Dosen Pengampu :
Dosen TIM Praktik Klinik Keperawatan Gawat Darurat
Disusun Oleh :
Nida Auliya Rosyad 1610711104
B. Tujuan
Memberikan penanganan terbaik pada korban dalam jumlah yang banyak untuk
menurunkan angka kematian dan kecacatan maupun resiko cedera bertambah parah.
C. Prinsip Triase
Triase dilakukan tidak lebih dari 60 detik/pasien dan setiap pertolongan harus
dilakukan sesegera mungkin. Pada keadaan bencana masal, korban timbul dalam jumlah
yang tidak sedikit dengan resiko cedera dan tingkat survive yang beragam. Pertolongan
harus disesuaikan dengan sumber daya yang ada, baik sumber daya manusia maupun
sumber daya lainnya. Hal tersebut merupakan dasar dalam memilah korban untuk
memberikan perioritas pertolongan. Pada umumnya penilaian korban dalam triase dapat
dilakukan dengan (Booker, 2008):
• Menilai tanda vital dan kondisi umum korban
• Menilai kebutuhan medis
• Menilai kemungkinan bertahan hidup
• Menilai bantuan yang memungkinkan
• Memprioritaskan penanganan definitif
• Tag Warna
D. Kategori Triase
Setelah melakukan penilaian, korban dikategorikan sesuai dengan kondisinya dan
diberi tag warna, sebagai berikut:
a. Merah (Immediate)
Mengancam jiwa atau fungsi vital, perlu resusitasi dan tindakan bedah segera,
mempunyai kesempatan hidup yang besar. Penangan dan oemindahan bersifat
segera yaitu gangguan pada jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi. Contohnya
sumbatan jalan nafas, syok hemoragik, luka terpotong pada tangan dan kaki,
luka bakar tingkat II dan III >25%.
b. Kuning (Delay)
Potensial mengancam nyawa atau fungsi vital bila tidak segera ditangani
dalam jangka waktu singkat. Penanganan dan pemindahan bersifat jangan
terlambat. Contoh pada tulang besar, trauma torak, dan laserasi luas.
c. Hijau (Walking Wounded)
Perlu penganan seperti pelayanan biasa, tidak perlu segera. Penangan dan
pemindahan bersifat terakhir. Contoh luka ringan. Korban dengan kondisi
yang cukup ringan, korban dapat berjalan
E. Dokumentasi Triase
Pada tahap pengkajian, pada proses triase yang mencaup dokumentasi adalah
(ENA, 2005) :
Waktu dan datangnya alat transportasi
Keluhan utama
Pengkodean prioritas atau keakuratan perawatan
Penentuan pemberi perawatan kesehatan yang tepat
Penempatan di area pengobatan yang tepat
Permualaan intervensi (misalnya prosedur diagnostik EKG, AGD)
a. Head tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan horizontal,
kecuali pada pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala pasien harus
direndahkan dengan posisi semilateral untuk memudahkan drainase lendir, cairan
muntah atau benda asing. Kepala diekstensikan dengan cara meletakkan satu
tangan di bawah leher pasien dengan sedikit mengangkat leher ke atas. Tangan
lain diletakkan pada dahi depan pasien sambil mendorong / menekan ke
belakang. Posisi ini dipertahankan sambil berusaha dengan memberikan inflasi
bertekanan positif secara intermittena (Alkatri, 2007).
b. Chin lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian secara
hati – hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari tangan
yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut, ibu jari
dapat juga diletakkan di belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara
bersamaan, dagu dengan hati – hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh
menyebabkan hiperekstensi leher. Manuver ini berguna pada korban trauma
karena tidak membahayakan penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang
leher atau mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang
dengan cedera spinal.
c. Jaw thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada mandibula,
jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus mandibula, jari
tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus mandibula sedangkan ibu
jari kanan dan kiri berada pada mentum mandibula. Kemudian mandibula
diangkat ke atas melewati molar pada maxila (Arifin, 2012)
d. Oropharingeal Airway (OPA)
Airway orofaringeal digunakan untuk membebaskan jalan napas pada pasien
yang kehilangan refleks jalan napas bawah (Kene, davis, 2007).
