Anda di halaman 1dari 33

KARYA TULIS

NETRALITAS ASN PADA PILKADA

NAMA : WIHARYANTO,SH
NIP : 19630301 199003 1 011
JABATAN : SEKRETARIS KECAMATAN
INSTANSI : KECAMATAN BATURRADEN

PEMERINTAH KABUPATEN BANYUMAS

KECAMATAN BATURRADEN

TAHUN 2019
BAB I LATAR BELAKANG

Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) bukanlah hal baru dalam kehidupan
demokrasi di Indonesia. Dengan kata lain, persoalan netralitas ASN menjadi isu
lama yang senantiasa aktual dalam kehidupan bernegara terutama menjelang
pelaksaan pesta demokrasi, seperti halnya pada Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) langsung yang tahun ini (dibaca; tahun 2018) telah dilaksanakan.
Aktualnya isu netralitas ASN dalam pelaksanaan Pilkada terjadi karena adanya
kekhawatiran publik akan keberpihakan ASN kepada salah satu pasangan calon
kepala daerah.
Secara historikal, persoalan mengenai netralitas ASN dalam pesta demokrasi
sebenarnya telah terjadi sejak Pemilihan Umum (Pemilu) pertama di tahun 1955.
Persoalan netralitas ASN menjadi semakin nyata dan kompleks ketika absennya
instrumen hukum yang secara komprehensif mampu mengatasi persoalan tersebut.
Hingga akhirnya, hadirlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Netralitas Kepegawaian. Negara yang notabenenya merupakan undang-undang
kepegawaian pertama.
Hari ini, segala hal berkenaan dengan ASN diatur dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, termasuk didalamnya
persoalan netralitas ASN. Dalam Pasal 2 Undang-Undang tersebut dikatakan
bahwa penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN dilaksanakan dengan
berdasarkan asas salah satunya asas netralitas. Asas netralitas dalam
undangundang tersebut dimaknai bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari
segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan
siapapun.
Tidak hanya itu, persoalan netralitas ASN kemudian juga diatur dan
ditindaklanjuti dengan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Peraturan
perundang-undangan sebagaimana dimaksud diantaranya Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur Bupati & Walikota, Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil,
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Koprs dan
Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, Surat Edaran Komisi Aparatur Sipil Negara
Nomor B.2900/KASN/11/2017 tertanggal 10 November 2017 tentang
Pengawasan Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara pada Pilkada Serentak
2018 serta Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan
Reformasi Birokrasi Nomor B/71/M/SM.00.00/2017 tertanggal 27 Desember
2017 tentang Pelaksanaan Netralitas Aparatur Sipil Negara.
BAB II LANDASAN PEMIKIRAN

Pada bagian ini, penulis akan terlebih dahulu menguraikan tentang landasan
berfikir atau tinjauan umum mengenai hal-hal yang menjadi pokok pembahasan
dalam tulisan ini, yakni netralitas, aparatur sipil negara dan pemilihan kepala
daerah. Pertama mengenai netralitas. Menurut arti kata, netralitas berasal dari kata
“netral” yang artinya tidak membantu atau tidak mengikuti satu pihak. Sementara
netralitas merupakan satu keadaan dan sikap netral atau tidak memihak dan
bebas.2 Sehingga seseorang dapat dikatakan netral apabila ia tidak memihak
kepada satu, dua atau lebih pihak tertentu baik itu seseorang, kelompok atau suatu
organisasi. Netral juga dapat diartikan sebagai sikap tidak memihak dan tidak
berpihak terhadap salah satu kelompok atau golongan, tidak distriminatif, steril
dari kepentingan kelompok dan tidak terpengaruh dari kepentingan politik.
Dalam konteks keilmuan, pencarian makna netralitas akan selalu terkait
dengan obyektivitas cara pandang. Berkenaan dengan hal tersebut, kebenaran
objektivitas ilmu hanya dapat dinilai ketika unsur-unsur subjektivitas ilmu
tersebut tidak mempengaruhinya atau tidak masuk sebagai salah satu unsur dari
bangunan teori-teorinya. Disini terlihat jelas bahwa ilmu pengetahuan akan
dikatakan objektif apabila ia terlepas dari unsur-unsur lain di luar dirinya,
termasuk nilai (value free). Begitu ilmu terbebas dari nilai atau unsur-unsur
lainnya, maka ilmu dalam keadaan posisi netral, karena ia tidak memihak kepada
sesuatu apapun kecuali pada dirinya sendiri (independen). Objektif artinya bahwa
data dapat tersedia untuk penelaahan keilmuan tanpa ada hubungannya dengan
karakteristik individual dari seorang ilmuwan.4 Bebas nilai berarti dikotomi yang
tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dengan
semesta dengan bersikap imparsial netral. Berdasarkan analogi terhadap netralitas
keilmuan, hakikat akan obyektivitas selalu bermuara pada kondisi netral, maka
jelas bahwa substansi netral adalah tidak memihak. Sejatinya, kondisi tidak
memihak akan terpenuhi jika berada di luar sistem dan tidak memberikan ruang
akan intervensi kepentingan.
Kedua, Aparatur Sipil Negara. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara, disebutkan bahwa Aparatur Sipil Negara
yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan
pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi
pemerintah. Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam undang-undang tersebut dimaknai
sebagai warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat
sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk
menduduki jabatan pemerintahan. Dalam perspektif yang lain, PNS menurut
Kamus Umum Bahasa Indonesia, adalah orang yang bekerja untuk pemerintah
atau negara. Menurut Kranenburg PNS adalah pejabat yang ditunjuk, jadi
pengertian tersebut tidak termasuk terhadap mereka yang memangku jabatan
mewakili seperti anggota parlemen, presiden dan sebagainnya. Pengertian
PNS menurut Mahfud MD ada dua bagian yaitu:
1. Pengertian Stipulatif adalah pengertian yang diberikan oleh undang-
undang tentang ASN sebagaimana yang telah penulis sebutkan sebelumnya;
dan
2.Pengertian ekstensif adalah pengertian yang hanya berlaku pada hal-hal
tertentu. Hal-hal tertentu yang dimaksud adalah lebih kepada beberapa
golongan yang sebenarnya bukan PNS. Contoh: kentuan Pasal 92 KUHP yang
berkaitan dengan status anggota dewan rakyat, anggota dewan daerah dan kepala
desa. Menurut Pasal 92 KUHP, dijelaskan bahwa yang termasuk ke dalam PNS
adalah orang-orang yang dipilih dalam pemilihan berdasarkan peraturan-
peraturan umum dan mereka yang bukan dipilih tetapi diangkat menjadi anggota
dewan perwakilan rakyat dan anggora dewan daerah serta kepala desa dan
sebagainya. Pengertian PNS menurut KUHP sangatlah luas, namun pengertian
tersebut hanya berlaku dalam hal orang-orang yang melakukan kejahatan atau
pelanggaran jabatan dan tindak pidana lain yang disebutkan dalam KUHP. Jadi
pengertian ini tidak termasuk dalam hukum kepegawaian. Dari beberapa
pengertian tersebut, dapat diketengahkan bahwa sebenarnya PNS adalah orang-
orang yang bekerja di lingkungan instansi pemerintahan sesuai dengan syarat-
syarat tertentu yang telah ditetapkan oleh peraturan perundangundangan.
Sementara Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dimaknai
sebagai warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang
diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka
melaksanakan tugas pemerintahan.10 Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui
bahwa ASN termasuk didalamnya adalah PNS dan PPPK yang bekerja pada
instansi pemerintahan. Oleh karena itu, jika kita berbicara mengenai netralitas
ASN tentu kita sedang bicara tentang netralitas terhadap kedua profesi tersebut.
Ketiga, Pemilihan Kepala Daerah. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 disebutkan bahwa
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan
adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk
memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung dan demokratis.
Pemilihan tersebut dilaksanakan setiap 5 tahun sekali secara serentak di seluruh
wilayah NKRI dan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil.
Dari ketiga landasan berfikir atau tinjauan umum mengenai netralitas,
ASN dan Pilkada sebagaimana penulis uraikan diatas, dapat ditarik benang
merah bahwa yang menjadi ruang lingkup berfikir atas netralitas ASN dalam
Pilkada Serentak 2018 adalah sikap tidak memihak dari PNS dan PPPK terhadap
kepada satu, dua atau lebih pihak tertentu baik itu seseorang, kelompok atau
suatu orgaisasi dalam pelaksanaan pemilihan Gubernur, Bupati dan/atau
Walikota.
BAB III PEMBAHASAN

