Anda di halaman 1dari 5

Tugas Akhir Modul 4

1.  Akhir-akhir
 Akhir-akhi r ini, berkaitan dengan situasi politik kenegaraan, muncul keinginan dari sekalangan
kelompok untuk kembali kepada UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945. Buatlah
sebuah analisis yang menjelaskan pandangan saudara terhadap keinginan kembali ke UUD
1945 tersebut apakah diperlukan atau tidak.

Adanya keinginan untuk kembali kepada UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus
1945 merupakan langkah mundur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejarah
membuktikan bahwa UUD 1945 sebelum amandemen telah melahirkan kekuasaan absolute dan
totaliter di tangan presiden, tanpa adanya checks and balances   sehingga menimbulkan banyak
peluang bagi terjadinya abuse of power  dan
 dan pengingkaran terhadap hak asasi manusia.
Kita ketahui bersama, sebagaimana dinyatakan dalam pidato Ir. Soekarno sebagai ketua PPKI
pada 18 Agustus 1945, UUD 1945 yang dibuat saat itu merupakan UUD sementara atau UUD kilat.
Hal ini menunjukkan bahwa Ir. Soekarno dan para pendiri bangsa saat itu merestui jika kelak
keadaan telah mengizinkan, dapat membuat UUD baru.
Meski masih terdapat berbagai kekurangan, namun secara umum amandemen UUD 1945
yang dilaksanakan sebanyak empat kali pada tahun 1999 hingga 2002 telah membawa perubahan
kearah yang lebih baik. Kehidupan demokrasi di Indonesia lebih terjamin. Kedudukan lembaga
negara, baik eksekutif, legislative dan yudikatif telah mempunyai peranan yang lebih jelas
dibandingkan masa sebelumnya.
Masa jabatan presiden dibatasi hanya dua periode, yang dipilih secara langsung oleh rakyat.
Pelaksanaan otonomi daerah terurai lebih rinci dalam UUD 1945 setelah perubahan. Jaminan
terhadap hak-hak asasi manusia lebih baik dan diurai lebih rinci dalam UUD 1945 sehingga
kehidupan demokrasi lebih terjamin.
Menurut saya, persoalan mendasar saat ini bukan terletak pada kerangka maupun isi UUD
1945 hasil amandemen sehingga kita harus kembali lagi ke UUD 1945 asli. Persoalannya
sesungguhnya terletak pada tingkah laku ataupun tanggung jawab orang-orang yang melaksanakan
UUD, baik itu eksekutif, legislatif, yudikatif hingga pemegang kekuasaan audit.
Meminjam istilah mantan Ketua Mahkamah Agung, Prof. Bagir Manan, “konstitusi yang
buruk, tapi dijalankan oleh orang baik, maka hasilnya akan baik. Namun sebaliknya, konstitusi yang
baik akan menghasilkan sesuatu yang buruk jika dijalankan oleh orang dengan sikap y ang buruk”.
Kembali ke UUD 1945 hanya akan memberikan peluang bagi orang-orang haus kekuasaan
untuk tampil sebagai otoriter baru, membangun rezim dan menghilangkan hak-ak demokrasi
masyarakat. Hal ini hanya akan memberikan kerugian yang besar bagi bangsa Indonesia.
Karena itu, yang diperlukan saat ini bukan kembali pada UUD 1945 asli, melainkan perbaikan
pada tingkah laku orang-orang yang melaksanakan UUD, baik itu di eksekutif, legislative maupun
yudikatif. Hal ini dapat dilakukan melalui perbaikan mekanisme rekruitmen pelaksana UUD yang
transparan dan akuntabel serta menggunakan standar tinggi, pengawasan ketat dan menyeluruh
serta penegakan hukum yang memberikan rasa keadilan bagi masyarakat terhadap pelaksana
undang-undang yang melakukan pelanggaran.
Selain itu, perlu adanya penegasan terhadap implementasi nilai-nilai Pancasila dalam setiap
sendi-sendi kehidupan dalam rangka membangun nation and character building , yaitu membangun
karakter warga yang cinta terhadap bangsa dan tanah air Indonesia dengan menanamkan sikap
bangga terhadap identitas nasional sebagai jati diri bangsa.
2. Pokok-pokok pikiran dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945, silakan sdr mencari dalam
artikel atau jurnal dan lansung dikembangkan.

