NAMA : WIHARYANTO,SH
NIP : 19630301 199003 1 011
JABATAN : SEKRETARIS KECAMATAN
INSTANSI : KECAMATAN BATURRADEN
KECAMATAN BATURRADEN
TAHUN 2019
BAB I LATAR BELAKANG
Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) bukanlah hal baru dalam kehidupan
demokrasi di Indonesia. Dengan kata lain, persoalan netralitas ASN menjadi isu
lama yang senantiasa aktual dalam kehidupan bernegara terutama menjelang
pelaksaan pesta demokrasi, seperti halnya pada Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) langsung yang tahun ini (dibaca; tahun 2018) telah dilaksanakan.
Aktualnya isu netralitas ASN dalam pelaksanaan Pilkada terjadi karena adanya
kekhawatiran publik akan keberpihakan ASN kepada salah satu pasangan calon
kepala daerah.
Secara historikal, persoalan mengenai netralitas ASN dalam pesta demokrasi
sebenarnya telah terjadi sejak Pemilihan Umum (Pemilu) pertama di tahun 1955.
Persoalan netralitas ASN menjadi semakin nyata dan kompleks ketika absennya
instrumen hukum yang secara komprehensif mampu mengatasi persoalan tersebut.
Hingga akhirnya, hadirlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Netralitas Kepegawaian. Negara yang notabenenya merupakan undang-undang
kepegawaian pertama.
Hari ini, segala hal berkenaan dengan ASN diatur dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, termasuk didalamnya
persoalan netralitas ASN. Dalam Pasal 2 Undang-Undang tersebut dikatakan
bahwa penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN dilaksanakan dengan
berdasarkan asas salah satunya asas netralitas. Asas netralitas dalam
undangundang tersebut dimaknai bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari
segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan
siapapun.
Tidak hanya itu, persoalan netralitas ASN kemudian juga diatur dan
ditindaklanjuti dengan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Peraturan
perundang-undangan sebagaimana dimaksud diantaranya Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur Bupati & Walikota, Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil,
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Koprs dan
Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, Surat Edaran Komisi Aparatur Sipil Negara
Nomor B.2900/KASN/11/2017 tertanggal 10 November 2017 tentang
Pengawasan Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara pada Pilkada Serentak
2018 serta Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan
Reformasi Birokrasi Nomor B/71/M/SM.00.00/2017 tertanggal 27 Desember
2017 tentang Pelaksanaan Netralitas Aparatur Sipil Negara.
BAB II LANDASAN PEMIKIRAN
Pada bagian ini, penulis akan terlebih dahulu menguraikan tentang landasan
berfikir atau tinjauan umum mengenai hal-hal yang menjadi pokok pembahasan
dalam tulisan ini, yakni netralitas, aparatur sipil negara dan pemilihan kepala
daerah. Pertama mengenai netralitas. Menurut arti kata, netralitas berasal dari kata
“netral” yang artinya tidak membantu atau tidak mengikuti satu pihak. Sementara
netralitas merupakan satu keadaan dan sikap netral atau tidak memihak dan
bebas.2 Sehingga seseorang dapat dikatakan netral apabila ia tidak memihak
kepada satu, dua atau lebih pihak tertentu baik itu seseorang, kelompok atau suatu
organisasi. Netral juga dapat diartikan sebagai sikap tidak memihak dan tidak
berpihak terhadap salah satu kelompok atau golongan, tidak distriminatif, steril
dari kepentingan kelompok dan tidak terpengaruh dari kepentingan politik.
Dalam konteks keilmuan, pencarian makna netralitas akan selalu terkait
dengan obyektivitas cara pandang. Berkenaan dengan hal tersebut, kebenaran
objektivitas ilmu hanya dapat dinilai ketika unsur-unsur subjektivitas ilmu
tersebut tidak mempengaruhinya atau tidak masuk sebagai salah satu unsur dari
bangunan teori-teorinya. Disini terlihat jelas bahwa ilmu pengetahuan akan
dikatakan objektif apabila ia terlepas dari unsur-unsur lain di luar dirinya,
termasuk nilai (value free). Begitu ilmu terbebas dari nilai atau unsur-unsur
lainnya, maka ilmu dalam keadaan posisi netral, karena ia tidak memihak kepada
sesuatu apapun kecuali pada dirinya sendiri (independen). Objektif artinya bahwa
data dapat tersedia untuk penelaahan keilmuan tanpa ada hubungannya dengan
karakteristik individual dari seorang ilmuwan.4 Bebas nilai berarti dikotomi yang
tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dengan
semesta dengan bersikap imparsial netral. Berdasarkan analogi terhadap netralitas
keilmuan, hakikat akan obyektivitas selalu bermuara pada kondisi netral, maka
jelas bahwa substansi netral adalah tidak memihak. Sejatinya, kondisi tidak
memihak akan terpenuhi jika berada di luar sistem dan tidak memberikan ruang
akan intervensi kepentingan.
