh sebagai Direktur Sekretaris dan
D Schuurman sebagai Direktur.Mr. F Alting hanya menjabat selama 3
tahun, dan kemudian diganti oleh Mr. N.P. van den Berg.
3. Dibentuk Dewan Komisaris yang terdiri dari 5 orang yang
dipilih pemegang saham untuk masa jabatan 5 tahun.
4. Adapun untuk pengawasan Pemerintah terhadap tugas bank,
diangkat seorang Komisaris Pemerintah yang diangkat dan
diberhentikan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Menjelang
berakhirnya Octrooi V, tanggal 1 April 1879 dibuka Kantor Cabang
Yogyakarta dengan SK Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 7
tanggal 20 Desember 1878. Pemimpin cabang pertamanya adalah A.F.
van Suchtelen yang sebelumnya menjabat sebagai Pimpinan Cabang
Solo. Alasan pendirian Kantor Cabang tersebut adalah desakan dari
berbagai pihak, termasuk Firma Dorrepaal & Co Semarang, karena
firma tersebut mempunyai cabang usaha di Yogyakarta. Terlebih
lagi Yogyakarta pada waktu itu menunjukkan perkembangan ekonomi
yang cerah. Hal tersebut tampak dari nilai transfer masuk yang
disalurkan melalui Cabang Solo yang mencapai ƒ 3,5 juta. Sedang
produksi gula pada waktu itu mencapai 2.580 ton per tahun.8
Dalam octrooi keenam tahun 1881-1891, bank diberi kekuasaan
untuk memperdagangkan wesel luar negeri. Pembukaan kantor di
Amsterdam pada tahun 1891 sangat membantu bank dalam memelihara
nilai gulden Hindia Belanda dengan melakukan penjualan dan
pembelian wesel-wesel luar negeri.
Menghadapi persaingan domestiknya dengan bank-bank komersial,
bank mempunyai kedudukan yang menguntungkan, bahkan dapat dianggap
memberikan persaingan yang kurang wajar terhadap bank-bank
komersial lainnya, dengan hak mencetak uangnya yang dapat
mempengaruhi situasi perkreditan secara efektif. Tapi di sisi
lain, bank juga mempunyai kewajiban untuk menjaga kestabilan
moneter. Walaupun dapat bersaing dengan bank-bank lain dengan
memberikan pinjaman dengan tingkat bunga rendah, bank mengambil

