Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH SEMINAR

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny. E DENGAN SUSPECT APPENDICITIS


DI RUANGAN DAHLIA LANTAI 9
DI RSUD PASAR MINGGU

Dosen Pengampu :
Ns. Santi Herlina, M.Kep. Sp.Kep.MB
Christine Diane Dien, BSN, MSN
Ns. Fiora Ladesvita M.Kep. Sp.Kep.MB
Disusun Oleh :
KELOMPOK III GELOMBANG I
Bunga Salsabilla R 1610711101 Trisna Irawati S 1610711106
Mokhamad Dicky AP 1610711102 Davita Aprilia P 1610711107
Lisa Septiani 1610711103 Susilawati 1610711108
Nida Auliya R 1610711104 Dini Aulia R 1610711109
Nabila Yuniar Putri 1610711105 Fajri Eka Tyassari 1610711110
Insyafiatul Aminah 1410711090 Suci Tarmira 1610711111
Ihza Handika 1610711018 Maya Suryawanti 1610711112

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN
JAKARTA
2019

i
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga akhirnya kami dapat menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya. Makalah yang berjudul Asuhan Keperawatan Pada
Ny. E Dengan Suspect Appendicitis Di Ruangan Dahlia Lantai 9 yang disusun guna
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah.

Pada kesempatan yang baik ini, izinkan kami menyampaikan rasa hormat dan
ucapan terimakasih kepada semua pihak yang dengan tulus memberikan bantuan dan
support kepada kami dalam menyelesaikan maskalah ini dengan sebaik-baiknya.

Jakarta, 8 Juli 2019

Kelompok

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................................... 1


Daftar isi ................................................................................................................................ 2
BAB I : Pendahuluan ........................................................................................................... 4
I.1 Latar Belakang ...................................................................................................... 4
I.2 Rumusan Masalah .................................................................................................... 5

I.3 Tujuan Penulisan................................................................................................... 5


BAB II : Tinjauan Teori ..................................................................................................... 6
II.1 Anatomi dan Fisiologi ........................................................................................ 7
II.2 Pengertian ........................................................................................................... 7
II.3 Etiologi ................................................................................................................. 8
II.4 Klasifikasi ............................................................................................................ 9
II.5 Patofisiologi ....................................................................................................... 11
II.6 Manifestasi klinik .............................................................................................. 13
II.7 Komplikasi ......................................................................................................... 14
II.8 Penatalaksanaan Medis ..................................................................................... 15
II.9 Asuhan Keperawatan......................................................................................... 16
BAB III : Penutup ............................................................................................................... 24
III.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 24
III.2 Saran ................................................................................................................. 24
Daftar Pustaka .................................................................................................................... 25
Lampiran .............................................................................................................................. 26

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Apendisitis merupakan penyakit yang biasa dikenal oleh masyarakat awam


sebagai penyakit usus buntu. Apendisitis akut merupakan kasus bedah emergensi
yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja (Anonim, 2011).

Apendisitis akut merupakan masalah pembedahan yang paling sering dan


apendektomi merupakan salah satu operasi darurat yang sering dilakukan diseluruh
dunia (Paudel et al., 2010). Faktor potensialnya adalah diet rendah serat dan
konsumsi gula yang tinggi, riwayat keluarga serta infeksi (Mazziotti et al., 2008).
Kejadian apendisitis 1,4 kali lebih tinggi pada pria dibandingkan dengan wanita
(Craig, 2010). Insidensi apendisitis lebih tinggi pada anak kecil dan lansia (Smeltzer
et al, 2002).

Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2004, diketahui bahwa


apendisitis diderita oleh 418 juta jiwa di seluruh dunia, 259 juta jiwa darinya adalah
laki-laki dan selebihnya adalah perempuan, dan mencapai total 118 juta jiwa di
kawasan Asia Tenggara. Apendisitis merupakan peradangan pada usus buntu
sehingga penyakit ini dapat menyebabkan nyeri dan beberapa keluhan lain seperti
mual, muntah, konstipasi atau diare, demam yang berkelanjutan dan sakit perut
sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Di Amerika Syarikat, sekitar 80.000
anak pernah menderita apendisitis setiap tahun, dimana terjadi 4 per 1000 anak di
bawah usia 14 tahun (Hartman et al., 2000).