Kedua, Aparatur Sipil Negara. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara, disebutkan bahwa Aparatur Sipil Negara
yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan
pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi
pemerintah. Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam undang-undang tersebut dimaknai
sebagai warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat
sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk
menduduki jabatan pemerintahan. Dalam perspektif yang lain, PNS menurut
Kamus Umum Bahasa Indonesia, adalah orang yang bekerja untuk pemerintah
atau negara. Menurut Kranenburg PNS adalah pejabat yang ditunjuk, jadi
pengertian tersebut tidak termasuk terhadap mereka yang memangku jabatan
mewakili seperti anggota parlemen, presiden dan sebagainnya. Pengertian
PNS menurut Mahfud MD ada dua bagian yaitu:
1. Pengertian Stipulatif adalah pengertian yang diberikan oleh undang-
undang tentang ASN sebagaimana yang telah penulis sebutkan sebelumnya;
dan
2.Pengertian ekstensif adalah pengertian yang hanya berlaku pada hal-hal
tertentu. Hal-hal tertentu yang dimaksud adalah lebih kepada beberapa
golongan yang sebenarnya bukan PNS. Contoh: kentuan Pasal 92 KUHP yang
berkaitan dengan status anggota dewan rakyat, anggota dewan daerah dan kepala
desa. Menurut Pasal 92 KUHP, dijelaskan bahwa yang termasuk ke dalam PNS
adalah orang-orang yang dipilih dalam pemilihan berdasarkan peraturan-
peraturan umum dan mereka yang bukan dipilih tetapi diangkat menjadi anggota
dewan perwakilan rakyat dan anggora dewan daerah serta kepala desa dan
sebagainya. Pengertian PNS menurut KUHP sangatlah luas, namun pengertian
tersebut hanya berlaku dalam hal orang-orang yang melakukan kejahatan atau
pelanggaran jabatan dan tindak pidana lain yang disebutkan dalam KUHP. Jadi
pengertian ini tidak termasuk dalam hukum kepegawaian. Dari beberapa
pengertian tersebut, dapat diketengahkan bahwa sebenarnya PNS adalah orang-
orang yang bekerja di lingkungan instansi pemerintahan sesuai dengan syarat-
syarat tertentu yang telah ditetapkan oleh peraturan perundangundangan.
Sementara Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dimaknai
sebagai warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang
diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka
melaksanakan tugas pemerintahan.10 Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui
bahwa ASN termasuk didalamnya adalah PNS dan PPPK yang bekerja pada
instansi pemerintahan. Oleh karena itu, jika kita berbicara mengenai netralitas
ASN tentu kita sedang bicara tentang netralitas terhadap kedua profesi tersebut.
Ketiga, Pemilihan Kepala Daerah. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 disebutkan bahwa
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan
adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk
memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung dan demokratis.
Pemilihan tersebut dilaksanakan setiap 5 tahun sekali secara serentak di seluruh
wilayah NKRI dan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil.
Dari ketiga landasan berfikir atau tinjauan umum mengenai netralitas,
ASN dan Pilkada sebagaimana penulis uraikan diatas, dapat ditarik benang
merah bahwa yang menjadi ruang lingkup berfikir atas netralitas ASN dalam
Pilkada Serentak 2018 adalah sikap tidak memihak dari PNS dan PPPK terhadap
kepada satu, dua atau lebih pihak tertentu baik itu seseorang, kelompok atau
suatu orgaisasi dalam pelaksanaan pemilihan Gubernur, Bupati dan/atau
Walikota.
