B Ing
B Ing
JUDUL
Ayat Al Qur’an Tentang Rendah Hati
Oleh :
Nama NIM
1. Sri Rahayu 1182020245
b. Terjemah Perkatanya
1
“Maktabah Rumah Ilmu Indonesia” diakses dari
http://maktabah.rumahilmu.or.id/alquranperkata.php, pada tanggal 27 Februari 2019 pukul
07.23
من : Dari
حولك : Sekelilingmu
فاعف : Maka maafkanlah
عنهم : Dari mereka
واستغفر : Dan mohonkan ampun
لهم : Bagi mereka
وشاورهم : Dan bermusyawarahlah
فى : Dalam
اْلمر : Urusan
فاذا : Maka apabila
عزمت : Kamu membulatkan tkad
فتوكل : Maka bertaqwalah
على : Atas/kepada
هللا : Allah
ان : Sesungguhnya
هللا : Allah
يحب : Dia menyukai
المتوكلين : Orang-orang yang bertawakal
c. Asbabun Nuzul
Sebab turunnya ayat ke 159 surat Ali Imran adalah sesuai terjadi Perang Uhud,
dimana pasukan musyrik Quraisy yang memutar jalan berhasil memukul pasukan
panah Islam yang turun dari bukit Uhud untyk mengambil harta “ghanimah”
(rampasan perang). Pasukan Islam mengira bahwa pasukan Quraisy telah kalah dan
peperangan telah benar-benar usai. Akibat kekeliruan ini banyak sahabat yang gugur,
termasuk Hamzah paman Nabi SAW. Melihat kekeliruan yang dilakukan para
sahabat, tidak membuat Nabi marah dan kesal. Karena Allah telah melembutkan
hatinya.2
2
Muhammad Nur Taufiq, “Sebab Turunnya Ayat ke 159 Surat Ali Imran”, diakses dari
http://muhammadnurtaufiq.blogspot.com/p/blog-page_21.html , pada tanggal 20 Februari 2019 pukul 15.45
memutuskan, kemudian turun ayat 159 surat Ali-Imran ini sebagai dukungan atas
pendapat Abu Bakar r.a. (HR.Kalabi).3
d. Kandungan Tafsir
1) Tafsir Al Misbah
Oleh Muhammad Quraish Shihab:
Sebagai wujud kasih sayang Allah kepada kamu dan mereka, kamu bersikap
lemah lembut dan tidak berkata kasar karena kesalahan mereka.
Dan seandainya kamu bersikap kasar dan keras, mereka pasti akan bercerai berai
meninggalkanmu.
Oleh sebab itu, lupakanlah kesalahan mereka.
Mintakanlah ampunan untuk mereka.
Dan ajaklah mereka bermusyawarah untuk mengetahui pendapat mereka dalam
berbagai persoalan yang tidak disebut dalam wahyu.
Apabila kamu telah bertekad untuk mengambil suatu langkah setelah terebih
dahulu melakukan musyawarah, laksanakanlah langkah itu dengan bertawakkal
kepada Allah, karena Allah benar-benar mencintai orang-orang yang
menyerahkan urusan kepada-Nya[1].
[1] Musyawarah atau syura adalah salah satu pokok ajaran yang sangat penting
dalam Islam.
Dalam adagium Arab-Islam dikatakan, “Orang beristikharah tak akan gagal,
orang bermusyawarah tak akan menyesal.” Sesuai dengan kebiasaan gayanya
dalam menetapkan hukum, Al Quran hanya menjelaskan prinsip-prinsip umum
dan garis besarnya saja.
Selanjutnya, perinciannya diserahkan kepada manusia, sesuai tuntutan ruang dan
waktu.
Oleh sebab itu, adakalanya sistem perwakilan dalam suatu pemerintahan, di mana
semua anggota pemerintahan bertanggung jawab kepada parlemen, cocok untuk
negara-negara tertentu seperti Inggris dan Perancis.
