Anda di halaman 1dari 18

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/323430254

Penggunaan Metode Pemetaan Lahan Gambut Berbasis Citra


Penginderaan Jauh (SNI 7925: 2013)

Chapter · December 2015

CITATIONS READS
0 1,474

1 author:

Sukarman Kartawisastra
Ministry of Agriculture
29 PUBLICATIONS   22 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Soil Survey and Mapping View project

All content following this page was uploaded by Sukarman Kartawisastra on 27 February 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Science . Innovation . Networks

Prosiding Seminar Nasional


SISTEM INFORMASI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA
LAHAN MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN
BUKU I - Sistem Informasi Sumberdaya Lahan

Penyunting:
Popi Rejekiningrum, Chendy Tafakresnanto, Erna Suryani, Izhar Khairullah, A. Wihardjaka, Ladiyani Retno Widowati, dan I Wayan Suastika

Science . Innovation . Networks

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN


KEMENTERIAN PERTANIAN
2015
PENGGUNAAN METODE PEMETAAN LAHAN GAMBUT
21 BERBASIS CITRA PENGINDERAAN JAUH (SNI 7925:
2013)

Sukarman
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Tentara Pelajar 12, Bogor 16114

Abstrak Dalam pemetaan lahan gambut skala 1:50.000 saat ini, metode pemetaan yang
dianggap sebagai standar adalah Metode Pemetaan Berbasis Citra Penginderaan Jauh (SNI
7925:2013). Sejak dikeluarkannya metode ini sebagai metode standar nasional, semua
institusi resmi yang berkecimpung dalam pemetaan lahan gambut diwajibkan untuk
menggunaan metode ini. Untuk mengetahui kemampuan metode ini secara teknis dalam
menghasilkan peta tanah gambut yang berkulaitas tinggi telah dilakukan penelitian
prosedur pemetaan lahan tanah gambut dengan mengambil studi kasus pada Pemetaan
Lahan Gambut di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh. Hasil penilaian adalah sebagai
berikut : (1). Hasil interpretasi citra penginderaan jauh dari satelit resolusi tinggi yang
dipadukan dengan data geologi dan data tanah tingkat tinjau dalam mendelineasi tipologi
lahan (land unit) hanya dapat digunakan untuk perencanaan pengamatan dan pengambilan
contoh tetapi belum dapat dijadikan dasar delineasi satuan peta; (2). Teknik pengambilan
contoh dan jumlah pengamatan lapangan sangat menentukan kualitas peta tanah gambut
di lokasi penelitian. Ketebalan gambut dan tingkat dekomposisi gambut tidak terlihat
hubungannya dengan hasil interpretasi citra penginderaan jauh, karena kondisi
penggunaan lahan yang tidak alami; (3). Hasil analisis tipologi lahan yang paling tinggi
hubungannya dengan penyebaran jenis tanah adalah terlihat dari sebaran tanah Organosol,
Regosol, Aluvial dan Gleisol. Metode ini menghasilkan peta lahan gambut berkualitas
tinggi, jika jumlah pengamatan lapangan cukup memadai dan tidak dibatasi oleh 30
pengamatan, tetapi harus disesuaikan dengan luasan lahan yang dipetakan. Penggunaan
metode ini akan mengurangi jumlah hari pengamatan di lapangan (42 persen)
dibandingkan dengan metode sistem grid yang pada gilirannnya akan mengurangi biaya
yang diperlukan.

Kata kunci: Pemetaan,lahan gambut, citra satelit

PENDAHULUAN

Keterbatasan lahan produktif menyebabkan ekstensifikasi pertanian mengarah pada


lahan-lahan marjinal. Lahan gambut adalah salah satu jenis lahan marjinal yang dipilih
terutama oleh perkebunan besar, karena relatif lebih jarang penduduknya sehingga
kemungkinan konflik tata guna lahan relatif kecil. Indonesia memiliki lahan gambut
terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 14,9 juta ha, yang tersebar terutama di
Sumatera, Kalimantan dan Papua (Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan
Pertanian/BBSDLP, 2011). Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari
segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan gambut