8 http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/49790779-3745-495A-B097-156B917448CB/792/
DJBberdasarkanOktroi1sd8.pdf
kebijaksanaan kredit selektif dan mengarahkan pinjamannya kepada
perusahaan-perusahaan besar Eropa di bidang ekspor dan para
pedagang besar Cina saja. Dengan kebijaksanaan ini, dari segi
kuantitatif, persaingan bank dengan bank-bank komersial lainnya
tidak menjadi terlalu sengit.[9]
Masa berlaku octrooi ketujuh lebih lama lima tahun
darioctrooi-octrooi sebelumnya, yaitu menjadi 15 tahun. Sesuai
dengan Surat Keputusan Ratu Wilhelmina No. 6 tanggal 6 Januari
1891, Octrooi VII berlaku mulai 1 April 1891 sampai dengan
31 Maret 1906. Bentuk hukum, modal kerja, dan tempat usaha tidak
berubah. Pada pasal 5 octrooi ini, ditentukan bahwa bank
diperkenankan memiliki Kantor Perwakilan di Amsterdam yang dibuka
pada 15 Mei 1891. selain itu di Batavia didirikan Kantor Filial
Weltervreden pada 6 Mei 1901 yang hanya bertahan selama satu
setengah tahun karena ditutup pada 31 Januari 1902. Selama
periode Octrooi VII terjadi dua kali pergantian Presiden. Presiden
G.B. Zeverijn yang memimpin sejak 1889 (periode Octrooi VI)
digantikan D. Groeneveld pada 1893 yang selanjutnya digantikan
oleh J. Reysenbach pada tahun 1898. Presiden yang terakhir ini
tetap memangku jabatanPresiden DJB hingga berakhirnya Octrooi VII.
[10]
Pada octrooi ke delapan tahun 1906-1921, De Javasche Bank
diperbolehkan untuk membuka bank koresponden di luar Hindia
Belanda sehingga bank dapat menaruh depositonya sebagai cadangan
dalam mata uang asing di luar negeri. Pada waktu itu berlaku
sistem pertukaran berdasarkan emas (gold-exchange system). Nilai
gulden dalam nilai tukar internasional dipertahankan melalui
negosiasi wesel-wesel luar negeri.
Menjelang berakhirnya octrooi kedelapan dibuat undang-undang
De Javasche Bankwet pada tanggal 31 Maret 1922, yang kemudian
diubah dan ditambah dengan Undang-Undang tanggal 30 April 1927 dan
Undang-Undang tanggal 13 November 1930, yang seterusnya berlaku
bagi De Javasche Bank hingga berlakunya Undang-Undang Pokok Bank
Indonesia no, 11 tahun 1953. Dengan undang-undang itu kedudukan De
Javasche Bank sebagai satu-satunya bank sirkulasi di Hindia
Belanda menjadi lebih kokoh.
Meskipun demikian, ada tiga larangan terhadap De Javasche
Bank, yaitu melakukan penyertaan modal kepada perusahaan-
perusahaan, memberikan kredit tanpa agunan yang mencukupi serta
menjual dan membeli saham-sahamnya sendiri. Di samping itu, De
Javasche Bankwet 1922 memberikan tugas-tugas tertentu kepada bank,
antara lain memberikan pelayanan tanpa memungut biaya kepada
pemerintah. Sebagai Pemegang Kas Negara, bank bertindak sebagai
perantara ketika pemerintah ingin menerbitkan uang kertas atau
menerbitkan obligasi perbendaharaan negara.
Berdasarkan undang-undang tahun 1922 itu, dapat disimpulkan
fungsi dan tugas De Javasche bank sebagai berikut:
1. Mengeluarkan uang kertas bank dan dengan begitu dapat
menawarkan kepada masyarakat pelayanan dan pengiriman uang,
pembukaan rekening giro, menerima deposito berjangka, dan
semacamnya;
2. Melakukan negosiasi dalam wesel luar negeri, memperdagangkan
logam mulia dan alat-alat pembayaran luar negeri;
3. Memberikan kredit kepada perusahaan dan perorangan, melakukan
diskonto terhadap wesel-wesel luar negeri, memberikan pinjaman
dna pemberian uang muka dengan jaminan surat-surat berharga
atau barang-barang dagangan;
4. Bertindak sebagai kasir pemerintah dan memberikan uang muka
jangka pendek kepada pemerintah Hindia Belanda; dan
5. Menyelenggarakan kliring di antara bank-bank.
Dalam perjalanan sejarahnya, De Javasche Bank dapat disebut
sebagai bank komersial yang beroperasi berdasarkan octrooi yang
diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda secara periodik. Dalam De
Javasche Bankwet tahun 1922 itu ditegaskan kembali peranan De
Javasche Bank sebagai bank sirkulasi tetapi dengan pengawasan yang
lebih ketat dari pemerintah. Kebijaksanaan moneter juga harus
mendapatkan pengarahan dari pemerintah di negeri Belanda. Meskipun
demikian, dalam batas-batas tertentu sebenarnya bank telah
bertindak dalam fungsi-fungsi yang hanya dapat dilakukan oleh
sebuah bank sentral, sekalipun tidak berkedudukan resmi sebagai
bank sentral. Dengan kata lain, De Javasche Bank dapat disebut
sebagai bank perkreditan dengan hak menerbitkan uang kertas (note-
issuing credit bank).[11]

