Anda di halaman 1dari 21

3.

Pengamalan Pancasila sebagai dasar negara adalah menerapkan nilai-nilai Pancasila


dalam peraturan perundang-undangan dan penyelenggara negara harus memedomani
Pancasila dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Diskusikan dalam kelompok, dan buat
laporan kerja kelompok.

a. Diskusikan dalam kelompok tentang perilaku penyelenggara negara yang tidak


sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Buat laporan hasil diskusi.

b. Buat klipping berita tentang perilaku menyimpang dari penyelenggara negara, buat
analisismu tentang perilaku menyimpang tersebut.

Jawaban:

a. Contoh pelanggaran yang dilakukan Pemerintah pada nilai-nilai Pancasila


Penegasan Pancasila sebagai filosofi, ideologi, jiwa, dan pandangan hidup sudah final.
Akan tetapi, dalam tahap pelaksanaan masih banyak ditemukan pelanggaran-
pelanggaran yang dilakukan penyelenggara negara atau Pemerintah yang bertentangan
dengan nilai-nilai Pancasila. Contoh pelanggaran tersebut adalah:
 Pelanggaran pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa)
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung nilai spiritual, yaitu niali-nilai Keimanan
dan Ketaqwaan terhadp Tuhan Yang Maha Esa. Berarti ini berkaitan dengan
bagaimana sikap dan perilaku pemerintah dalam rangka mengaktualisasikan dirinya
sebagai hamba Tuhan. Pengaktualisasian pemerintah sebagai hamba Tuhan yang
dimaksud adalah bukan sebagai pribadinya namun sebagai orang yang diberi
amanah kekuasaan untuk memerintah. Berarti ini berkaitan dengan bagaimana
pemerintah mengeluarkan peraturan atau kebijakan yang bisa mengakomodir
warganya dan pemerintahannya agar bisa melaksanakan ibadah sesuai dengan
agama dan keyakinannya. Sila pertama ini juga harus tercermin pada saat
Pemerintah menjalankan tugasnya sebagai Pemerintah. Jangan samapai sikap,
perangai atau perbuatannya tidak mencerminkan sebagai penyelenggara
pemerintahan yang beriman dan bertaqwa.
Namun dalam perjalannya, ternyata Pemerintah atau para penyelenggara
pemerintahan masih banyak melakukan pelanggran-pelanggaran pada sila pertama
ini. Sebagai contohnya adalah adanya kasus bom bunuh diri.
Banyaknya kasus bom, salah satunya adalah bom bunuh diri Solo menunjukkan
kegagalan pemerintah dalam memayungi keamanan pada masyarakat, kegagalan
dalam menjaga kerukunan umat beragama yang notabene Indonesia terdiri dari
beragam agama.
Bom bunuh diri Solo merupakan imbas dari ketidakseriusan Pemerintah dalam
menuntaskan kasus Ambon. Selama Pemerintah ataupun Penegak hukum tidak
tegas dan transparan dalam mengungkap kasus Ambon, kasus seperti ini akan terus
terjadi. Ini menandakan sudah tidak relevannya Pemerintah dengan nilai Pancasila
sila pertama.
Contoh lain, ada sekitar 400 pengaduan gugatan undang-undang (UU) yang masuk
ke Mahkamah Konstitusi (MK), periode Agustus 2003 hingga Mei 2012, sekitar 27
persen di antaranya dibatalkan. Pembatalan dilakukan karena sebagian besar UU
tersebut melanggar nilai-nilai Pancasila. Ketua MK Mahfud MD mengatakan, yang
paling membahayakan saat ini bukan hanya korupsi uang atau kekayaan negara,
melainkan juga korupsi dalam pembuatan peraturan dan kebijakan. Apabila korupsi
seperti ini terjadi, maka akan timbul kasus korupsi yang berkesinambungan. "Korupsi
pada peraturan dan kebijakan akan memunculkan banyak korupsi karena peraturan
dan kebijakan itulah sumbernya," kata Mahfud, Kamis (31/5/2012) dalam Kongres
Pancasila IV di Balai Senat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, yang diikuti
akademisi dan pemerhati Pancasila dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga.
Menurut Mahfud, ada dua kelompok besar bentuk korupsi peraturan dan kebijakan,
yaitu menyangkut masalah politik dan korupsi. Beberapa UU yang pernah digugat
antara lain UU Pemilu, UU Pemerintahan Daerah, dan UU Pemberantasan Korupsi.
"Ada pula potensi korupsi peraturan dan kebijakan dalam hal sumber daya alam,
misalnya UU Pertambangan, UU Perhutanan, dan UU Sumber Daya Alam. Pada
praktiknya, UU-UU ini membahayakan keutuhan NKRI," kata Mahfud. Mahfud
menyebut UU tentang SDA disinyalir kuat sengaja dibuat untuk memberi peluang
korupsi. Berarti jelas bahwa perbuatan penyelenggara pemerintah yang membuat
peraturan atau kebijakan yang memberikan peluang kepada mereka untuk korupsi
jelas sudh menyalahi nilai-nilai dari sila pertama.
 Pelanggaran pada sila Kedua (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab)
Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab mengandung nilai kultural dan institusional.
Berdasarkan nilai kultural bahwa sila kedua ini merumakan cerminan budaya bangsa
yang sudah dikenal sejak dulu bahwa Bangsa Indonesia itu adalah Bangsa yang
beradab. Sedangkan berdasarkan nilai institusional, sila kedua ini menjadi landasan
dalam mencapai cita-cita dan tujuan nasional.
Berdasarkan hai di atas, berarti Penyelenggara pemerintah harus dapat mewujudkan
keadilan dalam peradaban yang kuat. Dapat berlaku adil atau tidak diskriminatif
dalam menyelenggarakan pembangunan demi tercapainya cita-cita dan tujuan
nasional. Dapat bijaksana dalam mengambil kebijakan dan sikap terhadap segala
masalah yang terjadi dalam negara. Artinya, penyelenggara pemerintah Indonesia
juga tidak pasif terhadap segala penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat.
Penyelenggara pemerintah harus memperlakukan warganya sesuai dengan harkat
dan martabatnya sebagai manusia.
Namun dalam kenyataannya, kita masih dapat melihat sikap diskriminatif, yang
