Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN DISKUSI PEMICU 3

MODUL FOUNDATION OF CLINICAL PRACTICE

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3

1. Ryan Kusumawardani I11109024


2. Muthiah Azzahra I11112071
3. Marisa I1011131034
4. Dimas Pria Abdi Pratama I1011141026
5. Syafitri Khadijah Kesuma I1011141049
6. Ummul Hayati I1011151006
7. Syarif Muhammad Nur Taufiq I1011151019
8. Lia Pramita I1011151026
9. Vica Vionita Rosalim I1011151058
10. Isabella I1011151069
11. Hendi Rizaldi I1011151074

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pemicu
Laki-laki 25 tahun, dibawa ke IGD tempat anda bertugas dengan
riwayat dada sisi kanan terbentur stang sepeda motor (kecelakaan lalu lintas)
sekitar 15 menit yang lalu. Penderita tampak pucat dan mengeluh sesak nafas.
Data Tambahan
a. TD : 100/60 mmHg
b. N : 120x/mnt
c. RR : 36x/menit
d. Retraksi otot pernafasan : (+)
e. Trakhea bergeser ke kiri
f. Jejas (+) pada hemithorax dextra
g. Hemithorax dextra tampak lebih cembung dan hipersonor
h. Akral dingin (+) denyut arteri lemah, Capillary refill time > 3 detik
i. External bleeding(-)
Foto Thorax
1.2 Klarifikasi dan Definisi
-

1.3 Kata Kunci


1. Laki – laki, 25 tahun
2. Terbentur stang sepeda motor pada dada sisi kanan 15 menit yang lalu
3. Pucat dan sesak nafas

1.4 Rumusan Masalah


Apa yang dialami laki-laki 25 tahun dengan keluhan sesak nafas dan pucat,
setelah dada kanan nya terbentur stang motor ?
1.5 Analisis Masalah

Laki-laki, 25 thn

KLL

Dibawa ke IGD

Pasien pucat dan sesak


Riwayat: Dada
nafas
sisi kanan
terbentur stang
motor ABCDE

DD

Airway Trauma Thorax

-Pneumothorax
-Obstruksi saluran nafas
-Hemothorax
-Cedera servikal
-Flail chest
- Cardiac tamponade

Secondary survey

Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis

Tatalaksana
1.6 Hipotesis
Laki-laki 25 tahun mengalami pneumothorax.

