Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di


negara barat. Angka kejadiannya lebih dari 20% populasi dan insiden meningkat
dengan bertambahnya usia. Di negara Barat, batu empedu mengenai 10% orang
dewasa. Angka prevalensi orang dewasa lebih tinggi di negara Amerika Latin
(20%-40%) dan rendah di negara Asia (3%-4%).
Di Amerika Serikat, terhitung lebih dari 20 juta orang Amerika dengan batu
empedu dan dari hasil otopsi menunjukkan angka kejadian batu empedu paling
sedikit 20% pada wanita dan 8% pada laki-laki di atas umur empat puluhan. Di
Inggris, sekitar 5,5 juta orang dengan batu empedu dan dilakukan lebih dari 50
ribu kolesistektomi tiap tahunnya.
Sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian di klinis, sementara
publikasi penelitian batu empedu masih terbatas. Sebagian besar pasien dengan
batu empedu tidak mempunyai keluhan. Risiko penyandang batu empedu untuk
mengalami gejala dan komplikasi relatif kecil. Walaupun demikian, sekali batu
empedu mulai menimbulkan serangan nyeri kolik yang spesifik maka resiko untuk
mengalami masalah dan penyulit akan terus meningkat.
Sekitar 1 juta pasien baru terdiagnosis mengidap batu empedu per tahun,
dengan dua pertiganya menjalani pembedahan. Angka kematian akibat
pembedahan untuk bedah saluran empedu secara keseluruhan sangat rendah,
tetapi sekitar 1000 pasien meninggal setiap tahun akibat penyakit batu empedu
atau penyulit pembedahan.
Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru
Ultrasonografi (USG) maka banyak penderita batu kandung empedu yang
ditemukan secara dini sehingga dapat dicegah kemungkinan terjadinya
komplikasi. Semakin canggihnya peralatan dan semakin kurang invasifnya
tindakan pengobatan sangat mengurangi morbiditas dan moralitas.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Kolelitiasis

Kolelitiasis disebut juga Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones,

biliary calculus. Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di

dalam kandung empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa

unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam

kandung empedu.

B. Epidemiologi Kolelitiasis

Tiap tahun 500.000 kasus baru dari batu empedu ditemukan di Amerika

Serikat. Kasus tersebut sebagian besar didapatkan di atas usia pubertas,

sedangkan pada anak-anak jarang. Orang gemuk ternyata mempunyai resiko tiga

kali lipat untuk menderita batu empedu. Insiden pada laki-laki dan wanita pada

batu pigmen tidak terlalu banyak berbeda.

Sebuah penelitian membuktikan bahwa diet tidak berpengaruh terhadap

pembentukan batu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi jenis batu yang

terbentuk. Hal ini disokong oleh peneliti dari Jepang yang menemukan bukti

bahwa orang dengan diet berat biasanya menderita batu jenis kolesterol,

sedangkan yang dietnya tetap biasanya menderita batu jenis pigmen. Faktor

keluarga juga berperan dimana bila keluarga menderita batu empedu

kemungkinan untuk menderita penyakit tersebut dua kali lipat dari orang normal.

2
C. Anatomi Kandung Empedu

Kandung empedu ( Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear

yang terletak pada permukaan visceral hepar. Vesica fellea dibagi menjadi

fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol

dibawah pinggir inferior hepar, dimana fundus berhubungan dengan dinding

anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan

dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum

dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam omentum minus untuk

bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis membentuk duktus

koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea dengan sempurna

menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral hati.

Pembuluh arteri kandung empedu adalah a. cystica, cabang a. hepatica

kanan. V. cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah

arteri yang sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung

empedu.

Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak

dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi

lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan a. hepatica menuju ke nodi

lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari plexus

coeliacus.

Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah alpukat yang

terletak tepat dibawah lobus kanan hati. Empedu yang disekresi secara terus

menerus oleh hati masuk ke saluran empedu yang kecil di dalam hati. Saluran

3
empedu yang kecil-kecil tersebut bersatu membentuk dua saluran yang lebih

besar yang keluar dari permukaan bawah hati sebagai duktus hepatikus kanan

dan kiri, yang akan bersatu membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus

hepatikus komunis bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus

koledokus. Pada banyak orang, duktus koledokus bersatu dengan duktus

pankreatikus membentuk ampula Vateri sebelum bermuara ke usus halus. Bagian

terminal dari kedua saluran dan ampla dikelilingi oleh serabut otot sirkular,

dikenal sebagai Sfingter Oddi.

Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan memekatkan

empedu. Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu yang

dihasilkan hati. Empedu yang dihasilkan hati tidak langsung masuk ke

duodenum, akan tetapi setelah melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke

duktus sistikus dan disimpan di kandung empedu. Pembuluh limfe dan

pembuluh darah mengabsorbsi air dan garam-garam anorganik dalam kandung

empedu sehingga cairan empedu dalam kandung empedu akan lebih pekat 10

kali lipat daripada cairan empedu hati. Secara berkala kandung empedu akan

mengosongkan isinya ke dalam duodenum melalui kontraksi simultan lapisan

ototnya dan relaksasi sfingter Oddi. Rangsang normal kontraksi dan

pengosongan kandung empedu adalah masuknya kimus asam dalam duodenum.

Adanya lemak dalam makanan merupakan rangsangan terkuat untuk

menimbulkan kontraksi. Hormone CCK juga memperantarai kontraksi.

4
Dua penyakit saluran empedu yang paling sering frekuensinya adalah

pembentukan batu (kolelitiasis) dan radang kronik penyertanya (kolesistitis).

Dua keadaan ini biasa timbul sendiri-sendiri, atau timbul bersamaan.

D. Fisiologi Kandung Empedu

Vesica fellea berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar

50 ml. Vesica fellea mempunya kemampuan memekatkan empedu. Dan untuk

membantu proses ini, mukosanya mempunyai lipatan – lipatan permanen yang

satu sama lain saling berhubungan. Sehingga permukaanya tampak seperti

sarang tawon. Sel- sel thorak yang membatasinya juga mempunyai banyak

mikrovilli.

Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli.

Kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum

interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus

kanan dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada

saluran ini sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung empedu

yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu

sebelum disalurkan ke duodenum.

Pengosongan kandung empedu. Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi

dan pengosongan parsial kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan

masuknya makanan berlemak kedalam duodenum. Lemak menyebabkan

pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum, hormon kemudian

masuk kedalam darah, menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat

yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal duktus coledokus dan

5
ampula relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya empedu yang kental ke

dalam duodenum. Garam – garam empedu dalam cairan empedu penting untuk

emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi

lemak.

E. Etiologi Batu Empedu

Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun

yang paling penting adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh

perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu.

Sementara itu, komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol yang

biasanya tetap berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi jenuh karena

kolesterol, maka kolesterol bisa menjadi tidak larut dan membentuk endapan di

luar empedu.

F. Faktor Risiko

Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor risiko di bawah ini.

Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar

kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain :

1. Jenis kelamin. Wanita memiliki resiko 3 kali lipat terkena kolitiasis

dibandingkan pria. Ini dikarenakan hormon estrogen berpengaruh terhadap

peningkatan ekskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang

meningkatkan kadar estrogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis.

Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (estrogen) dapat

meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas

pengosongan kandung empedu.

6
2. Usia. Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan

bertambahnya usia. Orang dengan usia >60 tahun lebih cenderung untuk

terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang usia yang lebih muda.

3. Berat badan (BMI). Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi,

mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini dikarenakan

dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun

tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi

kontraksi/pengosongan kandung empedu.

4. Makanan. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti

setelah operasi gastrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur

kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung

empedu.

5. Riwayat keluarga. Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai

resiko lebih besar dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga.

6. Aktivitas fisik. Kurangnya aktivitas fisik berhubungan dengan peningkatan

resiko terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu

lebih sedikit berkontraksi.

7. Penyakit usus halus. Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan

kolelitiasis adalah crohn disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan

ileus paralitik.

8. Nutrisi intravena jangka lama. Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan

kandung empedu tidak terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada

7
makanan/nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk

terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.

G. Patofisiologi kolelitiasis

Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan

empedu yang supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3)

berkembang karena bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol

merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan semua batu, kecuali

batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila perbandingan

asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol turun di bawah

harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang

mengandung air. Empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan

koloid yang mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang

hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan,

atau kadar asam empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan

yang litogenik.

Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti

pengendapan kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol

keluar dari larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan.

Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel

sel yang lepas, atau partikel debris yang lain diperlukan untuk dipakai sebagai

benih pengkristalan.

8
H. Klasifikasi kolelitiasis

Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di

golongkankan atas 3 (tiga) golongan.

1. Batu kolesterol

Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari

70% kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang

mengandung > 50% kolesterol). Untuk terbentuknya batu kolesterol

diperlukan 3 faktor utama :

a. Supersaturasi kolesterol

b. Hipomotilitas kandung empedu

c. Nukleasi/ pembentukan nidus cepat.

2. Batu pigmen

Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang

mengandung <20% kolesterol. Jenisnya antara lain:

a. Batu pigmen kalsium bilirubinan (pigmen coklat)

Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan

mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu pigmen

cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi saluran empedu.

Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi sfingter Oddi, striktur,

operasi bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi infeksi saluran empedu,

khususnya E. Coli, kadar enzim B-glukoronidase yang berasal dari bakteri

akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium

mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari

9
penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara infeksi

bakteri dan terbentuknya batu pigmen cokelat.umumnya batu pigmen

cokelat ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi.

b. Batu pigmen hitam.

Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk

dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi.1 Batu pigmen hitam

adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada pasien dengan hemolisis

kronik atau sirosis hati. Batu pigmen hitam ini terutama terdiri dari derivat

polymerized bilirubin. Potogenesis terbentuknya batu ini belum jelas.

Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan

empedu yang steril.

3. Batu campuran

Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-

50% kolesterol.

I. Gejala Klinis Kolelitiasis

Batu empedu mungkin tidak menimbulkan gejala selama berpuluh tahun,

70% hingga 80% pasien tetap asimtomatik seumur hidupnya. Penderita batu

empedu sering mempunyai gejala-gejala kolestitis akut atau kronik. Bentuk akut

ditandai dengan nyeri hebat mendadak pada abdomen bagian atas, terutama

ditengah epigastrium. Lalu nyeri menjalar ke punggung dan bahu kanan

(Murphy sign). Pasien dapat berkeringat banyak dan berguling ke kanan-kiri saat

10
tidur. Nausea dan muntah sering terjadi. Nyeri dapat berlangsung selama berjam-

jam atau dapat kembali terulang.

Gejala-gejala kolesistitis kronik mirip dengan fase akut, tetapi beratnya

nyeri dan tanda-tanda fisik kurang nyata. Sering kali terdapat riwayat dispepsia,

intoleransi lemak, nyeri ulu hati atau flatulen yang berlangsung lama. Setelah

terbentuk, batu empedu dapat berdiam dengan tenang dalam kandung empedu

dan tidak menimbulkan masalah, atau dapat menimbulkan komplikasi.

Komplikasi yang paling sering adalah infeksi kandung empedu (kolesistitis) dan

obstruksi pada duktus sistikus atau duktus koledokus. Obstruksi ini dapat

bersifat sementara, intermitten dan permanent. Kadang-kadang batu dapat

menembus dinding kandung empedu dan menyebabkan peradangan hebat, sering

menimbulkan peritonitis, atau menyebakan ruptur dinding kandung empedu.

J. Diagnosa Kolelitiasis
1. Anamnesis

Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis.

Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai

intoleran terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama

berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium.

Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari

15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya

nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.

Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak

bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita

melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau

11
terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik

nafas dalam.

2. Pemeriksaan fisik

a. Batu kandung empedu

Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan

komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum,

hidrop kandung empedu, empiema kandung empedu, atau pankretitis.

Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum

didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila

nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena

kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa

dan pasien berhenti menarik nafas.

b. Batu saluran empedu

Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang.

Kadang teraba hati dan sklera ikterik. Perlu diketahui bahwa bila kadar

bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejala ikterik tidak jelas. Apabila

sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium

Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak

menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi

peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma

mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat

penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang

12
tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar

fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya

meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut.