membeda-bedakan warganya berdasarkan status sosial dan sebagainya. Sebagai
contoh, dalam kasus hukum yang melibatkan nenek asyani yang dituding mencuri
kayu jati milik perhutani, yang walaupun menurut pangakuan nenek asyani kayu itu
peninggalan suaminya yang ditebang di tanah miliknya, hakim tetap menjatuhi
hukuman 1 tahun penjara. Sedangkan terhadap para koruptor, para pencuri uang
negara banyak diantaranya kasusnya yang berakhir tidak jelas, mereka masih bisa
bebas berkeliaran bahkan bisa jalan-jalan ke luar negeri.
Dalam hal pembangunan, ada daerah yang lengkap di sedikana segala sarana dan
prasarananya, namun di sisi lain masih banyak daerah-daerah yang tak tersentuh
pembangunan sehingga masyarakat di sana masih hidup serba kekurangan bahkan
terbelakang. Contohnya Papua yang daerahnya memiliki kekayaan alam berupa
tambang emas namun masyarakatnya masih banyak yang hidup terbelakang. Berarti
jelas penyelenggara pemerintahan selama ini sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai
sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Beradab merupakan perilaku yang sesuai dengan aturan dan nilai-nilai kemanusiaan.
Namun hal itu pada saat ini jarang ditampakkan oleh pemerintah atau para elit politik
di negara kita. Misalnya saja demokrasi yang dibangun dalam dunia perpolitikan saat
ini adalah demokrasi yang bebas nilai yang menyebabkan perilaku politisi dan
pejabat Negara jauh dari etika politik. Makna dan esensi demokrasi direduksi sebagai
merebut kekuasaan. Kedaulatan tidak lagi di tangan rakyat tetapi di tangan penguasa
dan lembaga politik. Lembaga politik seperti partai politik bukan lagi
merepresentasikan kepentingan rakyat tetapi merepresentasikan kepentingan partai
dan elite partai. Yang terjadi, elite partai melanggengkan kekuasaan dengan
menggunakan segala cara. Kemudian, etika dan moral cenderung diabaikan
sehingga melahirkan berbagai sindiran politik seperti “politik sengkuni”, “politik
dagang sapi”, “politik sapi perah”, dan politik jalanan, “politik dinasti”. Sehingga politik
dimaknai sebagai adu kekuatan dan kepentingan. Contoh pada pilpres tahun ini.
Para pendukung saling menyerang dengan berita hoax untuk menjatuhkan lawan
politiknya, para elit politiknya saling menudung melakukan kecurangan, pihak yang
berkuasa menggunakan kekuasaannya untuk bisa menang, dll.
 Pelanggaran pada sila ketiga (Persatuan Indonesia)
Sila ketiga ini mengandung nilai institusional. Tata nilai institusional mengandung
makna bahwa Pancasila menjadi landasan utama untuk mencapai cita-cita dan
tujuan nasional. Tujuan dan cita-cita tersebut secara institusinal dapat tercapai
dengan persatuan dan kesatuan Indonesia. Menggalang persatuan dan kesatuan
Bangsa Indonesia. Sebagai perwakilan dan tokoh bangsa yang dipercaya oleh rakyat
untuk membuat rencana dan kebijakan untuk mencapai tujuan pembangunan
nasional, maka pemerintahan dapat mengajak semua pihak untuk selalu bersatu.
Pemerintah dapat menghimbau semua komponen bangsa agar dapat bersatu. Dan
apabila terjadi pertikaian, pemerintah menjadi mediator untuk menyelesaikan
pertikaian demi terjaganya persatuan Indonesia.
Namun pada kenyataanya, ternyata masih ada pelanggaran yang dilakukan
pemerintah terhadap sila ketiga ini. Contohnya adalah terlepasnya daerah Timor
Timur. Lepasnya Timor Timor tidak terlepas dari kebijakan yang diambil pada masa
pemerintahan BJ. Habibie. Pada saat itu Presiden Habibie memutuskan untuk
memberi kesempatan pada masyarakat Timor Timur untuk memilih apakah mau
menjadi bagian dari Indonesia atau memisahkan diri dengan menggelar jajak
pendapat.
 Pelanggaran pada Sila Keempat (Kerakyatan yang Dipimpin oleh Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan)
Sila keempat mengandung nilai kultural, yang merupakan kebudayaan dan nila-nilai
luhur bangsa. Sejak dulu bangsa Indonesia memilki budaya musyawarah dan
mufakat dalam meneyelesaikan setiap masalah. Pemerintah berasal dari rakyat yang
merupakan wakil rakyat yang memiliki tujuan untuk memperjuangkan kepentingan
rakyat. Namun seperti telah disebutkan dalam contoh pelanggaran sila kedua, dalam
pelaksanaanya pemerintah tidak memperjuangkan kepentingan rakyat tapi hanya
memperjuangkan kepentingan partai, kelompok, golongan atau partai koalisinya.
Dalam lobi-lobi politik misal, bagaimana partai pengusung calon presiden menggaet
partai lain agar mendukung calonnya dengan cara bagi-bagi kekuasaan. Kasarnya,
“dukung saya maka kalau saya berhasil menduduki jabatan presiden kamu akan
dipilih jadi menteri”. Partai koalisi akan kebagian porsi kekuasan sesuai dengan porsi
dukungannya atau presentase suara partainya. Ini jelas melanggar sila keempat
yang mengandung nilai-nilai demokrasi, dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
 Pelanggaran sila Kelima (Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia)
Pemerintah dalam hal ini seharusnya memperlakukan seluruh masyarakat Indonesia
dengan adil, tanpa kecuali. Namun pada kenyataanya banyak perlakuan atau
kebijakan yang ditetapkan pemerintah yang tidak adil. Sebagaimana telah disebutkan
dalam contoh pelanggaran sila kedua, seperti kasus nenek Asyani yang diperlakukan
tidak adil di dalam hukum, kasus Papua yang masyarakatnya masih banyak yang
miskin dan terbelakang padahal daerahnya penyumbang devisa negara yang besar
karena kekayaan alamnya berupa tambang emas di banding Jakarta yang lengkap
sarana dan prasarananya karena merupakan pusat pemerintahan.