1.7 Pertanyaan Diskusi


1. Primary survey
a. Airway
b. Breathing
c. Circulation
d. Disability
e. Exposure/environment
2. Secondary survey
3. Bagaimana transportasi pada pasien trauma
4. Pneumothorax
a. Definisi
b. Epidemiologi
c. Etiologi
d. Klasifikasi
e. Manifestasi klinis
f. Patofisiologi
g. Diagnosis
h. Tatalaksana
i. Prognosis
5. Jelaskan mengenai hemothorax
6. Jelaskan mengenai obstruksi jalan nafas
7. Jelaskan mengenai cedera servikal
8. Jelaskan mengenai flail chest
9. Jelaskan mengenai cardiac tamponade
10. Mekanisme trauma thorax
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Primary Survey
Pasien dinilai, dan prioritas perawatannya, berdasarkan luka-luka mereka,
tanda-tanda vital, dan mekanisme cedera. Prioritas perawatan ditentukan
berdasarkan keseluruhan penilaian pasien. Fungsi vital pasien harus dinilai
dengan cepat dan efisien. Pengelolaan terdiri dari survei primer cepat dengan
simultan resusitasi fungsi vital, survei sekunder yang lebih detail, dan inisiasi
perawatan definitive. Survei primer meliputi ABCDEs dari perawatan trauma
dan mengidentifikasi kondisi yang mengancam jiwa dengan mengikuti urutan
ini:1
 Airway (Perawatan jalan nafas dengan pembatasan gerakan tulang
belakang servikal)
 Breathing (Pernapasan dan ventilasi)
 Circulation (Sirkulasi dengan kontrol perdarahan)
 Disability (Disabilitas (penilaian status neurologis))
 Exposure (Paparan / Pengendalian lingkungan)
Dokter dapat dengan cepat menilai A, B, C, dan D dalam pada pasien trauma
(penilaian 10 detik) dengan mengidentifikasi diri mereka sendiri, meminta
pasien untuk namanya, dan bertanya apa yang terjadi. Tanggapan yang tepat
menunjukkan bahwa tidak ada kompromi saluran napas utama (yaitu,
kemampuan berbicara dengan jelas), bernapas tidak terlalu parah
dikompromikan (yaitu, kemampuan untuk menghasilkan pergerakan udara
untuk memungkinkan pembicaraan), dan tingkat kesadarannya tidak nyata
menurun (yaitu, cukup waspada untuk menggambarkan apa yang terjadi). Gagal
menjawab pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan kelainan pada A, B, C, atau
D yang menjamin penilaian dan manajemen yang mendesak.1
a. Airway
Setelah evaluasi awal pasien trauma, pertama-tama menilai jalan
napas untuk memastikan patensi. Penilaian cepat ini untuk tanda-tanda
obstruksi saluran napas termasuk memeriksa benda asing; mengidentifikasi
wajah, mandibula, dan / atau fraktur trakea / laring dan cedera lainnya dapat
menyebabkan obstruksi saluran napas; dan penyedotan membersihkan
darah atau sekresi yang terkumpul yang dapat menyebabkan atau
menyebabkan penyumbatan saluran napas. Mulai mengukur untuk
membangun jalan napas paten sementara membatasi gerakan tulang
belakang serviks. Jika pasien mampu berkomunikasi secara verbal, maka
saluran napas tidak mungkin berada dalam bahaya. Namun, penilaian
berulang patensi saluran napas perlu. Selain itu, pasien dengan cedera
kepala yang parah yang memiliki tingkat kesadaran yang berubah atau
Glasgow Skor Coma Scale (GCS) 8 atau lebih rendah biasanya
membutuhkan penempatan saluran napas definitif (yaitu diamankan tabung
di trakea. Awalnya, manuver jaw thrust atau chin lift sering cukup sebagai
intervensi awal. Jika pasien tidak sadar dan tidak memiliki refleks muntah,
penempatan saluran napas orofaring dapat membantu untuk sementara.
Buat jalan nafas definitif jika ada ada keraguan tentang kemampuan pasien
untuk mempertahankan integritas saluran napas. Temuan respons motorik
yang tidak jelas sangat menyarankan perlunya jalan napas penatalaksanaan
definitif. 1
Saat menilai dan mengelola saluran napas pasien, sangat berhati -
hati untuk mencegah gerakan yang berlebihan pada tulang belakang dan
leher. Berdasarkan mekanisme trauma, berasumsi bahwa ada cedera tulang
belakang. Pemeriksaan neurologis sendiri tidak mengecualikan diagnosis
cedera tulang belakang servikal. Tulang punggung harus dilindungi dari
mobilitas yang berlebihan untuk mencegah perkembangan atau
perkembangan defisit. Tulang belakang leher dilindungi dengan cervical
collar. Ketika manajemen saluran napas diperlukan, cervical collar dibuka,
dan tim anggota secara manual membatasi gerak tulang belakang servikal.
Sementara setiap upaya harus dilakukan untuk mengenali kegawatdaruratan
saluran napas segera dan mengamankan saluran napas secara definitif, sama
pentingnya untuk mengenali potensi untuk kehilangan napas progresif.
Evaluasi ulang yang sering patensi saluran napas sangat penting untuk
diidentifikasi dan diobati pasien yang kehilangan kemampuan untuk
mempertahankan saluran napas yang adekuat. Buat jalan napas dengan
pembedahan jika intubasi kontraindikasi atau tidak dapat dicapai.1
b. Breathing
Patensi jalan napas saja tidak menjamin cukup ventilasi. Pertukaran
gas yang memadai diperlukan untuk memaksimalkan oksigenasi dan karbon
dioksida tereliminasi. Ventilasi membutuhkan fungsi yang memadai paru-
paru, dinding dada, dan diafragma; karena itu, dokter harus cepat memeriksa
dan mengevaluasi setiap komponen.1
Untuk menilai distensi vena jugularis secara adekuat, posisi trakea,
dan perjalanan dinding dada, mengekspos leher dan dada pasien. Lakukan
auskultasi untuk memastikan aliran gas di paru-paru. Inspeksi visual dan
palpasi dapat mendeteksi cedera pada dinding dada yang mungkin
membahayakan ventilasi. Perkusi thorax juga dapat mengidentifikasi
kelainan, tetapi selama resusitasi yang bising, evaluasi ini mungkin tidak
akurat.
Cedera yang secara signifikan mengganggu ventilasi di jangka
pendek termasuk tension pneumothorax, massive hemotoraks, open
pneumothorax, dan cedera trakea atau bronkus. Cedera ini harus
diidentifikasi selama survei primer dan sering membutuhkan segera
perhatian untuk memastikan ventilasi yang efektif. Karena tension
pneumothorax berkompromi dengan ventilasi dan sirkulasi secara dramatis
dan akut, dekompresi dada harus segera menyusul ketika dicurigai oleh
evaluasi klinis.
Setiap pasien yang cedera harus mendapat suplemen oksigen. Jika
pasien tidak diintubasi, oksigen seharusnya dikirim oleh perangkat mask-
reservoir untuk mencapainya oksigenasi optimal. Gunakan pulse oximeter
untuk memantau kecukupan saturasi oksigen hemoglobin. Simple
pneumothorax, tulang rusuk yang retak, flail chest, dan memar paru dapat
mengkompromikan ventilasi ke tingkat yang lebih rendah dan biasanya
diidentifikasi selama survei sekunder. Simple pneumothorax dapat berubah
menjadi tension pneumothorax ketika pasien diintubasi dan ventilasi
tekanan positif disediakan sebelum mendekompresi pneumotoraks dengan
tabung dada.1
c. Circulation
Volume darah, curah jantung, dan perdarahan adalah masalah
sirkulasi utama yang perlu dipertimbangkan. Unsur-unsur pengamatan
klinis yang menghasilkan informasi penting dalam hitungan detik adalah