Teknik yang dapat dilakukan adalah : Posisikan kepala pasien lurus dengan
tubuh. Kemudian pilih ukuran pipa orofaring yang sesuai dengan pasien. Hal ini
dilakukan dengan cara menyesuaikan ukuran pipa oro-faring dari tragus (anak
telinga) sampai ke sudut bibir. Masukkan pipa orofaring dengan tangan kanan,
lengkungannya menghadap ke atas (arah terbalik), lalu masukkan ke dalam
rongga mulut. Setelah ujung pipa mengenai palatum durum putar pipa ke arah
180 drajat. Kemudian dorong pipa dengan cara melakukan jaw thrust dan kedua
ibu jari tangan menekan sambil mendorong pangkal pipa oro-faring dengan hati-
hati sampai bagian yang keras dari pipa berada diantara gigi atas dan bawah,
terakhir lakukan fiksasi pipa orofaring. Periksa dan pastikan jalan nafas bebas.
Fiksasi pipa oro-faring dengan cara memplester pinggir atas dan bawah pangkal
pipa, rekatkan plester sampai ke pipi pasien (Arifin, 2012).
e. Nasopharingeal Airway
Pada penderita yang masih memberikan respon, airway nasofaringeal lebih
disukai dibandingkan airway orofaring karena lebih bisa diterima dan lebih kecil
kemungkinannya merangsang muntah (ATLS, 2004).
Teknik yang dapat dilakukan adalah : Posisikan kepala pasien lurus dengan
tubuh. Pilihlah ukuran pipa naso-faring yang sesuai dengan cara menyesuaikan
ukuran pipa naso-faring dari lubang hidung sampai tragus (anak telinga). Pipa
nasofaring diberi pelicin dengan KY jelly (gunakan kasa yang sudah diberi KY
jelly). Masukkan pipa naso-faring dengan cara memegang pangkal pipa naso-
faring dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke arah mulut (ke
bawah). Masukkan ke dalam rongga hidung dengan perlahan sampai batas
pangkal pipa. Patikan jalan nafas sudah bebas.
f. Airway definitif
Terdapat tiga jenis airway definitif yaitu : pipa orotrakeal, pipa nasotrakeal,
dan airway surgical (krikotiroidotomi atau trakeostomi). Penentuan pemasangan
airway definitif didasarkan pada penemuan- penemuan klinis antara lain (ATLS,
2004):
1. Adanya apnea
2. Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara-cara
yang lain
3. Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau
vomitus
4. Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway
5. Adanya cedera kepala yang membutuhkan bantuan nafas (GCS < 8)
6. Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan
Pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah
Apabila pernafasan membaik, jaga agar jalan nafas tetap terbuka dan periksa
dengan cara (Haffen, Karren, 1992) :
Lihat (look), melihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan
dinding dada yang adekuat.
Dengar (listen), mendengar adanya suara pernafasan pada kedua sisi dada.
Rasa (feel), merasa adanya hembusan nafas.
2. Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi
Oksigen sangat penting bagi kehidupan. Sel-sel tubuh memerlukan pasokan
konstan O2 yang digunakan untuk menunjang reaksi kimiawi penghasil energi, yang
menghasilkan CO2 yang harus dikeluarkan secara terus-menerus (Sherwood, 2001)..
Pada keadaan normal, oksigen diperoleh dengan bernafas dan diedarkan dalam aliran
darah ke seluruh tubuh (Smith, 2007). Airway yang baik tidak dapat menjamin pasien
dapat bernafas dengan baik pula (Dolan, Holt, 2008). Menjamin terbukanya airway
merupakan langkah awal yang penting untuk pemberian oksigen.
Apabila pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik bag-
valve-face-mask merupakan cara yang efektif, teknik ini lebih efektif apabila
dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan dari salah satu petugas dapat
digunakan untuk menjamin kerapatan yang baik (ATLS, 2004). Cara melakukan
pemasangan face-mask (Arifin, 2012):
a. Posisikan kepala lurus dengan tubuh
b. Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila sungkup
muka dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada kebocoran)
c. Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)
d. Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus mandibula, jari
manis dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk memegang
dan memfiksasi sungkup muka
e. Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala pasien
f. Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah dipasangkan
g. Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan kanan dan
kiri memegang mandibula dan sungkup muka bersama-sama)
h. Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)
i. Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi sungkup muka,
sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang bag (kantong) reservoir
sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag)
Sedangkan apabila pernafasan tidak membaik dengan terbukanya airway,
penyebab lain harus dicari. Penilaian harus dilakukan dengan melakukan inspeksi,
palpasi, perkusi dan auskultasi pada toraks
3. Circulation dengan kontrol perdarahan (hemorrage control)
Perdarahan merupakan penyebab kematian setelah trauma (Dolan, Holt,
2008). Oleh karena itu penting melakukan penilaian dengan cepat status
hemodinamik dari pasien, yakni dengan menilai tingkat kesadaran, warna kulit dan
nadi (ATLS,2004).
a. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun perfusi otak juga berkurang yang menyebabkan
penurunan tingkat kesadaran.
b. Warna kulit
Wajah yang keabu-abuan dan kulit ektremitas yang pucat merupakan tanda
hipovolemia.
c. Nadi
Pemeriksaan nadi dilakukan pada nadi yang besar seperti a. femoralis dan a.
karotis (kanan kiri), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama.