b. Klipping Berita dan Analisis tentang Perilaku Menyimpang dari


Penyelenggara Negara
Berkaca Kasus Patrialis, KPK
Ingatkan Penegak Hukum
Hindari Suap
Puji Kurniasari
Minggu, 29 Januari 2017 - 14:34 WIB

JAKARTA - Selama hampir satu pekan masyarakat tengah diramaikan soal penangkapan
Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar. Patrialis sebelumnya juga dikenal mantan
Menteri Hukum dan HAM era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Menyikapi hal tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan tegas meminta pada
seluruh penengak hukum untuk tidak menerima suap ataupun hadiah dari siapapun.

"Tahun 2017 awal ini, KPK ingatkan pada penyelenggara negara khususnya penegak
hukum untuk kasih contoh baik tidak menerima suap," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah
lewat pesan kepada SINDOnews, Minggu (29/1/2017).

Melarang Mahasiswi
Bercadar Melanggar
Sila Pertama
Pancasila
Sabtu 10 Mar 2018 15:45 WIB
Rep: Gumanti Awaliyah, Fuji Eka Permana/ Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Forum Rektor Indonesia (FRI)


dan Aliansi Penyelenggara Perguruan Tinggi (Apperti) meminta
kepada perguruan tinggi (PT) di seluruh Tanah Air untuk selalu
menjunjung tinggi hak asasi mahasiswa/i. Permintaan ini
disampaikan seiring rencana Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga (UIN Suka) yang akan mengeluarkan mahasiswi
bercadar.