A. Politik Hukum Pengaturan tentang Netralitas ASN dalam Pilkada


Serentak Tahun 2018
Berbicara mengenai politik hukum pengaturan tentang netralitas ASN
dalam Pilkada serentak Tahun 2018, menarik untuk kita pahami terlebih dahulu
apa yang menjadi maksud dari politik hukum itu sendiri. Padmo Wahjono
mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah,
bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk.12 Di dalam tulisannya yang lain,
Padmo Wahjono memperjelas definisi tesebut dengan mengatakan bahwa politik
hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria
untuk menghukumkan sesuatu yang di dalamnya mencakup pembentukan,
penerapan dan penegakan hukum.13 Dengan demikian, politik hukum menurut
Padmo Wahjono berkaitan dengan hukum yang berlaku dimasa datang dan baru
pada tahap cita-cita (Ius Constituendum). Hal ini berbeda dengan pendapat Teuku
Mohammad Radhie yang mendefinisikan politik hukum sebagai suatu kehendak
penguasa negara mengenai hukum yang berlaku diwilayahnya dan mengenai arah
perkembangan hukum yang di bangun.14 Disini tampaknya definisi politik hukum
memiliki dua wajah yang saling berkaitan dan berkelanjutan, yaitu ius constitutum
dan ius constituendum.
Selain itu Sadjipto Rahardjo mengartikan politik hukum sebagai aktivitas
memilih dan cara yang hendak dicapai untuk mencapai tujuan sosial dengan
hukum tertentu di dalam masyarakat yang cakupannya meliputi jawaban atas
beberapa pertanyaan mendasar, yaitu
1) tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada;
2) cara-cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai dalam
mencapai tujuan tersebut;
3) kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah;
4)dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dalam
memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan
tersebut dengan baik
Dari berbagai pemahaman tersebut, Mahfud MD menyimpulkan bahwa
politik hukum adalah “legal policy” atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum
yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan
penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Dengan kata
lain, politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan
diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan di cabut atau
tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara
seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945.16 Dalam hal
ini, terlihat jelas bahwa hukum diposisikan sebagai alat untuk mencapai tujuan
Negara.
Mengkaitkan pemahaman mengenai politik hukum tersebut dengan berbagai
pengaturan tentang netralitas ASN dalam Pilkada serentak Tahun 2018, berikut
penulis uraikan terlebih dahulu apa yang menjadi pokok-pokok dari
masingmasing regulasi tersebut: pertama, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara. Undangundang ini lahir dengan alasan salah
satunya sebagai upaya untuk membangun ASN yang memiliki integritas,
profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi
masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan
kesatuan bangsa berasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dalam rangka mewujudkan tujuan
negara.17 Spesifik berbicara mengenai netralitas ASN didalam undang-undang
tersebut, dapat dilihat bahwa asas netralitas menjadi 1 dari 13 asas penting dalam
penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN. Artinya, dalam upaya
membentuk ASN sebagaimana dicita-citakan untuk mewujudkan tujuan negara,
netralitas menjadi harga mati yang tidak dapat dikesampingkan.
Kedua, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Pada prinsipnya
undang-undang ini lahir dalam rangka menjamin pemilihan kepala daerah yang
dilaksanakan secara demokratis sebagaimana amanat Pasal 18 ayat (4) UUD NRI
Tahun 1945. Pemilihan yang demokratis tersebut dapat terwujud apabila
kedaulatan rakyat dan demokrasi dari rakyat telah dijunjung tinggi sebagai syarat
utama dalam sebuah pemilihan.18 Kaitannya dengan netralitas ASN, didalam
Pasal 7 undang-undang tersebut telah disebutkan secara jelas bahwa apabila
terdapat seorang PNS ingin mendaftarkan diri sebagai bakal calon kepala daerah,
maka seorang tersebut harus terlebih dahulu mengundurkan diri sebagai PNS
sejak mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah.19 Dari sini dapat kita lihat
bahwa sebenarnya persoalan netralitas ANS yang dalam hal ini adalah PNS
merupakan satu kesatuan dalam upaya mewujudkan pilkada yang demokratis.
Ketiga, Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin
Pegawai Negeri Sipil. Pada prinsipnya hadirnya PP ini ditujukan untuk
mewujudkan PNS yang handal, profesional dan bermoral. Dalam rangka
mewujudkan PNS sebagaimana dimaksud, PP ini kemudian memuat aturan yang
diantaranya adalah kewajiban, larangan dan hukuman disiplin yang dapat
dijatuhkan kepada PNS yang telah terbuki melakukan pelanggaran. Berkenaan
dengan kewajiban PNS yang berkaitan dengan netralitas ASN dalam pelaksanaan
Pilkada, telah dikatakan dalam Pasal 3 bahwa PNS wajib menaati segala
ketentuan peraturan perudang-undangan. Sementara larangan bagi PNS, dalam
Pasal 4 telah ditegaskan pula bahwa PNS dilarang salah satunya untuk
memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah,
dengan cara: terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah; menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan
dalam kegiatan kampanye; membuat keputusan dan/atau tindakan yang
menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa
kampanye; dan/atau mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan
terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan
sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau
pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga,
dan masyarakat.
Keempat, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan
Jiwa Koprs dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil. Jika kita telisik didalam
konsideran dapat diketahui bahwa PP Nomor 42 Tahun 2004 lahir sebagai
langkah kongkrit untuk menanamkan rasa Kesatuan dan persatuan, kebersamaan,
kerja sama, tanggung jawab, dedikasi, disiplin, kreativitas, kebanggaan dan rasa
memiliki organisasi Pegawai Negeri Sipil dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (Jiwa Korps) kepada seluruh PNS serta mengamalkan etika bagi PNS.
Kaitannya dengan netralitas ASN, Pasal 11 PP tersebut telah secara tegas
menjelaskan bahwa salah satu ruang lingkup etika terhadap diri sendiri (PNS)
adalah menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan.
Selain itu, di dalam PP tersebut juga dikatakan bahwa salah satu etika PNS dalam
kehidupan bernegara yaitu menaati semua peraturan perundang-undangan yang
berlaku dalam melaksanakan tugas. Artinya, ketika peraturan perundang
undangan telah menghendaki agar ASN menjunjung tinggi netralitas dalam
Pilkada 2018, maka hal itu merupakan harga mati yang harus dilakukan sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya membina jiwa Koprs ASN.
Kelima, Surat Edaran Komisi Aparatur Sipil Negara Nomor
B.2900/KASN/11/2017 tertanggal 10 November 2017 tentang Pengawasan
Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara pada Pilkada Serentak 2018. Surat
edaran ini merupakan bentuk kongkrit pelaksanaan tugas Komisi Aparatur Spil
Negara (KASN) dalam menjaga netralitas ASN. Rujukan dalam pelaksanaan
tugas tersebut mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara, PP Nomor 42 Tahun 2004 dan PP Nomor 53 Tahun 2010
sebagaimana telah penulis uraikan sebelumnya. Pada prinsipnya, surat edaran ini
hadir sebagai bentuk upaya lanjutan dalam rangka mewujudkan ASN yang
profesional, netral dan bebas dari intervensi politik.
Keenam, Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan
Reformasi Birokrasi Nomor B/71/M/SM.00.00/2017 tertanggal 27 Desember
2017 tentang Pelaksanaan Netralitas Aparatur Sipil Negara. Jika dicermai, pada
prinsipnya surat edaran ini memiliki maksud yang sama dengan surat edaran yang
dikeluarkan oleh KASN, yakni merupakan upaya lanjutan untuk mewujudkan
ASN yang profesional, netral dan bebas dari intervensi politik. Di dalamnya, surat
edaran ini berbicara mengenai seruan ataupun ajakan kepada para Pejabat