Apendisitis bisa terjadi pada semua golongan usia, namun sering terjadi di bawah
usia 40 tahun, terutama antara 10 dan 20 tahun. Kejadian apendisitis meningkat
dengan bertambahnya umur dan memuncak pada remaja. Apendisitis jarang terjadi
pada anak dengan umur kurang dari 10 tahun dan sangat jarang pada anak kurang
dari 2 tahun (Philip, 2007).

Menurut Departmen Kesehatan RI pada tahun 2006, apendisitis merupakan


penyakit urutan keempat terbanyak di Indonesia pada tahun 2006. Jumlah pasien
rawat inap penyakit apendiks pada tahun tersebut mencapai 28.949 pasien, berada di
urutan keempat setelah dispepsia, duodenitis, dan penyakit cerna lainnya. Pada

4
rawat jalan, kasus penyakit apendiks menduduki urutan kelima (34.386 pasien rawat
jalan), setelah penyakit sistem pencernaan lain, dispepsia, gastritis dan duodenitis.
Sedangkan, menurut Departemen Kesehatan RI pada tahun 2009, apendisitis masuk
dalam daftar 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit di
berbagai wilayah Indonesia dengan total kejadian 30,703 kasus dan 234 jiwa yang
meninggal akibat penyakit ini. Antibiotik diberikan pada sebelum dan setelah
operasi sesuai dengan kebutuhan (Ajaz et al., 2009).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana pengkajian pada Ny.E?
2. Apa diagnosa keperawatan pada Ny.E?
3. Apa intervensi keperawatan pada Ny.E?
4. Bagaimana penatalaksanaan/implementasi keperawatan pada Ny.E?
5. Bagimana evaluasi hasil pada Ny.E?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui pengkajian pada Ny.E
2. Mengetahui diagnosa keperawatan pada Ny.E
3. Mengetahui intervensi keperawatan pada Ny.E
4. Mengetahui penatalaksanaan atau implementasi pada Ny.E
5. Mengetahui evaluasi pada Ny.E

5
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Anatomi dan Fisiologi Apendiks


1. Anatomi
Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-
kira 10 cm dan berpangkal pada sekum. Appendiks pertama kali tampak saat
perkembangan embriologi minggu ke delapan yaitu bagian ujung dari
protuberans sekum. Pada saatantenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum
yang berlebih akan menjadi appendiks yang akan berpindah dari medial
menuju katup ileocaecal. Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkal dan menyempit kearah ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya
insidens Apendisitis pada usia tersebut. Appendiks memiliki lumen sempit di
bagian proksimal dan melebar pada bagian distal. Pada appendiks terdapat tiga
tanea coli yang menyatu dipersambungan sekum dan berguna untuk
mendeteksi posisi appendiks. Gejala klinik Apendisitis ditentukan oleh letak
appendiks. Posisi appendiks adalah retrocaecal (di belakang sekum)
65,28%,pelvic (panggul) 31,01%, subcaecal (di bawah sekum) 2,26%, preileal
(di depan usus halus) 1%, dan postileal (di belakang usus halus) 0,4%, seperti
terlihat pada gambar dibawah ini.

Appendiks pada saluran pencernaan

6
Anatomi appendiks Posisi Appendiks

2. Fisiologi
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan
aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis
Apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Associated
Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk
appendiks ialah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif
sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri,
netralisasi virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal
lainnya. Namun, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun
tubuh sebab jumlah jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di
saluran cerna dan seluruh tubuh.

2.2 Pengertian Appendiks


Appendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm
(94 inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Appendiks
berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena
pengosongannya tidak efektif dan lumennya kecil, appendiks cenderung
menjadi tersumbat dan rentan terhadap infeksi. (Brunner dan Sudarth, 2002).
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai
7
semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang
laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, Arief,dkk, 2007).
Apendisitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh
fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi
lumen merupakan penyebab utama Apendisitis. Erosi membran mukosa
appendiks dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris
trichiura, dan Enterobius vermikularis(Ovedolf, 2006).
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur
yang terpuntir, appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk
berkumpul dan multiplikasi (Chang, 2010)
Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapt terjadi tanpa
penyebab yang jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat
terpuntirnya apendiks atau pembuluh darahya (Corwin, 2009).