Istilah “pokok-pokok pikiran” Pembukaan UUD 1945 pertama kali tertuang dalam Penjelasan
Umum UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Pembukaan UUD 1945 mengandung 4 (empat) pokok
pikiran, yaitu: (1) Negara persatuan yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya; (2)
Negara kesejahteraan yang hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat; (3) Negara
yang berkedaulatan rakyat; (4) Negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.
Keempat pokok pikiran tersebut jika dilihat dari alinea-alinea Pembukaan UUD 1945
tampaknya hanya diambilkan dari sebagian pokok pikiran yang terkandung dalam alinea keempat
dan belum menggambarkan seluruh pokok pikiran yang ada dalam setiap alinea. Karena menurut
Pasal II Aturan Tambahan Perubahan Keempat UUD 1945 yang dinyatakan sebagai UUD 1945
adalah bagian pembukaan dan pasal-pasalnya, maka 4 (empat) pokok pikiran yang dinyatakan
dalam Penjelasan Umum UUD 1945 tersebut sudah tidak lagi mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Di samping itu keberadaan Penjelasan UUD 1945 memang tidak lazim bagi suatu
Undang-Undang Dasar. Keberadaan Penjelasan UUD 1945 juga penuh “misteri”, karena tidak
pernah ikut dibahas dan ditetapkan oleh BPUPKI dan PPKI, dan tiba-tiba ikut dimuat dalam
Lembaran Negara No.7 Tahun 1959 setelah Dekrit Presiden 1959.
Karena itu dalam mengelaborasi pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan
UUD 1945, tidak harus mengacu pada Penjelasan UUD 1945. Pokok-pokok pikiran dalam
Pembukaan UUD 1945 dapat dielaborasi dengan mengacu pada makna yang terkandang dalam
setiap alinea.

Pokok-pokok Pikiran Setiap Alinea Pembukaan UUD 1945

Alinea Bunyi Alinea Makna


1. Bahwa sesungguhnya kemerdekaan 1. Pengakuan terhadap prinsip universal yang
adalah hak segala bangsa dan oleh berupa hak kemerdekaan sebagai hak asasi
sebab itu, maka penjajahan di atas setiap bangsa yang harus dijunjung tinggi.
dunia harus dihapuskan, karena tidak 2. Menunjukkan keteguhan dan kuatnya pendirian
sesuai dengan peri kemanusiaan dan bangsa Indonesia dalam menentang penjajahan
peri keadilan. atau imperialisme di mana saja karena
bertentangan dengan perikemanusiaan dan
rasa keadilan.

2. Dan perjuangan pergerakan 1. Pengakuan dan penghargaan secara obyektif


kemerdekaan Indonesia telah bahwa kemerdekaan Negara Indonesia adalah
sampailah kepada saat yang hasil perjuangan dan pergerakan bersama
berbahagia dengan selamat sentausa seluruh bangsa Indonesia.
mengantarkan rakyat Indonesia ke 2. Pengakuan akan kesadaran bahwa
depan pintu gerbang kemerdekaan kemerdekaan Negara Indonesia bukanlah akhir
Negara Indonesia yang merdeka, perjuangan melainkan merupakan pintu masuk
bersatu, berdaulat, adil dan makmur. bagi terwujudnya sebuah Negara Indonesia
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur.
3. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha 1. Pengakuan yang didasarkan atas keyakinan
Kuasa dan dengan didorong oleh yang kuat bahwa pada hakekatnya
keinginan luhur, supaya berkehidupan kemerdekaan Negara Indonesia adalah takdir,
kebangsaan yang bebas, maka rakyat kehendak, rahmat, dan sekaligus amanat dari
Indonesia menyatakan dengan ini Tuhan Yang Maha Kuasa yang harus dijaga dan
kemerdekaanya. dipertahankan.
2. Kesadaran bahwa disamping takdir, kehendak,
dan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa,
kemerdekaan Negara Indonesia juga
merupakan cita-cita luhur yang telah sejak lama
diperjuangkan.