Penyaringan bagi penyakit saluran empedu melibatkan

penggunaan banyak tes biokimia yang menunjukkan disfungsi sel hati

yaitu yang dinamai tes fungsi hati. Bilirubin serum yang difraksionasi

sebagai komponen tak langsung dan langsung dari reaksi Van den bergh,

dengan sendirinya sangat tak spesifik. Walaupun sering peningkatan

bilirubin serum menunjukkan kelainan hepatobiliaris, bilirubin serum

bisa meningkat tanpa penyakit hepatobiliaris pada banyak jenis kelainan

yang mencakup episode bermakna hemolisis intravaskular dan sepsis

sistemik. Tetapi lebih lazim peningkatan bilirubin serum timbul sekunder

terhadap kolestatis intrahepatik, yang menunjukkan disfungsi parenkim

hati atau kolestatis ekstrahepatik sekunder terhadap obstruksi saluran

empedu akibat batu empedu, keganasan, atau pankreas jinak.

Bila obstruksi saluran empedu lengkap, maka bilirubin serum

memuncak 25 sampai 30 mg per 100 ml, yang pada waktu itu eksresi

bilirubin sama dengan produksi harian. Nilai >30 mg per 100 ml berarti

terjadi bersamaan dengan hemolisis atau disfungsi ginjal atau sel hati.

Keganasan ekstrahepatik paling sering menyebabkan obstruksi lengkap

(bilirubin serum 20 mg per 100 ml), sedangkan batu empedu biasanya

menyebabkan obstruksi sebagian, dengan bilirubin serum jarang melebihi

10 sampai 15 mg per 100 ml.

13
Alanin aminotransferase (dulu dinamai SGOT, serum glutamat-

oksalat transaminase) dan Aspartat aminotransferase (dulu SGPT, serum

glutamat-piruvat transaminase) merupakan enzim yang disintesisi dalam

konstelasi tinggi di dalam hepatosit. Peningkatan dalam aktivitas serum

sering menunjukkan kelainan sel hati, tetapi peningkatan enzim ini ( 1-3

kali normal atau kadang-kadang cukup tinggi tetapi sepintas) bisa timbul

bersamaan dengan penyakit saluran empedu, terutama obstruksi saluran

empedu.

Fosfatase alkali merupakan enzim yang disintesisi dalam sel

epitel saluran empedu. Pada obstruksi saluran empedu, aktivitas serum

meningkat karena sel duktus meningkatkan sintesis enzim ini. Kadar

yang sangat tinggi, sangat menggambarkan obstruksi saluran empedu.

Tetapi fosfatasi alkali juga ditemukan di dalam tulang dan dapat

meningkat pada kerusakan tulang. Juga meningkat selama kehamilan

karena sintesis plasenta.

b. Pemeriksaan Radiologis

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang

khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat

radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu

berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan

akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung

empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan

atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika.

14
c. Pemeriksaan Ultrosonografi (USG)

Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas

yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran

saluran empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga

dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau

udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang

terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena

terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum

rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada

dengan palpasi biasa.

Ultrasonografi sangat bermanfaat pada pasien ikterus. Sebagai

teknik penyaring, tidak hanya dilatasi duktus biliaris ekstra dan intra

hepatik yang bisa diketahui secara meyakinkan, tetapi kelainan lain

dalam parenkim hati atau pankreas (seperti massa atau kista) juga bisa

terbukti. Pada tahun belakangan ini, ultrasonografi jelas telah ditetapkan

sebagai tes penyaring awal untuk memulai evaluasi diagnostik bagi

ikterus. Bila telah diketahui duktus intrahepatik berdilatasi, maka bisa

ditegakkan diagnosis kolestatis ekstrahepatik. Jika tidak didapatkan

dilatasi duktus, maka ini menggambarkan kolestatis intrahepatik.

Ketepatan ultrasonografi dalam membedakan antara kolestatis intra dan

ekstrahepatik tergantung pada derajat dan lama obstruksi saluran

empedu, tetapi jelas melebihi 90% .Distensi usus oleh gas mengganggu

pemeriksaan ini.

15
d. Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik

karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu

radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu.

Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah,

kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis

karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati.

Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi

kandung empedu.