2.3 Etiologi
Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor prediposisi
yaitu:
1. Factor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini
terjadi karena:
a. Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
b. Adanya faekolit dalam lumen appendiks
c. Adanya benda asing seperti biji-bijian
d. Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.
2. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan Streptococcus
3. Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30 tahun
(remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada
masa tersebut.
4. Tergantung pada bentuk apendiks:
a. Appendik yang terlalu panjang
b. Massa appendiks yang pendek
c. Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks
d. Kelainan katup di pangkal appendiks (Nuzulul, 2009)

8
2.4 Klasifikasi
1. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut pada
dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi
dari apendiks.
Penyebab obstruksi dapat berupa :
a. Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
b. Fekalit
c. Benda asing
d. Tumor.
Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang diproduksi tidak dapat
keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra luminer sehingga
menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.
Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks
sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada dinding
apendiks.
Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari
organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.

2. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)


Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis.
Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang
ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa
sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks
dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan,
nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif.
Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-
tanda peritonitis umum.

9
3. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat :
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks
secara makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah apendektomi.
Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding
apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan
ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik
antara 1-5 persen.

4. Apendissitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang
di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil patologi
menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn apendisitis akut
pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak perna kembali ke bentuk
aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk terjadinya serangn
lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi
yang diperiksa secara patologik. Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan
apendektomi karena sering penderita datang dalam serangan akut.

5. Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin akibat
adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan fibrosa.
Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun jarang,mukokel
dapat disebabkan oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa menjadi ganas.
Penderita sering datang dengan eluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut kanan
bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi
infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah apendiktomi.

6. Tumor Apendiks
Adenokarsinoma apendiks
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu apendektomi atas
indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke limfonodi regional, dianjurkan

10
hemikolektomi kanan yang akan memberi harapan hidup yang jauh lebih baik
dibanding hanya apendektomi.
7. Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang didiagnosis
prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan patologi atas
spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindrom karsinoid
berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas karena spasme
bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6% kasus tumor karsinoid
perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang menyebabkan gejala tersebut di atas.
Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa memberikan residif
dan adanya metastasis sehingga diperlukan opersai radikal. Bila spesimen patologik
apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor, dilakukan operasi
ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan

2.5 Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding
apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan penekanan tekanan
intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah
terjadi terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan
apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan
akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut

11
infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang.
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apediks lebih panjang,
dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh
yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua
perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2007)
.

12
2.6 Manifestasi klinik
a. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan, mual,
muntah dan hilangnya nafsu makan.
b. Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.
c. Nyeri tekan lepas dijumpai.
d. Terdapat konstipasi atau diare.
e. Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum.
f. Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.
g. Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau ureter.
h. Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis.
i. Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
j. Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai abdomen
terjadi akibat ileus paralitik.
k. Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien mungkin
tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.
Nama pemeriksaan Tanda dan gejala
Rovsing’s sign Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan
pada kuadran kiri bawah dan timbul nyeri pada
sisi kanan.
Psoas sign atau Obraztsova’s sign Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian
dilakukan ekstensi dari panggul kanan. Positif
jika timbul nyeri pada kanan bawah.
Obturator sign Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan
dilakukan rotasi internal pada panggul. Positif
jika timbul nyeri pada hipogastrium atau
vagina.
Dunphy’s sign Pertambahan nyeri pada tertis kanan bawah
dengan batuk
Ten Horn sign Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi lembut
pada korda spermatic kanan
Kocher (Kosher)’s sign Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium
atau sekitar pusat, kemudian berpindah ke

13
kuadran kanan bawah.
Sitkovskiy (Rosenstein)’s sign Nyeri yang semakin bertambah pada perut
kuadran kanan bawah saat pasien dibaringkan
pada sisi kiri
Aure-Rozanova’s sign Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit
triangle kanan (akan positif Shchetkin-
Bloomberg’s sign)
Blumberg sign Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada
kuadran kanan bawah kemudian dilepaskan
tiba-tiba

2.7 Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Faktor
keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita
meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan
diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat
melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka
morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi Apendisitis 10-32%, paling sering
pada anak kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2
tahun dan 40-75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-
anak dan orang tua.43 Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih tipis,
omentum lebih pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan terjadinya
perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah. Adapun jenis
komplikasi diantaranya:
1. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di
kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan
berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis
gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum
2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke
rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi
meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70%

14
kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih
dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis
terutamapolymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
3. Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang
dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya
cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.
Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen,
demam, dan leukositosis.

2.8 Penatalaksanaan Medis


Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operasi.
1. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian
antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita Apendisitis perforasi,
sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian
antibiotik sistemik
2. Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan yang
dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan
appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan
perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).
3. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi yang
lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah infeksi luka
dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen dicuci
dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan perawatan
intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan besar
infeksi intra-abdomen.