tingkat kesadaran, perfusi kulit, dan denyut nadi.1
• Tingkat Kesadaran — Saat volume sirkulasi darah berkurang,
perfusi serebral mungkin mengalami gangguan kritis, sehingga
menghasilkan tingkat kesadaran yang berubah.
• Perfusi Kulit — Tanda ini dapat membantu mengevaluasi
pasien hipovolemik yang cedera. Pasien dengan kulit merah
muda, terutama di wajah dan ekstremitas, jarang memiliki
hipovolemia kritis setelah cedera. Sebaliknya, seorang pasien
dengan hipovolemia mungkin pucat, kulit wajah abu-abu dan
ekstremitas pucat.
• Denyut nadi — Denyut nadi yang cepat dan tiba-tiba biasanya
adalah tanda hipovolemia. Nilai denyut pusat (mis., arteri
femoralis atau karotid) secara bilateral untuk kualitas,
kecepatan, dan keteraturan. Tidak hadir denyut nadi sentral
yang tidak dapat dikaitkan dengan faktor lokal menandakan
kebutuhan akan segera tindakan resusitasi.
Identifikasi sumber perdarahan sebagai eksternal atau internal.
Pendarahan eksternal diidentifikasi dan dikendalikan selama survei primer.
Kehilangan darah yang cepat dan eksternal dikelola oleh tekanan manual
langsung pada luka. Tourniquets efektif dalam pendarahan besar-besaran
dari ekstremitas tetapi membawa risiko cedera iskemik untuk ekstremitas
itu. Gunakan tourniquet hanya ketika langsung tekanan tidak efektif dan
hidup pasien terancam. Blind clamping dapat menyebabkan kerusakan saraf
dan vena.1
Daerah utama pendarahan internal adalah dada, perut,
retroperitoneum, panggul, dan tulang panjang. Sumber perdarahan biasanya
diidentifikasi oleh fisik pemeriksaan dan pencitraan (misalnya, rontgen
dada, rontgen panggul, penilaian terfokus dengan sonografi untuk trauma/
focused assessment with sonography for trauma [FAST], atau diagnostic
peritoneal lavage [DPL]). Manajemen sesegara mungkin termasuk
dekompresi dada, dan aplikasi alat penstabil pelvis dan / atau splints
ekstremitas. Manajemen definitif mungkin membutuhkan perawatan
radiologi bedah atau intervensional dan stabilisasi tulang panggul dan
panjang. Memulai konsultasi bedah atau prosedur transfer di awal pasien-
pasien ini.1
Kontrol perdarahan definitif sangat penting, bersama dengan
penggantian volume intravaskular yang tepat. Akses vaskular harus
ditetapkan; biasanya dua kateter vena perifer besar ditempatkan dan
diberikan cairan, darah, dan plasma. Sampel darah untuk studi hematologi
awal diperoleh, termasuk tes kehamilan untuk semua wanita usia subur dan
golongan darah dan pencocokan silang. Untuk menilai keberadaannya dan
tingkat syok, gas darah dan/atau laktat tingkat diperoleh. Ketika situs
periferal tidak bisa diakses, infus intraoseus, akses vena sentral, atau
pemotongan vena dapat digunakan tergantung pada cedera pasien dan
tingkat keterampilan dokter.1
Resusitasi volume yang agresif dan berkelanjutan adalah bukan
pengganti kontrol perdarahan definitif. Kejutan yang terkait dengan cedera
paling sering adalah hipovolemik. Dalam kasus seperti itu, mulai terapi
cairan IV dengan kristaloid. Semua larutan IV harus dihangatkan baik
dengan penyimpanan di lingkungan yang hangat (misalnya, 37°C hingga
40°C) atau diberikan melalui perangkat penghangat cairan. Sebuah bolus 1L
larutan isotonik mungkin diperlukan untuk mencapai tanggapan yang tepat
di seorang pasien dewasa. Jika seorang pasien tidak responsif terhadap
terapi awal kristaloid, dia harus menerima transfusi darah. Cairan diberikan
dengan bijaksana, seperti resusitasi agresif sebelum mengontrol perdarahan
telah terbukti meningkatkan angka kematian dan morbiditas.
Pasien trauma yang sangat terluka beresiko koagulopati, yang dapat
terus didorong oleh tindakan resusitasi. Kondisi ini berpotensi menetapkan
siklus perdarahan berkelanjutan dan resusitasi lebih lanjut, yang dapat
dikurangi dengan penggunaan protokol transfusi masif dengan komponen
darah diberikan pada rasio rendah yang telah ditentukan.1
d. Disability
Evaluasi neurologis yang cepat menentukan tingkat kesadaran dan
ukuran serta reaksi pupil pasien; mengidentifikasi keberadaan tanda-tanda
lateralisasi; dan menentukan tingkat cedera sumsum tulang belakang jika
ada.1
GCS adalah metode cepat, sederhana, dan obyektif menentukan
tingkat kesadaran. Penurunan dalam tingkat kesadaran pasien dapat
menunjukkan penurunan oksigenasi serebral dan / atau perfusi, atau
mungkin disebabkan oleh cedera otak langsung. Sebuah tingkat kesadaran
yang berubah menunjukkan kebutuhan untuk segera mengevaluasi kembali
oksigenasi pasien, ventilasi, dan status perfusi. Hipoglikemia, alkohol,
narkotika, dan obat-obatan lain juga bisa mengubah tingkat kesadaran
pasien. Sampai terbukti jika tidak, selalu anggap bahwa perubahan dalam
level kesadaran adalah hasil dari cedera sistem saraf pusat. Ingatlah
keracunan obat atau alkohol bisa menemani cedera otak traumatis.
Cedera otak primer dihasilkan dari efek struktural cedera ke otak.
Pencegahan sekunder cedera otak dengan mempertahankan oksigenasi yang
memadai dan perfusi adalah tujuan utama dari manajemen awal. Karena
bukti cedera otak bisa tidak ada atau minimal pada saat evaluasi awal, sangat
penting untuk mengulang pemeriksaan. Pasien dengan bukti cedera otak
harus dirawat di fasilitas yang memiliki personil dan sumber daya untuk
mengantisipasi dan mengelola kebutuhan pasien-pasien ini. Ketika sumber
daya untuk merawat ini pasien tidak tersedia pengaturan untuk transfer
harus dimulai segera setelah kondisi ini didiagnosis. Demikian pula,
konsultasikan dengan ahli bedah saraf setelah cedera otak dikenali.1
e. Exposure
Selama survei utama, pelepasan pakaian sepenuhnya, biasanya
dengan memotong pakaiannya memfasilitasi pemeriksaan dan penilaian
menyeluruh. Setelah menyelesaikan penilaian, tutup pasien dengan selimut
hangat atau alat pemanasan eksternal untuk mencegah pasien
mengembangkan hipotermia di daerah penerima trauma. Cairan intravena
hangat sebelumnya diberikan pada mereka, dan menjaga lingkungan yang
hangat. Hipotermia dapat hadir ketika pasien tiba, atau mungkin
berkembang cepat di ruang gawat darurat jika pasien berada ditemukan dan
mengalami administrasi cepat cairan suhu kamar atau darah yang
didinginkan. Karena hipotermia adalah komplikasi yang berpotensi
mematikan melukai pasien, mengambil tindakan agresif untuk mencegah
hilangnya panas tubuh dan mengembalikan suhu tubuh ke normal. Suhu
tubuh pasien lebih tinggi prioritas dari kenyamanan penyedia layanan
kesehatan, dan suhu area resusitasi seharusnya ditingkatkan untuk
meminimalkan hilangnya panas tubuh. Penggunaan cairan fluida aliran
tinggi untuk memanaskan cairan kristaloid 39°C (102,2°F)
direkomendasikan. Ketika penghangat cairan tidak tersedia, microwave
dapat digunakan untuk menghangatkan cairan kristaloid, tetapi tidak boleh
digunakan untuk menghangatkan produk darah.1