K. Penatalaksanaan Kolelitiasis

Penatalaksanaan dari batu empedu tergantung dari stadium penyakit. Saat


batu tersebut menjadi simptomatik maka intervensi operatif diperlukan.
Biasanya yang dipakai ialah kolesistektomi. Akan tetapi, pengobatan batu dapat
dimulai dari obat-obatan yang digunakan tunggal atau kombinasi yaitu terapi
oral garam empedu ( asam ursodeoksikolat), dilusi kontak dan ESWL. Terapi
tersebut akan berprognosis baik apabila batu kecil < 1 cm dengan tinggi
kandungan kolesterol.
1. Asimptomatik
Penanganan operasi pada batu empedu asimptomatik tanpa komplikasi
tidak dianjurkan. Indikasi kolesistektomi pada batu empedu asimptomatik
ialah:
a. Pasien dengan batu empedu > 2cm.
b. Pasien dengan kandung empedu yang kalsifikasi yang
resikko tinggi keganasan.
c. Pasien dengan cedera medula spinalis yang berefek ke
perut.
Disolusi batu empedu
Agen disolusi yang digunakan ialah asam ursodioksikolat. Pada
manusia, penggunaan jangka panjang dari agen ini akan mengurangi saturasi

16
kolesterol pada empedu yaitu dengan mengurangi sekresi kolesterol dan efek
deterjen dari asam empedu pada kandung empedu. Desaturasi dari empedu
mencegah kristalisasi.
Dosis lazim yang digunakan ialah 8-10 mg/kgBB terbagi dalam 2-3
dosis harian akan mempercepat disolusi. Intervensi ini membutuhkan waktu
6-18 bulan dan berhasil bila batu yang terdapat ialah kecil dan murni batu
kolesterol.
Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Litotripsi gelombang elektrosyok meskipun sangat populer beberapa
tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini hanya terbatas untuk
pasien yang benar-benar telah dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
Efektifitas ESWL memerlukan terapi adjuvant asam ursodeoksilat.

2. Simptomatik
Kolesistektomi
Kolesistektomi adalah pengangkatan kandung empedu yang secara
umum diindikasikan bagi yang memiliki gejala atau komplikasi dari batu,
kecuali yang terkait usia tua dan memiliki resiko operasi. Pada beberapa
kasus empiema kandung empedu, diperlukan drainase sementara untuk
mengeluarkan pus yang dinamakan kolesistostomi dan kemudian baru
direncanakan kolesistektomi elektif. Indikasi yang paling umum untuk
kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi trauma CBD, perdarahan, dan
infeksi. Langkah-langkah pada kolesistektomi terbuka:
a. Insisi
Jenis insisi yang dapat digunakan ialah insisi subkosta kanan atas, insisi
kocher, insisi kocher termodifikasi dan insisi tranverse.

17
1. Insisi kocher

7. Insisi transverse

Gambar. Jenis insisi pada abdomen

b. Peletakan 2 mop basah


Yang pertama digunakan untuk menyingkirkan duodenum, kolon
transversum dan usus halus. Yang kedua digunakan di kiri common bile
duct untuk menyingkirkan gaster ke kiri.
c. Dapat melihat kandung empedu
Bagian bawah lobus kanan hepar ditarik ke atas menggunakan retracter
agar kandung empedu lebih terekspos.
d. Pengangkatan kandung empedu
Terdapat 2 metode
a. Metode duct first
Yang pertama didiseksi ialah duktus sistikus dan arteri kemudian
dipisahkan setelah kandung empedu diangkat.
Indikasi : tidak ada adhesi atau eksudat pada CBD, CHD dan CD
Kontraindikasi : adanya adhesi dan eksudat
b. Metode fundus first
Diseksi dimulai dari fundus kandung empedu dan kemudian berlanjut
pada duktus sistikus.
Indikasi : adanya adhesi atau eksudat di CBD, CHD dan CD
Laparoskopik kolesistektomi
Berbeda dengan kolesistektomi terbuka, pada laparoskopik hanya
membutuhkan 4 insisi yang kecil. Oleh karena itu, pemulihan pasca operasi
juga cepat. Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal,
pemulihan lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan perawatan