Pembina Kepegawaian dan seluruh ASN agar memperhatikan beberapa regulasi
berkenaan dengan netralitas ASN dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018,
pemilihan legislatif tahun 2019 dan pemilihan presiden dan wakil presiden 2019.
Selain itu surat edaran ini juga berbicara mengenai mekanisme pemantauan dan
evaluasi terhadap hal tersebut.
Berdasarkan uraian dari berbagai regulasi yang mengatur mengenai netralitas
ASN diatas, dapat kita lihat bahwa politik hukum pembentuk UU dan pemerintah
yang memilih untuk membentuk berbagai regulasi tersebut adalah dalam rangka
menjaga integritas, profesionalitas dan netralitas ASN demi terwujudnya Pilkada
yang demokratis sebagaimana amanat Pasal 18 ayat (4) UUD UUD NRI 1945.
Pembentuk UU dan pemerintah menyadari betul bahwa Pilkada yang demokratis
tidak berdiri dengan sendirinya. Untuk dapat menjelma sebagai sebuah pemilihan
yang demokratis, Pilkada membutuhkan pilarpilar yang harus menopangnya.
Dalam konteks ini, integritas, profesionalitas dan netralitas ASN merupakan satu
dari sekian pilar penting yang mutlak dibutuhkan untuk mewujudkan Pilkada yang
demokratis.
Namun apapun politik hukum dari berbagai pengaturan mengenai netralitas
ASN khususnya dalam pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2018, tidak dapat
dipungkiri bahwa netralitas ASN seperti satu persoalan yang tidak pernah
terselesaikan. Pembentuk UU dan pemerintah telah membuat ragam pengaturan
untuk membatasi hubungan ASN dengan kegiatan politik praktis guna
memperkuat eksistensi dari netralitas. Namun apa boleh buat, setiap
berlangsungnya pesta demokrasi seperti halnya Pilkada Serentak, selalu saja
diwarnai oleh maraknya pemberitaan tentang pelanggaran netralitas oleh oknum
ASN.
Dalam dua tahun terakhir saja (20172018), ribuan laporan dugaan pelanggraan
netralitas ASN diterima oleh Badan Pengawas Pemilu (Pemilu). Pada Pilkada
2017, terdapat setidaknya 1.256 laporan dan 878 temuan pelanggaran netralitas
ASN. Dari jumlah itu, 916 kasus masuk ranah pidana sedangkan 682 kasus masuk
ranah pelanggaran administrasi.20 Sementara terhitung Maret 2018 setidaknya
Bawaslu telah menerima 117 laporan megenai dugaan pelanggaran netralitas ASN
yang terjadi baik di pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Keseluruhan laporan
tersebut telah diserahkan oleh Bawaslu kepada Kementrian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-R). Asdep Pembinaan
Integritas dan Penegakan Disiplin SDM Aparatur KemenPAN-RB menyatakan
bahwa pelanggaran yang dilakukan antara lain melakukan ajakan memilih,
menghadiri kegiatan politik, dan memberikan sambutan pada acara silaturahmi
bakal pasangan calon. Pelanggaran netralitas terbanyak berada di Provinsi
Sulawesi Tenggara dengan 42 temuan pelanggaran, kemudian Sulawesi Selatan
dengan 34 temuan pelanggaran.21 Lebih lanjut, dalam sumber yang lain tercatat
bahwa terhitung bulan Mei 2018 setidaknya sebanyak 219 ASN diberhentikan
sementara terkait pelangaran netralitas dalam Pilkada Tahun 2018.
Setelah pelaksanaan Pilkada Tahun 2018, Bawaslu mencatat 3.567 laporan
dugaan pelanggaran Pilkada, dari total tersebut, 721 kasus dugaan pelanggaran
netralitas yang dilakukan oleh pegawai negeri sipil selama Pilkada 2018.23
Kurang lebih 500 pelanggaran netralitas ASN telah ditindak lanjuti oleh Bawaslu,
adapun kasus yang paling banyak ditemukan adalah terkait netralitas ASN dalam
bidang administrasi.
Data dan fakta yang penulis uraikan diatas membuktikan kepada kita semua
bahwa akar persoalan netralitas PNS sampai saat ini belum mampu terjawab
secara baik dengan hadirnya berbagai pengaturan mengenai netralitas ASN. Selain
itu, dapat diasumsikan pula bahwa pemerintah masih kesulitan menemukan
formulasi yang tepat untuk menjawab perseoalan netralitas tersebut. Penulis
kemudian bependapat bahwa hal ini terjadi oleh karena konsep netralitas masih
dirasakan belum dengan sepenuh hati oleh seluruh pihak yang terlibat. Alhasil,
hadirnya berbagai regulasi tersebut tak ayal menjadi suatu yang ada namun
seolah-olah tidak ada. Bahasa arab menyebutnya dengan istilah wujuduhu ka
adamihi.
B. Urgensi Netralitas Aparatur Sipil Negara dalam Pilkada Serentak 2018
S.F. Marbun dan M. Mahfud MD menyatakan bahwa salah satu persoalan
besar bangsa dalam kehidupan bernegara adalah persoalan netralitas pegawai
negeri. Hal ini dikarenakan secara teoritis sulit ditemukan landasan yang dapat
memberikan alasan pembenar bagi dimungkinkannya pegawai negeri untuk
terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik praktis.
Secara historikal, persoalan netralitas ASN yang ketika itu dimaknai sebagai
netralitas birokrasi27 muncul sejak pemilihan umum (pemilu) pertama tahun
1955. Diketahui bahwa pasca pemilu 1955, partai politik pemenang pemilu silih
berganti dalam memimpin dan mengendalikan pemerintahan yang parlementer.
Sehingganya, netralit birokrasi pemerintah mulai terganggu oleh pengaruh partai
politik. Pengaruh tersebut kemudian berlanjut pada saat sistem pemerintahan
berganti menjadi sistem pemerintahan presidensial, rezim orde baru, reformasi
hingga saat ini.
Atas persoalan tersebut, negara kemudian membuat pengaturan tentang
pembatasan akivitas ASN melalui asas netralitas yang diinternalisasikan dalam
Pasal 2 huruf f UU ASN dan berbagai regulasi lainnya yang telah penulis uraikan
pada pembahasan sebelumnya. Telah diketahui pula bahwa pengaturan terhadap
netralitas ASN dimaksudkan untuk menjaga integritas, profesionalitas dan
netralitas ASN demi terwujudnya Pilkada yang demokratis sebagaimana amanat
Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945.
Dalam perspektif yang lain, konsepsi tentang pembatasan peran serta ASN
dimaksudkan untuk menciptakan aparat yang bersih dalam upaya menciptakan
good governance. Good governance berorientasi pada Pertama, orientasi ideal,
negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Orientasi ini bertitik
tolak pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara. Adapun orientasi kedua
adalah sejauhmana pemerintah mempunyai kompetensi dan sejauhmana struktur
serta mekanisme politik serta administratif berfungsi secara efektif dan efisien.
Dalam kaitannya dengan netralitas PNS, maka good governance dapat terealisir
jika memiliki aparatur pemerintah yang tidak memihak dan profesional.
Pandangan ini sesuai dengan kedudukan manusia, seperti ungkapan “not the man
but the man behind the gun”
Dalam konteks netralitas ASN pada pelaksanaan Pilkada Serentak ahun 2018,
dapat diketengahkan bahwa selain untuk menjaga integritas, profesionalitas dan
netralitas ASN demi terwujudnya Pilkada yang demokratis sebagaimana amanat
Pasal 18 ayat (4) UUD UUD NRI 1945, netralitas ASN sebenarnya menjadi
penting diwujudkan untuk memperoleh kepastian, kemanfaatan dan keadilan
hukum guna membatasi kekuasaan terhadap kemungkinan bergeraknya kekuasaan
atas nalurinya sendiri, yang pada akhirnya mengarah pada penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power). Dengan kata lain, netralitas ASN menjadi penting
untuk diwujudkan guna mencegah penyalahgunaan wewenang (abuse of power)
baik oleh ASN maupun oleh calon yang bersangkutan. Ketika ASN maupun calon
yang bersangkutan terbebas dari kemungkinan-kemungkinan penyalahgunaan
wewenang, niscaya good governance akan terwujudkan.
Terlebih jika kita melihat pegawai ASN berkedudukan sebagai unsur dari
aparatur negara, bukan sebagai unsur aparatur pemerintahan. Sebagai konsekuensi
dari hal tersebut, maka loyalitas ASN harus dituju dan berpuncak kepada negara
yang sifatnya tetap, bukan kepada pemerintahan yang sifatnya sementara dan akan
berganti
Bagaimanapun, konsep netralitas adalah memberikan pembatasan dan
kepastian akan peran dari PNS (baca ASN) dalam pemerintahan. Implikasi
pembatasan adalah penegakan hokum yang beorientasi pada jaminan PNS (baca
ASN) dalam melaksanakan tugas secara profesional. Konsep pembatasan ini
memiliki korelasi dengan konsep Islam sebagaimana disampaikan oleh Ibnu
Timiyah bahwa “Semua kewenangan dalam Islam tujuannya hanyalah amar maruf
nahi munkar.
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN

1) KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan yang telah penulis uraikan diatas, dapat
disimpulkan dua hal sebagai berikut:
a) Politik hukum pembentuk UU dan pemerintah yang memilih untuk
membentuk berbagai regulasi tersebut adalah dalam rangka menjaga
integritas, profesionalitas dan netralitas ASN demi terwujudnya Pilkada
yang demokratis sebagaimana amanat Pasal 18 ayat (4) UUD UUD NRI
1945. Pembentuk UU dan pemerintah menyadari betul bahwa Pilkada yang
demokratis tidak berdiri dengan sendirinya. Untuk dapat menjelma sebagai
sebuah pemilihan yang demokratis, Pilkada membutuhkan pilar-pilar yang
harus menopangnya. Dalam konteks ini, integritas, profesionalitas dan
netralitas ASN merupakan satu dari sekian pilar penting yang mutlak
dibutuhkan untuk mewujudkan Pilkada yang demokratis.
b) Netralitas ASN menjadi penting untuk diwujudkan guna mencegah
penyalahgunaan wewenang (abuse of power) baik oleh ASN maupun oleh
calon yang bersangkutan.
2) SARAN
Telah diketahui bersama bahwa netralitas ASN masih menjadi persoalan
yang belum terselesaikan hingga saat ini. Guna mengatasi hal tersebut,
instrumen hukum yang baik tidaklah cukup tanpa didukung dengan budaya
hukum yang baik. Oleh karena itu, penulis menyarankan kepada seluruh pihak
khususnya kepada ASN untuk bersamasama membangun budaya hukum yang
baik dengan menjunjung tinggi nilai-nilai netralitas ASN dalam pelakanaan
Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2018. Selain itu, disarankan pula
kepada seluruh masyarakat untuk terlibat aktif dalam melakukan pengawasan
terhadap netralitas ASN sebagaimana dimaksud.
BAB II
NETRALITAS PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) DALAM PEMILU

Pesta akbar demokrasi sudah di ambang pintu. Kini seluruh energi seolah
tercurah pada persiapan pemilu legislatif dan pemilu presiden. Kekhawatiran akan
kegagalan pemilu juga terjadi disebabkan banyaknya ketentuan peraturan pelaksanaan
yang belum ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Diperlukan waktu lama untuk
menyosialisasikan peraturan itu kepada pemilih.
Salah satu faktor kekuatan yang menjadi harapan bala bantuan pelaksanaan
pemilu adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang berjumlah 3,9 juta lebih. Tingkat
pendidikan dan pengetahuan mereka memadai serta jaringan yang tersebar di seluruh
pelosok desa, maka patut diperhitungkan untuk memanfaatkan sumber daya PNS dalam
menyukseskan pemilu. Meski demikian, ada beberapa hal yang patut dicermati guna
mengurangi ekses negatif keterlibatan PNS dalam pemilu.Sejarah birokrasi di Indonesia
menunjukkan, PNS selalu merupakan obyek politik dari kekuatan partai politik (parpol)
dan aktor politik. Jumlahnya yang signifikan dan fungsinya yang strategis dalam
menggerakkan anggaran keuangan negara selalu menjadi incaran tiap parpol untuk
menguasai dan memanfaatkan PNS dalam aktivitas politik.
Saat-saat menjelang pemilu, aktivitas politik partisan PNS menjadi kian intensif
karena partisipasinya untuk mendukung kampanye secara terbuka maupun terselubung
amat efektif. Bagi parpol, keterlibatan PNS akan amat membantu dan mempermudah
pelaksanaan kampanye yang sering terjadi melalui pemanfaatan fasilitas negara (mobil,
gedung, dan kewenangan) secara diskriminatif, yang menguntungkan salah satu parpol.
Selain itu, di pelosok pedesaan yang mayoritas penduduknya tidak terdidik, figur dan
pilihan PNS akan menjadi referensi bagi pilihan masyarakat.
Pertukaran ekonomi politik antara partai/aktor politik (caleg) dan PNS dalam
pemilu tidak saja menguntungkan sisi politik, tetapi juga PNS sendiri. Keberpihakan PNS
dalam pemilu kepada parpol/caleg dibutuhkan untuk promosi dan karier jabatan. Dalam
sistem birokrasi di Indonesia kini, di mana promosi dan karier jabatan tidak ditentukan
oleh kompetensi dan kinerja, tetapi oleh afiliasi politik, netralitas PNS sulit ditegakkan. Hal
inilah yang dapat menyumbangkan terjadinya blunder dalam pelaksanaan pemilu.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian Negara mengatur
secara tegas netralitas pegawai dalam pemerintahan. Pasal 3 UU No 43/1999 mengatur,
(1) Pegawai negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata
dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan; (2) Dalam
kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), pegawai negeri harus
netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat. (3) Untuk menjamin netralitas Pegawai
Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2), Pegawai Negeri dilarang menjadi
anggota dan atau pengurus partai politik. Ketentuan ini jelas melarang keberpihakan PNS
dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan.
Dalam praktik, tercatat ada tiga bentuk pelanggaran yang dilakukan PNS dan
pejabat pemerintahan dalam pemilu. Pertama, penyalahgunaan kewenangan yang
dimiliki, antara lain menerbitkan aturan yang mewajibkan kampanye kepada bawahan,
pengumpulan dana bagi parpol tertentu, pemberian izin usaha disertai tuntutan dukungan
kepada parpol/caleg tertentu, penggunaan bantuan pemerintah untuk kampanye,
mengubah biaya perjalanan dinas, dan memaksa bawahan membiayai kampanye
parpol/caleg dari anggaran negara. Kedua, penggunaan fasilitas negara secara
langsung, misalnya penggunaan kendaraan dinas, rumah dinas, serta kantor pemerintah
dan kelengkapannya. Ketiga, pemberian dukungan lain, seperti bantuan sumbangan,
kampanye terselubung, memasang atribut parpol/caleg di kantor, memakai atribut
parpol/caleg, menghadiri kegiatan kampanye dengan menggunakan pakaian dinas dan
kelengkapannya, serta pembiaran atas pelanggaran kampanye dengan menggunakan
fasilitas negara dan perlakuan tidak adil/diskriminatif atas penggunaan fasilitas negara
kepada parpol/caleg.

