net/publication/323430254
CITATIONS READS
0 1,474
1 author:
Sukarman Kartawisastra
Ministry of Agriculture
29 PUBLICATIONS 22 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Sukarman Kartawisastra on 27 February 2018.
Penyunting:
Popi Rejekiningrum, Chendy Tafakresnanto, Erna Suryani, Izhar Khairullah, A. Wihardjaka, Ladiyani Retno Widowati, dan I Wayan Suastika
Sukarman
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Tentara Pelajar 12, Bogor 16114
Abstrak Dalam pemetaan lahan gambut skala 1:50.000 saat ini, metode pemetaan yang
dianggap sebagai standar adalah Metode Pemetaan Berbasis Citra Penginderaan Jauh (SNI
7925:2013). Sejak dikeluarkannya metode ini sebagai metode standar nasional, semua
institusi resmi yang berkecimpung dalam pemetaan lahan gambut diwajibkan untuk
menggunaan metode ini. Untuk mengetahui kemampuan metode ini secara teknis dalam
menghasilkan peta tanah gambut yang berkulaitas tinggi telah dilakukan penelitian
prosedur pemetaan lahan tanah gambut dengan mengambil studi kasus pada Pemetaan
Lahan Gambut di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh. Hasil penilaian adalah sebagai
berikut : (1). Hasil interpretasi citra penginderaan jauh dari satelit resolusi tinggi yang
dipadukan dengan data geologi dan data tanah tingkat tinjau dalam mendelineasi tipologi
lahan (land unit) hanya dapat digunakan untuk perencanaan pengamatan dan pengambilan
contoh tetapi belum dapat dijadikan dasar delineasi satuan peta; (2). Teknik pengambilan
contoh dan jumlah pengamatan lapangan sangat menentukan kualitas peta tanah gambut
di lokasi penelitian. Ketebalan gambut dan tingkat dekomposisi gambut tidak terlihat
hubungannya dengan hasil interpretasi citra penginderaan jauh, karena kondisi
penggunaan lahan yang tidak alami; (3). Hasil analisis tipologi lahan yang paling tinggi
hubungannya dengan penyebaran jenis tanah adalah terlihat dari sebaran tanah Organosol,
Regosol, Aluvial dan Gleisol. Metode ini menghasilkan peta lahan gambut berkualitas
tinggi, jika jumlah pengamatan lapangan cukup memadai dan tidak dibatasi oleh 30
pengamatan, tetapi harus disesuaikan dengan luasan lahan yang dipetakan. Penggunaan
metode ini akan mengurangi jumlah hari pengamatan di lapangan (42 persen)
dibandingkan dengan metode sistem grid yang pada gilirannnya akan mengurangi biaya
yang diperlukan.
PENDAHULUAN
231
Sukarman
layak untuk dijadikan areal pertanian. Menurut BBSDLP (2011) lahan gambut dapat
didefinisikan sebagai lahan yang terbentuk dari penumpukan/akumulasi sisa-sisa
tumbuhan yang sebagian belum melapuk, memiliki ketebalan 50 cm atau lebih dan
mengandung C-organik sekurang-kurangnya 12% (berat kering).
Menurut Nursyamsi et al. (2014) secara umum produktivitas tanaman kelapa sawit
di lahan gambut tidak kalah baiknya dengan produktivitas di tanah mineral. Produksi
kelapa sawit pada lahan gambut dengan kerapatan populasi 185 pohon/ha pada tahun
kedelapan panen adalah 24-26 ton TBS/ha/tahun. Namun akhir-akhir ini disinyalir
perkebunan kelapa sawit yang dikembangkan di lahan gambut telah memicu terjadinya
emisi gas rumah kaca (GRK) sehingga menimbulkan polemik dan perdebatan. Terlepas
dari pro dan kontra tentang perkebunan di lahan gambut yang sudah dimanfaatkan untuk
perkebunan sekarang mencapai 20% yaitu sekitar 2-2,5 juta ha yang memerlukan
pengelolaan yang baik dan ramah lingkungan.
Berkaitan dengan hal tersebut untuk penyempurnaan tata kelola hutan dan lahan
gambut yang tengah berlangsung dalam rangka penurunan emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan, Presiden Republik Indonesia pada tanggal 13 Mei 2015 telah
menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Penundaan
Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut.