BAB III PEMBAHASAN
1) KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan yang telah penulis uraikan diatas, dapat
disimpulkan dua hal sebagai berikut:
a) Politik hukum pembentuk UU dan pemerintah yang memilih untuk
membentuk berbagai regulasi tersebut adalah dalam rangka menjaga
integritas, profesionalitas dan netralitas ASN demi terwujudnya Pilkada
yang demokratis sebagaimana amanat Pasal 18 ayat (4) UUD UUD NRI
1945. Pembentuk UU dan pemerintah menyadari betul bahwa Pilkada yang
demokratis tidak berdiri dengan sendirinya. Untuk dapat menjelma sebagai
sebuah pemilihan yang demokratis, Pilkada membutuhkan pilar-pilar yang
harus menopangnya. Dalam konteks ini, integritas, profesionalitas dan
netralitas ASN merupakan satu dari sekian pilar penting yang mutlak
dibutuhkan untuk mewujudkan Pilkada yang demokratis.
b) Netralitas ASN menjadi penting untuk diwujudkan guna mencegah
penyalahgunaan wewenang (abuse of power) baik oleh ASN maupun oleh
calon yang bersangkutan.
2) SARAN
Telah diketahui bersama bahwa netralitas ASN masih menjadi persoalan
yang belum terselesaikan hingga saat ini. Guna mengatasi hal tersebut,
instrumen hukum yang baik tidaklah cukup tanpa didukung dengan budaya
hukum yang baik. Oleh karena itu, penulis menyarankan kepada seluruh pihak
khususnya kepada ASN untuk bersamasama membangun budaya hukum yang
baik dengan menjunjung tinggi nilai-nilai netralitas ASN dalam pelakanaan
Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2018. Selain itu, disarankan pula
kepada seluruh masyarakat untuk terlibat aktif dalam melakukan pengawasan
terhadap netralitas ASN sebagaimana dimaksud.
BAB II
NETRALITAS PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) DALAM PEMILU
Pesta akbar demokrasi sudah di ambang pintu. Kini seluruh energi seolah
tercurah pada persiapan pemilu legislatif dan pemilu presiden. Kekhawatiran akan
kegagalan pemilu juga terjadi disebabkan banyaknya ketentuan peraturan pelaksanaan
yang belum ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Diperlukan waktu lama untuk
menyosialisasikan peraturan itu kepada pemilih.
Salah satu faktor kekuatan yang menjadi harapan bala bantuan pelaksanaan
pemilu adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang berjumlah 3,9 juta lebih. Tingkat
pendidikan dan pengetahuan mereka memadai serta jaringan yang tersebar di seluruh
pelosok desa, maka patut diperhitungkan untuk memanfaatkan sumber daya PNS dalam
menyukseskan pemilu. Meski demikian, ada beberapa hal yang patut dicermati guna
mengurangi ekses negatif keterlibatan PNS dalam pemilu.Sejarah birokrasi di Indonesia
menunjukkan, PNS selalu merupakan obyek politik dari kekuatan partai politik (parpol)
dan aktor politik. Jumlahnya yang signifikan dan fungsinya yang strategis dalam
menggerakkan anggaran keuangan negara selalu menjadi incaran tiap parpol untuk
menguasai dan memanfaatkan PNS dalam aktivitas politik.
Saat-saat menjelang pemilu, aktivitas politik partisan PNS menjadi kian intensif
karena partisipasinya untuk mendukung kampanye secara terbuka maupun terselubung
amat efektif. Bagi parpol, keterlibatan PNS akan amat membantu dan mempermudah
pelaksanaan kampanye yang sering terjadi melalui pemanfaatan fasilitas negara (mobil,
gedung, dan kewenangan) secara diskriminatif, yang menguntungkan salah satu parpol.
Selain itu, di pelosok pedesaan yang mayoritas penduduknya tidak terdidik, figur dan
pilihan PNS akan menjadi referensi bagi pilihan masyarakat.