2.1 Mengapa PNS harus netral ?


H. Ateng Kusnandar Adisaputra (Kepala Bidang Kesejahteraan Dan Disiplin, Badan
Kepegawaian Daerah Provinsi Jawa Barat)

Pemerintah telah menetapkan 7 (tujuh) prioritas kebijakan manajemen


kepegawaian secara nasional, yakni :
1. Rekrutmen PNS;
2. Netralitas PNS;
3. Profesionalisme dalam pengembangan karier PNS;
4. Disiplin PNS;
5. Pengembangan Manajemen Informasi Sistem berbasis informasi teknologi;
6. Peningkatan pelayanan PNS;
7. Remunerasi dan kesejahteraan PNS

Dengan melihat 7 (tujuh) prioritas kebijakan manajemen kepegawaian tersebut,


maka masalah netralitas PNS merupakan salah satu kebijakan yang perlu mendapat
perhatian semua pihak, mulai Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota, serta PNS itu sendiri.
Kasus ketidaknetralan PNS dalam pemilukada kenapa masih saja terjadi ?
apakah karena PNS ini tidak mengetahui peraturan perundang-undangan bidang
kepegawaian, khususnya yang berkaitan dengan masalah netralitas PNS, ataukah ada
pemaksaan, intimidasi dari pihak lain ?
Sebenarnya masalah netralitas PNS ini tidak hanya dalam pelaksanaan
pemilukada, akan tetapi juga dalam pemilihan umum calon anggota legislatif (DPR,
DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota), anggota DPD, dan calon Presiden/Wakil
Presiden.
Bahwa PNS harus netral dari pengaruh partai politik, sebenarnya dari aspek
peraturan perundang-undangan sudah jelas di atur mulai dari Undang-Undang sampai
dengan Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara. Sederetan peraturan perundang-
undangan dimaksud adalah :
 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian;
 Undang-Undang Nomor Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan DPD;
 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Calon Wakil
Presiden;
 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 tentang larangan PNS menjadi Anggota
Partai Politik;
 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah;
 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS;
 Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 10 Tahun 2005 tentang PNS
yang menjadi calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah;
 Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor: K.26-30/V.31-3/99 tanggal 12 Maret
2009 tentang Netralitas PNS dalam Pemilihan Umum Calon Legislatif dan Calon
Presiden/Wakil Presiden.

Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan


Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian,
Pegawai Negeri sebagai unsur aparatur Negara harus netral dari pengaruh semua
golongan dan Partai Politik, tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat, dan dilarang menjadi Anggota dan/atau Pengurus Partai Politik. Pegawai
Negeri Sipil yang menjadi Anggota dan/atau Pengurus Partai Politik harus diberhentikan
sebagai Pegawai Negeri.
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan
Pemilu, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD, dan DPRD, dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden, antara lain ditentukan bahwa Pegawai Negeri Sipil sebagai
warga Negara dan anggota masyarakat diperbolehkan mengikuti kegiatan kampanye
sebagai Peserta Kampanye.

2.2 Netralitas PNS Anggota Korpri


Pada waktu pengukuhan Dewan Pengurus Korpri Provinsi Sumatera Barat pada
25 Maret 2011 oleh Ketua Umum Dewan Pengurus Korpri Nasional, Diah Anggraini,
salah satu yang menjadi penekanan dari Ketua Umum adalah menyangkut netralitas
PNS sebagai anggota Korpri. Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno juga mengulas
hal ini dalam pidato sambutannya.
Netralitas PNS sebenarnya telah merupakan tekad dari Pemerintah semenjak
dimulainya era reformasi dengan dikeluarkannya PP Nomor 5 Tahun 1999 yang
disempurnakan dengan PP No 12 tahun 1999 yang antara lain memuat tentang larangan
terhadap PNS untuk menjadi pengurus dan anggota partai politik. Materi ini dimuat pula
pada UU Nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian seperti tertera pada
pasal 3 ayat (3) yang berbunyi: “Untuk menjamin netralitas pegawai negeri sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), pegawai negeri dilarang menjadi anggota dan atau pengurus
partai politik.”
Selanjutnya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2004 tentang
larangan Pegawai Negeri Sipil menjadi anggota partai politik disebutkan pada pasal 2
ayat (1) yang bunyinya: “Pegawai Negeri Sipil dilarang menjadi anggota dan/atau
pengurus partai politik”, sedangkan pada ayat (2) berbunyi: “Pegawai Negeri Sipil yang
menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik diberhentikan sebagai Pegawai Negeri
Sipil.”
Dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah, Menteri PAN telah mengeluarkan
Surat Edaran no.SE/08.A.M.PAN/5/2005, antara lain disebutkan PNS dilarang terlibat
dalam kegiatan untuk mensukseskan salah seorang calon Kepala Daerah, seperti
kampanye, menggunakan fasilitas jabatan untuk kepentingan salah seorang calon dan
membuat keputusan yang menguntungkan salah seorang calon.
Dari apa yang dikemukkan di atas terlihat dengan jelas bahwa berbagai aturan
telah menggariskan bahwa PNS “wajib” netral dari kegiatan politik praktis, baik dalam
pemilihan calon calon legislatif, pemilihan Presiden maupun pemilihan Kepala Daerah.
Namun dalam kenyataannya, masih banyak dari PNS yang dijadikan “Tim Sukses”
sungguhpun dalam bentuk tersembunyi atau secara diam diam. Mereka mau
melaksanakan pekerjaan itu ada yang betul betul merupakan kata hatinya, tapi yang
paling banyak ialah karena berharap akan imbalan nantinya ataupun karena
“keterpaksaan”dan “dipaksa”.
Netral dalam pengertian awam “tidak punya warna” atau “putih bersih”,
karenanya dia bisa berwarna kalau diwarnai, sebaliknya apabila tidak, maka dia akan
tetap putih bersih dan mempunyai karakter sendiri yang tidak mengikuti pewarnaan dari
yang lain. Artinya dalam keadaan netral ada kebebasan untuk mewarnai sendiri, memilih
sendiri apa yang diinginkan, hanya diri sendiri yang tahu. Netral, bukan pula selalu sama
dengan tidak melakukan pilihan yang sering disebut “golongan putih” atau “tidak mau
tahu” ataupun “apatisme”. Justru itu, pengertian netral untuk PNS atau anggota Korpri
adalah “tidak memihak pada salah satu kelompok dalam hal ini partai politik tertentu,
orang perorangan yang akan menduduki jabatan politik, namun menggunakan hak
memilih sesuai dengan hati nuraninya dalam pemilihan umum, dan tidak diskriminatif di
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat”.
Dengan demikian netralitas PNS atau anggota Korpri dapat terwujud dalam 2
aktivitas yaitu pada aktivitas politik baik pada pemilihan umum legislatif, maupun
pemilihan umum eksekutif seperti pemilihan presiden dan kepala daerah. Selanjutnya
juga pada aktivitas pelayanan, yaitu memberikan pelayanan yang sama kepada setiap
orang yang membutuhkan pelayanan, tanpa memandang tentang statusnya. Netral
bukan menghilangkan “loyalitas”.
Seorang PNS dituntut untuk loyal, namun dalam pengertian ini loyalitas bukan
ditujukan pada” kelompok tertentu” apalagi pada “orang tertentu”, tetapi loyalitas
hanyalah kepada pemerintah (yang syah), bangsa dan negara yang berdasarkan kepada
Pancasila dan UU D 1945.
Dalam perwujudannya PNS hanya dapat menjalankan pekerjaan kalau pekerjaan
tersebut untuk kepentingan kelancaran pemerintahan sesuai dengan peraturan perun-
dangan, juga kalau untuk kepentingan bangsa dan negara, bukanlah untuk kepentingan
subjektif dari seseorang walaupun yang bersangkutan adalah pimpinan. Dalam hal ini,
loyalitas tidaklah hanya diukur dari segi kepatuhan seseorang pada pribadi pimpinan,
tetapi kepatuhannya menjalankan tugas-tugas pemerintahan yang dibebankan
kepadanya, serta ketaatannya dalam menjalankan dan menegakkan peraturan
perundangan.
Netralitas PNS sangat dibutuhkan bagi organisasi pemerintahan yang misi
utamanya adalah mengatur, melayani dan memberdayakan masyarakat agar terwujud
kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut: Pertama dengan
netralitas, PNS tidak lagi terganggu dengan pekerjaan pekerjaan yang diluar tugas dan
tanggung jawabnya, sehingga lebih dfokus pada pekerjaannya. Kedua, PNS merasa
lebih aman bekerja, punya kepastian masa depan dimana tergantung kepada hasil kerja
dan prestasi kerjanya, tidak ada lagi faktor-faktor subjektif yang tidak punya standar yang
pasti. Ketiga, PNS akan berkompetisi secara sehat dalam menghasilkan prestasi,
sehingga akan muncul inovasi baru dalam menyelesaikan suatu persoalan ataupun guna
melancarkan penyelenggaraan pemerintahan. Keempat, pemberian pelayanan akan
lebih baik, karena tidak ada lagi sikap sikap yang diskriminatif ataupun adanya intervensi
tertentu dalam memberikan pelayanan.