Pengalaman sejarah membuat mereka terbiasa dengan model pemerintahan seperti
itu.
Adakalanya pula sistem presidensial, dengan syura yang relatif luas, karena
keinginan perkembangan cepat dan tidak mau terlalu terganggu oleh jatuh
bangunnya kabinet, lebih cocok untuk negar-negara tertentu seperti Amerika
Serikat.
Dan, adakalanya pula syura model pertengahan antara presidensial dan
3
Fahmi Sajid, “Bersatu dalam Keragaman dan Demokrasi, Materi Agama Islam kelas 12”, Kisah Inspirasi Islam,
diakses dari http://kabelkreatif.blogspot.com/2017/05/turunnya-ayat-159-surat-al-imran.html, pada tanggal 3
Maret 2019 pukul 16.45
parlementer lebih cocok untuk negara lain seperti Mesir.
Dengan demikian, tiap negara dan kelompok bebas menentukan model syura yang
mereka anggap sesuai dengan dimensi ruang dan waktu masing-masing.
Yang penting, prinsip syura harus terwujud untuk menghindari dominasi dan
kesewenang-wenangan individu.
Demikianlah, Al Quran telah mencantumkan prinsip musyawarah sejak 14 abad
yang lalu.4
2) Tafsir Jalalain
Oleh Jalaluddin al-Mahalli & Jalaluddin as-Suyuthi:
(Maka berkat) ma merupakan tambahan (rahmat dari Allah kamu menjadi lemah
lembut) hai Muhammad (kepada mereka) sehingga kamu hadapi pelanggaran
mereka terhadap perintahmu itu dengan sikap lunak (dan sekiranya kamu bersikap
keras) artinya akhlakmu jelek tidak terpuji (dan berhati kasar) hingga kamu
mengambil tindakan keras terhadap mereka (tentulah mereka akan menjauhkan
diri dari sekelilingmu, maka maafkanlah mereka) atas kesalahan yang mereka
perbuat (dan mintakanlah ampunan bagi mereka) atas kesalahan-kesalahan itu
hingga Kuampuni (serta berundinglah dengan mereka) artinya mintalah pendapat
atau buah pikiran mereka (mengenai urusan itu) yakni urusan peperangan dan
lain-lain demi mengambil hati mereka, dan agar umat meniru sunah dan jejak
langkahmu, maka Rasulullah ﷺbanyak bermusyawarah dengan mereka.
(Kemudian apabila kamu telah berketetapan hati) untuk melaksanakan apa yang
kamu kehendaki setelah bermusyawarah itu (maka bertawakallah kepada Allah)
artinya percayalah kepada-Nya.
4
“Risalah Muslim”, diakses dari https://risalahmuslim.id/quran/ali-imran/3-159/, pada tanggal 27 Februari 2019
pukul 07.49
4) Tafsir Ibn Katsir
Oleh Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir Al-Bashri Ad-Dimasyqi:
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada rasul-Nya seraya menyebutkan
anugerah yang telah dilimpahkan-Nya kepada dia, juga kepada orang-orang
mukmin, yaitu Allah telah membuat hatinya lemah lembut kepada umatnya yang
akibatnya mereka menaati perintahnya dan menjauhi larangannya, Allah juga
membuat tutur katanya terasa menyejukkan hati mereka.
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka.
Yakni sikapmu yang lemah lembut terhadap mereka, tiada lain hal itu dijadikan
oleh Allah buatmu sebagai rahmat buat dirimu dan juga buat mereka.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka.Yaitu berkat rahmat Allah-lah kamu dapat bersikap lemah lembut
terhadap mereka.
Huruf ma merupakan silah, orang-orang Arab biasa menghubungkannya dengan
isim makrifat, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya:
Maka disebabkan mereka melanggar perjanjian itu.
(Q.S. An-Nisa’ [4]: 155)
Dapat pula dihubungkan dengan isim nakirah, seperti yang terdapat di dalam
firman-Nya:
Dalam sedikit waktu.