15
Asuhan Keperawatan
a. Pre operasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi (distensi jaringan
intestinal oleh inflamasi)
2. Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan penurunan
peritaltik.
3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah.
4. Cemas berhubungan dengan akan dilaksanakan operasi.
b. Post operasi
1. Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik (luka insisi post operasi
appenditomi).
2. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (insisi post
pembedahan).
3. Defisit self care berhubungan dengan nyeri.
4. Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan
b.d kurang informasi.

C. RENCANA KEPERAWATAN
PRE OPERASI
DIAGNOSA
NO NOC NIC RASIONAL
KEPERAWATAN

1. Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Kaji tingkat 1. Untuk


berhubungan dengan asuhan nyeri, lokasi dan mengetahui
agen injuri biologi keperawatan, karasteristik nyeri. sejauh mana
(distensi jaringan diharapkan nyeri tingkat nyeri dan
intestinal oleh klien berkurang merupakan
inflamasi) dengan kriteria indiaktor secara
hasil: dini untuk dapat
memberikan
· Klien tindakan
mampu 2. Jelaskan pada
selanjutnya
mengontrol nyeri pasien tentang
2. informasi yang
(tahu penyebab penyebab nyeri
tepat dapat
nyeri, mampu
menurunkan
menggunakan
tingkat
tehnik
kecemasan
nonfarmakologi
pasien dan

16
untuk mengurangi menambah
nyeri, mencari pengetahuan
bantuan) 3. Ajarkan tehnik pasien tentang
untuk pernafasan nyeri.
· Melaporkan diafragmatik 3. napas dalam
bahwa nyeri lambat / napas dapat menghirup
berkurang dengan dalam O2 secara
menggunakan adequate
manajemen nyeri sehingga otot-
· Tanda vital otot menjadi
dalam rentang relaksasi
normal sehingga dapat
4. Berikan mengurangi rasa
TD (systole 110- aktivitas hiburan nyeri.
130mmHg, (ngobrol dengan 4. meningkatkan
diastole 70- anggota keluarga) relaksasi dan
90mmHg), dapat
HR(60- 5. Observasi meningkatkan
100x/menit), RR tanda-tanda vital kemampuan
(16-24x/menit), kooping.
suhu (36,5- 5. deteksi dini
37,50C) terhadap
perkembangan
· Klien
kesehatan pasien.
tampak rileks
6. Kolaborasi 6. sebagai
mampu
dengan tim medis profilaksis untuk
tidur/istirahat
dalam pemberian dapat
analgetik menghilangkan
rasa nyeri.
2. Perubahan pola Setelah dilakukan 1. Pastikan 1. membantu dalam
eliminasi asuhan kebiasaan pembentukan
(konstipasi) keperawatan, defekasi klien dan jadwal irigasi
berhubungan dengan diharapkan gaya hidup efektif
penurunan peritaltik. konstipasi klien sebelumnya.
teratasi dengan
kriteria hasil: 2. Auskultasi 2. kembalinya
bising usus fungsi
· BAB 1-2 gastriintestinal
kali/hari mungkin
terlambat
· Feses lunak oleh inflamasi
· Bising usus intra peritonial
5-30 kali/menit 3. masukan adekuat
3. Tinjau ulang
dan serat,

17
pola diet dan makanan kasar
jumlah / tipe memberikan
masukan cairan. bentuk dan cairan
adalah faktor
penting dalam
menentukan
konsistensi feses.
4. makanan yang
tinggi serat dapat
memperlancar
pencernaan
sehingga tidak
4. Berikan terjadi konstipasi.
makanan tinggi 5. obat pelunak
serat. feses dapat
melunakkan feses
sehingga tidak
5. Berikan obat terjadi konstipasi.
sesuai indikasi,
contoh : pelunak
feses

3. Kekurangan volume Setelah dilakukan 1. Monitor tanda- 1. Tanda yang


cairan berhubungan asuhan tanda vital membantu
dengan mual keperawatan mengidentifikasi
muntah. diharapkan kan fluktuasi
keseimbangan volume
cairan dapat intravaskuler.
dipertahankan 2. Kaji membrane 2. Indicator
dengan kriteria mukosa, kaji tugor keadekuatan
hasil: kulit dan pengisian sirkulasi perifer
kapiler. dan hidrasi
· kelembaban
seluler.
membrane
mukosa
3. Penurunan
· turgor kulit
3. Awasi haluaran urin
baik
masukan dan pekat dengan
· Haluaran haluaran, catat peningkatan berat
urin adekuat: 1 warna jenis diduga
cc/kg BB/jam urine/konsentrasi, dehidrasi/kebutuh
berat jenis. an peningkatan
· Tanda-tanda cairan.
vital dalam batas 4. Indicator