Ketua FRI Dwia Aries Tina Pulubuhu mengatakan, PT memang


memiliki otonomi yang tinggi dalam merancang kebijakan di
luar standar nasional PT. Kendati demikian, menurut dia,
sebelum membuat kebijakan, PT perlu betul-betul
mempertimbangkan berbagai aspek.

"Kita harus menghargai hak asasi mahasiswa dan mahasiswi.


Namun, tetap dalam rambu-rambu kewajaran, yang tidak
mengganggu pelaksanan akademik di dalam kampus. Begitu
pun cadar, selama tidak ada aksi radikal, tidak masalah," kata
Dwia kepada Republika.co.id di Jakarta, Jumat (9/3).

Namun, menurut Dwia, jika memang di PT tersebut terbukti ada


aksi radikal, rektor wajib bertindak tegas. Prinsipnya, setiap
rektor berkewajiban untuk membentuk kedisiplinan di kampus
masing-masing. "Kalau misalnya ada upaya-upaya radikali sasi
perlu ditindak. Rektor harus tegas," ujar Dwia.

Apperti menilai, larangan mahasiswi mengenakan cadar di


kampus UIN Suka melanggar konstitusi negara, salah satunya
sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa.
"Kebijakan ini mencoreng reputasi pendidikan Tanah Air,
khususnya di tengah maraknya kerusakan moral, gaya hidup
tak beradab, dan pergaulan seks bebas," kata Sekjen Apperti
Taufan Maulamin di Jakarta, Kamis (8/3).

Karena itu, lanjut dia, Apperti akan melakukan advokasi kepada


siapa pun yang tidak mendapatkan hak asasinya, khususnya
hak beragama. Taufan, alumnus FEB UNS Solo 1983,
menambahkan, alasan menyamakan cadar dengan radikalisme
menunjukkan kemunduran berpikir.

Lebih lanjut, Taufan mengatakan, mahasiswi bercadar juga


banyak yang berprestasi. "Di UNS Solo, wisuda 24 Februari
2018, mahasiswi bercadar meraih predikat cumlaude. Ini kan
luar biasa dan menjadi bukti tidak ada hubungannya antara
cara berpakaian dan prestasi akademik. Rektor UNS Prof
Ravik Karsidi, pendidik tulen, patut diberi penghargaan terbukti
mampu mengelola spirit beragama mahasiswa bercadar
meraih prestasi terbaik di UNS," katanya.
Kasus Ratna, Suatu Refleksi
Sila Kemanusiaan yang Adil
dan Beradab
1 Maret 2019 00:52 Diperbarui: 1 Maret 2019 06:09 368 0 0

Berpolitik di negara bhinneka dengan kekayaan local wisdom yang


dimiliki idealnya dapat memberikan sebuah pembelajaran bagi para
elit ataupun masyarakat itu sendiri agar bersikap sesuai dengan
norma serta nilai-nilai lokal yang diintegrasikan kedalam satu
kesatuan yang final yakni Pancasila sebagai pandangan hidup serta
filosofis kehidupan guna membangun bangsa dan negara dengan
mengedepankan moral serta etika dalam upaya mencapainya.

Kasus yang dialami oleh Ratna Sarumpaet, adalah sebagai contoh


bahwa telah disalah gunakannya hak demokrasi serta telah
menciderai nilai-nilai daripada ideologi bangsa. Bagaimana tidak?
Ketika seorang Ratna menyatakan kepada beberapa orang politikus
bahwa dirinya telah mengalami penganiayaan yang kemudian
mendapat respon dari beberapa elite politikus negeri ini yang
mempublikasikan berbagai pernyataan di televisi swasta serta
media sosial.

Namun tak beberapa lama pihak kepolisian melakukan konferensi


pers dan sanggahan yang berdasarkan hasil penyelidikan bahwa
Ratna tidak dirawat di 23 rumah sakit dan tidak melapor ke 28
polsek dibandung serta beberapa bukti lainnya yang salah satunya
adalah bukti transaksi ke RS. Estetika di Menteng, Jakarta pusat.

Lalu tak beberapa lama Ratna mengeluarkan pernyataan bahwa apa


yang ia ceritakan merupakan cerita khayalan yang kemudian disusul
oleh pernyataan Prabowo untuk meminta ia mengundurkan diri dari
tim Badan Pemenangan Prabowo-Sandi yang kemudian selang
sehari pada tanggal 4 Oktober 2018 Ratna ditetapkan sebagai
tersangka.

Dengan posisinya sebagai eks tim pemenangan Prabowo-Sandi


yang sedang menjalani sidang pertama pada Kamis, 28 Februari
2019 ada satu hal yang menarik perhatian khalayak umum yakni
Ratna mengacungkan dua jari dan tersenyum sebagai jargon dari
capres-cawapres nomor urut 02.