Dalam keadaan darurat yang tidak tersedia alat-alat, maka secara cepat kita
dapat memperkirakan tekanan darah dengan meraba pulsasi (Haffen, Karren, 1992):
a. Jika teraba pulsasi pada arteri radial, maka tekanan darah minimal 80 mmHg
sistol
b. Jika teraba pulsasi pada arteri brachial, maka tekanan darah minimal 70 mmHg
sistol
c. Jika teraba pulsasi pada arteri femoral, maka tekanan darah minimal 70 mmHg
sistol
d. Jika teraba pulsasi pada arteri carotid, maka tekanan darah minimal 60 mmHg
sistol
4. Disability, status neurologis
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan
neurologis secara cepat. Hal yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi
pupil. Tanda-tanda lateralisasi dan tingkat (level) cedera spina. Cara cepat dalam
mengevaluasi status neurologis yaitu dengan menggunakan AVPU, sedangkan GSC
(Glasgow Coma Scale) merupakan metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi
status neurologis, dan dapat dilakukan pada saat survey sekunder. Adapun AVPU
adalah :
A : Alert
V : Respon to verbal
P : Respon to pain
U : Unrespon
GSC (Glasgow Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana untuk menilai
tingkat kesadaran pasien.
a. Menilai “eye opening” penderita (skor 4-1)
Perhatikan apakah penderita :
Membuka mata spontan
Membuka mata jika dipanggil,diperintah atau dibangunkan
Membuka mata jika diberi rangsangan nyeri (dengan menekan ujung kuku
jari tangan)
Tidak memberikan respon
b. Menilai “best verbal response” penderita (skor 5-1)
Perhatikan apakah penderita :
Orientasi baik dan mampu berkomunikasi
Disorientasi atau bingung
Mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk kalimat
Mengerang (mengucapkan kata -kata yang tidak jelas artinya)
Tidak memberikan respon
c. Menilai “best motor respon” penderita (skor 6-1)
Perhatikan apakah penderita :
Melakukan gerakan sesuai perintah
Dapat melokalisasi rangsangan nyeri
Menghindar terhadap rangsangan nyeri
Fleksi abnormal (decorticated)
Ektensi abnormal (decerebrate)Tidak memberikan respon
Range skor : 3-15 (semakin rendah skor yang diperoleh, semakin jelek kesadaran).
Penurunan tingkat kesadaran perlu diperhatikan pada empat kemungkinan penyebab
(Pre-Hospital Trauma Life Support Commitee 2002) :
a. Penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak
b. Trauma pada sentral nervus sistem
c. Pengaruh obat-obatan dan alkohol
d. Gangguan atau kelainan metabolik
5. Exposure/environmental control, membuka baju penderita, tetapi cegah hipotermia
Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka
keseluruhan pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa
punggung dengan memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti
penderita dengan selimut kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan
diberikan cairan intra-vena yang sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien
tidak hipotermi.
A. Secondary Survey
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan
secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan
setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-
tanda syok telah mulai membaik.
1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang
merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi
keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat
keluarga, sosial, dan sistem. Pengkajian riwayat pasien secara optimalharus
diperolehlangsung daripasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya,usia, dan
cacatatau kondisipasienyang terganggu, konsultasikan dengan anggota keluarga,
orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat kejadian.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien
dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah
diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa
jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam
komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)
Selain itu apat dilakukan pengkajian PQRST saat pasien mengeluhkan nyeri,
adapun pengkajian PQRS adalah :
P (Provokes/palliates) : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat
nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang
anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun saat
tidur?
Q (Quality) : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya? apakah seperti
diiris, tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas?
(biarkan pasien mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
R (Radiates) : apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri
terlokalisasi di satu titik atau bergerak?