4. Kemudian dari pada itu untuk 1. Tujuan Negara yang harus menjadi acuan bagi
membentuk suatu Pemerintahan penyelenggaraan pemerintahan: melindungi
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
segenap bangsa Indonesia dan seluruh darah Indonesia dan untuk memajukan
tumpah darah Indonesia dan untuk kesejahteran umum mencerdaskan kehidupan
memajukan kesejahteran umum bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
mencerdaskan kehidupan bangsa dan yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi
ikut melaksanakan ketertiban dunia dan keadilan sosial.
yang berdasar kemerdekaan, 2. Negara Konstitusional, yaitu negara yang
perdamaian abadi dan keadilan sosial. berdasarkan Undang-Undang Dasar.
Maka disusunlah kemerdekaan
3. Negara Republik Demokrasi dengan dasar
Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
kedaulatan rakyat.
Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu 4. Dasar Negara: Ketuhanan Yang Maha Esa,
susunan Negara Republik Indonesia Kemanusian yang adil dan beradap, Persatuan
yang berkedaulatan rakyat dengan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh
berdasar kepada Ketuhanan Yang hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
Maha Esa, kemanusian yang adil dan /perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
beradap, persatuan Indonesia, Indonesia; yang lazim disebut dengan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat PANCASILA.
kebijaksanaan dalam
permusyawaratan /perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

3.  Amandemen terhadap UUD 1945 mengakibat kan terjadinya pergeseran terhadap struktur
ketatanegaraan, berikan analisis terhadap permasalahan tersebut

Pasca perubahan UUD 1945 yang terjadi di Indonesia, telah telah merubah banyak hal pada
sistem ketatanegaraan. Berikut implikasi dari perubahan UUD 1945 terhadap sistem
ketatanegaraan Indonesia :

1. MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan pemegang kedaulatan
rakyat tertinggi. Penghapusan sistem lembaga tertinggi negara adalah upaya logis untuk keluar
dari perangkap design  ketatanegaraan yang rancu dalam menciptakan mekanisme check and
balances di antara lembaga-lembaga negara. Selama ini, model MPR sebagai “pemegang
kedaulatan rakyat sepenuhnya” telah menjebak Indonesia untuk membenarkan kekuasaan
yang absolute. Perubahan ini dapat dilihat dari adanya keberanian untuk “memulihkan”
kedaulatan rakyat dengan mengamandemen Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa kedaulatan
adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR menjadi kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Perubahan ini diikuti dengan langkah besar
lainnya yaitu dengan melakukan amandemen terhadap Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 dari MPR
terdiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditambah dengan utusan-utusan
dari daerah (UD) dan golongan-golongan (UG) menjadi MPR terdiri atas anggota DPR dan
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan umum. Perubahan
terhadap ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945
berimplikasi pada reposisi peran MPR dari lembaga tertinggi negara (supreme body) menjadi
sebatas sidang gabungan (joint session) antara DPR dan DPD.
2. Dihapusnya sistem unikameral dengan supremasi MPR dan munculnya sistem bikameral.
Dalam sistem bikameral, masing-masing kamar mencerminkan jenis keterwakilan yang
berbeda yaitu DPR merupakan representasi penduduk sedangkan DPD merupakan
representasi wilayah (daerah). Perubahan ini terjadi menjadi sebuah keniscayaan karena
selama ini Utusan Daerah dalam MPR tidak ikut membuat keputusan politik nasional dalam
peringkat undang-undang. Banyak kalangan berharap sistem bikameral dapat menciptakan
keseimbangan antara lembaga-lembaga negara sehingga mekanisme checks and
balances berjalan tanpa adanya sebuah lembaga yang mempunyai kekuasaan lebih tinggi dari
yang lainnya.
3. Perubahan proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dari sistem perwakilan menjadi
sistem pemilihan langsung oleh rakyat. Perubahan ini tidak terlepas pengalaman “pahit”  yang
terjadi pada proses pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden selama orde baru dan
pemilihan Presiden tahun 1999. De ngan pemilihan langsung, Presiden dan Wakil Pre siden yang
terpilih akan mendapat mandat dan dukungan yang lebih riil rakyat sebagai wujud kontrak
sosial antara pemilih dengan tokoh yang dipilih. Pemilihan langsung akan memberikan
kesempatan yang luas kepada rakyat untuk menentukan pilihan secara langsung tanpa
mewakilkan kepada orang lain. Pemilihan langsung juga dapat menciptakan perimbangan
antara berbagai kekuatan dalam penyelenggaraan negara terutama dalam menciptakan
mekanisme checks and balances   antara Presiden dengan lembaga perwakilan karena sama-
sama dipilih oleh rakyat.
4. Dihapusnya DPA sebagai salah satu lembaga tinggi negara. Sebagai gantinya, Presiden
membentuk dewan pertimbangan yang bertugas memberikan pertimbangan kepada Presiden
yang selanjutnya diatur dengan undang-undang. Perubahan ini memberikan klesempatan
kepada Presiden untuk membentuk dewan pertimbangan, misalnya dalam bentuk Penasihat
Presiden.
5. Kekuasaan kehakiman tidak hanya dijalankan oleh Mahkamah Agung tetapi juga oleh
Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang terhadap undang-undang dan kewenangan
lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Sedangkan Mahkmah Konstitusi, berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perse lisihan tentang hasil pemilihan umum.
Meski demikian, perubahan terhadap UUD 1945 tetap menyisakan persoalan lain seperti
dominasi posisi DPRD, tidak hanya terhadap lembaga-lembaga di luar legislative, tetapi juga terjadi
terhadap DPD. Dengan terbatasnya kewenangan yang dimiliki DPD, sulit dibantah bahwa
keberadaannya lebih merupakan sub-ordinasi dari DPR. Sebagai representasi kepentingan daerah,
DPD hanya diberikan kewenangan untuk mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan
otonomi daerah. Bahkan dalam fungsi legislasi diberikan batas secara tegas bahwa kekuasaan untuk
membuat undang-undang hanya menjadi monopoli DPR. Akibatnya, perubahan UUD 1945 secara
samar-samar mendorong DPR menjadi lembaga negara yang supreme di antara lembaga-lembaga
negara yang ada. Kenyataan ini sulit untuk dibantah karena hampir semua kekuasaan negara
bertumpu ke DPR.