231
Sukarman

layak untuk dijadikan areal pertanian. Menurut BBSDLP (2011) lahan gambut dapat
didefinisikan sebagai lahan yang terbentuk dari penumpukan/akumulasi sisa-sisa
tumbuhan yang sebagian belum melapuk, memiliki ketebalan 50 cm atau lebih dan
mengandung C-organik sekurang-kurangnya 12% (berat kering).
Menurut Nursyamsi et al. (2014) secara umum produktivitas tanaman kelapa sawit
di lahan gambut tidak kalah baiknya dengan produktivitas di tanah mineral. Produksi
kelapa sawit pada lahan gambut dengan kerapatan populasi 185 pohon/ha pada tahun
kedelapan panen adalah 24-26 ton TBS/ha/tahun. Namun akhir-akhir ini disinyalir
perkebunan kelapa sawit yang dikembangkan di lahan gambut telah memicu terjadinya
emisi gas rumah kaca (GRK) sehingga menimbulkan polemik dan perdebatan. Terlepas
dari pro dan kontra tentang perkebunan di lahan gambut yang sudah dimanfaatkan untuk
perkebunan sekarang mencapai 20% yaitu sekitar 2-2,5 juta ha yang memerlukan
pengelolaan yang baik dan ramah lingkungan.
Berkaitan dengan hal tersebut untuk penyempurnaan tata kelola hutan dan lahan
gambut yang tengah berlangsung dalam rangka penurunan emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan, Presiden Republik Indonesia pada tanggal 13 Mei 2015 telah
menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Penundaan
Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut.
Inpres ini merupakan Inpres terbaru yang berkaitan dengan pengelolaan dan pembatasan
penggunaan lahan gambut untuk berbagai kepentingan dan dituangkan dalam bentuk Peta
Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) Revisi VIII. Peta Indikatif Penundaan Izin Baru
pada kawasan hutan dan gambut tersebut harus direvisi setiap 6 (enam) bulan sekali.
Dalam upaya untuk merivisi peta lahan gambut setiap enam bulan sekali Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian sering diminta untuk
melakukan identifikasi, karakterisasi dan delineasi lahan gambut di berbagai tempat di
Indonesia dan metode yang digunakan adalah Metode Pemetaan lahan gambut skala 1:
50.000 berbasis citra penginderaan jauh, SNI 7925:2013 (Badan Standarisasi Nasional,
2013). Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menelaah menggunakan Metode
Pemetaan Berbasis citra penginderaan jauh (SNI 7925:2013). Sebagai studi kasus adalah
pemetaan lahan gambut di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam pemetaan lahan gambut, terdiri dari : (1).
Citra Satelit resolusi tinggi, liputan tahun 2013; (2). Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)
Digital, skala 1 : 50.000 lembar Singkil, No. 0618-14, lembar Saragi, No. 0618-21, lembar
Kotabatu, No. 0618-23 (Bakosurtanal, 2007); (3).Atlas Peta Lahan Gambut Indonesia,

232
Penggunaan Metode Pemetaan Lahan Gambut

skala 1:250.000 (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian,
2011); (4). Atlas Lahan Gambut Terdegradasi, skala 1:250.000 (Indonesia Climate
Change Trust Fund-Bappenas, 2103); (5).Peta Geologi Lembar Sidikalang dan (Sebagian)
Sinabang, Sumatra, skala 1 : 250.000 (Aldiss, et al 1983); (6). Buku Standar Nasional
Indonesia (SNI) No. 7925:2013, tentang Pemetaan lahan gambut skala 1:50.000 berbasis
citra penginderaan jauh (Badan Standarisasi Nasional, 2013). Peta lokasi pemetaan
disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Peta lokasi pemaataann lahan gambut di Kecamatan Danau Paris dan Singkil
Utara, Kabupaten Aceh Singkil

Peralatan untuk menunjang kegiatan ini adalah komputer PC dengan program


ARCVIEW, dan ARCGIS, sedangkan untuk keperluan survei lapangan adalah sebagai
berikut: (1) Buku Munsell Soil Color Chart; (2). Buku Petunjuk Teknis Klasifikasi Tanah
Nasional (BBSDLP, 2014); (3). Buku Metode Pemetaan Lahan Gambut skala 1:50.000
Berbasis Citra Penginderaan Jauh. SNI 7925:2013 (Badan Standarisasi Nasional, 2013);
(4). Buku Keys to Soil Taxonomy edisi 12 (Soil Survey Staff, 2014); (5). Bor gambut tipe
Eijkelkamp dan bor tanah; (6). Kompas, GPS (Global Positioning System); (7). pH
lakmus, larutan H2O2; (8). Meteran, kantong contoh tanah, label dan formulir isian
pengamatan lapang dalam format basisdata tanah.

233
Sukarman

Metode

Metode penelitian ini mengikuti Pedoman dalam Standar Nasional Indonesia (SNI
7925:2013), tentang Pemetaan Lahan Gambut skala 1:50.000 berbasis Citra Penginderaan
Jauh (Badan Standarisasi Nasional, 2013). Sesuai dengan SNI tersebut di atas maka
pentahapan dari kegitan ini, terdiri dari : (1). Pengumpulan data (peta areal pemetaan,
skala 1 : 25.000, citra inderaja Landsat, peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : 50.000, dan
peta geologi); (2). Kompilasi data sekunder; (3). Interpretasi citra inderaja; (4). Delineasi
tipologi lahan gambut; (5). Survei lapangan; (6). Analisis sampel tanah di laboratorium;
(7). Reinterpretasi citra; dan (9). Penyajian peta. Diagram alir prosedur pemetaan lahan
gambut yang dilaksanakan tersaji dalam Gambar 2.

Pengumpulan data

Data yang dikumpulkan yang digunakan sebagai bahan pemetaan lahan gambut di
daerah ini adalah meliputi : Peta areal penelitian, skala 1:25.000; Citra Satelit Resolusi
Tinggi tahun 2013, Peta Rupabumi Indonesia Digital, Peta Geologi, Atlas Peta Lahan
Gambut Indonesia.