18
di rumah sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi tersering adalah nyeri
bilier yang berulang. Kontra indikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka
yaitu tidak dapat mentoleransi tindakan anestesi umum dan koagulopati yang
tidak dapat dikoreksi. Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan,
pankreatitis, bocor stump duktus sistikus dan trauma duktus biliaris. Resiko
trauma duktus biliaris sering dibicarakan, namun umumnya berkisar antara
0,5–1%. Dengan menggunakan teknik laparoskopi kualitas pemulihan lebih
baik, tidak terdapat nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal dalam 10
hari, cepat bekerja kembali, dan semua otot abdomen utuh sehingga dapat
digunakan untuk aktifitas olahraga.
Kolesistostomi
Pada pasien dengan kandung empedu yang mengalami empiema dan
sepsis, yang dapat dilakukan ialah kolesistostomi. Kolesistostomi adalah
penaruhan pipa drainase di dalam kandung empedu. Setelah pasien
stabil,maka kolesistektomi dapat dilakukan.
Endoscopic sphincterotomy
Dilakukan apabila batu pada CBD tidak dapat dikeluarkan. Pada
prosedur ini kanula diletakan pada duktus melalui papila vateri. Dengan
mennggunkan spinterectome elektrokauter, dibuat insisi 1 cm melalui sfingter
oddi dan bagian CBD yang mengarah ke intraduodenal terbuka dan batu
keluar dan diekstraksi. Prosedur ini terutama digunakan pada batu yang
impaksi di ampula vateri.

L. Komplikasi Kolelitiasis

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis :

(Sjamsuhidajat,2005)

1. Asimtomatik

2. Obstruksi duktus sistikus

19
3. Kolik bilier

4. Kolesistitis akut

5. Perikolesistitis

6. Peradangan pankreas (pankreatitis)-angga

7. Perforasi

8. Kolesistitis kronis

9. Hidrop kandung empedu

10. Empiema kandung empedu

11. Fistel kolesistoenterik

12. Batu empedu sekunder (Pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali dan

batu empedu muncul lagi)

13. Ileus batu empedu (gallstone ileus)

Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan

menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam

kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat

menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sitikus secara

menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka

mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi

dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk

suatu fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat

terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan

nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat membentuk

20
suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu

yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata.

Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada

saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus

koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan

kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya

ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis. (Sjamsuhidajat,2005)

Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui

terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat

menyumbat pad bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan

menimbulkan ileus obstruksi.

M. Prognosis
Prognosis dari kolelitiasis adalah tergantung pada keberadaan dan tingkat

keparahan komplikasi. Diagnosis dan pembedahan yang cepat, tingkat mortalitas

dan morbiditas penyakit ini sangat kecil.

DAFTAR PUSTAKA

1. Beckingham, IJ. Gallstone disease. 2001. In: ABC of Liver, Pancreas and Gall

Bladder. London: BMJ Books.

2. Keshav.S. The Gastrointestinal System at a Glance. London: Blackwell

Science; 2004.

21
3. Kumar, Ramzi S. Cotran & Stanley L. Robbins. Buku Ajar Patologi Edisi 7.
Penerbit EGC. Jakarta. 2007

4. Mansjoer A. etal, 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I, Ed.3. hal 510-512.

Penerbit Media Aesculapius, FKUI, Jakarta

5. Price, Sylvia Anderson, Wilson, Lorraine McCarty. Patofisiologi Konsep

Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran

EGC. 2006

6. Putz R, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Jilid 2 edisi 21. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2003

7. Reksoprodjo S. 1995. Ikterus dalam bedah, Dalam Ahmadsyah I, Kumpulan

Kuliah Ilmu Bedah, hal 71 – 77, Bina Rupa Aksara, Jakarta.

8. Sabiston David C. Buku Ajar Bedah, Bagian 2. Penerbit EGC. Jakarta. 1994

9. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of

Surgery). Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000. 459-464.

10. Sekijima J.H, Lee, Sum P. Gallstones and Cholecystitis. In: Humes D, Dupon

L, editors. Kelley’s Textbook of Internal Medicine. 4th ed

11. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005.hal: 570-579

12. Snell, Richard S.. Anatomi klinik, edisi 3, bag. 1, hal 265 – 266, Penerbit

EGC, Jakarta. 2002

13. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Edisi IV 2006, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit

Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

22
14. Yekeler E, Akyol Y. Cholelithiasis. Dalam : New England Journal of

Medicine. 004 Avaliable from:

http://content.nejm.org/cgi/content/full/351/22/2318#F1

23

Anda mungkin juga menyukai