Inpres ini merupakan Inpres terbaru yang berkaitan dengan pengelolaan dan pembatasan
penggunaan lahan gambut untuk berbagai kepentingan dan dituangkan dalam bentuk Peta
Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) Revisi VIII. Peta Indikatif Penundaan Izin Baru
pada kawasan hutan dan gambut tersebut harus direvisi setiap 6 (enam) bulan sekali.
Dalam upaya untuk merivisi peta lahan gambut setiap enam bulan sekali Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian sering diminta untuk
melakukan identifikasi, karakterisasi dan delineasi lahan gambut di berbagai tempat di
Indonesia dan metode yang digunakan adalah Metode Pemetaan lahan gambut skala 1:
50.000 berbasis citra penginderaan jauh, SNI 7925:2013 (Badan Standarisasi Nasional,
2013). Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menelaah menggunakan Metode
Pemetaan Berbasis citra penginderaan jauh (SNI 7925:2013). Sebagai studi kasus adalah
pemetaan lahan gambut di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh.
Bahan-bahan yang digunakan dalam pemetaan lahan gambut, terdiri dari : (1).
Citra Satelit resolusi tinggi, liputan tahun 2013; (2). Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)
Digital, skala 1 : 50.000 lembar Singkil, No. 0618-14, lembar Saragi, No. 0618-21, lembar
Kotabatu, No. 0618-23 (Bakosurtanal, 2007); (3).Atlas Peta Lahan Gambut Indonesia,
232
Penggunaan Metode Pemetaan Lahan Gambut
skala 1:250.000 (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian,
2011); (4). Atlas Lahan Gambut Terdegradasi, skala 1:250.000 (Indonesia Climate
Change Trust Fund-Bappenas, 2103); (5).Peta Geologi Lembar Sidikalang dan (Sebagian)
Sinabang, Sumatra, skala 1 : 250.000 (Aldiss, et al 1983); (6). Buku Standar Nasional
Indonesia (SNI) No. 7925:2013, tentang Pemetaan lahan gambut skala 1:50.000 berbasis
citra penginderaan jauh (Badan Standarisasi Nasional, 2013). Peta lokasi pemetaan
disajikan dalam Gambar 1.
Gambar 1. Peta lokasi pemaataann lahan gambut di Kecamatan Danau Paris dan Singkil
Utara, Kabupaten Aceh Singkil
233
Sukarman
Metode
Metode penelitian ini mengikuti Pedoman dalam Standar Nasional Indonesia (SNI
7925:2013), tentang Pemetaan Lahan Gambut skala 1:50.000 berbasis Citra Penginderaan
Jauh (Badan Standarisasi Nasional, 2013). Sesuai dengan SNI tersebut di atas maka
pentahapan dari kegitan ini, terdiri dari : (1). Pengumpulan data (peta areal pemetaan,
skala 1 : 25.000, citra inderaja Landsat, peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : 50.000, dan
peta geologi); (2). Kompilasi data sekunder; (3). Interpretasi citra inderaja; (4). Delineasi
tipologi lahan gambut; (5). Survei lapangan; (6). Analisis sampel tanah di laboratorium;
(7). Reinterpretasi citra; dan (9). Penyajian peta. Diagram alir prosedur pemetaan lahan
gambut yang dilaksanakan tersaji dalam Gambar 2.
Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan yang digunakan sebagai bahan pemetaan lahan gambut di
daerah ini adalah meliputi : Peta areal penelitian, skala 1:25.000; Citra Satelit Resolusi
Tinggi tahun 2013, Peta Rupabumi Indonesia Digital, Peta Geologi, Atlas Peta Lahan
Gambut Indonesia.
234
Penggunaan Metode Pemetaan Lahan Gambut
Pengumpulan data
(Peta Kebun, Citra inderaja, Peta RBI, Peta tematik
Reinterpretasi inderaja
Akurasi Tidak
terpenuhi
Ya
Proses kartografi
235
Sukarman
Delineasi tipologi lahan pada pemetaan ini menggunakan klasifikasi satuan lahan
dalam Pedoman Klasifikasi Landform (Marsoedi et al., 1997). Satuan lahan pada setiap
kelas didelineasi berdasarkan hasil interpretasi dari citra inderaja. Hasil interpretasi ini
kemudian diintegrasi dengan peta dasar (Peta RBI), peta sungai, jalan, dan peta
administrasi.