Kompilasi Data Sekunder

Kompilasi data menggunakan berbagai data sekunder, berupa : Peta daerah


pemetaan skala 1 : 25.000, Peta Rupabumi Indonesia (RBI) skala 1 : 50.000 dan peta-peta
tematik pendukung lainnya yang diperlukan. Data sekunder tersebut meliputi peta tanah
gambut skala 1 : 250.000, peta geologi dan peta penggunaan lahan. Peta daerah pemetan,
skala 1 : 25.000 dijadikan sebagai peta dasar. Peta tanah, peta sistem lahan dan peta lahan
gambut skala 1 : 250.000 digunakan untuk memperoleh gambaran sebaran lahan gambut
secara makro. Peta geologi skala 1:250.000 digunakan sebagai peta arahan untuk
mengidentifikasi substratum gambut. Hasil kompilasi ini digunakan sebagai data utama
untuk mendelineasi tipologi lahan gambut skala 1 : 25.000, dengan menggunakan data
citra inderaja resolusi tinggi.

234
Penggunaan Metode Pemetaan Lahan Gambut

Pengumpulan data
(Peta Kebun, Citra inderaja, Peta RBI, Peta tematik

Citra Peta RBI Peta lahan gambut Peta Lokasi


inderaja 1:50.000 1:250.000 Pemetaan1:25.000
t k

Interpretasi citra Kompilasi data sekunder


inderaja tegak

Delineasi tipologi lahan gambut

Peta lahan gambut


tentatif

Survei lapangan dan


pengambilan contoh tanah

Reinterpretasi inderaja

Akurasi Tidak
terpenuhi
Ya

Penyusunan basis data

Proses kartografi

Peta lahan gambut


skala 1 : 50.000

Gambar 2. Diagram alir proses pemetaan lahan gambut di areal penelitian

235
Sukarman

Interpretasi citra inderaja

Interpretasi citra satelit resolusi tinggi (2013) menggunakan metode pendekatan


bertingkat (mutistage approach). Citra satelit yang digunakan adalah citra tegak dengan
georefensi peta Rupabumi Indonesia skala minimal 1 : 50.000. Identifikasi lahan gambut
pada citra satelit tersebut menggunakan data pendukung peta tematik skala tingkat tinjau
(1 : 250.000) dan skala 1 : 50.000.
Interpretasi tipologi lahan gambut pada citra satelit tegak dilakukan secara visual
menggunakan unsur-unsur kunci interpretasi meliputi tekstur, warna/tone, pola (pattern),
asosiasi, bentuk, ukuran, relief/topografi. Kunci interpretasi ini digunakan sebagai dasar
untuk analisis bentuk lahan (sistem lahan) dalam mendelineasi tipologi lahan gambut pada
citra inderaja yang digunakan.

Delineasi tipologi lahan gambut

Delineasi tipologi lahan pada pemetaan ini menggunakan klasifikasi satuan lahan
dalam Pedoman Klasifikasi Landform (Marsoedi et al., 1997). Satuan lahan pada setiap
kelas didelineasi berdasarkan hasil interpretasi dari citra inderaja. Hasil interpretasi ini
kemudian diintegrasi dengan peta dasar (Peta RBI), peta sungai, jalan, dan peta
administrasi.

Survei lapangan

Persiapan-Sebelum pelaksanaan survei di lapangan terlebih dahulu dilakukan


penelaahan citra satelit resolusi tinggi tahun 2013 secara visual untuk menentukan rencana
jalur pengamatan di lapangan.
Survei lapangan - Identifikasi tanah dilakukan melalui pengamatan tanah dengan
cara transek melalui jalan yang sudah ada untuk mengetahui variasi karakteristik tanah.
Jarak antar pengamatan berkisar dar 500 - 750 meter. Pengamatan tanah dilakukan dengan
cara pengeboran tanah. Untuk tanah mineral sampai kedalaman 1,20 m, sedangkan tanah
gambut sampai lapisan tanah mineral (substratum). Parameter tanah yang diamati
meliputi: kedalaman/ketebalan, kematangan/tingkat dekomposisi, warna, konsistensi, pH,
reaksi terhadap H2O2, muka air tanah, dan gejala lainnya. Semua parameter tersebut
dicatat pada formulir pengamatan tanah. Tata cara pengamatan sifat-sifat morfologi tanah
mengikuti pedoman yang tercantum dalam Guidelines for Soil Profile Description (FAO,
1990) dan Pedoman Pengamatan Tanah (Balai Penelitian Tanah, 2004). Klasifikasi tanah
ditetapkan mengikuti Klasifikasi Tanah Nasional (Subardja et al 2014) dan padanannya
menurut Sistem Klasifikasi Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 2014) sampai tingkat
Subgrup.