B. Nasionalisasi De Javasche Bank Menjadi Bank Indonesia


Bank sentral dalam pengertian umum adalah sebuah lembaga
yang diserahi tugas untuk mengontrol system keuangan dan
perbankan. Bank sentral umumnya diberi monopoli untuk mengeluarkan
uang dan wewenang prerogatif untuk mengatur jumlah uang beredar.
Bank sentral juga diberi fungsi dalam wewenang untuk membina dan
mengawasi kegiatan perbankan sebagai lembaga perantara keuangan.
Dalam menjalankan fungsinya, bank sentral mempunyai peran khusus
dalam system moneter sebagai sumber peminjaman bagi bank-bank dan
sumber terakhir bagi bank-bank untuk mendapatkan pinjaman ketika
bank yang bersangkutan sedang mengalami kesulitan likuidasi.[12] Di
banyak Negara suatu bank secara gradual menduduki posisi sentral
diantara lembaga keuangan yang ada dan akhirnya menjadi bank
sentral, karena tugas khusus dan utamanya adalah menerbitkan uang
kertas bank dan bertindak sebagai agen dan banker. Pada mulanya
bank-bank itu tidak disebut sebagai bank sentral, melainkan
sebagai “bank sirkulasi” atau “bank nasional”. Dalam perkembangan
selanjutnya bank sirkulasi tersebut menjalankan fungsi-fungsi lain
serta diberi kewajiban dan kekuasaan tertentu sehingga akhirnya
bertindak sebagai bank sentral.
Pada zaman Hindia Belanda, De Javasche Bank yang berfungsi
sebagai bank sirkulasi telah ditetapkan sebagai bank sentral.
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, Dewan
Menteri Republik Indonesia pada tanggal 19 September 1945 yang
dipimpin oleh Presiden Soekarno telah mengambil keputusan untuk
mendirikan sebuah Bank Negara Indonesia. Karena untuk mendirikan
sebuah bank Negara diperlukan undang-undang yang membutuhkan waktu
lama, maka dibentuk Jajasan Poesat Bank Indonesia pada 9 Oktober
1945. Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No.
2 Prp. Tahun 1946 tanggal 5 Juli 1946 yang membentuk dan
menetapkan Bank Negara Indonesia sebagai bank sirkulasi dan bank
sentral milik Negara, tetapi baru dibentuk pada tanggal 17 Agustus
1946 di Yogyakarta sebagai penjelmaan dari Jajasan Poesat Bank
Indonesia.
Setelah berdirinya pemerintah Republik Indonesia uang yang
dinyatakan berlaku adalah uang kertas yang diterbitkan oleh De
Javasche Bank, uang yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda dan
uang pemerintah Bala Tentara Dai Nippon di Jawa. Selain itu ada
juga uang logam terdiri dari emas, perak, nikel, dan uang tembaga.
Menghadapi situasi tersebut, maka pada tanggal 30 Oktober 1946
pemerintah Negara Republik Indonesia mengeluarkan uang kertas baru
yang disebut Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Namun beredarnya
uang ORI menimbulkan kebingungan sekaligus ketakutan diantara
penduduk terhadap pemerintah NICA.
Namun kenyataannya, fungsi sirkulasi pada Bank Negara
Indonesia tidak berjalan, bahkan lebih banyak bergerak ke
perkreditan nasional dan bertindak sebagai bank umum. Berdasarkan
keputusan KMB di Den Haag maka yang ditugasi sebagai bank sentral
adalah De Javasche Bank sedangkan Bank Negara Indonesia ditetapkan
sebagai bank pembangunan. Alasan penugasan Bank Sentral kepada De
Javasche Bank yang tersirat dalam dokumen adalah karena utang
Pemerintah Indonesia yang mencapai f 4.418,5 juta. Dengan itu
Belanda bisa menjaga kepentingan pembayaran utang Republik
Indonesia kepadanya. Keputusan KMB ini akhirnya merupakan “duri
dalam daging” bagi Pemerintah Indonesia. Sekalipun bangsa kita
telah meraih kemerdekaan politik, namun dengan kasus De Javasche
itu, di bidang ekonomi dan moneter terasa belum sepenuhnya bebas,
antara lain karena bank sirkulasi itu sangat bergantung pada
Pemerintah Belanda. Dengan begitu ia dapat menjadi alat campur
tangan pemerintah Belanda dalam perekonomian Indonesia.[13]
Dengan melihat dokumen KMB sebenarnya penetapan De Javasche
Bank sebagai bank sirkulasi hanya bersifat sementara. Selain
tujuannya berkaitan dengan utang Indonesia terhadap Belanda, juga
menunggu undang-undang yang mendasari pembentukan sebuah Bank