2.2 Secondary Survey


Survei sekunder tidak dimulai sampai yang utama survei (ABCDE) selesai,
upaya resusitasi berlangsung, dan peningkatan vital pasien fungsi telah
dibuktikan. Saat tambahan personil tersedia, bagian dari survei sekunder dapat
dilakukan saat personil lainnya hadir ke survei utama. Metode ini tidak boleh
sama sekali mengganggu kinerja survei utama, yang merupakan prioritas
tertinggi.1
Survei sekunder adalah evaluasi dari ujung ke ujung pada pasien trauma —
yaitu, riwayat lengkap dan pemeriksaan fisik, termasuk penilaian ulang semua
tanda vital. Setiap wilayah tubuh sepenuhnya diperiksa. Potensi untuk
kehilangan cedera atau gagal untuk menghargai pentingnya cedera luar biasa,
terutama dalam hal pasien tidak responsif atau tidak stabil.
1. Anamnesis
a. Anamnesis meliputi riwayat bagaimana terjadinya cedera pada
pasien. Pada pasien trauma, biasanya anamnesis didapatkan dari
keluarga atau orang yang mendampingi pasien. Pada anamnesis,
ditanyakan riwayat AMPLE, yaitu:
b. Allergies (alergi)
c. Medication currently used (obat yang diminum saat ini)
d. Past illness/pregnancy (penyakit dahulu/kehamilan)
e. Last meal (makannan yang terakhir dimakan)
f. Event/enviroment (lingkungan)
Mekanisme cedera juga dapat mempengaruhi keadaan pasien. Beberapa
penyebab cedera seperti trauma tumpul, trauma karena benda tajam,
cedera karena suhu panas/dingin, serta cedera karena bahan kimia,
racun, dan radiasi berbahaya.
2. Pemerikaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan berurutan dari:
a. Kepala
b. Maksilo-fasial
c. Vertebra servikal dan leher
d. Dada
e. Abdomen dan pelvis
f. Perineum, rektum, dan vagina
g. Sistem musculoskeletal
h. Sistem neurologis
3. Tambahan pada Secondary survey
Pemeriksaan diagnostik yang lebih spesifik seperti x ray dari tulang
belakang dan ekstremitas, CT scan kepaka, dada, abdomen, dan tulang
belakang; urografi dan angiografi; transeofageal, bronkoskofi,
esofagoskofi, dan prosedur diagnostik lain.

2.3 Bagaimana transportasi pada pasien trauma


Setelah penderita diletakan diatas tandu (atau Long Spine Board bila diduga
patah tulang belakang) penderita dapat diangkut ke rumah sakit. Sepanjang
perjalanan dilakukan Survey Primer, resusitasi jika perlu. Tulang yang paling
kuat ditubuh manusia adalah tulang panjang dan yang paling kuat diantaranya
adalah tulang paha (femur). Otot-otot yang beraksi pada tulang tersebut juga
paling kuat. Dengan demikian maka pengangkatan harus dilakukan dengan
tenaga terutama pada paha dan bukan dengan membungkuk angkatlah dengan
paha, bukan dengan punggung. Panduan dalam mengangkat penderita gawat
darurat.2
1. Kenali kemampuan diri dan kemampuan pasangan kita.
2. Diangkat secara bersama dan bila merasa tidak mampu jangan
dipaksakan
3. Kedua kaki berjarak sebahu kita, satu kaki sedikit didepan kaki sedikit
sebelahnya
4. Berjongkok, jangan membungkuk, saat mengangkat
5. Tangan yang memegang menghadap kedepan
6. Tubuh sedekat mungkin ke beban yang harus diangkat. Bila terpaksa
jarak maksimal tangan dengan tubuh kita adalah 50 cm
7. Jangan memutar tubuh saat mengangkat
8. Panduan diatas berlaku juga saat menarik atau mendorong penderita

2.4 Pneumothorax
a. Definisi
Pneumothorax adalah istilah medis untuk terkumpulnya udara pada
rongga pleura, yaitu rongga tipis yang dibatasi dua selaput pleura diantara
paru-paru dan dinding dada. Udara yang terkumpul pada rongga pleura
dapat terjadi akibat adanya celah yang terbentuk akibat cedera pada dinding
dada atau robekan pada jaringan paru-paru. Akibatnya, udara tersebut
menekan paru-paru dan membuat paru-paru menjadi mengempis (kolaps).3
b. Epidemiologi
Kejadian pneumotoraks berkisar antara 2,4 – 17,8 per 100.000 per
tahun. Beberapa karakteristik pada pneumotoraks antara lain: laki -laki lebih
sering daripada wanita (4: 1), paling sering pada usia 20-30 tahun.
Pneumotoraks merupakan kegawatan paru. Angka kejadian Inggris laki-laki
24 per 100.000 penduduk dan perempuan 9,8 per 100.000 penduduk per
tahun. Kasus pneumotoraks lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan
perempuan. Kasus pneumotoraks di Pakistan pada laki-laki 63,58% dan
perempuan 36,42%, sesuai penelitian didapatkan kasus pneumotoraks laki-
laki 64,10% dan perempuan 35,90% dengan rerata umur 49,13 tahun.4
c. Etiologi
Pneumotoraks dapat terjadi setiap kali permukaan paru-paru pecah,
memungkinkan udara keluar dari paru-paru ke ruang pleura. Hal ini dapat
terjadi ketika luka beberapa tusukan dinding dada, yang memungkinkan
udara luar masuk ruang pleura. Sebuah pneumotoraks spontan terjadi tanpa
trauma dada, dan biasa nya disebabkan oleh pecahnya kista kecil pada
permukaan paru-paru, kista tersebut dapat terjadi tanpa penyakit paru-paru
yang berhubungan, atau dapat berkembang karena berbagai gangguan paru-
paru yang mendasari.5
Sedangkan pada pneumotaks traumatic dapat dihasilkan dari kedua
trauma tumpul dan luka tembus ke dinding dada. Ini dapat terjadi pada
mereka yang terkena ledakan eksplosif, bahkan jika tidak ada cedera
langsung ke dada telah terjadi. Mekanisme paling umum adalah tertusuknya
pleura oleh tulang iga.5
d. Klasifikasi 5,6
Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu :
1. Pneumotoraks spontan
Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks
tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :
a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi
secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.
b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi
dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki
sebelumnya, misalnya fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik
kronis (PPOK), kanker paru-paru, asma, dan infeksi paru.
2. Pneumotoraks traumatik,
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik
trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura,
dinding dada maupun paru. Pneumotoraks tipe ini juga dapat
diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :
a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang
terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada,
barotrauma.
b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang
terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis
inipun masih dibedakan menjadi dua, yaitu :
 Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental adalah suatu
pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena
kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada
parasentesis dada, biopsi pleura.
 Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate) adalah
suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara
mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini
dilakukan untuk tujuan pengobatan, misalnya pada pengobatan
tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk menilai
permukaan paru.
Dan berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu :
1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka
pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar.
Tekanan di dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun
lambat laun berubah menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru
disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum mengalami re-ekspansi,
sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah
kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara
di rongga pleura tetap negatif.
2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax),
Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura
dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka
terbuka pada dada). Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan
tekanan udara luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura
sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan
yang disebabkan oleh gerakan pernapasan. Pada saat inspirasi tekanan
menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan menjadi positif.
Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam keadaan normal, tetapi
pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang
terluka (sucking wound).
3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)
Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan
makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis
yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea,
bronkus serta percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura
melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga
pleura tidak dapat keluar. Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura
makin lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang
terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering
menimbulkan gagal napas.
Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka
pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :
1. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada
sebagian kecil paru (< 50% volume paru).