Sikap Ratna seakan seperti tanpa beban dan tidak menanggung


kesalahan terhadap rakyat dan bangsa ini dengan posisinya saat
mengeluarkan pernyataan bahwa telah mengalami penganiayaan
saat posisinya sebagai tim pendukung politik pasangan 02 tentu dari
sisi etika/ moral bangsa Indonesia amat sangat bertentangan.

Karena dalam etika/ moral bangsa ini mengajarkan kesediaan jiwa


seseorang untuk senantiasa patuh kepada seperangkat peraturan-
peraturan kesusilaan yang sudah disetujui bersama yakni Pancasila
yang notabene menjadi pandangan hidup bangsa ini serta
didalamnya memuat nilai-nilai lokal yang salah satunya adalah nilai
kemanusiaan yang adil dan beradab.

Menurut Prof. Dr. Kaelan dalam bukunya PENDIDIKAN


PANCASILA, ia mendefinisikan bahwa arti
daripada "Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah
mengandung nilai suatu kesadaran sikap moral dan tingkah laku
manusia yang didasarkan pada potensi nurani manusia dalam
hubungan dengan norma-norma dan kebudayaan pada umumnya
baik terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia maupun
terhadap lingkungannya. Nilai kemausiaan yang beradab adalah
perwujudan nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang berbudaya,
bermoral dan beragama".

Dari definisi diatas mengenai nilai kemanusiaan yang adil dan


beradab kemudian penulis mencoba membandingkannya dengan
apa yang dilakukan oleh Ratna memang penulis menemukan dua
kesimpulan.

 Pertama Ratna dapat dikatakan melanggar norma-norma dan


kebudayaan terhadap dirinya sendiri sebagai warga negara
Indonesia yang berkewajiban menjaga persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia. Namun ia membuat suatu kegaduhan terhadap
lingkungannya (rakyat Indonesia) dengan menyebarkan berita yang
tidak benar yang dalam hal ini terkait dengan keamanan dalam
negeri ditengah isu disintegrasi serta tumbuhnya kembali kelompok
PKI.
 Kedua, ia telah menunjukkan suatu kesadaran mengenai diri
dan jiwanya sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang
berkewajiban menjaga persatuan dan kesatuan dengan mengakui
ketidak benaran pernyataannya terhadap rakyat Indonesia yang
kemudian mengembalikan kepercayaan rakyat bahwa pemerintah
dapat menjada ketertiban dan keamanan nasional serta
menghilangkan asumsi masyarakat untuk saling menghilangkan
rasa curiga terhadap kelompok lain.
Akan tetapi terlepas dari itu semua, pembelajaran mengenai kasus
seorang Ratna tentu memberikan satu refleksi mengenai nilai yang
terkandung dalam sila 'Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab'
terhadap bangsa ini serta memberikan suatu pembelajaran bahwa
pentingnya membudayakan kembali local wisdom yang dalam hal
ini adalah Pancasila dikalangan elite politik dan rakyat negeri ini.

Ini adalah sangat penting menjelang pemilihan kepala negara agar


menjernihkan kembali pandangan politik bangsa ini kedepan yang
tidak terbatas pada persaingan politik kepartaian ataupun kelompok
setiap lima tahunan akan tetapi politik bangsa ini adalah politik
kebangsaan untuk membangun bersama, untuk menjaga bersama
ke-Indonesiaan sebagai negara Pancasila.

Kendal, 1 Maret 2019


Kepala UKP-PIP: Korupsi
Bertentangan dengan
Pancasila

Fana Suparman / PCN Kamis, 10 Agustus 2017 | 12:19 WIB


Jakarta- Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi
Pancasila (UKP-PIP) Yudi Latief menegaskan tindak pidana
korupsi sangat bertentangan dengan seluruh sila yang
terdapat dalam Pancasila. Untuk itu, penyelenggara negara
yang Pancasilais tidak melakukan korupsi. Hal ini
disampaikan Yudi usai bertemu Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung KPK, Jakarta,
Rabu (9/8).

"Intinya sebenarnya antara UKP Pancasila dan KPK punya


kesamaan nilai, punya kesamaan misi karena yang namanya
praktek korupsi itu bertentangan dengan seluruh sila
Pancasila. Korupsi itu bertentangan dengan sila ke satu,
korupsi itu bertentangan dengan sila kedua, korupsi
bertentangan dengan sila ketiga, korupsi bertentangan
dengan sila keempat, dan bertentangan dengan sila kelima.
Makanya kami katakan tadi, semakin Pancasialis, seharusnya
tidak korupsi. Itu yang pertama. Kita ada kesamaan nilai,"
kata Yudi Latief.