236
Penggunaan Metode Pemetaan Lahan Gambut

Pengambilan contoh tanah-Pengambilan contoh tanah dilakukan dengan cara


pengeboran setiap horison/lapisan terhadap profil pewakil. Profil pewakil tanah mineral
bergambut maupun tanah gambut ditentukan berdasarkan jenis perkembangan, jenis dan
ketebalan gambut. Pengambilan contoh tanah baik pada tanah mineral yang basah maupun
tanah organik (gambut) mempergunakan bor tipe Eijkelkamp.

Analisis sampel tanah di laboratorium

Analisis contoh tanah dilakukan di laboratorium Balai Penelitian Tanah, Bogor,


meliputi penetapan kandungan bahan organik (C, N, dan C/N), reaksi tanah (pH), kadar
P2O5 dan K2O potensial (ekstraksi HCl 25%), P2O5 tersedia (ekstrak Bray 1), basa-basa
dapat tukar (Ca, Mg, K, dan Na), kapasitas tukar kation/KTK (NH4OAc pH 7), kejenuhan
basa, kadar abu, kadar serat, dan kadar sulfur total. Prosedur analisis mengikuti metode
yang tercantum dalam Soil Survey Investigation Report No. 1 (Soil Survey Laboratory
Staff, 1991) dan Petunjuk Teknis Analisis Kimia, Air, Tanaman, dan Pupuk (Eviati dan
Sulaeman, 2012).

Reinterpretasi citra

Tahapan kegiatan ini adalah menginterpretasi kembali citra satelit untuk


memperbaiki hasil delineasi tipologi lahan berdasarkan data hasil survei di lapangan dan
hasil analisis tanah di laboratorium. Delineasi satuan peta (mapping unit) pada peta lahan
gambut tentatif dimungkinkan berubah setelah dilakukan survei lapangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lokasi

Secara administratif lokasi pemetaan termasuk Kecamatan Danau Paris dan Singkil
Utara, Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh. Secara geografis, terletak pada koordinat
2o10’28,41”-2o17'03,1" Lintang Utara dan 98o02’09,7”-98o08’16,7” Bujur Timur (Gambar
1). Luas lahan yang dipetakan lebih kurang 6.757 ha.
Sebagian besarkondisi aslinya lahan ini merupakan daerah lahan rawa gambut yang
banyak dipengaruhi oleh kondisi genangan air tawar. Kondisi lahan saat ini sebagian
berupa Perkebunan Kelapa Sawit, dan sebagian lagi berupa hutan rawa, kebun masyarakat
lokal, dan semak belukar. Lahan ini sebagian besar sudah banyak dipengaruhi oleh
kegiatan manusia, diantaranya adalah banyaknya dibuat parit-parit drainase yang
menyebabkan terjadinya perubahan tata air, perubahan sifat kimia, fisik dan biologi tanah.

237
Sukarman

Perubahan-perubahan tersebut berdampak terhadap tingkat kematangan tanah, tingkat


dekomposisi bahan organik dan ketebalan gambut.

Hasil Interpretasi Citra Satelit

Sesuai dengan prosedur pemetaan lahan berdasarkan SNI 7925:2013, telah


dilakukan interpretasi dari citra satelit untuk menentukan tipologi lahan di wilayah ini
yang dibantu dengan peta geologi. Hasilnya adalah berupa satuan lahan yang terbagi
menjadi: (1) Gambut topogen air tawar, (2). Pesisir pasir pantai, (3) Dataran aluvial, (4)
Dataran antar perbukitan/koluvial dan (5) Dataran tektonik, seperti yang disajikan dalam
Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi satuan lahan hasil interpretasi citra dibantu peta geologi dan peta
tanah tinjau
No. Satuan Lahan Ketebalan gambut Jenis tanah gambut
(meter)
1. Gambut topogen air tawar <2 Hemik
2. Pesisisr pasir pantai - Mineral
3. Dataran aluvial <2 Hemik
4. Dataran antar perbukitan <2 Mineral
5. Dataran tektonik - Mineral

Hasil interpretasi tipologi lahan yang dapat dianalisis dari citra satelit ternyata
masih bersifat global, meskipun sudah dibantu oleh peta geologi daerah ini. Hal ini
disebabkan karena sudah banyaknya perubahan penggunaan lahan dan banyaknya saluran
drainase yang mendrainasekan daerah ini, sehingga pola-pola alamiah dari tipologi lahan
gambut di lokasi ini tidak dapat dipisahkan. Secara umum daerah yang paling mudah
dipisahkan dari hasil analisis citra adalah antara daerah berawa dan daerah lahan kering.
Sedangkan di daerah berawanya sendiri, hanya dapat dipisahkan antara gambut topogen
air tawar,dataran aluvial dan dataran antar perbukitan. Sulit sekali untuk memisahkan
unsur lain yang dapat dijadikan indikasi untuk membedakan kedalaman gambut maupun
tingkat dekomposisi gambut. Dengan demikian dalam pemetaan lahan gambut skala 1 :
50.000, satuan lahan hasil interpretasi citra hanya bersifat umum dan hasil delineasi belum
dapat dijadikan dasar untuk membatasi penyebaran sifat-sifat tanah gambut. Karena masih
bersifat umum, maka hasil interpretasi citra hanya dapat digunakan sebagai gambaran
awal penyebaran lahan gambut saja dan dapat digunakan untuk merencanakan transek
serta kerapatan pengamatan. Hasil interpretasi citra tidak dapat digunakan secara penuh
untuk dijadikan dasar delineasi satuan peta tanah gambut.