2.3 Partisipasi aktif PNS


Sebagai salah satu faktor kekuatan negara, peran dan fungsi PNS amat
potensial dalam pemilu. Selain harus netral dari kepentingan parpol/caleg, partisipasi
PNS dapat diwujudkan dalam beberapa hal.
Pertama, PNS harus aktif menjadi pemilih dan memberikan sosialisasi kepada
keluarga serta lingkungannya tentang pemilu. Keaktifan PNS dibutuhkan untuk memberi
keyakinan tentang arti pentingnya pemilu kepada masyarakat sehingga dapat
mengurangi jumlah golput. Apalagi kedudukan PNS sebagai pamong praja akan menjadi
panutan masyarakat sekitarnya.
Kedua, PNS harus menjadi juru kampanye pemerintah yang menyampaikan
kepada masyarakat tentang kebijakan KPU dan aneka kebijakan negara dalam
meningkatkan pengetahuan dan membangun partisipasi aktif masyarakat dalam pemilu.
Ketiga, partisipasi aktif PNS diwujudkan dengan tidak menjadi partisan
parpol/caleg dalam penyelenggaraan pemilu dan penyelenggaraan pemerintahan serta
bertindak profesional dalam menjalankan tugas.
Keempat, partisipasi aktif PNS juga diperlukan guna mendukung kesekretariatan
KPU dan KPUD untuk melaksanakan berbagai tahapan pemilu legislatif dan pemilu
presiden. Sebagai supporting staff KPU dan KPUD, profesionalisme PNS akan amat
menentukan keberhasilan tiap tahapan, mulai dari sosialisasi, pendistribusian surat suara
dan kotak suara, sampai penetapan pemenang. Demikian pula keterlibatan aktif PNS
menjadi PPK, PPS, dan KPPS dimungkinkan dalam Pasal 41 UU No 10/2008, mengingat
keterbatasan penduduk yang memiliki kualifikasi untuk dapat menjadi anggota panitia
pemilu. Karena itu, netralitas dan profesionalisme PNS, terutama saat menjadi anggota
panitia pemilu, akan amat menentukan keberhasilan pemilu.
Keberhasilan PNS dalam menyukseskan pemilu akan meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap netralitas PNS. Karena itu, pemilu adalah momentum
bagi PNS untuk memperbaiki citra profesionalisme dan netralitas PNS serta
mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Dalam jangka panjang, kepercayaan
masyarakat akan meningkatkan pula terhadap pemerintah dan negara.

2.4 Larangan Bagi PNS


Selanjutnya pada Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin
Pegawai Negeri Sipil, masalah netralitas Pegawai Negeri Sipil sudah di atur dalam Pasal
4 angka 12, 13, 14, dan 15, dimana setiap Pegawai Negeri Sipil dilarang :
12. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara:
a. ikut serta sebagai pelaksana kampanye;
b. menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS;
c. sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain; dan/atau
d. sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara;
13. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan cara:
a. membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu
pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
b. mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon
yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi
pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam
lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat;
14. memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau calon
Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai foto kopi
Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk sesuai peraturan
erundangundangan; dan
15. memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan
cara:
a. terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah;
b. menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye;
c. membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah
satu
pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
d. mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon
yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi
pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam
lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.

2.5 Sanksi Bagi PNS Yang Tidak Netral


Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri
Sipil, telah mengatur dengan tegas dan jelas sanksi hukuman disiplin bagi Pegawai
Negeri Sipil yang melanggar netralitas, yakni penjatuhan hukuman disiplin sedang ( di
atur pada Pasal 12, angka 6, 7, 8, dan 9), dan penjatuhan hukuman disiplin berat (di atur
pada Pasal 13, angka 11, 12, dan 13).
Perbuatan atau tindakan yang dapat dikategorikan melanggar netralitas dan
dapat dijatuhi hukuman disiplin sedang, sebagaimana di atur dalam Pasal 12 Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, adalah :
6. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara
ikut serta sebagai pelaksana kampanye, menjadi peserta kampanye dengan
menggunakan atribut partai atau atribut PNS, sebagai peserta kampanye dengan
mengerahkan PNS lain, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 12 huruf a, huruf
b, dan huruf c;
7. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan cara mengadakan
kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi
peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan,
ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit
kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
angka 13 huruf b;
8. memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau calon
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai
foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk sesuai
peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 14; dan
9. memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara
terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah serta mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap
pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa
kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang
kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 15 huruf a dan huruf d.
Selanjutnya perbuatan atau tindakan yang dapat dikategorikan melanggar
netralitas dan dapat dijatuhi hukuman disiplin berat, sebagaimana di atur dalam Pasal 13
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil,
adalah :
11. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara
sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 angka 12 huruf d;
12. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan cara membuat
keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan
calon selama masa kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 13 huruf a;
dan
13. memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara
menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye dan/atau
membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu
pasangan calon selama masa kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka
15 huruf b dan huruf c.
Sanksi hukuman disiplin bagi Pegawai Negeri Sipil yang melanggar netralitas (
Pasal 12, angka 6, 7, 8, dan 9) , yakni penjatuhan hukuman disiplin sedang, berupa :
1. Penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun;
2. Penundaan kenaikan pangkat selama 1(satu) tahun, dan;
3. Penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun.
Sedangkan sanksi hukuman disiplin bagi Pegawai Negeri Sipil yang melanggar
netralitas ( Pasal 13, angka 11, 12, dan 13), yakni penjatuhan hukuman disiplin berat,
berupa :
1. Penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun;
2. Pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah;
3. Pembebasan dari jabatan;
4. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS, dan
5. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.