Survei lapangan
236
Penggunaan Metode Pemetaan Lahan Gambut
Reinterpretasi citra
Lokasi
Secara administratif lokasi pemetaan termasuk Kecamatan Danau Paris dan Singkil
Utara, Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh. Secara geografis, terletak pada koordinat
2o10’28,41”-2o17'03,1" Lintang Utara dan 98o02’09,7”-98o08’16,7” Bujur Timur (Gambar
1). Luas lahan yang dipetakan lebih kurang 6.757 ha.
Sebagian besarkondisi aslinya lahan ini merupakan daerah lahan rawa gambut yang
banyak dipengaruhi oleh kondisi genangan air tawar. Kondisi lahan saat ini sebagian
berupa Perkebunan Kelapa Sawit, dan sebagian lagi berupa hutan rawa, kebun masyarakat
lokal, dan semak belukar. Lahan ini sebagian besar sudah banyak dipengaruhi oleh
kegiatan manusia, diantaranya adalah banyaknya dibuat parit-parit drainase yang
menyebabkan terjadinya perubahan tata air, perubahan sifat kimia, fisik dan biologi tanah.
237
Sukarman
Tabel 1. Klasifikasi satuan lahan hasil interpretasi citra dibantu peta geologi dan peta
tanah tinjau
No. Satuan Lahan Ketebalan gambut Jenis tanah gambut
(meter)
1. Gambut topogen air tawar <2 Hemik
2. Pesisisr pasir pantai - Mineral
3. Dataran aluvial <2 Hemik
4. Dataran antar perbukitan <2 Mineral
5. Dataran tektonik - Mineral
Hasil interpretasi tipologi lahan yang dapat dianalisis dari citra satelit ternyata
masih bersifat global, meskipun sudah dibantu oleh peta geologi daerah ini. Hal ini
disebabkan karena sudah banyaknya perubahan penggunaan lahan dan banyaknya saluran
drainase yang mendrainasekan daerah ini, sehingga pola-pola alamiah dari tipologi lahan
gambut di lokasi ini tidak dapat dipisahkan. Secara umum daerah yang paling mudah
dipisahkan dari hasil analisis citra adalah antara daerah berawa dan daerah lahan kering.
Sedangkan di daerah berawanya sendiri, hanya dapat dipisahkan antara gambut topogen
air tawar,dataran aluvial dan dataran antar perbukitan. Sulit sekali untuk memisahkan
unsur lain yang dapat dijadikan indikasi untuk membedakan kedalaman gambut maupun
tingkat dekomposisi gambut. Dengan demikian dalam pemetaan lahan gambut skala 1 :
50.000, satuan lahan hasil interpretasi citra hanya bersifat umum dan hasil delineasi belum
dapat dijadikan dasar untuk membatasi penyebaran sifat-sifat tanah gambut. Karena masih
bersifat umum, maka hasil interpretasi citra hanya dapat digunakan sebagai gambaran
awal penyebaran lahan gambut saja dan dapat digunakan untuk merencanakan transek
serta kerapatan pengamatan. Hasil interpretasi citra tidak dapat digunakan secara penuh
untuk dijadikan dasar delineasi satuan peta tanah gambut.
238
Penggunaan Metode Pemetaan Lahan Gambut
239
Sukarman
Karakteristik Tanah
240
Penggunaan Metode Pemetaan Lahan Gambut
Tabel 3. Klasifikasi tanah di lokasi pemetaan menurut sistem Klasifikasi Tanah Nasional
(Subardja et al., 2014) dan padanannya menurut Taksonomi tanah (Soil Survey
Staff, 2014)
Klasifikasi Tanah Nasional Klasifikasi Taksonomi Tanah
(Subardja et al, 2014) (Soil Survey Staff, 2014)
Jenis Tanah Macam Tanah Ordo Sub Grup
TANAH GAMBUT
Organosol Saprik Hemic Haplosaprists
Organosol Hemik Terric Haplohemists
Organosol Histosol Sapric Haplohemists
Typic Haplohemists
Organosol Fibrik Hemic Haplofibrists
TANAH MINERAL
Regosol Regosol Humik Entisols Humic Udipsamments
Regosol Eutrik Typic Udipsamments
Kambisol Kambisol Gleik Inceptisols Aquic Dystrudepts
Kambisol Distrik Typic Dystrudepts
Aluvial Aluvial Gleik Entisols Humaqueptic Endoaquents
Humaqueptic Fluvaquents
Gleisol Gleisol Distrik Entisols Typic Endoaquents
Podsol Podsol Humik Spodosols Typic Humaquods
Organosols
Dalam Klasifikasi Tanah Nasional (Subardja et al, 2014) Organosols atau tanah
gambut didefinisikan sebagai tanah yang mempunyai horison H, setebal 50 cm atau lebih
(jika bahan organik terdiri dari spaghnum atau lumut 60 cm atau lebih atau mempunyai
bulk density kurang dari 0,1 gr/cm3) dari permukaan tanah, atau kumulatif 50 cm di dalam
80 cm dari lapisan atas; ketebalan horison H mungkin berkurang bila terdapat lapisan batu
atau bahan fragmen batuan yang terisi bahan organik diantaranya. Dalam klasifikasi
Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2014) tanah ini tergolong kedalam Ordo Histosols
Tanah gambut ini di lokasi penelitian menyebar terutama pada landform Gambut
topogen air tawar. Pada landform gambut topogen air tawar, tanah gambut yang dijumpai
mempunyai kedalaman antara 50 cm sampai lebih dari 400 cm, Tingkat dekomposisinya
pada lapisan atas bervariasi dari saprik sampai hemik, sedangkan di lapisan bawah
bervariasi dari saprik hingga fibrik.