238
Penggunaan Metode Pemetaan Lahan Gambut

Masalah Perencanaan Pengamatan Lapangan

Perencanaan pengamatan lapangan merupakan masalah tersendiri, apakah akan


merngikuti transek seperti yang tergambarkan dari dari hasil analisis citra satelit, atau
akan berdasarkan daerah contoh (training area). Jumlah titik pengamatan juga akan
menentukan kualitas peta yang dihasilkan. Dalam metode yang diacu, jumlah pengamatan
tidak terlalu jelas, meskipun disebutkan bahwa jumlah sampel minimal 30 sesuai dengan
metode Kappa. Jumlah tersebut tidak terlalu jelas apakah untuk seluruh wilayah pemetaan
atau untuk satu poligon satuan peta tanah.
Dari hasil pengalaman pemetaan di daerah ini menunjukkan bahwa jumlah
pengamatan sebanyak 71 lokasi yang dilakukan oleh empat orang regu pemeta selama
empat hari menghasilkan peta lahan gambut yang cukup rinci. Sedangkan untuk luasan
yang sama dengan regu pemeta yang sama jika mempergunakan metode konvensional
memerlukan waktu sekitar 7 hari kerja. Dengan demikian penggunaan metode ini dengan
sedikit modifikasi dalam jumlah pengamatan masih dapat menghemat waktu sebanyak 42
persen.

Hasil Pengamatan Lapang

Hasil pengecekkan lapangan menunjukkan perbedaan yang sangat nyata dengan


hasil interpretasi citra inderaja. Satuan lahan yang dijumpai di lapangan kenyataannya
lebih banyak dan bervariasi, demikian pula halnya karakteristik gambut yang dijumpai
juga menunjukkan perbedaan yang nyata (signifikan). Dalam hasil pengamatan di
lapangan gambut yang dijumpai bervariasi dari saprik sampai fibrik, sedangkan
ketebalannnya bervariasi dari 50-700 cm. Satuan lahan yang dihasilkan setelah dilakukan
perbaikan berdasarkan hasil pengamatan lapangan disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi satuan lahan hasil perbaikan berdasarkan pengamatan lapangan


No. Satuan Lahan Ketebalan gambut Jenis tanah
(meter) gambut/Macam tanah
1. Gambut topogen air tawar 50 -100 Saprik
Hemik
100-200 Hemik
200-300 Hemik
300-400 Hemik
400-700 Fibrik
2. Pesisisr pasir pantaisub resen - Regosol Eutrik
Podsol Humik
3 Pesisisr pasir pantai resen - Regososl Humik dan
Regosol Eutrik
4. Dataran aluvial - Aluvial Gleik
5. Dataran antar perbukitan - Kambisol Gleik dan
Gkeisol Distrik
6. Dataran tektonik - Kambisol Distrik

239
Sukarman

Karakteristik Tanah

Hasil pengamatan di lapangan sebanyak 71 observasi menunjukkan bahwa tanah di


daerah penelitian terdiri dari tanah organik atau gambut (Histosols) dan tanah mineral.
Pada daerah lahan datar, tanahnya terbentuk dari : endapan bahan organik, endapan
aluvium sungai, berukuran debu dan liat, dan endapan pasir pantai. Pada permukaan
tanahmineral di daerah datar berawa sering mempunyai bahan organik tinggi yang
digolongkan sebagai epipedon histik (histic). Histosols (gambut) terbentuk dari sisa-sisa
tanaman yang terakumulasi selama ribuan tahun dalam kondisi reduksi.
Klasifikasi tanah yang digunakan adalah klasifikasi tanah nasional (Subardja et al.,
2014) dan padanannya menurut Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 2014). Berdasarkan
hasil pengamatan di lapangan, tanah daerah penelitian diklasifikasikan menurut sistem
Klasifikasi Tanah Nasional (Subardja et al, 2014) terdiri atas 5 Jenis tanah, yaitu:
Organosol, Regosol, Kambisol, Gleisol, dan Podsol.
Klasifikasi tanah pada berbagai kategori klasifikasi dalam klasifikasi tanah
Nasional (Subardja, et al. 2014) serta padanannya menurut Taksonomi Tanah (Soil
Survey Staff, 2014) disajikan pada Tabel 3, sedangkan sebaran tanah disajikan pada
Gambar 3.