(Q.S. Al-Mu’minun [23]: 40)
Demikian pula dalam ayat ini disebutkan melalui firman-Nya:
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Yakni karena rahmat dari Allah.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa begitulah akhlak Nabi Muhammad ﷺyang
diutus oleh Allah, dengan menyandang akhlak ini.
Makna ayat ini mirip dengan makna ayat yang lain, yaitu firman-Nya:
Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri,
berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) bagi kalian, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-
orang mukmin.
(Q.S. At-Taubah [9]: 128)
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Haiwah, telah
menceritakan kepada kami Baqiyyah, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Ziyad, telah menceritakan kepadaku Abu Rasyid Al-Harrani
yang mengatakan bahwa Abu Umamah Al-Bahili pernah memegang tangannya,
lalu bercerita bahwa Rasulullah ﷺpernah memegang tangannya, kemudian
bersabda: Hai Abu Umamah, sesungguhnya termasuk orang-orang mukmin ialah
orang yang dapat melunakkan hatinya.
Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu.
Al-fazzu artinya keras, tetapi makna yang dimaksud ialah keras dan kasar dalam
berbicara, karena dalam firman selanjutnya disebutkan:
…lagi berhati kasar.
Dengan kata lain, sekiranya kamu kasar dalam berbicara dan berkeras hati dalam
menghadapi mereka, niscaya mereka bubar darimu dan meninggalkan kamu.
Akan tetapi, Allah menghimpun mereka di sekelilingmu dan membuat hatimu
lemah lembut terhadap mereka sehingga mereka menyukaimu, seperti apa yang
dikatakan oleh Abdullah ibnu Amr: Sesungguhnya aku telah melihat di dalam
kitab-kitab terdahulu mengenai sifat Rasulullah ﷺ, bahwa beliau tidak keras, tidak
kasar, dan tidak bersuara gaduh di pasar-pasar, serta tidak pernah membalas
keburukan dengan keburukan lagi, melainkan memaafkan dan merelakan.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.
Karena itulah Rasulullah ﷺselalu bermusyawarah dengan mereka apabila
menghadapi suatu masalah untuk mengenakkan hati mereka, agar menjadi
pendorong bagi mereka untuk melaksanakannya.
Seperti musyawarah yang beliau lakukan dengan mereka mengenai Perang Badar,
sehubungan dengan hal mencegat iring-iringan kafilah kaum musyrik.
Maka mereka mengatakan: Wahai Rasulullah, seandainya engkau membawa kami
ke lautan, niscaya kami tempuh laut itu bersamamu, dan seandainya engkau
membawa kami berjalan ke Barkil Gimad (ujung dunia), niscaya kami mau
berjalan bersamamu.
Dan kami tidak akan mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan oleh
kaum Musa kepada Musa, “Pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah
kamu berdua, sesungguhnya kami hanya tetap duduk di sini,” melainkan kami
katakan, “Pergilah dan kami selalu bersamamu, di hadapanmu, di sebelah
kananmu, dan di sebelah kirimu dalam keadaan siap bertempur.”
Nabi ﷺmengajak mereka bermusyawarah ketika hendak menentukan posisi
beliau saat itu, pada akhirnya Al-Munzir ibnu Amr mengisyaratkan
(mengusulkan) agar Nabi ﷺberada di hadapan kaum (pasukan kaum muslim).
Nabi ﷺmengajak mereka bermusyawarah sebelum Perang Uhud, apakah beliau
tetap berada di Madinah atau keluar menyambut kedatangan musuh.
Maka sebagian besar dari mereka mengusulkan agar semuanya berangkat
menghadapi mereka.
Lalu Nabi ﷺberangkat bersama pasukannya menuju ke arah musuh-musuhnya
berada.