Sentral. Mengingat De Javasche Bank masih milik swasta dan masih
di bawah manajemen orang-orang Belanda, maka timbul gagasan untuk
menasionalisasi dan membuat undang-undang tentang bank sentral.
Setelah Pengakuan Kedaulatan tanggal 27 Desember 1949,
pemerintah mengalami defisit dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja
Negara yang ditutup dengan pencetakan uang sehingga memperbanyak
jumlah uang beredar. Yang lebih gawat adalah beredarnya berbagai
jenis nilai mata uang dalam masyarakat dengan nilai tukar yang
berbeda-beda. Maka dari itu berdasarkan Maklumat Menteri Keuangan
tanggal 1 Januari 1950 uang ORI dan sejenisnya ditarik dari
peredaran. Pada tanggal 27 Maret 1950 telah dimulai realisasi uang
ORI dan sejenisnya dengan uang keluaran baru dari De Javasche
Bank. Mr. Sjarifuddin Prawiranegara, Menteri Keuangan pada saat
itu, menentukan kurs yang berbeda untuk setiap jenis uang ORI
berdasarkan daya beli masing-masing. Pada awal tahun 1950 terjadi
spekulasi masyarakat terhadap kenaikan harga. Sebagai akibatya
telah terjadi upaya penimbunan besar-besaran terhadap komoditi
ekspor.
Dalam mengatasi kekacauan moneter yang diakibatkan oleh
meningkatnya jumlah uang yang beredar, Sjarifuddin melakukan
tindakan moneter yang drastis yang kemudian dikenal dengan nama
“Gunting Sjafruddin”. Ia memerintahkan pengguntingan uang kertas
menjadi dua terhadap uang kertas De Javasche Bank. Mulai tanggal
19 Maret 1950, hanya bagian kiri dari uang kertas pecahan f 2,50
dinyatakan sebagai alat pembayaran yang sah sampai tanggal 6 April
1950 dengan nilai setengah harga menurut angka yang tertulis
diatasnya. Bagian kiri tersebut dengan jangka waktu yang telah
ditentukan dapat ditukar dengan uang kertas baru terbitan De
Javasche Bank. Sedangkan bagian kananya yang ditarik dari
peredaran dapat ditukar dengan surat obligasi pemerintah.
[14] Tindakan pemerintah menarik uang dari peredaran berdampak
dengan menurunnya inflasi hingga 33% saja.laju inflasi tahun
berikutnya sebesar 73,4% disebabkan karena meningkatnya penerimaan
luar negeri yang kurang diimbangi dengan penyediaan bahan-bahan
yang dibutuhkan.
Gagasan nasionalisasi sebagai reaksi atas keputusan KMB
diingat kembali untuk dilaksanakan. Setelah Kabinet Sukiman dalam
keterangan Pemerintah di muka Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal
28 Mei 1951 juga memberitahukan nasionalisasi bank, maka Keputusan
Pemerintah No. 118 tanggal 2 Juli 1951 dibentuklah Panitia
Nasionalisasi De Javasche Bank pada tanggal 19 Juli 1951.
[15] Pimpinannya dipercayakan kepada Moh. Sediono, Sekretaris
Jenderal Kementrian Keuangan. Tugasnya adalah mengajukan usul-usul
mengenai langkah-langkah nasionalisasi, mengajukan rancangan UU
nasionalisasi, dan merancang UU baru tentang Bank sentral. Sejak
tanggal 15 Juli 1951 Mr. Sjarifuddin Prawiranegara resmi memangku
jabatan Presiden De Javasche Bank menggantikan Dr. Houwink. Pada
tanggal 3 Agustus 1951 Pemerintah Republik Indonesia mengajukan
tawaran kepada pemilik saham De Javasche Bank. Akhirnya pemerintah
Republik Indonesia berhasil membeli 97% saham De Javasche Bank di
bursa saham Belanda dengan harga 20% di atas nomina dalam mata
uang Belanda atau kurs sebesar 360% dalam mata uang rupiah.
Proses pembelian itu berjalan lancer dengan hrga nominal sekitar
Rp 8,95 juta.[16]
Pada tanggal 15 Desember 1951 diumumkan Undang-Undang No. 24
tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank (Lembaran Negara
RI No. 120 Tahun 1951). Dalam Undang-Undang ini acara pencabutan
hak itu ditetapkan dengan undang-undang. Sedangkan rancangan UU
Pokok Bank Indonesia 1953 sebagai UU organic bagi bank sentral
Indonesia disampaikan kepada Parlemen bulan September 1952 dan
disetujui oleh Parlemen tanggal 10 April 1953, serta disahkan oleh
Presiden tanggal 29 Mei 1953 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Juli
1953 dan merupakan tanggal berdirinya Bank Indonesia.[17]