Gambar 3. Peta Tanah Semi Detail di lokasi penelitian

240
Penggunaan Metode Pemetaan Lahan Gambut

Tabel 3. Klasifikasi tanah di lokasi pemetaan menurut sistem Klasifikasi Tanah Nasional
(Subardja et al., 2014) dan padanannya menurut Taksonomi tanah (Soil Survey
Staff, 2014)
Klasifikasi Tanah Nasional Klasifikasi Taksonomi Tanah
(Subardja et al, 2014) (Soil Survey Staff, 2014)
Jenis Tanah Macam Tanah Ordo Sub Grup
TANAH GAMBUT
Organosol Saprik Hemic Haplosaprists
Organosol Hemik Terric Haplohemists
Organosol Histosol Sapric Haplohemists
Typic Haplohemists
Organosol Fibrik Hemic Haplofibrists
TANAH MINERAL
Regosol Regosol Humik Entisols Humic Udipsamments
Regosol Eutrik Typic Udipsamments
Kambisol Kambisol Gleik Inceptisols Aquic Dystrudepts
Kambisol Distrik Typic Dystrudepts
Aluvial Aluvial Gleik Entisols Humaqueptic Endoaquents
Humaqueptic Fluvaquents
Gleisol Gleisol Distrik Entisols Typic Endoaquents
Podsol Podsol Humik Spodosols Typic Humaquods

Organosols

Dalam Klasifikasi Tanah Nasional (Subardja et al, 2014) Organosols atau tanah
gambut didefinisikan sebagai tanah yang mempunyai horison H, setebal 50 cm atau lebih
(jika bahan organik terdiri dari spaghnum atau lumut 60 cm atau lebih atau mempunyai
bulk density kurang dari 0,1 gr/cm3) dari permukaan tanah, atau kumulatif 50 cm di dalam
80 cm dari lapisan atas; ketebalan horison H mungkin berkurang bila terdapat lapisan batu
atau bahan fragmen batuan yang terisi bahan organik diantaranya. Dalam klasifikasi
Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2014) tanah ini tergolong kedalam Ordo Histosols
Tanah gambut ini di lokasi penelitian menyebar terutama pada landform Gambut
topogen air tawar. Pada landform gambut topogen air tawar, tanah gambut yang dijumpai
mempunyai kedalaman antara 50 cm sampai lebih dari 400 cm, Tingkat dekomposisinya
pada lapisan atas bervariasi dari saprik sampai hemik, sedangkan di lapisan bawah
bervariasi dari saprik hingga fibrik.

241
Sukarman

Regosols

Dalam Klasifikasi Tanah Nasional (Subardja et al 2014) tanah Regosol adalah


yang tidak mempunyai horison penciri, tidak bertekstur kasar dari bahan albik atau
horison apapun (kecuali jika tertimbun 50 cm atau lebih bahan baru) selain horison A
okrik, horison A umbrik (tidak berada di atas batuan kukuh dan dalam lebih dari 25 cm),
horison H histik atau sulfurik serta berkadar pasir dan debu 60% atau lebih pada
kedalaman antara 25-100 cm. Dalam klasifikasi Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff,
2014) tanah ini tergolong kedalam Subordo Psamments.
Berdasarkan karakteristik morfologi tanah, kandungan bahan organik tanahnya
serta sifat kimia lainnhya, Regosol yang dijumpai diklasifikasikan ke dalam Regosol
Humik dan Regosol Eutrik. Regosol Humik adalah Regosol yang mempunyai kejenuhan
basa < 50% sekurang-kurangnya pada beberapa bagian lapisan tanah antara 25-100 cm
dari permukaan dan mepunyai bahan organik karbon 12 kg atau lebih (kecuali serasah
lapisan atas) pada luas 1 m2 sampai lapisan keras atau sedalam kurang dari 1 m dari
permukaan tanah. Sedangkan Regosol Eutrik adalah Regosol yang mempunyai kejenuhan
basa (NH4OAc) lebih dari 50 persen persen sekurang-kurangnya pada beberapa bagian
tanah antara 20 - 50 cm dari permukaan.

Aluvial

Aluvial adalah tanah yang berkembang dari bahan endapan muda (recent),
mempunyai susunan horoson berlapis atau kadar C-organik yang tidak teratur atau yang
tidak mempunyai horison penciri (kecuali tertimbun oleh 50 cm atau lebih bahan baru)
selain horison A okrik, horison H histik atau sulfurik, berkadar fraksi pasir dan debu
kurang dari 60 persen pada kedalaman antara 25-100 cm dari permukaan tanah mineral.
Di lokasi pemetaan Aluvial ini mempunyai dua karakteristik yaitu: (1). berlapis karena
pengendapan berbeda atau kadar bahan organik tak teratur dalam penampang, (2). selalu
jenuh air (hidromorfik) dan tanahnya belum matang (unripe soil). Berdasarkan Klasifikasi
Tanah Nasional (Subardja et al 2014), Aluvial yang memperlihatkan ciri-ciri hidromorfik
mulai di dalam penampang pada kedalaman antara 50-100 cm dari permukaan ke bawah
dikategorikan pada Macam Tanah sebagai Aluvial Gleik.