Nabi ﷺmengajak mereka bermusyawarah dalam Perang Khandaq, apakah
berdamai dengan golongan yang bersekutu dengan memberikan sepertiga dari
hasil buah-buahan Madinah pada tahun itu.
Usul itu ditolak oleh dua orang Sa’d, yaitu Sa’d ibnu Mu’az dan Sa’d ibnu
Ubadah.
Akhirnya Nabi ﷺmenuruti pendapat mereka.
Nabi ﷺmengajak mereka bermusyawarah pula dalam Perjanjian Hudaibiyah,
apakah sebaiknya beliau bersama kaum muslim menyerang orang-orang musyrik.
Maka Abu Bakar As-Siddiq berkata, “Sesungguhnya kita datang bukan untuk
berperang, melainkan kita datang untuk melakukan ibadah umrah.” Kemudian
Nabi ﷺmemperkenankan pendapat Abu Bakar itu.
Dalam peristiwa hadisul ifki (berita bohong), Nabi ﷺbersabda:
Hai kaum muslim, kemukakanlah pendapat kalian kepadaku tentang suatu kaum
yang telah mencemarkan keluargaku dan menuduh mereka berbuat tidak senonoh.
Demi Allah, aku belum pernah melihat suatu keburukan pun pada diri keluargaku,
lalu dengan siapakah mereka berbuat tidak senonoh.
Demi Allah, tiada yang aku ketahui kecuali hanya kebaikan belaka.
Lalu beliau meminta pendapat kepada sahabat Ali dan sahabat Usamah tentang
menceraikan Siti Aisyah r.a.
Nabi ﷺbermusyawarah pula dengan mereka dalam semua peperangannya, juga
dalam masalah-masalah lainnya.
Para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai masalah, apakah musyawarah bagi
Nabi ﷺmerupakan hal yang wajib ataukah hanya dianjurkan (disunatkan) saja
untuk mengenakkan hati mereka (para sahabatnya)?
Sebagai jawabannya ada dua pendapat.
Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya, telah menceritakan
kepada kami Abu Ja’far Muhammad ibnu Muhammad Al-Bagdadi, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ayyub Al-Allaf di Mesir, telah
menceritakan kepada kami Sa’id ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada
kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan firman-Nya: dan bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam urusan
itu.
(Q.S. Ali ‘Imran [3]: 159) Yang dimaksud dengan mereka ialah sahabat Abu
Bakar dan sahabat Umar r.a kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa asar ini
sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Bakar dan Umar.
Keduanya adalah penolong Rasulullah ﷺdan sebagai wazir (patih)nya serta
sekaligus sebagai kedua orang tua kaum muslim.
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Waki’, telah
menceritakan kepada kami Abdul Hamid, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abdur
Rahman ibnu Ganam, bahwa Rasulullah ﷺpernah bersabda kepada Abu Bakar
dan Umar: Seandainya kamu berdua berkumpul dalam suatu musyawarah, aku
tidak akan berbeda denganmu.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui sahabat Ali ibnu Abu Talib yang pernah
mengatakan bahwa Rasulullah ﷺpernah ditanya mengenai azam (tekad bulat).
Maka beliau bersabda:
Meminta pendapat dari ahlur rayi, kemudian mengikuti pendapat mereka.
Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu
Syaibah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Bukair, dari Sufyan, dari
Abdul Malik ibnu Umair, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺyang
telah bersabda: Penasihat adalah orang yang dipercaya.
Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi meriwayatkannya pula melalui hadis Abdul
Malik dengan konteks yang lebih panjang daripada hadis di atas, dan dinilai hasan
oleh Imam Nasai.
Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu
Syaibah, telah menceritakan kepada kami Aswad ibnu Amir, dari Syarik, dari Al-
A’masy, dari Abu Amr Asy-Syaibani, dari ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa
Rasulullah ﷺpernah bersabda: Penasihat adalah orang yang dipercaya.