Gambar 2.1 Pneumothorax parsialis


2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian
besar paru (> 50% volume paru).

Gambar 2.2 Pneumothorax totalis


e. Manifestasi klinis
Manifestasi pneumothorax meliputi adanya peningkatan tekanan
dalam pleura akan menghalangi paru-paru untuk mengembang saat kita
menarik nafas. Akhirnya pasien dapat mengalami sesak nafas, nyeri dada,
keringat dingin, sianosis, jantung berdebar, batuk, dan lemas.1
1. Simple peumotoraks adalah pneumotoraks yang tidak disertai
peningkatan tekanan intra toraks yang progresif. Adapun Manifestasi
klinis yang dijumpai :
a. Paru pada sisi yang terkena akan kolaps, parsial atau total
b. Tidak dijumpai mediastinal shift
c. Dijumpai hipersonorpada daerah yang terkena,
d. Dijumpai suara napas yang melemah sampai menghilang pada
daerah yang terkena.
e. Dijumpai kolaps paru pada daerah yang terkena
f. Pada pemeriksaan foto toraks dijumpai adanya gambaran
radiolusen atau gambaran lebih hitam pada daerah yang terkena,
biasanya dijumpai gambaran pleura line.
2. Tension pneumotoraks adalah pneumotoraks yang disertai peningkatan
tekanan intra toraks yang semakin lama semakin bertambah atau
progresif. Pada tension pneumotoraks ditemukan mekanisme ventil atau
udara dapat masuk dengan mudah, tetapi tidak dapat keluar. Adapun
manifestasi klinis yang dijumpai :
a. Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga terjadi
kolaps total paru, mediastinal shift atau pendorongan
mediastinum ke kontralateral, deviasi trachea, hipotensi
&respiratory distress berat.
b. Tanda dan gejala klinis: sesak yang bertambah berat dengan
cepat, takipneu, hipotensi, tekanan vena jugularis meningkat,
pergerakan dinding dada yang asimetris.
3. Open pneumothorax terjadi karena luka terbuka yang cukup besar pada
toraks sehingga udara dapat keluar dan masuk rongga intra toraks
dengan mudah. Tekanan intra toraks akan sama dengan tekanan udara
luar. Dikenal juga sebagai sucking-wound.
f. Patofisiologi
Pneumotoraks terjadi ketika udara dalam rongga pleura memiliki
tekanan yang lebih tinggi daripada udara dalam paru sebelahnya.Udara
memasuki rongga pleura dari tempat ruptur pleura yang bekerja seperti
katup satu arah. Kesulitan dalam proses ekspirasi akan mengarah pada
terperangkapnya udara didalam pulmo, yang dikenal sebagai hiperinflasi.
Rongga besarberisi udara yang terperangkap. Pada foto polos
thorax,tampaksebagai lesi yang timbul di parenkim pulmo yang normal,
yang dibatasi olehmembran fibrous yang tipis dan irreguler. Pada keadaan
infeksi, selain terisi udara, juga akan terisi cairan. Selain dapat
menimbulkan obstruksipada jaringan pulmo yang berdekatan, juga
dapatmenimbulkan tekanan pada pulmo kontralateral sehingga menggangu
fungsinya.Dapat disimpulkan, bahwa bahkan jaringan pulmo yang tidak
terpengaruh. Langsung, akan menjadi kurang efektif. Sebagian
besarmembesar dalam waktu lama. Namun terdapat kasus dimanamembesar
dalam waktu singkat, sehingga secara cepat akan mempengaruhiparenkim
pulmo di sekitarnya. Selain dengan terapi yang bersifat invasif,dapat
menghilang atau mengecil baik secara spontan atau setelah terjadi
infeksiatau perdarahan.7
g. Diagnosis 5,6,8,9,10,11
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang, sebagai berikut :
Anamnesis
Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah :
1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali
sesak dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita
bernapas tersengal, pendek-pendek, dengan mulut terbuka.
2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan
tajam pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih
nyeri pada gerak pernapasan.
3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
4. Denyut jantung meningkat.
5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang
kurang.
6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien,
biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer.
Berat ringannya keadaan penderita tergantung pada tipe pneumotoraks
tersebut :
 Pneumotoraks tertutup atau terbuka, sering tidak berat
 Pneumotoraks ventil dengan tekanan positif tinggi, sering dirasakan
lebih berat
 Berat ringannya pneumotoraks tergantung juga pada keadaan paru
yang lain serta ada tidaknya jalan napas.
 Nadi cepat dan pengisian masih cukup baik bila sesak masih ringan,
tetapi bila penderita mengalami sesak napas berat, nadi menjadi
cepat dan kecil disebabkan pengisian yang kurang.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik torak didapatkan :
1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi
dinding dada)
b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal
c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak
menggetar
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila
tekanan intrapleura tinggi
4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang
b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni
negatif
Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Röntgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto röntgen kasus
pneumotoraks antara lain :
a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang
kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-
kadang paru yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi
berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru.
b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio
opaque yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan
kolaps paru yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu
berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang dikeluhkan.
c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat,
spatium intercostals melebar, diafragma mendatar dan tertekan
ke bawah. Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke arah
paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks
ventil dengan tekanan intra pleura yang tinggi.
d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi
keadaan sebagai berikut :
 Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada
tepi jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini
terjadi apabila pecahnya fistel mengarah mendekati hilus,
sehingga udara yang dihasilkan akan terjebak di
mediastinum.
 Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam
dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari
pneumomediastinum. Udara yang tadinya terjebak di
mediastinum lambat laun akan bergerak menuju daerah
yang lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher
terdapat banyak jaringan ikat yang mudah ditembus oleh
udara, sehingga bila jumlah udara yang terjebak cukup
banyak maka dapat mendesak jaringan ikat tersebut, bahkan
sampai ke daerah dada depan dan belakang.
 Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka
akan tampak permukaan cairan sebagai garis datar di atas
diafragma.