2.6 PNS Belum Sepenuhnya Netral


Secara umum kenapa netralitas PNS itu masih belum sepenuhnya dapat
dijalankan ?
Penyebabnya berasal dari faktor internal, dan faktor eksternal. Internal adalah yang
menyangkut PNS sendiri berupa: Pertama, kebiasaan bahkan sudah menjadi bakat
seseorang untuk selalu ingin terlibat dalam kegiatan kegiatan politik praktis, kemungkinan
karena terlalu lama berkecimpung di organisasi politik ataupun memang telah merupakan
pendirian yang dianutnya. Kedua, kurang percaya diri, kemungkinan karena tidak
memiliki kemampuan baik dari segi pengetahuan ataupun ketrampilan yang dimilikinya,
artinya tidak profesional. Ketiga, ambisi yang besar untuk memperoleh jabatan tertentu,
sehingga diharapkan dengan pemihakan ini akan diperoleh imbalan berupa jabatan yang
akan diduduki. Keempat, solidaritas yang kurang sesama PNS, sehingga masing masing
PNS menyelamatkan diri masing-masing, yang dikenal dengan istilah “SDM” (selamatkan
diri masing masing), ataupun juga terdapat “dendam” di antara PNS. Kelima,
primodialisme berupa hubungan kekeluargaan, kedaerahan, kepentingan materi,
kesukuan dan sejenisnya.
Penyebab eksternal yaitu diluar diri PNS, berupa: Pertama, kebiasaaan atau
kebijakan masa lalu yang cukup lama mempengaruhi pemikiran bahkan sikap dari PNS,
yaitu adanya istilah monoloyalitas pada kelompok tertentu, bahkan kepada orang
tertentu. Kedua, terdapat provokasi bahkan ancaman kepada PNS oleh pimpinan
ataupun orang-orang yang ditugaskan pimpinan untuk mengajak PNS agar memihak.
Ketiga, janji janji yang dilemparkan atau yang diutarakan oleh seseorang atau
sekelompok orang kepada PNS. Keempat, masih lemahnya pengawasan dari yang
berwenang terhadap yang melakukan pelanggaran aturan tentang netralitas ini, dan
kurang tegasnya pelaksanaan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan. Kelima,
pemanfaatan peraturan perundangan oleh pejabat pembina kepegawaian untuk
menggunakan PNS bagi kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Untuk mengatasi hal tersebut, maka kedepan langkah yang mungkin dapat
ditempuh dalam rangka memelihara dan mempertahankan Netralitas PNS tersebut
antara lain:
1). Segera dilakukan revisi terhadap pasal 1 angka 4 dan 5 Undang undang No 43 tahun
1999 tentang Pokok pokok Kepegawaian yang menyebutkan bahwa Pejabat pembina
kepegawaian Daerah Provinsi adalah Gubernur dan pejabat pembina kepegawaian
daerah kabupaten/kota adalah bupati/walikota, disejalankan dengan pasal 122 ayat (4)
dan penjelasan angka 8 Undang-Undang No 32 tahun 2004 tetang Pemerintahan
Daerah. Pasal 122 ayat (4), berbunyi: Sekretaris Daerah karena kedudukannya sebagai
pembina pegawai negeri sipil di daerahnya. Pada Penjelasan angka 8 berbunyi:
Berdasarkan prinsip dimaksud maka pembina kepegawaian daerah adalah pejabat karier
tertinggi pada pemerintah daerah. Perlu diketahui bahwa pejabat karier tertingi pada
pemerintah daerah tersebut adalah Sekretaris Daerah.
2). Sekretaris Daerah hendaknya diangkat dari pegawai yang benar-benar kompetensi
dan profesinalnya dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan latar belakang
pengetahuan, keterampilan, track record dan pengalamannya di bidang administrasi dan
manajemen pemerintahan.
3). Menghilangkan intervensi pejabat politis dalam menempatkan PNS pada seluruh
tingkatan eselonering disetiap unit kerja (SKPD).
4). Mutasi, rotasi, demosi maupun hukuman sampai kepada pemberhentian haruslah
didasarkan pada pertimbangan objektif dan rasional yang didasari oleh kriteria yang
ditetapkan dalam undang undang dan peraturan pemerintah.
5). Apabila ada PNS yang menang dalam perkara yang diajukan pada PTUN yang
menyangkut status, kedudukan dan hak PNS, hendaknya wajib dieksekusi atau dilaksa-
nakan, dan kalau tidak dilaksanakan maka pejabat yang ditugaskan unutk mengeksekusi
tersebut diberi sanksi.
6). Pengawasan yang lebih ketat terhadap ketentuan mengenai netralitas PNS ini,
sekaligus pemberian sanksi yang tegas, adil dan tidak diskriminatif bukan hanya bagi
PNS, tapi juga bagi mereka/orang yang mempengaruhi PNS untuk tidak berbuat netral.
7). Dibuat lagi aturan, bahwa pejabat incumbent yang mencalonkan diri untuk menjadi
kepala daerah harus mengundurkan diri semenjak resmi menjadi calon.

Guna mewujudkan apa yang dikemukakan diatas memang diperlukan kerja keras
dan perobahan pola pikir (mind set) dan kesatuan tindakan sejak dari pusat dan daerah
baik legislatif maupun eksekutif termasuk para elit pemerintahan dan politik. Tentunya
juga para PNS haruslah merobah pola pikir dan perilaku yang selalu menggantungkan
diri kepada seseorang atau kelompok tertentu bahkan tidak percaya diri, kepada yang
mandiri dan profesional. Kuncinya, tidak ada sesuatu yang berat asal ada kemauan dan
kemampuan untuk itu, tidak hanya dalam bentuk kata kata atau tulisan, tapi dibuktikan
dalam kebijakan dan tindakan.

Tanggungjawab Pejabat Pembina Kepegawaian


Mengacu kepada surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor : K.26-
30/V.31-3/99, tanggal 12 Maret 2009, untuk mencegah terjadinya pelanggaran masalah
netralitas PNS dalam pemilukada, pemilu calon legislatif (DPR, DPRD Provinsi, DPRD
Kabupaten/Kota), anggota DPD, dan calon Presiden/Wakil Presiden, maka Pejabat
Pembina Kepegawaian Pusat, dan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota, bertanggungjawab
untuk :
a. Mensosialisasikan mengenai netralitas PNS dalam Pemilihan Umum Calon Legislatif dan
Calon Presiden/Wakil Presiden;
b. Mengecek dan mengawasi implementasi mengenai netralitas PNS dalam Pemilihan
Umum Calon Legislatif dan Calon Presiden/Wakil Presiden;
c. Memberikan hukuman apabila terdapat PNS di lingkungannya yang melakukan
pelanggaran terhadap netralitas PNS.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di depan, dapat kita tarik kesimpulan sebagai berikut:

PENGALAMAN MASA LALU:


• Masa ORLA (1950-1965) jatuh bangunnya kabinet berdampak pd stabilitas
kepegawaian
• Masa ORBA (1966-1997), PNS dijadikan alat politik utk mempertahankan kekuasaan
• Masa Reformasi ditakutkan PNS dijadikan alat politik

PENGATURAN NETRALITAS PNS:


Netralitas atau neutrality (kenetralan) berasal dari kata neutral yang berarti murni (Echols
dan Shadily, 1989). Murni dalam hal ini disamakan dengan tidak memihak.
Dalam konteks manajemen PNS, UU Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian kata
’netralitas’ dijumpai pada pasal 3 dan berikut kutipannya selengkapnya.
(1) Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata
dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan.
(2) Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Negeri
harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
(3) Untuk menjamin netralitas Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam ayat
(2), Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik.

PENGERTIAN NETRAL
a. Sikap tdk memihak dan tdk berpihak thd salah satu kelompok/ golongan.
b. Tidak diskriminatif.
c. Steril dari kepentingan kelompok.
d. Tidak terpengaruh dari kepentingan partai politik.