S (Severity) : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0
tidak ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
T (Time) : kapan nyeri itu timbul? Berapa lama nyeri itu timbul? Apakah
terus menerus atau hilang timbul? apakah pernah merasakan nyeri ini
sebelumnya? apakah nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya atau berbeda?
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan tubuh untuk menentukan adanaya
kelainan – kelainan dari sustu sistem atau suatu organ tubuh dengan cara melihat
(inspeksi), meraba (palpasi), mengetuk (perkusi) dan mendengarkan (auskultasi).
(Raylene M Rospond, 2009)
Pemeriksaan fisik digunakan untuk mendapatkan data objektif dari riwayat
kesehatan pasien. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan bersamaan dengan
wawancara. Fokus pengkajian fisik adalah pada kemampuan fungsional pasien.
Metode dan langkah pemeriksaan fisik :
a. Inspeksi
Merupakan metode pemeriksaan pasien dengan melihat langsung seluruh
tubuh pasien atau hanya bagian tertentu yang diperlukan. Inspeksi adalah
kegiatan aktif, proses ketika perawat harus mengetahui apa yang dilihatnya
dan dimana lokasinya.
Cara pemeriksaan :
Posisi pasien dapat tidur, duduk atau berdiri
Bagian tubuh yang diperiksa harus terbuka
Bandingkan bagian tubuh yang berlawanan (kesimetrisan) dan
abnormalitas
b. Palpasi
Palpasi adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan perabaan dan penekanan
bagian tubuh dengan menggunakan jari atau tangan. Tangan dan jari adalah
intrumen yang sensitif digunakan untuk mengumpulkan data. Teknik palpasi
dibagi menjadi dua :
Palpasi ringan : ujung – ujung jari pada satu atau dua tangan digunakan
secara simultan. Tangan diletakkan pada area yang dipalpasi, jari – jari
ditekan kebawah perlahan sampai ada hasil
Palpasi dalam : untuk merasakan isi abdomen, dilakukan dua tangan.
Satu tangan untuk merasakan bagian yang dipalpasi, tangan lainnnya
untuk menekan kebawah.
Cara pemeriksaan :
Posisi pasien bisa tidur, duduk, atau berdiri
Pastikan pasien dalam keadaan rileks denga posisi yang nyaman
Kuku jari pemeriksa harus pendek, tangan hangat dan kering
Minta pasien untuk menarik nafas dalam agar meningkatkan relaksasi
otot
Lakukan palpasi dengan sentuhan perlahaan dengan tekanan ringan
Palpasi daerah yang dicurigai, adanya nyeri tekan, menandakan
kelainan
Lakukan palpasi secara hati – hati apabila diduga adaanya fraktur
tulang
Hindari tekanan yang berlebihan pada pembuluh darah
Rasakan dengan seksama kelainan organ atau jaringan, adanya nodul,
tumor bergerak/tidak dengan konsistensi padat/kenyal, bersifat kasar
atau lembut, ukurannya dan ada atau tidaknya getaran/trill, serta ras
nyeri raba atau tekan.
c. Perkusi
Adalah suatu tindakan pemeriksaan dengan mendengarkan bunyi getaran atau
gelombang suara yang dihaantarkan kepermukaan tubuh dari bagian tubuh
yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan ketokan jari atau tangan pada
permukaan tubuh karakter bunyi yang dihasilkan dapat menentukan lokasi,
ukuran, bentuk dan kepadatan struktur dibawah kulit. Sifat gelombang suara
yaitusemakin banyak jaringan, semakin lemah hantarannya dan udara atau gas
paling resonan.
Cara pemeriksaan :
Posisi pasien dapat tidur, duduk, atau berdiri
Pastikan pasien dalam keadaan rileks
Minta pasien untuk nafas dalam agar meningkatakan relaksasi otot
Kuku jari pemeriksa harus pendek, tangan hangat dan kering
Lakukan perkusi secara seksama dan sistematis
Bandingkan atau perhatikan bunyi yang dihasilkan oleh perkusi. Bunyi
timpani mempunyai intensitas keras, nada tinggi, waktu agak lama dan
kualitas seprti drum (lambung). Bunyi resonan mempunyai intensitas
menengah, nada rendah, waktu lama, kualitas bergema (paru normal).