BAB III
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN BANK INDONESIA

A. Undang-undang Pokok Bank Indonesia


Bank Indonesia sebagai bank sentral didirikan pada tanggal 1
Juli 1953, berdasarkan Undang-undang Pokok Bank Indonesia atau
Undang-undang No.11 Tahun 1953. Bank Indonesia merupakan hasil
dari proses Nasionalisasi De Javache Bank, sebuah bank Belanda
yang pada masa kolonial bertugas sebagai bank sirkulasi Hindia
Belanda dan setelah perjanjian KMB tahun 1949 berfungsi sebagai
bank sentral. Dalam proses perundingan KMB, terjadi perdebatan
sengit mengenai bank sirkulasi antara pihak Belanda disatu pihak
dan pemerintah republik Indonesia dan Bijeenkomst voor Federal
Overleg (BFO atau Dewan Konsultatif Federal). Pada saat itu,
Undang-undang No. 2 Prp. Tahun 1946 telah menetapkan Bank Negara
Indonesia atau BNI sebagai bank sentral pertama dan juga bertindak
sebagai bank sirkulasi meskipun berbagai kebijakan moneter yang
menyangkut fungsi bank sirkulasi telah dijalankan oleh pemerintah.
Sedangkan di pihak Belandamenginginkan fungsi bank sirkulasi
diserahkan kepada De Javasche Bank karena Indonesia masih memiliki
hutang kepada Belanda.
Dengan dilakukanya Nasionalisasi terhadap De Javasche Bank,
yang kemudian menjadi Bank Indonesia, maka setidaknya secara
formal dan simbolis pemerintah Indonesia telah menegakan
kedaulatan ekonomi meskipun baru terjadi setelah delapan tahun
Indonesia merdeka. Proses perencanaan Undang-undang pokok Bank
Indonesia yang disusun oleh Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank
disampaikan kepada parlemen pada bulan September 1952 dan selesai
dibahas pada 10 April 1953. Undang-undang tersebut diumumkan dalam
Lembar Negara No.40 pada tanggal 2 Juni 1953. Dasar hukum yang
dikenal sebagai Undang-undang No. 11 tahun 1953 tentang bank
sentral di Indonesia atau Bank Indonesia menggantikan De Javasche
Bankwet 1922 atau Undang-undang tanggal 31 Maret 1922 (De
Nederlandsche Staatblad No. 159, dan Nederlandsche-Indie
Staatsblad No. 180). Adapun tugas dan fungsi Bank Indonesia tidak
beda jauh dengan De Javasche Bank. Bahkan banyak pengamat
perbankan dan pandangan teoritis M.H DeKock menilai Bank Indonesia
sebagai “reorganisasi De Javasche Bank”.[18] Adapun persamaanya
adalah:
Pertama, bank sentral mengemban tugas untuk mengatur mata
uang, sejalan dengan kaidah-kaidah bisnis dan kepentingan umum,
untuk mana bank sentral perlu diberi hak –hak khusus, setidaknya
monopoli parsial untuk mengeluarkan uang kertas. Kebijakan diatas
sama-sama ddiemban oleh De Javasce Bank maupun Bank Indonesia.
Kedua, “melaksanakan kegiatan perbankan umum serta
memberikan pelayanan jasa perbankan kepada Negara”. Hal ini pernah
dilakukan De Javasche Bank sebagai mana diatur dalam De Javasche
Bankwet 1992. Dalam hal ini pasal Undang-undang No. 11 Tahun 1953
berisi antara lain bahwa Bank Indonesia wajib menyelenggarakan
penyimpanan kas umum Negara dengan cuma-cuma dan bertindak sebagai
pemegang kas Republik Indonesia. Bank Indonesia wajib
menyelenggarakan dengan cuma-cuma pemindahan uang untuk Republik
Indonesia diantara kantor-kantor besar. Bank Indonesia wajib
memberikan bantuanya dengan cuma-cuma untuk mengeluarkan dengan
langsung surat-surat utang atas beban Republik Indonesia.
Ketiga, bank sentral harus “ menjaga dan memelihara cadangan
kas-kas bank-bank komersial.” Pada masa De Javasche Bank,
kewajiban ini tidak sepenuhnya dapat dipenuhi karena pada zaman
colonial, dana ini dikirim ke negeri Belanda. Ketentuan tersebut
dilaksanakan di Indonesia secara sukarela oleh bank-bank
komersial. Namun kewajiban tersebut baru ditetapkan secara resmi
oleh krputusan dewan moneter No.28 tanggal 28 Mei 195, dimana
bank-bank komersial diwajibkan untuk menyimpan suatu jumlah
minimum tertentu pada Bank Indonesia, atas kewajiban-kewajiban
jangka pendek dan deposito.
Keempat, bank sentral “memelihara dan mengelola cadangan
cadangan devisa suatu bangsa atau Negara.” Pada masa colonial,
emas dan devisa selalu berada dibawah penguasaan De Javasche Bank.
Setelah perang dunia II, Bank Indonesia semakin mengontrol dan
mengawasi lalu lintas emas dan mata uang asing dengan dibentuknya
biro devisa.
Selanjutnya, Bank sentral “melakukan control terhadap kredit
sesuai dengan kebutuhan bisnis dalam rangka melaksanaan
kebijaksanaan moneter yang digariskan oleh Negara” Tetapi Bank
Indonesia, berdasarkan pasal 7 Undang-undang Pokok Bank Indonesia
mengemban tugas itu. Ayat 3 pasal tersebut mengatakan: “Bank
memajukan perkembangan yang sehat dari urusan kredit dan urusan
bank di Republik Indonesia pada umumnya dan dari urusan bank
nasional khususnya.” Demikian pula ayat 4 mengatakan bahwa: “ Bank
melakukan pengawasan terhadap urusan kredit.” Pedoman urusan
tersebut memang belum ada, tetapi ayat 5 mengatakan: “ Menunggu
terlaksananya suatu peraturan perundang-undangan tentang
pengawasan terhadap urusan kredit, maka dengan peraturan
pemerintah, dapat diadakan peraturan-peraturan lebih lanjut bagi
bank untuk menjalankan pengawasan guna kepentingan kemampuan
membayar dan kelanjutan keuangan badan-badan kredit, begitu juga
untuk pemberian kredit secara sehat dan berdasarkan asas-asas
kebijaksanaan bank yang tepat.”

