Anda di halaman 1dari 3

Nama : Theofilus Prisko Laka

NIM : 2016 – 22 – 006


Kelas : Selasa (08.00 – 10.00)
Mata Kuliah : Teori Keamanan

Soal :
Berdasarkan artikel China’s Growing Maritime Role In The South And East China Seas
(LCDR Yusuke Saito, JMSDF) buatlah analisis mengenai kebijakan pembangunan kekuatan
militer People’s Liberation Army Navy (PLAN) dan peran keamanan China di kawasan Asia
Timur dan Asia Tenggara menggunakan teori dan konsep yang telah diberikan dalam kuliah
Teori Keamanan Internasional.
Teori yang digunakan adalah Maritime Security, Paradigma Realist.

Jawaban :
Beijing tanpa henti berusaha memperluas wilayahnya yang dirasa pernah menjadi
bagian dari Kerajaan Tengah (China). Lemahnya koordinasi dalam melawan aktivitas
perebutan wilayah tanpa henti ini menimbulkan konsekuensi, karena mengabaikan masalah ini
hanya menunda atau memperburuk masalah yang ada. China meningkatkan perampasannya ke
laut-laut di sekitarnya, menimbulkan reaksi dari negara-negara lain di perairan tersebut yang
menggunakan namanya. Namun tidak semua serangan Beijing menggunakan militer. Kapal
nelayan China secara rutin melanggar perairan Korea satu insiden memaksa penjaga pantai
Seoul untuk menembakkan hampir 250 tembakan peringatan untuk memindahkan kapal
nelayan yang menyusup di area tersebut.
Menurut US Energy Information Agency (EIA) peranan Laut Cina Selatan sangat
penting sebagai jalur distribusi minyak dunia. Hampir sepertiga dari minyak mentah dunia dan
lebih dari setengah gas alam cair global (LNG) melewati Laut Cina Selatan setiap tahun. Laut
Cina Selatan juga merupakan salah satu jalur perdagangan bagi negara anggota ASEAN dan
negara Asia Timur lainnya seperti Cina. Comtrade mencatat total ekspor dan impor Cina-
ASEAN mencapai lebih dari 468 miliar dolar AS pada 2015. Sedangkan perdagangan Cina
dengan Indonesia sendiri mencapai 54 miliar dolar AS yang tentunya juga melewati Laut Cina
Selatan. Tidak hanya sebagai jalur perdagangan penting dunia, Laut Cina Selatan juga kaya
sumber daya alam. EIA memperkirakan terdapat sekitar 11 miliar barel minyak mentah dan
190 triliun kubik gas ada di wilayah sengketa itu.
Demi memenuhi kepentingan nasionalnya, Cina telah menggunakan instrumen militer
dalam mempertahankan keamanan kepentingannya tersebut. Cina telah melakukan penguatan
terhadap People’s Liberation Army Navy (PLAN) dengan melakukan Revolution In Military
Affairs (RMA) atau pengembangan teknologi persenjataan. Kebijakan yang dikeluarkan Cina
secara cepat telah mempengaruhi kebijakan maupun keputusan yang akan dilakukan oleh
negara di kawasan LCS terhadap Cina sendiri. Hal ini erat kaitannya dengan modernisasi
militer dalam teknologi senjata yang kemudian berpengaruh bagi strategi keamanan di
Kawasan LCS.
Di Pulau Woody, Tiongkok telah melakukan pemasangan rudal anti pesawat dan
meningkatkan landasan udara sepanjang 3.000 meter dan pelabuhan sedalam 1.000 meter.
Lapangan terbang tersebut mampu menampung delapan atau lebih pesawat tempur generasi
keempat seperti jet tempur Su-30MKK dan pengebom JH-7, sementara itu pelabuhan tersebut
dapat menampung kapal berbobot 5.000 ton atau lebih. Landasan udara dan pelabuhan dengan
ukuran yang sama sedang dibangun di Fiery Cross Reef. Penciptaan lahan di Subi Reef dan
Mischief Reef menunjukkan bahwa masing-masing dari dua pulau buatan itu juga akan
memiliki landasan udara dan pelabuhan dengan ukuran yang sama. Meskipun Beijing belum
memulai konstruksi berskala besar di Scarborough Shoalper awal musim semi 2016, tidak akan
mengejutkan jika Tiongkok juga akan membangun landasan udara dan pelabuhan dalam pada
lokasi ini di masa mendatang.
Perluasan daerah yang diperoleh melalui penciptaan lahan akan memungkinkan
Tiongkok untuk memasang fasilitas militer dan fasilitas penggunaan ganda yang signifikan
pada pos-pos terluarnya. Empat pos-pos terluar kecil Tiongkok di Kepulauan Spratly sekarang
ini ukurannya setara dengan pos terluar terbesar Vietnam di sana. Pulau Spratly, fitur terbesar
yang ditempati oleh Vietnam di kepulauan tersebut memiliki luas 15 hektar. Empat pos-pos
terluar Tiongkok, Cuarteron Reef, Johnson South Reef, Gaven Reef, dan Hughes Reef,
sekarang ini luasnya 23,1 hektar, 10,9 hektar, 13,6 hektar, dan 7,6 hektar.
Cara Pandang Kasus Laut Cina Selatan Berdasarkan Pandangan Realist
Menurut K.J. Holsti power dapat diartikan sebagai kemampuan suatu umum suatu negara
untuk menguasai atau mangawasi perilaku negara lain. Sehingga dalam konsep power ,
setidaknya mengandung dua unsur pokok yaitu pengaruh (influence) dan kapabilitas
(capability) (dalam Banyu & Yani, 2005, p. 64). Kemudian pendapat H.J. Morgenthau
mengatakan bahwa power sebagai suatu hubungan antara dua aktor politik (negara) dimana
aktor A memiliki kemampuan untuk mengontrol atau mengendalikan pemikiran dan tindakan
aktor B. Jadi menurut Morgenthau, power bisa terdiri dari “apa saja” meliputi seluruh
hubungan sosial mulai dari kekerasan fisik sampai hubungan psikologis yang paling halus
(mengendalikan pikiran) (Morgenthau, 1793, p. 9).
Tatanan Hegemonik yang stabil didasarkan pada sekumpulan nilai dan pemahaman yang
dimiliki bersama yang berasal dari cara-cara berbuat dan berpikir strata sosial dominan dari
negara dominan. Namun yang perlu kita takutkan disini adalah jika negara yang kita anggap
hegemon malah menjadi predator bagi negara lainnya dan bukannya melindungi dan menjaga
stabilitas keamanan dunia, bagaikan “pagar makan tanaman”