4. Buatlah tiga contoh dengan argumennya terkait pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab
negara untuk menghomati, memajukan, melindungi dan memenuhi HAM. Saudara dapat
menggali contoh-contoh tersebut pada berbagai pemberitaan di media internet .

Penegasan tentang tanggung jawab dan kewajiban negara terutama pemerintah juga
ditemukan pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM),
yakni pada Pasal 8 dan Pasal 39. Pada Pasal 71 UU HAM dinyatakan bahwa kewajiban dan tanggung
 jawab Pemerintah meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik,
ekonomi, sosial, budaya pertahanan keamanan negara, dan bidang lain. Dengan demikian pada
konteks HAM, negara melalui pemerintah adalah pemangku kewajiban dan tanggung jawab HAM,
sedangkan masyarakat adalah pemangku atau pemengang hak.

Contoh pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab negara terhadap HAM :


1. Negara membentuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Pembentukan LPSK merupakan bentuk kewajiban dan tanggung jawab negara dalam upaya
melindungi dan memenuhi HAM, terutama jaminan rasa aman terhadap saksi dan korban
dalam memberikan keterangan dalam proses peradilan pidana. LPSK merupakan lembaga
mandiri yang dibentuk berdasarkan UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

2. Negara melakukan pembangunan gedung sekolah, menjamin tersedianya guru dan alat-alat
pendidikan serta mengalokasikan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Upaya negara membangun gedung sekolah, menjamin tersedianya guru dan alat-alat
pendidikan serta adanya alokasi dana BOS merupakan bentuk pemenuhan kewajiban dan
tanggung jawab negara terhadap hak atas pendidikan kepada setiap warga negara tanpa
terkecuali. Pemenuhan ini sesuai dengan amanat pasal 31 UUD NRI 1945 dan Undang-undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

3. Penyediaan fasilitas bagi penyandang cacat atau kaum disabilitas.


Penyediaan fasilitas bagi penyandang cacat dapat dijumpai pada sejumlah fasilitas public
seperti rumah sakit, pusat perbelanjaan, bandara hingga transportasi umum. Fasilitas yang
paling sering dijumpai adalah jalur khusus ataupun toilet bagi penyandang cacat. Meskipun
belum maksimal dan menyeluruh pada seluruh fasilitas public, penyediaan fasilitas yang sudah
ada tersebut merupakan salah satu upaya pemerintah melaksanakan tanggung jawab untuk
memenuhi hak-hak penyandang cacat seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 8
Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam undang-undang ini, terdapat 33 hak bagi
penyandang disabilitas di Indonesia yang harus dipenuhi.

Anda mungkin juga menyukai