Foto Rö pneumotoraks (PA), bagian yang ditunjukkan


dengan anak panah merupakan bagian paru yang kolaps.
2. Analisa Gas Darah
Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi
meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien
dengan gagal napas yang berat secara signifikan meningkatkan
mortalitas sebesar 10%.
3. CT-scan thorax
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema
bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra
dan ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumotoraks
spontan primer dan sekunder.
h. Tatalaksana 1,12
Tatalaksana di ruang emergensi meliputi:
1. Periksa kondisi ABC (airway, breathing, circulation) dari pasien.
Periksa saturasi oksigen dan tanda vital
2. Berikan oksigen 3-4 L dengan nasal kanula
3. Lakukan pemeriksaan untuk mengetahui luas paru yang mengalami
pneumotoraks.
Apabila pneumotoraks <15% dan pasien asimtomatis, maka terapi
pilihan adalah dengan observasi disertai pemberian oksigen. Apabila
pneumotoraks >15% (atau diperkirakan luas), udara perlu dikeluarkan
dengan water sealed drainage (WSD). Pada pasien pneumotoraks sekunder
dengan penyakit dasar yang berat perlu dilakukan torakostomi. Pleurodesis
dilakukan setelah paru mengalami reinflasi untuk mencegah rekurensi.
Indikasi tindakan pembedahan pada pasien pneumotoraks:
a. Pneumotoraks rekuren pada sisi ipsilateral
b. Pneumotoraks bilateral
c. Pasien dengan kebocoran udara persisten lebih dari 7 hari
d. Pneumotoraks pertama pada pasien yang memiliki pekerjaan dengan
risiko tinggi (penyelam, pilot)
e. Pasien SIDA
Tindakan bedah dilakukan dengan VATS (video-assisted
thoracoscopic surgery) atau torakotomi. Pasien dirujuk ke dokter spesialis
bedah toraks dan kardiovaskular.
1. Pneumotoraks terbuka
Tatalaksana yang perlu segera dilakukan adalah penutupan luka terbuka
dengan lapisan penutup steril yang cukup lebar menutupi tepi defek dan
diplester pada tiga sisi membentuk efek flutter-type valve. Saat inspirasi,
kassa akan menutup defek dan mencegah udara luar masuk, sedangkan
saat ekspirasi bagian terbuka kassa akan membuka sehingga udara
keluar dari rongga pleura. Tatalaksana berikutnya adalah pemasangan
WSD yang tidak berdekatan dengan lokasi defek. Lokasi ideal
pemasangan WSD adalah setingkat putting payudara, yaitu sela iga V
sebelah anterior dari linea midaksilaris ipsilateral.
Gambar 2.4 Penutupan defek pada open pneumothorax
2. Tension pneumothorax
Kasus tersebut tergolong sebagai kegawatdaruratan. Tatalaksana tidak
dapat menunggu konfirmasi radiologis. Tindakan dekompresi harus
segera dilakukan dengan cara insersi jarum pada sela iga II linea
midklavikula hemitoraks ipsilateral. Setelah keadaan tenang,
dilanjutkan dengan pemasangan WSD.
i. Prognosis
Prognosis bervariasi di antara klasifikasi pneumotoraks.13,14
1. Pneumotoraks spontan primer, sekunder, dan berulang
Resolusi lengkap pneumotoraks tanpa komplikasi membutuhkan waktu
sekitar 10 hari. PSP biasanya jinak dan sering hilang tanpa perhatian
medis. Banyak orang yang terkena tidak mencari perawatan medis
selama berhari-hari setelah gejala berkembang. kecendrungan ini
penting, karena kejadian edema paru reekspansi meningkat pada pasien
yang tabung dadanya telah dipasang 3 hari atau lebih setelah
pneumotoraks terjadi. Rekurensi biasanya menyerang dalam 6 bulan
pertama hingga 3 tahun. Tingkat kekambuhan 5 tahun adalah 28-32%
untuk Primary spontaneous pneumothorax (PSP) dan 43% untuk SSP.
Kekambuhan lebih sering terjadi pada pasien yang merokok, pasien
dengan COPD dan pasien dengan AIDS. Prediktor rekurensi termasuk
fibrosis paru, usia yang lebih muda, dan peningkatan rasio tinggi
terhadap berat. Dalam sebuah studi retrospektif dari 182 pasien berturut-
turut dengan episode pneumotoraks pertama yang baru didiagnosis,
tingkat kekambuhan yang lebih tinggi tercatat pada pasien yang lebih
tinggi, pasien kurus, dan pasien dengan SSP.1
2. Tension pneumotoraks
Tension pneumotoraks muncul dari berbagai penyebab dan dengan
cepat berkembang menjadi insufisiensi pernapasan, kolaps
kardiovaskular, dan, akhirnya, kematian jika tidak dikenali dan diobati.
Oleh karena itu, jika gambaran klinisnya cocok dengan tension
pneumotoraks , maka harus segera diobati sebelum menyebabkan
ketidakstabilan dan kematian hemodinamik.
3. Pneumomediastinum
Tidak ada laporan hasil fatal pada pasien dengan pneumomediastinum
spontan tanpa adanya penyakit yang mendasari ada dalam literatur yang
lebih baru. Tingkat kematian setinggi 70% pada pasien dengan
pneumomediastinum sekunder akibat sindrom Boerhaave, bahkan
dengan intervensi bedah. Mediastinum traumatis, walaupun terdapat
pada 6% pasien tidak menunjukkan cedera serius.

2.5 Jelaskan mengenai hemothorax 1,12


Hemothorax adalah jenis efusi pleura di mana darah (<1500 mL)
menumpuk di rongga pleura. Penyebab utama hemotoraks adalah laserasi
paru-paru, pembuluh darah besar, pembuluh darah interkostal, atau arteri
mammae internal akibat trauma tembus atau tumpul. Fraktur tulang belakang
toraks juga dapat dikaitkan dengan hemotoraks. Pendarahan biasanya terbatas
dan tidak memerlukan intervensi operasi. Amati area dada dan serviks, dan
amati pergerakan dinding dada. Cari luka dinding dada yang tembus, termasuk
toraks posterior. Nilai dan bandingkan bunyi nafas pada kedua hemithoraces.
Biasanya, terdapat suara dull pada perkusi di sisi yang mengalami hemotoraks.
Dapatkan rontgen dada dengan pasien dalam posisi terlentang. Sejumlah kecil
darah akan diidentifikasi sebagai opacity homogen pada sisi yang terkena.
Prinsip utama tatalaksana hematotoraks adalah dekompensasi dengan
pemasangan WSD. Pada hematotoraks masif perlu dilakukan pengembalian
volume darah dengan pemasangan akses intravena dan pemberian cairan
kristaloid cepat serta transfuse darah sambil dilakukan persiapan pemasangan
WSD. Insersi jarum (ukuran 38 French) dilakukan pada kadar puting payudara,
sebelah anterior linea midaksila ipsilateral.
Apabila keluarnya darah dari rongga pleura sebanyak 1500 mL atau 200
mL/jam selama 2-4 jam atau 3-5 cc/kgBB/jam, harus dilakukan torakotomi cito
untuk menghentikan perdarahan karena dapat terjadi syok. Pada kasus
hematopneumotoraks, setelah selang dada terpasang, penghisapan bekuan
darah yang terbentuk akibat pencampuran darah dan udara harus dilakukan
dengan menggunakan alat suction.