Imam Ibnu Majah menyendiri dalam periwayatan hadis ini dengan sanad tersebut.
ia mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Zakaria ibnu Abu Zaidah dan Ali ibnu
Hasyim, dari Ibnu Abu Laila, dari Abuz Zubair, dari Jabir yang menceritakan
bahwa Rasulullah ﷺtelah bersabda: Apabila seseorang di antara kalian meminta
nasihat kepada saudaranya, maka hendaklah saudaranya itu memberikan nasihat
(saran) kepadanya.
Hadis ini pun hanya diriwayatkan oleh Ibnu Majah sendiri.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada
Allah.
Yakni apabila engkau bermusyawarah dengan mereka dalam urusan itu, dan kamu
telah membulatkan tekadmu, hendaklah kamu bertawakal kepada Allah dalam
urusan itu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
Jika Allah menolong kalian, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan
kalian, jika Allah membiarkan kalian (tidak memberi pertolongan), maka
siapakah gerangan yang dapat menolong kalian (selain) dari Allah sesudah itu?
Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.
(Q.S. Ali ‘Imran [3]: 160)
Ayat ini —seperti yang telah disebutkan di atas— sama maknanya dengan
firman-Nya:
Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana.
(Q.S. Ali ‘Imran [3]: 126)
e. Implikasi
Penafsiran surat Ali Imran ayat 159 ini seakan mengingatkan kita betapa
pentingnya memaafkan, tidak jarang kita mengungkit-ngungkit kesalahan orang lain
padahal sebelumnya kita telah memaafkannya. Terkadang kita lupa bahwa kitapun
pernah melakukan kesalahan bahkan orang lain dengan mudahnya memaafkan
kesalahan yang telah kita perbuat. Bahkan suatu ketika Nabi Muhammad SAW.
penah dilempari kotoran ketika akan pergi ke masjid, Beliau pun pernah dicaci maki
oleh orang buta, akan tetapi apakah Rasulullah membalas hinaan dan cacian mereka?
Tidak, bahkan Rasulullah tetap bersikap baik kepada orang-orang yang telah
menyakiti hatinya.
Selain mengingatkan betapa pentingnya memaafkan sesama, surat Ali Imran ayat
159 juga mengajarkan kepada kita untuk bermusyawarah agar kita bisa memecahkan
persoalan yang sedang terjadi dan menemukan solusi bersama-sama. Dengan
demikian tidak akan terjadi yang namanya permusuhan bahkan peperangan hanya
karena perbedaan pendapat yang membuat kesalahpahaman.
Musyawarah juga bisa dijadikan sebagai metode pemilihan seorang pemimpin,
jika kita putar kebelakang, beberapa pemilihan khulafaurasyidin ada yang
menggunakan metode ini, contohnya Abu Bakar ash-Siddiq. Dikarenakan sebelum
wafat Rasulullah SAW. tidak menunjuk siapa yang akan menggantikannya menjadi
seorang khalifah, akhirnya wakil-wakil dari kalangan kaum Muhajirin dan Anshar
secara terbatas bermusyawarah untuk membicarakan siapa yang paling pantas
menggantikan Rasulullah menjadi pemimpin setelah ia wafat. Pada awalnya, kandidat
yang dipilih adalah Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah, akan tetapi
Umar berkata kepada yang hadir di Tsaqifah Bani Sa’idah,”yang paling berhak
menggantikan Rasulullah adalah sahabatnya yang menyertainya dalam Gua Hira.
Dialah Abu Bakar, dan Umarpun langsung menarik tangan yang ternyata ada seorang
Anshar yaitu Basyir bin Sa’ad) yang lebih dahulu menariknya dan membaiatnya
sebelum Umar sempat meraih tangan Abu Bakar, setelah itu baru Umar membaiatnya
dengan diikuti oleh orang ramai.
Dari kisah Abu Bakar diatas, kita jadi tahu bahwa dengan musyawarah, konflik
yang sangat besar sekalipun bisa teratasi dengan baik.
f. Kesimpulan