241
Sukarman
Regosols
Aluvial
Aluvial adalah tanah yang berkembang dari bahan endapan muda (recent),
mempunyai susunan horoson berlapis atau kadar C-organik yang tidak teratur atau yang
tidak mempunyai horison penciri (kecuali tertimbun oleh 50 cm atau lebih bahan baru)
selain horison A okrik, horison H histik atau sulfurik, berkadar fraksi pasir dan debu
kurang dari 60 persen pada kedalaman antara 25-100 cm dari permukaan tanah mineral.
Di lokasi pemetaan Aluvial ini mempunyai dua karakteristik yaitu: (1). berlapis karena
pengendapan berbeda atau kadar bahan organik tak teratur dalam penampang, (2). selalu
jenuh air (hidromorfik) dan tanahnya belum matang (unripe soil). Berdasarkan Klasifikasi
Tanah Nasional (Subardja et al 2014), Aluvial yang memperlihatkan ciri-ciri hidromorfik
mulai di dalam penampang pada kedalaman antara 50-100 cm dari permukaan ke bawah
dikategorikan pada Macam Tanah sebagai Aluvial Gleik.
Kambisols
Kambisol adalah tanah yang mempunyai horison B kambik tanpa atau dengan B
hidromorfik di dalam penampang 50 cm dari permukaan. Di lokasi penelitian Kambisol
yang dijumpai mempunyai 2 karakteristik yang berbeda, yaitu Kambisol yang
memperlihatkan ciri-ciri hidromorfik mulai di dalam penampang pada kedalaman antara
50-100 cm dari permukaan dan Kambisol yang mempunyai kejenuhan basa (NH4OAc)
242
Penggunaan Metode Pemetaan Lahan Gambut
kurang dari 50 persen persen sekurang-kurangnya pada beberapa bagian tanah antara 20-
50 cm dari permukaan. Kambisol pertama diklasifikasikan sebagai Kambisol Gleik dan
Kambisol kedua diklasifikasikan sebagai Kambisol Distrik.
Gleisols
Hasil pemetaan tanah di lokasi penelitian yang berupa Peta Tanah tingkat Semi
Detail mendapakan luasan tanah utama yang dijumpai di lokasi pemetaan seperti yang
disajikan dalam Tabel 4. Dari tabel tersebut terlihat bahwa tanah gambut di lokasi
pemetaan menempati areal seluas 3.822 ha atau 56,56 dari seluruh areal pemetaan.
Sementara untuk tanah mineral menempati areal seluas 2.935 ha atau 43,44% dengan
rincian tanah di lahan basah seluas 660 ha atau 9,76 % dan lahan kering seluas 2.275 ha
atau 33,65%.
243
Sukarman
kesesuain lahannya juga semakin tinggi, sedangkan semakin mentah, tingkat kesesuaian
lahannya akan semakin rendah.
KESIMPULAN
Hasil pemetaan tanah berdasarkan metode pemetaan lahan gambut berbasis citra
penginderaan jauh (SNI 7925:2013) diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Hasil interpretasi citra penginderaan jauh dari satelit resolusi tinggi di daerah
penelitian yang dipadukan dengan data geologi dan data tanah tingkat tinjau dalam
mendelineasi tipologi lahan (land unit) hanya dapat digunakan untuk perencanaan
pengamatan dan pengambilan contoh.