Pertukaran ekonomi politik antara partai/aktor politik (caleg) dan PNS dalam
pemilu tidak saja menguntungkan sisi politik, tetapi juga PNS sendiri. Keberpihakan PNS
dalam pemilu kepada parpol/caleg dibutuhkan untuk promosi dan karier jabatan. Dalam
sistem birokrasi di Indonesia kini, di mana promosi dan karier jabatan tidak ditentukan
oleh kompetensi dan kinerja, tetapi oleh afiliasi politik, netralitas PNS sulit ditegakkan. Hal
inilah yang dapat menyumbangkan terjadinya blunder dalam pelaksanaan pemilu.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian Negara mengatur
secara tegas netralitas pegawai dalam pemerintahan. Pasal 3 UU No 43/1999 mengatur,
(1) Pegawai negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata
dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan; (2) Dalam
kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), pegawai negeri harus
netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat. (3) Untuk menjamin netralitas Pegawai
Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2), Pegawai Negeri dilarang menjadi
anggota dan atau pengurus partai politik. Ketentuan ini jelas melarang keberpihakan PNS
dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan.
Dalam praktik, tercatat ada tiga bentuk pelanggaran yang dilakukan PNS dan
pejabat pemerintahan dalam pemilu. Pertama, penyalahgunaan kewenangan yang
dimiliki, antara lain menerbitkan aturan yang mewajibkan kampanye kepada bawahan,
pengumpulan dana bagi parpol tertentu, pemberian izin usaha disertai tuntutan dukungan
kepada parpol/caleg tertentu, penggunaan bantuan pemerintah untuk kampanye,
mengubah biaya perjalanan dinas, dan memaksa bawahan membiayai kampanye
parpol/caleg dari anggaran negara. Kedua, penggunaan fasilitas negara secara
langsung, misalnya penggunaan kendaraan dinas, rumah dinas, serta kantor pemerintah
dan kelengkapannya. Ketiga, pemberian dukungan lain, seperti bantuan sumbangan,
kampanye terselubung, memasang atribut parpol/caleg di kantor, memakai atribut
parpol/caleg, menghadiri kegiatan kampanye dengan menggunakan pakaian dinas dan
kelengkapannya, serta pembiaran atas pelanggaran kampanye dengan menggunakan
fasilitas negara dan perlakuan tidak adil/diskriminatif atas penggunaan fasilitas negara
kepada parpol/caleg.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka kedepan langkah yang mungkin dapat
ditempuh dalam rangka memelihara dan mempertahankan Netralitas PNS tersebut
antara lain:
1). Segera dilakukan revisi terhadap pasal 1 angka 4 dan 5 Undang undang No 43 tahun
1999 tentang Pokok pokok Kepegawaian yang menyebutkan bahwa Pejabat pembina
kepegawaian Daerah Provinsi adalah Gubernur dan pejabat pembina kepegawaian
daerah kabupaten/kota adalah bupati/walikota, disejalankan dengan pasal 122 ayat (4)
dan penjelasan angka 8 Undang-Undang No 32 tahun 2004 tetang Pemerintahan
Daerah. Pasal 122 ayat (4), berbunyi: Sekretaris Daerah karena kedudukannya sebagai
pembina pegawai negeri sipil di daerahnya. Pada Penjelasan angka 8 berbunyi:
Berdasarkan prinsip dimaksud maka pembina kepegawaian daerah adalah pejabat karier
tertinggi pada pemerintah daerah. Perlu diketahui bahwa pejabat karier tertingi pada
pemerintah daerah tersebut adalah Sekretaris Daerah.
2). Sekretaris Daerah hendaknya diangkat dari pegawai yang benar-benar kompetensi
dan profesinalnya dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan latar belakang
pengetahuan, keterampilan, track record dan pengalamannya di bidang administrasi dan
manajemen pemerintahan.
3). Menghilangkan intervensi pejabat politis dalam menempatkan PNS pada seluruh
tingkatan eselonering disetiap unit kerja (SKPD).
4). Mutasi, rotasi, demosi maupun hukuman sampai kepada pemberhentian haruslah
didasarkan pada pertimbangan objektif dan rasional yang didasari oleh kriteria yang
ditetapkan dalam undang undang dan peraturan pemerintah.
5). Apabila ada PNS yang menang dalam perkara yang diajukan pada PTUN yang
menyangkut status, kedudukan dan hak PNS, hendaknya wajib dieksekusi atau dilaksa-
nakan, dan kalau tidak dilaksanakan maka pejabat yang ditugaskan unutk mengeksekusi
tersebut diberi sanksi.