Bagi pandangan realis, Cina, Taiwan, Fhilipina, Vietnam, Malaysia dan Jepang tidak akan
pernah mau berdamai. Bagi mereka, laut cina selatan adalah harta karun yang tak mungkin
mereka serahkan oleh orang lain. Dalam hal ini, konflik Laut Cina Selatan memang merupakan
konflik teritorial yang bersifat zero sum game di mana kemenangan satu pihak adalah bencana
dan kerugian bagi pihak-pihak lain. Perlu juga kita ketahui hubungan internasional pada
dasarnya adalah tentang perjuangan antara keinginan dan kepentingan yang bertentangan.
Itulah mengapa HI selalu menggambarkan konflik daripada kerjasama. Dan perlu juga kita
garis bawahi bahwa kepentingan baik pribadi atau-pun dalam scope yang lebih luas (negara)
adalah sebuah konsekuensi dari kehidupan.

Yakni negara harus menciptakan Belence of power sebagai perimbangan bagi negara
lainya. Karena negara akan merasa congkak dan merasa berkuasa ketika mereka mempunyai
kekuatan militer kuat yang tidak tertandingi. Maka, memang sudah selayaknya perimbangan
kekuatan dalam perspektif ini harus ada.

Balancing Power oleh negara di kawasan Laut Cina Selatan terhadap Cina melalui aliansi
keamanan dengan Amerika Serikat dalam sengketa di Laut Cina Selatan dapat dimaknai
sebagai :

a. Filipina telah memiliki kebijakan keamanan dengan melakukan aliansi dengan Amerika
Serikat karena Filipina ingin berupaya untuk melakukan balancing terhadap ancaman
Cina setelah mengklaim wilayah yang merupakan bagian dari Republik Filiphina. Bagi
Filipina, Cina adalah ancaman dan hal ini dapat dilihat dari empat sumber ancaman yakni
aggregate power, proximate power, offensive power, offensive intentions, dimana
keempatnya dapat dianalisis dari konteks kebijakan dan posisi Cina di Laut Cina Selatan.
Ketika suatu negara dianggap sebagai ancaman sesuai dengan kriteria diatas, maka
negara tersebut dianggap memiliki kemungkinan untuk melakukan upaya balancing
tersebut. Oleh karena itu, aliansi keamanan ini diharapkan dapat mengurangi ancaman
dan menekan dominasi Cina sebagai predominance power, serta akhirnya akan mencapai
kepentingan nasional Filipina serta atas kedulatan wilayah di Laut Cina Selatan.
b. Filipina menganggap AS sebagai long-standing partner dalam menjaga keamanan
Filipina itu sendiri. AS mampu menjamin peningkatan kekuatan militer Filipina di Laut
Cina Selatan. Hal ini dipengaruhi oleh latar belakang sejarah yang kuat dimana keduanya
sebagai aliansi keamanan khususnya sejak ditandatanganinya Mutual Defense Treaty
pada 1951. Aliansi keamanan yang lebih advance dapat diciptakan dengan landasan
perjanjian keamanan tersebut. Bantual eksternal dari AS inilah yang dapat memperkuat
kekuatan Filipina dalam upaya balancing nya terhadap Cina di Laut Cina Selatan. Selain
itu, perubahan arah kebijakan AS terhadap Laut Cina Selatan sejak tahun 1999 dan pasca
peristiwa Impeccable pada tahun 2009, mendorong Filipina untuk dengan mudah
mengajak AS dalam memperkuat aliansi keamanannya.

Setiawan, Asep. Keamanan Maritim di Laut Cina Selatan : Tinjauan atas Analisa Barry Buzan.
https://jurnal.ubharajaya.ac.id/index.php/kamnas/article/download/8/pdf

Anda mungkin juga menyukai