Bunyi hipersonar mempunyai intensitas amat keras, waktu lebih lama,
kuaalitas ledakan (empisema paru). bunyi pekak mempunyai intensitas
lembut sampai menengah, nada tinggi, waktu agak lama, kualitas seprti
petir (hati).
d. Auskultasi
Adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara mendengarkan suara
yang dihasilkan oleh tubuh. Biasanya menggunakan stetoskop. Hal – hal yang
di dengarkan adalah bunyi jantung, suara nafas, dan bising usus.
Penilaian pemeriksaan auskultasi meliputi :
Frekuensi yaitu menghitung jumlah getaran per menit.
Durasi yaitu lam bunyi yang terdengar
Intensitas bunyi yaitu ukuran kuat atau lemahnya suara
Kualitas yaitu warna nada atau variasi suara
Tindakan :
Tindakan :
Tindakan :
Tindakan :
Tindakan :
- Inspeksi : Kelopak mata ada radang atau tidak, simetris atau tidak,
reflek kedip baik/tidak, konjungtiva dan sclera: merah /
konjungtivitis, ikterik/indikasi hiperbilirubin/gangguan pada
hepar, pupil: isokor (normal), miosis/mengecil, pin point/sangat
kecil (suspek SOL), medriasis/melebar/dilatasi (pada pasien
sudah meninggal)
- Palpasi : Tekan secara ringan untuk mengetahui adanya TIO
(tekanan intra okuler) jika ada peningkatan akan teraba keras
(pasien glaucoma/kerusakan dikus optikus), kaji adanya nyeri
tekan
Hidung
Tujuan :
- Untuk mengetahui bentuk dan fungsi hidung
- Untuk mendetahui adanya inflamasi/sinusitis
Tindakan :
Telinga Luar :
Telinga Dalam :
Tindakan :
Tindakan :
Tindakan :
Hepar
- Letakkan tangan pemeriksa dengan posisi ujung jari keatas
pada bagian hipokondria kanan, kira-kira pada interkosta ke
11-12
- Tekan saat pasien inhalasi kira-kira sedalam 4-5 cm, rasakan
adanya organ hepar. Kaji hepatomegali
Limpa
- Metode yang digunakkan seperti pada pemeriksaan hepar
- Anjurkan pasien miring kanan dan letakkan tangan pada
bawah interkosta kiri dan minta pasien mengambil nafas
dalam kemudian tekan saat inhalasi tenntukkan adanya limpa.
- Pada orang dewasa normal tidak teraba
Renalis
- Untuk palpasi ginjal kanan letakkan tangan pada atas dan
bawah perut setinggi Lumbal 3-4 dibawah kosta kanan.
- Untuk palpasi ginjal kiri letakkan tangan setinggi Lumbal 1-2
di bawah kosta kiri.
- Tekan sedalam 4-5 cm setelah pasien inhalasi jika teraba
adanya ginjal rasakan bentuk, kontur, ukuran, dan respon
nyeri
f. Genetalia
Tujuan :
- Untuk mengetahui adanya lesi
- Untuk mengetahui adanya infeksi (gonorea, shipilis, dll)
- Untuk mengetahui kebersihan genetalia
Tindakan :
Genetalialaki-laki :
Inspeksi :Amati penis mengenai kulit, ukuran dan kelainan
lain.Pada penis yang tidak di sirkumsisi buka prepusium dan
amati kepala penis adanya lesi. Amati skrotum apakah ada
hernia inguinal, amati bentuk dan ukuran
Palpasi :Tekan dengan lembut batang penis untuk mengetahui
adanya nyeri. Tekan saluran sperma dengan jari dan ibu jari
Genetaliawanita :
Inspeksi :Inspeksi kuantitas dan penyebaran pubis merata atau
tidak. Amati adanya lesi, eritema, keputihan/candidiasis
Palpasi : Tarik lembut labia mayora dengan jari-jari oleh satu
tangan untuk mengetahui keadaan clitoris, selaput dara,
orifisium dan perineum
g. Rektum dan Anal
Tujuan :
- Untuk mengetahui kondisi rectum dan anus
- Untuk mengetahui adanya massa pada rectal
- Untuk mengetahui adanya pelebaran vena pada rectal/hemoroid
Tindakan :
Tindakan :
ESI Triage Research Team. (2011). Emergency severity index (ESI): A triage tool for
emergency departement care. Volume 4. Boston: Agency for Healthcare Research and
Quality
Hudak, Gallo. (2000). Keperawatan kritis Vol 2. Philadhelphia: J.B Lippincot Company.
Oman, Kathleen, S. (2008). Panduan belajar keperawatan emergensi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37618/4/Chapter%20II.pdf