Yudi Latief menyatakan, UKP-Pancasila sedang


mengidentifikasi dan merespon berbagai hal untuk
mengarusutamakan Pancasila. Salah satunya menyangkut
isu-isu mengenai kesenjangan sosial yang menjadi persoalan
dalam mewujudkan Sila ke-5, Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia. Menurut Yudi Latief persoalan
kesenjangan sosial, pembangunan yang tumbuh secara tidak
merata dan berkeadilan disebabkan masih merajalelanya
korupsi.

"Oleh karena itu kalau kita ingin menyelesaikan problem


ketidakadilan, Indonesia ini harus semakin bebas korupsi.
Semakin Tidak korup, pemerintah semakin melayani semua
kalangan. Tidak hanya berpihak pada salah satu unsur atau
kelas-kelas tertentu. Kalau semakin tidak korup akan
melayani kepentingan umum, pasti cabang-cabang produksi
hajat hidup orang banyak akan digunakan seluas-luasnya
untuk kemakmuran rakyat. Tidak untuk orang per orang,"
tegasnya.

Selain itu, UKP-PIP juga mengidentifikasi persoalan


mengenai keteladanan. Dikatakan, nilai-nilai luhur Pancasila
sulit diamalkan seluruh elemen bangsa tanpa adanya
keteladanan dari penyelenggara negara.

"Selama ini kan Pancasila itu dianggap nilainya baik-baik, tapi


teladannya mana. Satu nilai yang cuma surplus ungkapan
tapi tanpa keteladanan kan omong kosong. Terutama dalam
hal keteladanan ini adalah bagaimana cara kita melahirkan
para penyelanggara negara yang betul-betul menjunjung cita-
cita moral, cita-cita pemerintahan yang bersih. Jadi itu
teladan sehingga rakyat punya harapan. Jangan Pancasila itu
hanya cara negara mendisplinkan rakyatnya. Jadi rakyat juga
berhak bahwa penyelangara ini juga bisa dipercaya, bisa
melayani. Oleh karena itu kita membutuhkan figur-figur para
penyelanggara negara yang bersih, yang bisa mengemban
amanat publik. Yang bersih, toleran, yang bisa melayani
rakyatnya tanpa pandang bulu," paparnya.

Dalam pertemuan ini, Yudi Latief mengakui, pihaknya juga


berkonsultasi dengan KPK mengenai korupsi. Sebagai
lembaga yang baru dibentuk, Yudi menyatakan, pihaknya
perlu mengetahui berbagai aturan yang menjadi rambu bagi
penyelenggara negara yang bersih dari korupsi.

"Sebagai lembaga baru, kami ke sini untuk mengonsultasikan


sejumlah hal. Lihat rambu yang mana gratifikasi," katanya.
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata mengatakan, KPK dan
UKP-PIP bersepakat untuk mengintegrasikan nilai-nilai
Pancasila dalam nilai-nilai antikorupsi. Integrasi ini akan
dilakukan dalam setiap sosialisasi pencegahan korupsi.

"Prinsipnya kita ingin mengintegrasikan nilai pancasila dalam


nilai antikorupsi. Tidak jujur bertentangan dengan sila
pertama, korupsi juga mengabaikan nilai kemanusiaan dan
lainnya. Kita mulai memetakan jaringan di KPK untuk juga
sosialisasi dalam berbagai kesempatan menanamkan nilai
Pancasila. Kerjasama seperti itu. Sosialisasi nilai Pancasila
sekaligus sosialisasi nilai antikorupsi," ungkapnya.

Sumber: Suara Pembaruan


Bawaslu Catat 28 Pelanggaran Pemilu
2019, Politik Uang Terbanyak
Penulis: Dimas Jarot Bayu Editor: Hari Widowati 11/2/2019, 21.05 WIB

Bawaslu menyebut politik uang terjadi dengan berbagai modus,


mulai dari memberi uang secara langsung hingga menjanjikan
umrah.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat ada 28 kasus pelanggaran


Pemilu 2019 yang telah diputuskan dalam persidangan. Dari jumlah
tersebut, pelanggaran berupa politik uang paling banyak terjadi. "Paling
banyak dari 28 (kasus) itu persoalan politik uang," kata Ketua Bawaslu
Abhan di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (11/2). Politik uang terjadi dengan
berbagai macam modus. Dia mencontohkan, ada praktik yang dilakukan
dengan membagikan sembako kepada masyarakat.