BAB IV
KESIMPULAN

Bank Indonesia yang namanya telah dijelaskan pada pasal 23


Undang-undang 1945 pada kenyataanya baru berdiri 8 tahun
kemudian pada 1 Juli 1953. Salah satu alasan pokok mengapa
pemerintah Republik Indonesia belum dapat dengan segera mendirikan
Bank Indonesia sebagai Bank Sentral adalah karena pendirian bank
tersebut harus didasarkan pada undang-undang yang secara khusus
mengatur bank sentral. Guna mengatasi situasi tersebut, pemerintah
memberikan tugas kepada R.M Margono Djojohadikusumo untuk
mendirikan Jajasan Poesat Bank Indonesia yang maksudnya untuk
mendirikan bank sentral Indonesia. Karena Bank Negara Indonesia
menjalankan tugas lainya seperti untuk memenuhi kebutuhan dana
pembangunan dan perkembangan, maka Bank ini belum dapat
melaksanakan fungsi sebagai bank sentral yang perananya terpaksa
dilakukan oleh pemerintah.
Keputusan KMB yang menetapkan De Javasche Bank, sebuah bank
komersial swasta sebagai bank sirkulasi pada masa pemerintah
Hindia Belanda adalah sebagai bank sentral. Situasi tersebut
janggal sekali dimana sebuah bank swasta asingbberperan sebagai
bank sentral disebuah Negara yang berdaulat. Hal ini yang
menyebabkan Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia
sebagi bank sentral berdasarkan Undang-undang No. 11 tahun 1953.

http://merahputihku-tuminah.blogspot.com/2013/09/perkembangan-javasche-bank.html

Anda mungkin juga menyukai