18
normal 4. Auskultasi kembalinya
bising usus, catat peristaltic,
TD (systole 110- kelancaran flatus, kesiapan untuk
130mmHg, gerakan usus. pemasukan per
diastole 70- oral.
90mmHg), 5. Dehidrasi
HR(60- mengakibatkan
100x/menit), RR 5. Berikan
perawatan mulut bibir dan mulut
(16-24x/menit), kering dan pecah-
suhu (36,5- sering dengan
perhatian khusus pecah
37,50C)
pada perlindungan
bibir. 6. Selang NG
6. Pertahankan biasanya
penghisapan dimasukkan pada
gaster/usus. praoperasi dan
dipertahankan
pada fase segera
pascaoperasi unt
uk dekompresi
usus,
meningkatkan
istirahat usus,
mencegah
mentah.
7. Kolaborasi 7. Peritoneum
pemberiancairan bereaksi terhadap
IV dan elektrolit iritasi/infeksi
dengan
menghasilkan
sejumlah besar
cairan yang dapat
menurunkan
volume sirkulasi
darah,
mengakibatkan
hipovolemia.
Dehidrasi dapat
terjadi
ketidakseimbang
an elektrolit
4. Cemas berhubungan Setelah dilakukan 1. Evaluasi 1. ketakutan dapat
dengan akan asuhan tingkat ansietas, terjadi karena
dilaksanakan keperawatan, catat verbal dan nyeri hebat,

19
operasi. diharapkan non verbal pasien. penting pada
kecemasab klien prosedur
berkurang dengan diagnostik dan
kriteria hasil: pembedahan.
2. dapat
· Melaporkan 2. Jelaskan dan meringankan
ansietas menurun persiapkan untuk ansietas terutama
sampai tingkat tindakan prosedur ketika
teratasi sebelum dilakukan pemeriksaan
· Tampak tersebut
rileks melibatkan
3. Jadwalkan pembedahan.
istirahat adekuat 3. membatasi
dan periode kelemahan,
menghentikan menghemat
tidur. energi dan
meningkatkan
kemampuan
koping.
4. Anjurkan
4. Mengurangi
keluarga untuk
kecemasan klien
menemani
disamping klien

POST OPERASI

DIAGNOSA
NO NOC NIC RASIONAL
KEPERAWATAN

1. Nyeri berhubungan Setelah dilakukan 1. Kaji skala 1. Berguna dalam


dengan agen injuri asuhan nyeri lokasi, pengawasan dan
fisik (luka insisi post keperawatan, karakteristik dan keefesien obat,
operasi diharapkan nyeri laporkan perubahan kemajuan
appenditomi). berkurang dengan nyeri dengan tepat. penyembuhan,peru
kriteria hasil: bahan dan
karakteristik nyeri.
· Melaporkan
2. Monitor tanda-
nyeri berkurang 2. deteksi dini
tanda vital
· Klien terhadap
tampak rileks perkembangan
kesehatan pasien.
· Dapat tidur
dengan tepat 3. Pertahankan

20
· Tanda-tanda istirahat dengan 3. Menghilangkan
vital dalam batas posisi semi powler. tegangan abdomen
normal yang bertambah
dengan posisi
TD (systole 110- terlentang.
130mmHg, 4. Dorong
ambulasi dini. 4. Meningkatkan
diastole 70- kormolisasi fungsi
90mmHg), organ.
HR(60-
100x/menit), RR 5. Berikan
5. meningkatkan
(16-24x/menit), aktivitas hiburan.
relaksasi.
suhu (36,5-
6. Kolborasi tim
37,50C)
dokter dalam
pemberian 6. Menghilangkan
analgetika. nyeri.