2.6 Jelaskan mengenai obstruksi jalan nafas


Obstruksi jalan nafas disebabkan oleh pembengkakan, pendarahan, atau
muntahan yang diaspirasi ke jalan nafas, mengganggu pertukaran gas.
Beberapa mekanisme cedera dapat menghasilkan jenis masalah ini. Cedera
laring dapat menyertai trauma toraks mayor atau akibat dari pukulan langsung
ke leher atau pengekangan bahu yang salah tempat di leher. Dislokasi posterior
kepala klavikular kadang-kadang menyebabkan obstruksi jalan napas. Atau,
trauma tembus yang melibatkan leher atau dada dapat menyebabkan cedera
dan perdarahan, yang menghasilkan obstruksi. Meskipun presentasi klinis
kadang-kadang halus, obstruksi jalan napas akut dari trauma laring adalah
cedera yang mengancam jiwa.1
Selama survei pertama, perhatikan adanya retraksi otot interkostal dan
supraklavikula. Periksa orofaring untuk obstruksi benda asing. Dengarkan
gerakan udara di hidung, mulut, dan paru-paru pasien. Dengarkan suara adanya
obstruksi jalan nafas atas parsial (stridor) atau perubahan nyata dalam kualitas
suara yang diharapkan pada pasien yang dapat berbicara. Rasakan adanya
krepitus di leher anterior.1
Pasien dengan obstruksi jalan napas dapat diobati dengan pembersihan
darah atau muntah dari jalan nafas dengan penyedotan. Manuver ini seringkali
hanya bersifat sementara, dan penempatan jalan napas definitif diperlukan.
Palpasi untuk defek pada daerah sendi sternoklavikula. Kurangi dislokasi
posterior atau fraktur klavikula dengan memperpanjang bahu pasien atau
menggenggam klavikula dengan penjepit handuk penembus, yang dapat
meringankan sumbatan.1

2.7 Jelaskan mengenai cedera servikal


Cedera tulang belakang dapat dihasilkan dari satu atau sebuah kombinasi
dari beberapa mekanisme berikut yaitu axial loading, fleksi, ekstensi, rotasi,
lateral bending, distraksi. Jenis-jenis cedera cervical diataranya yaitu dislokasi
atlanto-occipital, fraktur atlas (C1), C1 rotary subluxation, dan fraktur axis
(C2).15
1. Dislokasi atlanto-occipital
Gangguan trauma craniocervical merupakan hasil dari fleksi dan distraksi
traumatis yang parah. Kebanyakan pasien dengan trauma ini meninggal
dengan hancurnya batang otak dan apnea atau memiliki kerusakan
neurologis yang parah. Pasien mungkin bertahan hidup jika mereka
diresusitasi dengan cepat pada tempat terjadinya trauma. Dislokasi atlanto-
occipital adalah penyebab umum kematian dalam kasus shaken baby
syndrome.
2. Fraktur C1
Fraktur C1 biasanya tidak berhubungan dengan trauma medulla spinalis.
Namun, fraktur ini bersifat tidak stabil dan harus diatasi lebih awal dengan
sebuah collar cervical yang kaku dan ukuran yang tepat.
3. C1 rotary subluxation
C1 rotary subluxation sering terjadi pada anak-anak. C1 rotary subluxation
dapat terjadi secara spontan, setelah trauma mayor ataupun minor, dengan
infeksi saluran pernapasan atas, atau arthritits rheumatoid. Pasien
memberikan tampilan dengan rotasi persisten dari kepala (torticollis).
Jangan memaksa pasien untuk mengatasi rotasi, tapi batasi pergerakannya
dalam posisi berputar dan mengarahkan untuk selanjutnya mendapatkan
terapi dari spesialis.
4. Fraktur Axis (C2)
Axis (C2) adalah tulang belakang terbesar dan memiliki bentuk yang
paling tidak biasa. Axis (C2) rentan terhadap berbagai macam fraktur,
bergantung pada kekuatan dan arah benturan. Fraktur C2 mewakili sekitar
18% dari semua cedera tulang belakang.

2.8 Jelaskan mengenai flail chest 16,17,18,19,20,21,22


Flail chest adalah cedera yang mengancam nyawa dan biasanya
didefinisikan sebagai adanya tiga atau lebih fraktur tulang iga di 2 atau lebih
tempat yang ditandai dengan gerakan paradoksal dinding dada yang
menggapai-gapai. Angka kematian yang berhubungan dengan dada rata-rata
berkisar dari 20% hingga 30%. Selain morbiditas akut, flail chest juga
menyebabkan nyeri dan kecacatan kronis. Manajemen dadih bervariasi
tergantung pada tingkat keparahan cedera. Perlakuan konservatif tidak cukup
untuk mencapai hasil yang baik. Ada semakin banyak bukti bahwa operasi
stabilisasi adalah pilihan yang lebih disukai karena kelebihannya waktu
ventilasi mekanik lebih pendek dan mengurangi komplikasi yang disebabkan
oleh ventilasi mekanis. Terlepas dari itu biaya, fiksasi bedah harus
direkomendasikan untuk mengobati pasien dada cambuk yang tepat. Selain itu,
telah dilaporkan bahwa fiksasi internal reduksi terbuka menggunakan plat tipe
cakar adalah metode yang dapat di operasikan dan dapat diandalkan untuk
mengobati fraktur iga multiple.
Gejala flail chest awalnya mungkin tidak terlihat, karena splinting (terbelat)
dengan dinding dada. Flail chest memiliki gejala klinis berupa :
a. Terdapat gerakan paradoksal segmen yang mengambang saat inspirasi
ke dalam, ekspirasi ke luar. Gerakan ini tidak terlihat pada pasien
dengan ventilator.
b. Sesak nafas
c. Krepitasi iga, fraktur tulang rawan
d. Takikardi
e. Sianosis
f. Os menunjukkan trauma hebat
g. Biasanya selalu disertai trauma pada organ lain (kepala, abdomen,
ekstremitas)
Biasanya karena ada pembengkakan jaringan lunak di sekitar dan
terbatasnya gerak pengembangan dinding dada, deformitas, dan gerakan
paradoksal flail chest yang ada akan tertutupi. Pada mulanya, penderita mampu
mengadakan kompensasi terhadap pengurangan cadangan respirasinya.
Namun bila terjadi penimbunan secret-sekret dan penurunan daya
pengembangan paru-paru akan terjadi anoksia berat, hiperkapnea, dan
akhirnya kolaps.