PNS HARUS NETRAL


1. Netral, untuk menghindari pengkotakkan, konflik kepentingan dan diskriminasi
pelayanan.
2. Menjamin PNS sebagai perekat persatuan bangsa dalam kerangka NKRI.
3. Netralitas PNS sebagai salah satu prakondisi untuk meningkatkan profesionalisme
PNS
DAMPAK KETIDAKNETRALAN PNS
• Peran dan fungsi PNS sebagai alat pemersatu, pelayan, penyelenggara pemerintahan
tidak ber-jalan
• Diskriminasi pelayanan;
• Pengkotak-kotakan PNS
• Konflik kepentingan
• Tidak Profesional lagi

PNS YANG MENJADI CALON KEPALA/ WAKIL KEPALA DAERAH


• Wajib mengajukan surat pernyataan pengunduran diri dari jabatan negeri yang
disampaikan kepada atasan langsung
• Atasan langsung meneruskan kepada Pejabat yang berwenang (PYB)
• Setelah menerima SP pengunduran diri PNS, PYB menetapkan keputusan
pemberhentian dari jabatan negeri, dan berlaku TMT ybs ditetapkan sebagai Calon
KD/WKD oleh KPUD
• Bila usia PNS tsb telah 56 th atau lebih, setelah diberhentikan dari jabatan negeri, ybs
diberhentikan dengan hormat sebagai PNS mulai akhir bulan diberhentikan dari jabatan
negeri

3.2 Saran

Salah satu gagasan untuk menciptakan peran PNS modern dalam fungsinya
yang ideal adalah PNS yang netral. Netral berarti menempatkan posisi PNS pada wilayah
yang seharusnya, yakni sebagai alat negara yang menjalankan tugas kenegaraan.
Karena pada dasarnya pegawai negeri yang mendapat upah secara tetap dan dijamin
kesejahteraannya oleh negara sudah semestinya berada dalam sistem administrasi ke
tata negaraan belaka. Pengabdian yang harus diberikan oleh PNS pun bukan kepada
parpol atau golongan tertentu, melainkan kepada masyarakat secara keseluruhan.
Menahan diri untuk tetap netral dan mengabdi secara professional, serta berkarir secara
alamiah, membuat PNS tidak lagi dihantui rasa was-was dalam meniti karier dan tidak
terbawa arus pusaran politik sesaat.
Pada sisi yang lain, penilaian pegawai, promosi dan mutasi jabatan dalam
birokrasi diharapkan dilakukan secara transparan dan berdasarkan variabel-variabel
objektif seperti kompetensi, prestasi kerja dan daftar urut kepangkatan (DUK) serta jejak
rekam karier seorang birokrat. Sehingga ada kepastian karir PNS dan tidak jatuh bangun
seirama naik turunnya pejabat politik dari satu pilkada ke pilkada berikutnya. Persoalan
sering muncul ketika penunjukkan seseorang atas sebuah jabatan bukan di dasarkan
pada kemampuan, tetapi menjurus pada selera penguasa atu atas dasar kedekatan.

Netralitas PNS menjadi penting karena semakin banyaknya pejabat negara mulai
dari presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota, yang berasal dari partai politik. Kondisi
ini akan membawa implikasi serius terhadap netralitas birokrat. PNS dituntut bertindak
profesional antara menjaga netralitas dalam memberikan pelayanan sekaligus tetap
menjunjung loyalitas terhadap atasan, meskipun beda warna politiknya. Sehingga PNS
tidak mudah terbawa arus pusaran politik atau terkooptasi oleh kepentingan politik
atasannya.

Untuk mengatasi masalah-masalah mengenai PNS yang tidak sepenuhnya


bersikap netral, maka kedepan langkah yang mungkin dapat ditempuh dalam rangka
memelihara dan mempertahankan Netralitas PNS tersebut antara lain:
1). Segera dilakukan revisi terhadap pasal 1 angka 4 dan 5 Undang undang No 43 tahun
1999 tentang Pokok pokok Kepegawaian yang menyebutkan bahwa Pejabat pembina
kepegawaian Daerah Provinsi adalah Gubernur dan pejabat pembina kepegawaian
daerah kabupaten/kota adalah bupati/walikota, disejalankan dengan pasal 122 ayat (4)
dan penjelasan angka 8 Undang-Undang No 32 tahun 2004 tetang Pemerintahan
Daerah. Pasal 122 ayat (4), berbunyi: Sekretaris Daerah karena kedudukannya sebagai
pembina pegawai negeri sipil di daerahnya. Pada Penjelasan angka 8 berbunyi:
Berdasarkan prinsip dimaksud maka pembina kepegawaian daerah adalah pejabat karier
tertinggi pada pemerintah daerah. Perlu diketahui bahwa pejabat karier tertingi pada
pemerintah daerah tersebut adalah Sekretaris Daerah.
2). Sekretaris Daerah hendaknya diangkat dari pegawai yang benar-benar kompetensi
dan profesinalnya dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan latar belakang
pengetahuan, keterampilan, track record dan pengalamannya di bidang administrasi dan
manajemen pemerintahan.
3). Menghilangkan intervensi pejabat politis dalam menempatkan PNS pada seluruh
tingkatan eselonering disetiap unit kerja (SKPD).
4). Mutasi, rotasi, demosi maupun hukuman sampai kepada pemberhentian haruslah
didasarkan pada pertimbangan objektif dan rasional yang didasari oleh kriteria yang
ditetapkan dalam undang undang dan peraturan pemerintah.
5). Apabila ada PNS yang menang dalam perkara yang diajukan pada PTUN yang
menyangkut status, kedudukan dan hak PNS, hendaknya wajib dieksekusi atau dilaksa-
nakan, dan kalau tidak dilaksanakan maka pejabat yang ditugaskan unutk mengeksekusi
tersebut diberi sanksi.
6). Pengawasan yang lebih ketat terhadap ketentuan mengenai netralitas PNS ini,
sekaligus pemberian sanksi yang tegas, adil dan tidak diskriminatif bukan hanya bagi
PNS, tapi juga bagi mereka/orang yang mempengaruhi PNS untuk tidak berbuat netral.
7). Dibuat lagi aturan, bahwa pejabat incumbent yang mencalonkan diri untuk menjadi
kepala daerah harus mengundurkan diri semenjak resmi menjadi calon.

Guna mewujudkan apa yang dikemukakan diatas memang diperlukan kerja keras
dan perobahan pola pikir (mind set) dan kesatuan tindakan sejak dari pusat dan daerah
baik legislatif maupun eksekutif termasuk para elit pemerintahan dan politik. Tentunya
juga para PNS haruslah merobah pola pikir dan perilaku yang selalu menggantungkan
diri kepada seseorang atau kelompok tertentu bahkan tidak percaya diri, kepada yang
mandiri dan profesional. Kuncinya, tidak ada sesuatu yang berat asal ada kemauan dan
kemampuan untuk itu, tidak hanya dalam bentuk kata kata atau tulisan, tapi dibuktikan
dalam kebijakan dan tindakan.
DAFTAR PUSTAKA

 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian;
 Undang-Undang Nomor Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan DPD;
 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Calon Wakil
Presiden;
 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 tentang larangan PNS menjadi Anggota
Partai Politik;
 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah;
 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS;
 Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 10 Tahun 2005 tentang PNS
yang menjadi calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah;
 Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor: K.26-30/V.31-3/99 tanggal 12 Maret
2009 tentang Netralitas PNS dalam Pemilihan Umum Calon Legislatif dan Calon
Presiden/Wakil Presiden.
 Prakoso Djoko, SH. 1999. Pembinaan Pegawai Negeri Sipil. Jakarta: PT. Melton Putra
 www.google.com
 file://localhost/C:/Documents%20and%20Settings/Administrator/My%20Documents/Dow
nloads/netralitas%20PNS%20dalam%20pilkada/kasus.htm
 file://localhost/C:/Documents%20and%20Settings/Administrator/My%20Documents/Dow
nloads/netralitas%20PNS%20dalam%20pilkada/261-netralitas-pns-dalam-memilih-
kepala-daerah-dan-wakil-kepala-daerah.htm
 file://localhost/C:/Documents%20and%20Settings/Administrator/My%20Documents/Dow
nloads/netralitas%20PNS%20dalam%20pilkada/Bappenas%20Blog%20»%20Netralitas
%20PNS%20Dalam%20Era%20Pilkada%20Langsung.htm
 file://localhost/C:/Documents%20and%20Settings/Administrator/My%20Documents/Dow
nloads/netralitas%20PNS%20dalam%20pilkada/korpri.htm
 file://localhost/C:/Documents%20and%20Settings/Administrator/My%20Documents/Dow
nloads/netralitas%20PNS%20dalam%20pilkada/Netralitas%20PNS%20dalam%20Pemilu
%20«%20Direktorat%20Aparatur%20Negara.htm
 file://localhost/C:/Documents%20and%20Settings/Administrator/My%20Documents/Dow
nloads/netralitas%20PNS%20dalam%20pilkada/modules.php.htm

Anda mungkin juga menyukai