Ada pula praktik politik uang yang langsung dilakukan dengan memberikan
uang kepada para pemilih. Selain itu, ada praktik politik uang dengan
menjanjikan pergi umrah. Hal tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh
Calon Anggota Legislatif dari Partai Amanat Nasional (PAN) DPRD DKI
Mandala Shoji dan Lucky Andriani. Mandala dan Lucky ketahuan
membagikan kupon undian berhadiah umrah ketika berkampanye di Pasar
Gembrong Lama, Johar Baru, Jakarta. Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan menilai Mandala dan Lucky meminta masyarakat
penerima kupon umrah tersebut memilihnya sebagai caleg DPR RI dan
DPRD Provinsi DKI Jakarta. Mandala dan Lucky terbukti melanggar Pasal
280 angka 1 huruf j Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Karenanya,
Mandala dan Lucky divonis tiga bulan penjara dan denda Rp 5 juta
subsider 1 bulan penjara. Selain politik uang, Abhan juga menyebut
netralitas menjadi pelanggaran yang cukup banyak ketika Pemilu 2019.
Ada beberapa tindakan atau ucapan dari pejabat negara atau Aparatur
Sipil Negara (ASN) yang menunjukkan keberpihakan kepada salah satu
peserta Pemilu. Hal tersebut terjadi di berbagai kegiatan dan media sosial.
"Lebih banyak di kegiatan," kata Abhan. (Baca: PSI Desak Bawaslu Buka
Kembali Kasus Mahar Politik Sandiaga)

Praktik Politik Uang

Sebelumnya, praktik politik uang diprediksi meningkat selama Pemilu


Legislatif (Pileg) 2019. Ini lantaran Pileg 2019 masih menggunakan sistem
proporsional terbuka yang fokus kepada calon anggota legislatif (caleg)
ketimbang partai politik. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia
Burhanuddin Muhtadi mengatakan, pemilih yang mendapatkan tawaran
politik uang pada Pileg 2014 mencapai 33%. "Di 2019, kita akan
mendapatkan insiden politik uang yang lebih besar dibanding 2014," kata
Burhanuddin dalam diskusi di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri),
Jakarta, Jumat (8/2). Pemilih yang telah mendapatkan tawaran politik uang
hingga Desember 2018 saja sudah mencapai 5%. Padahal, di periode yang
sama pada Pileg 2014, pemilih yang mendapatkan tawaran politik uang
hanya 3%. Menurutnya, angka ini akan semakin meningkat jelang hari
pemungutan suara pada 17 April 2019. "Semakin dekat dengan hari H itu
semakin naik (politik uang)," kata Burhanuddin. (Baca: Politik Uang Akan
Semakin Meningkat di Pilpres 2019) Potensi peningkatan politik uang
tahun ini lantaran Pileg 2019 masih menggunakan sistem proporsional
terbuka. Menurutnya, sistem proporsional terbuka membuat kontestasi
politik justru berfokus pada caleg ketimbang partai politik. Alhasil, para
caleg harus bersaing untuk mendapatkan insentif elektoral, bahkan
dengan kandidat lain dari partainya sendiri. Hal ini membuat para caleg
melakukan segala cara untuk bisa menggalang suara pemilih, termasuk
menggunakan politik uang. "Caleg punya insentif menggunakan politik
uang karena desain institusinya masih sama," kata Burhanuddin. Hal
senada disampaikan Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi
(SPD) August Mellaz. Sistem proporsional terbuka membuat kompetisi
dalam Pileg menjadi sangat personal. Kompetisi personal itu menjadi ketat
karena saat ini ada 7.968 caleg DPR yang bersaing. Belum lagi di DPRD
Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang jumlahnya bisa mencapai ratusan
ribu caleg. Sementara, waktu bagi para caleg untuk menawarkan
programnya kepada publik semakin pendek. Alhasil, praktik-praktik politik
uang tersebut dilakukan untuk dapat menarik suara pemilih.
"Mempertarungkan program di durasi waktu yang sangat mepet enggak
terlalu punya dampak. Maka yang paling mudah kan konteks jual-beli
suara," kata August. (Baca: Pelanggaran Pemilu, Timses Prabowo Beri
Bantuan Hukum Slamet Maarif )

Reporter: Dimas Jarot Bayu

Nenek Asyani Terdakwa Pencuri


Kayu Divonis 1 Tahun Penjara

Liputan6
23 Apr 2015, 17:29 WIB
Liputan6.com, Situbondo - Palu hakim diketuk, Nenek Asyani langsung
mengungkapkan amarahnya. Nenek renta berusia 63 tahun ini tak terima dengan vonis
bersalah oleh hakim. Nenek Asyani divonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 1
tahun 3 bulan dan denda Rp 500 juta subsider 1 hari hukuman percobaan.