2. Resiko infeksi Setelah dilakukan 1. Kaji adanya 1. Dugaan adanya


berhubungan dengan asuhan tanda-tanda infeksi infeksi
tindakan invasif keperawatan pada area insisi
(insisi post diharapkan
pembedahan). infeksi dapat 2. Monitor tanda- 2. Dugaan adanya
tanda vital. infeksi/terjadinya
diatasi dengan
Perhatikan demam, sepsis, abses,
kriteria hasil:
menggigil, peritonitis
· Klien bebas berkeringat,
dari tanda-tanda perubahan mental
infeksi 3. mencegah
3. Lakukan
transmisi penyakit
· Menunjukk teknik isolasi untuk virus ke orang lain.
an kemampuan infeksi enterik,
untuk mencegah termasuk cuci
timbulnya infeksi tangan efektif. 4. mencegah meluas
dan membatasi
· Nilai 4. Pertahankan penyebaran
leukosit (4,5- teknik aseptik ketat organisme infektif /
11ribu/ul) pada perawatan kontaminasi silang.
luka insisi / 5. menurunkan resiko
terbuka, bersihkan terpajan.
dengan betadine.

5. Awasi / batasi 6. terapi ditunjukkan


pengunjung dan pada bakteri
siap kebutuhan. anaerob dan hasil
6. Kolaborasi tim aerob gra negatif.

21
medis dalam
pemberian
antibiotik

3. Defisit self care Setelah dilakukan 1. Mandikan 1. Agar badan


berhubungan dengan asuhan pasien setiap hari menjadi segar,
nyeri. keperawatan sampai klien melancarkan
diharapkan mampu peredaran darah
kebersihan klien melaksanakan dan meningkatkan
dapt sendiri serta cuci kesehatan.
dipertahankan rambut dan potong
dengan kriteria kuku klien.
hasil: 2. Untuk melindungi
2. Ganti pakaian klien dari kuman
· klien bebas yang kotor dengan dan meningkatkan
dari bau badan yang bersih. rasa nyaman

· klien
tampak bersih 3. Agar klien dan
3. Berikan
· ADLs klien Hynege Edukasipa keluarga dapat
dapat mandiri da klien dan termotivasi untuk
atau dengan keluarganya menjaga personal
bantuan tentang pentingnya hygiene.
kebersihan diri. 4. Agar klien merasa
tersanjung dan
4. Berikan pujian lebih kooperatif
pada klien tentang dalam kebersihan
kebersihannya.

5. Bimbing 5. Agar keterampilan


keluarga klien dapat diterapkan
memandikan /
menyeka pasien
6. Klien merasa
6. Bersihkan dan nyaman dengan
atur posisi serta tenun yang bersih
tempat tidur klien. serta mencegah
terjadinya infeksi.
4. Kurang pengetahuan Setelah dilakukan 1. Kaji ulang 1. Memberikan
tentang kondisi asuhan pembatasan informasi pada
prognosis dan keperawatan aktivitas pasien untuk
kebutuhan diharapkan pascaoperasi merencanakan
pengobatan b.d pengetahuan kembali rutinitas

22
kurang informasi. bertambah dengan biasa tanpa
kriteria hasil: menimbulkan
masalah.
· menyatakan 2. Membantu kembali
2. Anjuran
pemahaman ke fungsi usus
proses penyakit, menggunakan
laksatif/pelembek semula mencegah
pengobatan dan ngejan saat
feses ringan bila
· berpartisipa perlu dan hindari defekasi
si dalam program enema
pengobatan 3. Pemahaman
3. Diskusikan
perawatan insisi, meningkatkan
termasuk kerja sama dengan
mengamati balutan, terapi,
pembatasan mandi, meningkatkan
dan kembali ke penyembuhan
dokter untuk
mengangkat
jahitan/pengikat

4. Upaya intervensi
4. Identifikasi menurunkan resiko
gejala yang komplikasi
memerlukan lambatnya
evaluasi medic, penyembuhan
contoh peningkatan
peritonitis.
nyeri
edema/eritema
luka, adanya
drainase, demam

23
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
1.2 Saran

24
DAFTAR PUSTAKA
Aru W. Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi V. Interna Publishing.
Jakarta
Bulechek, Gloria. M, et al. (2013). Nursing Interventions Classification (NIC). Sixth Edition.
United States of America: Elsevier
Braunwald, E., 2005. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Kasper, D.L et al., eds. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 16th ed. USA: McGrawHill, 1371
Moorhead, Sue. et al. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC). Fifth Edition. United
States of America: Elsevier.
Nanda. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10 editor T
Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. Jakarta: EGC.
Principles of Anatomy and Physiology. 13th ed. USA: John Wiley & Sons, 763
Tortora, G.J., Derrickson, B., 2012. The Cardiovascular System: The Heart. In: Roesch, B., et
al., eds. Shah, R.V., Fi

25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40

Anda mungkin juga menyukai