2. Teknik pengambilan contoh dan jumlah pengamatan lapangan sangat menentukan
kualitas peta tanah gambut di lokasi penelitian. Ketebalan gambut dan tingkat
dekomposisi gambut tidak terlihat hubungannya dengan hasil interpretasi citra
penginderaan jauh, karena sudah kondisi penggunaan lahan yang tidak alami.
244
Penggunaan Metode Pemetaan Lahan Gambut
3. Hasil analisis tipologi lahan yang paling tinggi hubungannya dengan penyebaran
Jenis tanah adalah terlihat dari sebaran tanah Organosol, Regosol, Aluvial dan
Gleisol.
4. Jumlah pengamatan di lapangan perlu disesuaikan dengan kondisi lapangan, tidak
terbatas kepada minimal 30 pengamatan. Dengan jumlah pengamatan yang
memadai, metode ini dapat menghemat waktu sebanyak 42 persen dibandingkan
dengan metode konvensional.
5. Berdasarkan klasifikasi Tanah Nasional, tanah di daerah penelitian diklasifikasikan
kedalam Jenis tanah Organosol, Aluvial, Gleisol, Kambisol, Regosol dan Podsol.
6. Tanah gambut atau Organosol di lokasi penelitian terdiri atas :
a. Gambut dangkal (ketebalan antara 50 – 100cm),seluas 94 ha.
b. Gambut sedang (ketebalan 100-200 cm) terdiri dari Organosol Hemik seluas
1.158 ha,
c. Gambut dalam (ketebalan antara 200 - 300 cm) seluas 1.834 ha
d. Gambut sangat dalam (ketebalan lebih dari 300 cm) terdiri dari Organosol Hemik
dan Organosol Fibrik seluas 736 ha.
7. Berdasarkan tingkat dekomposisinya gambut di lokasi pemetaanterbagi menjadi
gambut matang (saprik), gambut setengah matang (hemik) dan gambut mentah
(fibrik). Gambut saprik menempati lahan seluas 56 ha,gambut hemik menempati
lahan seluas 3.304 ha dan gambut fibrik menempati lahan seluas 462 Ha.
DAFTAR PUSTAKA
Aldiss, D.T., R. Wandhoyo, S.A. Ghazaly, dan Kusyono. 1983. Peta Geologi Lembar
Sidikalang dan (Sebagian) Sinabang, Sumatra, skala 1 : 250.000. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Badan Standarisasi Nasional. 2013. Pemetaan lahan gambut skala 1 : 50.000 berbasis citra
penginderaan jauh. SNI 7925:2013. Jakarta.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP).
2011. Peta Lahan Gambut Indonesia, Skala 1 : 250.000. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.
Balai Penelitian Tanah. 2004. Petunjuk Teknis Pedoman Pengamatan Tanah. Puslitbang
Tanah dan Agroklimat, Bogor
245
Sukarman
Bakosurtanal. 2007. Peta Rupabumi Indonesia, skala 1:50.000, lembar Singkil, No. 0618-
14, lembar Saragi, No. 0618-21, lembar Kotabatu, No. 0618-23.
Eviati dan Sulaeman. 2012. Petunjuk Teknis Analsis Kimia Tanah, tanaman, Air dan
Pupuk. Edisi 2. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian
Pertanian.
FAO. 1990. Guidelines for Soil Description, 3th Edition (Revised). Soil Resources.
Management and Conservation Services Land and Water Development Division.
Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF)–Bappenas. 2103. Atlas Lahan Gambut
Terdegradasi, skala1:250.000, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Kementerian Pertanian
Marsoedi, DS, Hardjowigeno, S. Dan Ismangun. 1996. Satuan peta tanah dan legenda
peta. Laporan Teknis No. 3 Versi 2. Proyek LREPP II. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Nursyamsi, D., S. Raihan, M. Noor, K. Anwar, M. Alwi, E. Maftuah, I. Khairullah, I. Ar-
Riza, R.S. Simatupang, Noorginayuwati, A. Fahmi. 2014. Pedoman Pengelolaan
Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. IAARD Press. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. 68 Hal.
Soil Survey Staff. 2014. Keys to Soil Taxonomy. Twelfth Edition, 2014. Natural
Resources Conservation Service-United States Department of Agricultural,
Washington DC. 362 p.
Subardja, D.S., S. Ritung, M. Anda, Sukarman, E. Suryani dan R.E. Subandiono. 2014.
Petunjuk Teknis Klasifikasi Tanah Nasional. Edisi I/2014. Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. 45 hlm.
246