2.9 Jelaskan mengenai cardiac tamponade 1,12


Tamponade jantung adalah kompresi jantung oleh akumulasi cairan di
kantung perikardial. Hal ini mengakibatkan penurunan curah jantung karena
penurunan aliran masuk ke jantung. Kantung perikardial manusia adalah
struktur berserat yang tetap, dan jumlah darah yang relatif kecil dapat
membatasi aktivitas jantung dan mengganggu pengisian jantung. Tamponade
jantung paling sering terjadi akibat luka tembus, meskipun cedera tumpul juga
dapat menyebabkan perikardium terisi darah dari jantung, pembuluh darah
besar, atau epikardial.
Manifestasi klinis yang dapat muncul pada tamponade jantung adalah sesak
napas, palpitasi, takipnea atau takikardi. Akrad dapat teraba dingin dan basah
akibat hipoperfusi. Dari hasil pemeriksaan fisik, tamponade jantung memiliki
ciri khas yang dapat ditemukan yaitu trias klasik beck (peningkatan tekanan
vena jugularis, bunyi jantung melemah/menghilang, dan hipotensi), tanda
kussmaul (peningkatan tekanan vena dengan inspirasi saat pasien bernapas
spontan) dan pulsus paradoksus (tekanan darah sistemik turun >12 mmHg atau
>9% saat inspirasi).
Gambar 2.3 Tamponade jantung: (A) Jantung normal, (B) Tamponade jantung
karena trauma sehingga perikardium terisi darah, (C) Ultrasound kasus
tamponade jantung.

2.10 Mekanisme trauma thorax


Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma toraks dapat ringan sampai
berat tergantung pada besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma.
Kerusakan anatomi yang ringan pada dinding toraks berupa fraktur kosta
simpel. Sedangkan kerusakan anatomi yang lebih berat berupa fraktur kosta
multipel dengan komplikasi pneumotoraks, hematotoraks dan kontusio
pulmonum. Trauma yang lebih berat menyebakan robekan pembuluh darah
besar dan trauma langsung pada jantung.23
Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ didalamnya dapat
mengganggu fungsi fisiologis dari sistem respirasi dan kardiovaskuler.
Gangguan sistem respirasi dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat
tergantung kerusakan anatominya. Gangguan faal respirasi dapat berupa
gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi, dan gangguan mekanik alat
pernafasan. Salah satu penyebab kematian pada trauma toraks adalah
gangguan faal jantung dan pembuluh darah.23
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Laki-laki, 25 tahun mengalami tension pneumothorax.
DAFTAR PUSTAKA
1. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support Student
Course Manual Tenth Edition. 2018.
2. National Spinal Cord Injury. Spinal Cord Injury Facts and Figures at
Glance, 2012.
3. Choi, Won-Il. Pneumothorax. Tuberculosis & Respirator Disease. Seoul.
2014.
4. Khan, I. A. Ghaffar, S., Asif, S., Asad, S. Management of thoracic trauma:
experience at Ayub teaching hospital,Abbottabad. J Ayub Med Coll
Abbottabad. 2009.
5. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, & Syam AF.
Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna
Publishing; 2014.
6. Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya : Airlangga University Press; 2009. p. 162-179.
7. Kowalak, P. Jennifer., Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC, 2011.
8. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9.
Jakarta : EGC; 1997. p. 598.
9. Bowman, Jeffrey, Glenn. Pneumothorax, Tension and Traumatic. Available
from http://emedicine.medscape.com/article/827551.
10. Schiffman, George. Stoppler, Melissa, Conrad. Pneumothorax Available
from: http://www.medicinenet.com/pneumothorax/article.htm
11. Malueka, Rusdy, Ghazali. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta : Pustaka
Cendekia Press; 2007. p. 56
12. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran:
essentials of medicine. Edisi IV. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.
13. Huang TW, Lee SC, Cheng YL, Tzao C, Hsu HH, Chang H. Contralateral
recurrence of primary spontaneous pneumothorax. Chest. 2007 Oct.
132(4):1146-50. [Medline].
14. Rezende-Neto JB, ujHoffmann J, Al Mahroos M, et al. Occult
pneumomediastinum in blunt chest trauma: clinical significance. Injury.
2010 Jan. 41(1):40-3.
15. Advance Trauma Life Support. Spinal and Spinal Cord Trauma In: Advance
Trauma Life Support Students Course Manual 10th Edition. USA:
American Collage of Surgeons.
16. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid II. Jakarta: Media
Aesculapius. 2007.
17. Bastos R, Calhoon JH, Baisden CE. Flail chest and pulmonary contusion.
Semin
18. Thorac Cardiovasc Surg. 2008;20(1):39-45.
doi:10.1053/j.semtcvs.2008.01.004.
19. Jayle CP, Allain G, Ingrand P, Laksiri L, Bonnin E, Hajj-Chahine J, et al.
Flail chest in polytraumatized patients: surgical fixation using Stracos
reduces ventilator time and hospital stay. Biomed Res Int.
2015;2015:624723. doi:10.1155/2015/624723.
20. Bottlang M, Long WB, Phelan D, Fielder D, Madey SM. Surgical
stabilization of flail chest injuries with MatrixRIB implants: a prospective
observational study. Injury. 2013;44(2):232–8.
21. Bhatnagar A, Mayberry J, Nirula R. Rib fracture fixation for flail chest:
what is the benefit? J Am Coll Surg. 2012;215(2):201–5.
22. Sjamsuhidajat, Wim DJ. Buku Ajar Ilmu Bedah ed. 3. Jakarta: EGC. 2010.
23. Lugo V, Gastelum A, Armas A. Chest trauma: an overview. J Anesth Crit
Care Open Access. 2015;3:1-11.

Anda mungkin juga menyukai