Kambisols

Kambisol adalah tanah yang mempunyai horison B kambik tanpa atau dengan B
hidromorfik di dalam penampang 50 cm dari permukaan. Di lokasi penelitian Kambisol
yang dijumpai mempunyai 2 karakteristik yang berbeda, yaitu Kambisol yang
memperlihatkan ciri-ciri hidromorfik mulai di dalam penampang pada kedalaman antara
50-100 cm dari permukaan dan Kambisol yang mempunyai kejenuhan basa (NH4OAc)

242
Penggunaan Metode Pemetaan Lahan Gambut

kurang dari 50 persen persen sekurang-kurangnya pada beberapa bagian tanah antara 20-
50 cm dari permukaan. Kambisol pertama diklasifikasikan sebagai Kambisol Gleik dan
Kambisol kedua diklasifikasikan sebagai Kambisol Distrik.

Gleisols

Gleisol adalah tanah yang memperlihatkan sifat hidromorfik di dalam penampang


mulai kedalaman 0-50 cm dari permukaan ke bawah, bukan berupa bahan kasar dari
bahan albik, tidak mempunyai horison diagnostik (argilik, spodik dan oksik) (kecuali jika
tertimbun 50 cm atau lebih bahan baru) selain horison A, horison H histik, horison B
kambik, kalsik atau gipsik dengan susunan horison A-Bg-C. Di lokasi pemetaan Gleisol
yang dijumpai mempunyai kejenuhan basa (NH4OAc) kurang dari 50 persen sekurang-
kurangnya pada beberapa bagian tanah antara 20-50 cm dari permukaan yang dicirikan
dengan hasil pengukuar pH kurang dari 5,5. Gleisol yang demikian diklasifikasikan pada
kategori Macam tanah sebagai Gleisol Distrik.

Luasan Sifat Tanah Utama

Hasil pemetaan tanah di lokasi penelitian yang berupa Peta Tanah tingkat Semi
Detail mendapakan luasan tanah utama yang dijumpai di lokasi pemetaan seperti yang
disajikan dalam Tabel 4. Dari tabel tersebut terlihat bahwa tanah gambut di lokasi
pemetaan menempati areal seluas 3.822 ha atau 56,56 dari seluruh areal pemetaan.
Sementara untuk tanah mineral menempati areal seluas 2.935 ha atau 43,44% dengan
rincian tanah di lahan basah seluas 660 ha atau 9,76 % dan lahan kering seluas 2.275 ha
atau 33,65%.

Tabel 4. Luasan lahan gambut dan tanah mineral di lokasi pemetaan


Luas
Tanah
Ha %
Organosol (gambut) 3.822 56,56
Tanah Mineral
- Lahan basah 660 9,76
- Lahan kering 2.275 33,65
Jumlah 6.757 100,00
Tabel 5 memperlihatkan bahwa ternyata sebagian besar (3.304 ha atau 48,90%)
tanah gambut di areal pemetaan mempunyai tingkat dekomposisi hemik atau setengah
matang. Sedangkan gambut yang paling sedikit berupa gambut saprik (matang) seluas 56
ha atau 0,83%. Gambut yang mentah (fibrik) menempati areal seluas 462 Ha atau 6,84.
Tingkat dekomposisi gambut sangat menentukan tingkat kesesuaian lahannya untuk
tanaman perkebunan khususnya tanaman kelapa sawit. Semakin matang gambut, tingkat

243
Sukarman

kesesuain lahannya juga semakin tinggi, sedangkan semakin mentah, tingkat kesesuaian
lahannya akan semakin rendah.

Tabel5. Luasan lahan gambut berdasarkan tingkat dekomposisinya di lokasi pemetaan


Luas
Tingkat dekomposisi
Ha %
Saprik (Matang) 56 0,83
Hemik (Setengah matang) 3.304 48,90
Fibrik (Mentah) 462 6,84
Tanah Mineral 2.935 43,44
Jumlah 6.757 100,00
Berdasarkan ketebalannya, lahan gambut di daerah pemetaan terbagi menjadi
empat kelas yaitu dangkal, sedang, dalam, dan sangat dalam. Gambut yang paling luas
adalah gambut tergolong dalam dengan kedalaman 200-300 cm meliputi areal seluas
1.834 ha atau 47,99 dari seluruh lahan gambut yang ada di lokasi pemetaan. Sementara
yang paling sedikit adalah gambut dangkal ( 50-100 cm) meliputi areal seluas 94 ha atau
2,46%. Sementara gambut sangat dalam (> 300 cm) meliputi areal seluas 736 ha atau
19,26%.

Tabel 6. Luasan lahan gambut berdasarkan ketebalannya di lokasi pemetaan


Luas
Klasifikasi ketebalan gambut
Ha %
Dangkal (50 – 100 cm) 94 2,46
Sedang (100 – 200 cm) 1.158 30,30
Dalam (200 – 300 cm) 1.834 47,99
Sangat dalam ( > 300 cm) 736 19,26
Jumlah 3.822 100,00

KESIMPULAN

Hasil pemetaan tanah berdasarkan metode pemetaan lahan gambut berbasis citra
penginderaan jauh (SNI 7925:2013) diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Hasil interpretasi citra penginderaan jauh dari satelit resolusi tinggi di daerah
penelitian yang dipadukan dengan data geologi dan data tanah tingkat tinjau dalam
mendelineasi tipologi lahan (land unit) hanya dapat digunakan untuk perencanaan
pengamatan dan pengambilan contoh.
2. Teknik pengambilan contoh dan jumlah pengamatan lapangan sangat menentukan
kualitas peta tanah gambut di lokasi penelitian. Ketebalan gambut dan tingkat
dekomposisi gambut tidak terlihat hubungannya dengan hasil interpretasi citra
penginderaan jauh, karena sudah kondisi penggunaan lahan yang tidak alami.