6). Pengawasan yang lebih ketat terhadap ketentuan mengenai netralitas PNS ini,
sekaligus pemberian sanksi yang tegas, adil dan tidak diskriminatif bukan hanya bagi
PNS, tapi juga bagi mereka/orang yang mempengaruhi PNS untuk tidak berbuat netral.
7). Dibuat lagi aturan, bahwa pejabat incumbent yang mencalonkan diri untuk menjadi
kepala daerah harus mengundurkan diri semenjak resmi menjadi calon.
Guna mewujudkan apa yang dikemukakan diatas memang diperlukan kerja keras
dan perobahan pola pikir (mind set) dan kesatuan tindakan sejak dari pusat dan daerah
baik legislatif maupun eksekutif termasuk para elit pemerintahan dan politik. Tentunya
juga para PNS haruslah merobah pola pikir dan perilaku yang selalu menggantungkan
diri kepada seseorang atau kelompok tertentu bahkan tidak percaya diri, kepada yang
mandiri dan profesional. Kuncinya, tidak ada sesuatu yang berat asal ada kemauan dan
kemampuan untuk itu, tidak hanya dalam bentuk kata kata atau tulisan, tapi dibuktikan
dalam kebijakan dan tindakan.
3.1 Kesimpulan
PENGERTIAN NETRAL
a. Sikap tdk memihak dan tdk berpihak thd salah satu kelompok/ golongan.
b. Tidak diskriminatif.
c. Steril dari kepentingan kelompok.
d. Tidak terpengaruh dari kepentingan partai politik.
3.2 Saran
Salah satu gagasan untuk menciptakan peran PNS modern dalam fungsinya
yang ideal adalah PNS yang netral. Netral berarti menempatkan posisi PNS pada wilayah
yang seharusnya, yakni sebagai alat negara yang menjalankan tugas kenegaraan.
Karena pada dasarnya pegawai negeri yang mendapat upah secara tetap dan dijamin
kesejahteraannya oleh negara sudah semestinya berada dalam sistem administrasi ke
tata negaraan belaka. Pengabdian yang harus diberikan oleh PNS pun bukan kepada
parpol atau golongan tertentu, melainkan kepada masyarakat secara keseluruhan.
Menahan diri untuk tetap netral dan mengabdi secara professional, serta berkarir secara
alamiah, membuat PNS tidak lagi dihantui rasa was-was dalam meniti karier dan tidak
terbawa arus pusaran politik sesaat.
Pada sisi yang lain, penilaian pegawai, promosi dan mutasi jabatan dalam
birokrasi diharapkan dilakukan secara transparan dan berdasarkan variabel-variabel
objektif seperti kompetensi, prestasi kerja dan daftar urut kepangkatan (DUK) serta jejak
rekam karier seorang birokrat. Sehingga ada kepastian karir PNS dan tidak jatuh bangun
seirama naik turunnya pejabat politik dari satu pilkada ke pilkada berikutnya. Persoalan
sering muncul ketika penunjukkan seseorang atas sebuah jabatan bukan di dasarkan
pada kemampuan, tetapi menjurus pada selera penguasa atu atas dasar kedekatan.
Netralitas PNS menjadi penting karena semakin banyaknya pejabat negara mulai
dari presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota, yang berasal dari partai politik. Kondisi
ini akan membawa implikasi serius terhadap netralitas birokrat. PNS dituntut bertindak
profesional antara menjaga netralitas dalam memberikan pelayanan sekaligus tetap
menjunjung loyalitas terhadap atasan, meskipun beda warna politiknya. Sehingga PNS
tidak mudah terbawa arus pusaran politik atau terkooptasi oleh kepentingan politik
atasannya.
Guna mewujudkan apa yang dikemukakan diatas memang diperlukan kerja keras
dan perobahan pola pikir (mind set) dan kesatuan tindakan sejak dari pusat dan daerah
baik legislatif maupun eksekutif termasuk para elit pemerintahan dan politik. Tentunya
juga para PNS haruslah merobah pola pikir dan perilaku yang selalu menggantungkan
diri kepada seseorang atau kelompok tertentu bahkan tidak percaya diri, kepada yang
mandiri dan profesional. Kuncinya, tidak ada sesuatu yang berat asal ada kemauan dan
kemampuan untuk itu, tidak hanya dalam bentuk kata kata atau tulisan, tapi dibuktikan
dalam kebijakan dan tindakan.
DAFTAR PUSTAKA