Seperti ditayangkan Liputan 6 Petang SCTV, Kamis (23/4/2015), walau putusan hakim
lebih ringan dari tuntutan jaksa 1 tahun 18 bulan penjara dan denda Rp 500 juta, Nenek
Asyani tidak terima.

"Saya sudah bersumpah mati tidak ada gunanya. Pasti ada suap. Saya tidak mencuri.
Sumpah pocong, Pak," kata Nenek Asyani.

Asyani didakwa mencuri dua batang pohon jati milik perhutani untuk dibuat tempat tidur.
Namun Asyani membantah dengan alasan batang pohon jati itu diambil dari lahannya
sendiri oleh almarhum suaminya 5 tahun silam (Dan/Ein)

ANALISIS KLIPING BERITA PERILAKU MENYIMPANG PENYELENGGARA NEGARA

Kliping pertama memberitakan tentang kasus korupsi yang dilakukan oleh Hakim
Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar. Patrialis Akbar menerima suap dari pengusaha impor
daging Basuki Hariman dan stafnya Ng Fenny. Suap tersebut dilakukan untuk
memenangkan putusan perkara terkait uji materi UU No. 41 Tahun 2014 tentang peternakan
dan daging hewan. Seperti yang telah disebutkan dalam contoh pelanggaran sila pertama
Pancasila, MK banyak menerima uji materi UU yang dibatalkan karena isinya memberi
peluang kepada penjabat negara dan pihak-pihak tertentu untuk korupsi. UU seperti itu
sengaja dibuat dan untuk bisa lolos uji materi mereka yang punya kepentingan terhadap UU
tersebut tidak segan-segan untuk menyuap hakim MK seperti yang dilakukan Basuki
Hariman terhadap Patrialis Akbar. Bahkan dalam kliping lainnya, Kepala UPK-PIP Yudi latief
mengatakan bahwa korupsi itu bertentanngan atau melanggar semua sila dari Pancasila. Itu
bisa diterima mengingat kelima sila itu saling berkaitan. Jika melanggar sila pertama maka
secara otomatis akan melanggar sila-sila yang lainnya. Karena sila pertama memiliki nilai
spiritual yaitu tentang nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan. Maka jika melanggar sila pertama
berarti melanggar nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan YME. Orang yang
tidak memiliki keimanan dan ketaqwaan, bagaimana ia bisa memiliki nilai kemanusiaan yang
adil dan beradab, bagaimana ia bisa bersatu; solider; gotong royong; dan bekerjasama
dengan orang lain, bagaimana ia mampu menghargai pendapat orang lain, bagaimana ia
mampu bersikap adil terhadap orang lain.

Kliping kedua berisi tentang larangan mengenakan cadar bagi mahasiswa. Ini jelas
melanggar sila pertama. Karena berdasarkan sila pertama harusnya siapapun baik
pemerintah maupu masyarakat tidak boleh mengganggu kebebasan warga negara untuk
mengamalkan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya. Menurut pendapat kami, cadar
itu tidak melanggar UU kenegaraan manapun sehingga harus di halang-halangi karena
dianggap refresentasi golongn Islam tertentu yang dianggap radikal.

Kliping selanjutnya berisi tentang pelanggaran pada Pemilu 2019 yang menurut
Bawaslu ada 28 pelanggaran. Salah satunya adalah politik uang. Politik uang baik berupa
pembagian uang tunai, sembako atau janji mengumrahkan, itu dilakukan agar bisa membeli
suara rakyat. Ini jelas melanggar sila keempat yang memiliki nilai-nilai demokrasi, tentang
hak mengemukakan pendapat dan sebagainya. Politik uang secara halus telah
membungkam suara rakyat untuk menyampaikan pendapatnya atau hak pilihnya sesuai
dengan hati nuraninya.

Kliping terakhir berisi tentang Nenek Asyani yang dijatuhi hukuman satu tahun
penjara karena mencuri kayu milik perhutani. Walaupun dalam sidang Nenek Asyani
mengaku kalau kayu itu merupakan warisan suaminya yang dia ambil dikebun miliknya tapi
Hakim tetap menvonis Nenek Asyani bersalah dan di hukum satu tahun penjara. Coba kita
bandingkan dengan kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara. Bagaimana asas
praduga tak bersalah diterapkan, bagaimana cara penegak hukum memperlakuka mereka
dengan hormat, dan bahkan kasusnya berhenti tanpa kejelasan. Mereka si tersangka
korupsi tersebut dengan bebasnya bisa jalan-jalan ke luar negeri. Dan kalaupu mereka
akhrnya dihukum, hukumannya tidak sesuai dengan seharusnya dan bahkan di penjaranya
mendapatkan fasilitas mewah. Dimana nilai-nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia kalau begitu?.

Anda mungkin juga menyukai