244
Penggunaan Metode Pemetaan Lahan Gambut

3. Hasil analisis tipologi lahan yang paling tinggi hubungannya dengan penyebaran
Jenis tanah adalah terlihat dari sebaran tanah Organosol, Regosol, Aluvial dan
Gleisol.
4. Jumlah pengamatan di lapangan perlu disesuaikan dengan kondisi lapangan, tidak
terbatas kepada minimal 30 pengamatan. Dengan jumlah pengamatan yang
memadai, metode ini dapat menghemat waktu sebanyak 42 persen dibandingkan
dengan metode konvensional.
5. Berdasarkan klasifikasi Tanah Nasional, tanah di daerah penelitian diklasifikasikan
kedalam Jenis tanah Organosol, Aluvial, Gleisol, Kambisol, Regosol dan Podsol.
6. Tanah gambut atau Organosol di lokasi penelitian terdiri atas :
a. Gambut dangkal (ketebalan antara 50 – 100cm),seluas 94 ha.
b. Gambut sedang (ketebalan 100-200 cm) terdiri dari Organosol Hemik seluas
1.158 ha,
c. Gambut dalam (ketebalan antara 200 - 300 cm) seluas 1.834 ha
d. Gambut sangat dalam (ketebalan lebih dari 300 cm) terdiri dari Organosol Hemik
dan Organosol Fibrik seluas 736 ha.
7. Berdasarkan tingkat dekomposisinya gambut di lokasi pemetaanterbagi menjadi
gambut matang (saprik), gambut setengah matang (hemik) dan gambut mentah
(fibrik). Gambut saprik menempati lahan seluas 56 ha,gambut hemik menempati
lahan seluas 3.304 ha dan gambut fibrik menempati lahan seluas 462 Ha.

Ucapan Terima kasih :


Ucapan terima kasih disampaikan kepada para teknisi yaitu : Lili Muslihat, SP, Soleh SP
dan Cahaya Budiman yang telah membantu melaksanakan kegiatan di lapang

DAFTAR PUSTAKA
Aldiss, D.T., R. Wandhoyo, S.A. Ghazaly, dan Kusyono. 1983. Peta Geologi Lembar
Sidikalang dan (Sebagian) Sinabang, Sumatra, skala 1 : 250.000. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Badan Standarisasi Nasional. 2013. Pemetaan lahan gambut skala 1 : 50.000 berbasis citra
penginderaan jauh. SNI 7925:2013. Jakarta.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP).
2011. Peta Lahan Gambut Indonesia, Skala 1 : 250.000. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.
Balai Penelitian Tanah. 2004. Petunjuk Teknis Pedoman Pengamatan Tanah. Puslitbang
Tanah dan Agroklimat, Bogor

245
Sukarman

Bakosurtanal. 2007. Peta Rupabumi Indonesia, skala 1:50.000, lembar Singkil, No. 0618-
14, lembar Saragi, No. 0618-21, lembar Kotabatu, No. 0618-23.
Eviati dan Sulaeman. 2012. Petunjuk Teknis Analsis Kimia Tanah, tanaman, Air dan
Pupuk. Edisi 2. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian
Pertanian.
FAO. 1990. Guidelines for Soil Description, 3th Edition (Revised). Soil Resources.
Management and Conservation Services Land and Water Development Division.
Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF)–Bappenas. 2103. Atlas Lahan Gambut
Terdegradasi, skala1:250.000, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Kementerian Pertanian
Marsoedi, DS, Hardjowigeno, S. Dan Ismangun. 1996. Satuan peta tanah dan legenda
peta. Laporan Teknis No. 3 Versi 2. Proyek LREPP II. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Nursyamsi, D., S. Raihan, M. Noor, K. Anwar, M. Alwi, E. Maftuah, I. Khairullah, I. Ar-
Riza, R.S. Simatupang, Noorginayuwati, A. Fahmi. 2014. Pedoman Pengelolaan
Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. IAARD Press. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. 68 Hal.
Soil Survey Staff. 2014. Keys to Soil Taxonomy. Twelfth Edition, 2014. Natural
Resources Conservation Service-United States Department of Agricultural,
Washington DC. 362 p.
Subardja, D.S., S. Ritung, M. Anda, Sukarman, E. Suryani dan R.E. Subandiono. 2014.
Petunjuk Teknis Klasifikasi Tanah Nasional. Edisi I/2014. Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. 45 hlm.

246

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai