Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIK KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR MINGGU

(Jl. TB Simatupang No.1, RT.1/RW.5, Ragunan, Kec. Ps Minggu, Kota Jakarta Selatan,
Daerah Khusus Ibukota Jakarta)

Disusun Oleh :

Nama : Diana

NIM : 1610711047

PROGRAM STUDI S1KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

2019
A. KONSEP TRIAGE
I. Definisi Triase
Triase adalah suatu konsep pengkajian yang cepat dan terfokus dengan suatu
cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta fasilitas
yang paling efisien dengan tujuan untuk memilih atau menggolongkan semua pasien
yang memerlukan pertolongan dan menetapkan prioritas penanganannya (Katheleen
dkk, 2008). Triase adalah usaha pemilahan korban sebelum ditangani, berdasarkan
tingkat kegawatdaruratan trauma atau penyakit dengan mempertimbangkan prioritas
penanganan dan sumber daya yang ada (Pusponegoro, 2010). Kata ini berasal dari
bahasa Perancis trier yang berarti memisahkan, memilah dan memilih. Penggagas
awalnya adalah Dominique Jean Larrey, seorang dokter bedah Perancis pada Pasukan
Napoleon. Triase atau triase adalah proses untuk menentukan prioritas perawatan
pasien berdasarkan tingkat keparahan kondisi mereka. Hal ini terutama diperlukan
ketika sumber daya yang ada tidak mencukupi untuk semua pasien. Triase adalah suatu
proses yang mana pasien digolongkan menurut tipe dan tingkat kegawatan kondisinya.

Hal itu diatur untuk mendapatkan :


- Pasien yang benar ke ....
- Tempat yang benar pada ....
- Waktu yang benar dengan ....
- Tersedianya perawatan yang benar ....

II. Tujuan
Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi kondisi mengancam nyawa.
Tujuan triage selanjutnya adalah untuk menetapkan tingkat atau drajat kegawatan yang
memerlukan pertolongan kedaruratan.
Dengan triage tenaga kesehatan akan mampu :
1. Menginisiasi atau melakukan intervensi yang cepat dan tepat kepada pasien
2. Menetapkan area yang paling tepat untuk dapat melaksanakan pengobatan lanjutan
3. Memfasilitasi alur pasien melalui unit gawat darurat dalam proses
penanggulangan/pengobatan gawat darurat
Sistem Triage dipengaruhi oleh :
1. Jumlah tenaga profesional dan pola ketenagaan
2. Jumlah kunjungan pasien dan pola kunjungan pasien
3. Denah bangunan fisik unit gawat darurat
4. Terdapatnya klinik rawat jalan dan pelayanan medis
III. Prinsip Triase
Triase dilakukan tidak lebih dari 60 detik/pasien dan setiap pertolongan harus
dilakukan sesegera mungkin. Pada keadaan bencana masal, korban timbul dalam
jumlah yang tidak sedikit dengan resiko cedera dan tingkat survive yang beragam.
Pertolongan harus disesuaikan dengan sumber daya yang ada, baik sumber daya
manusia maupun sumber daya lainnya. Hal tersebut merupakan dasar dalam memilah
korban untuk memberikan perioritas pertolongan. Pada umumnya penilaian korban
dalam triase dapat dilakukan dengan (Booker, 2008):
• Menilai tanda vital dan kondisi umum korban
• Menilai kebutuhan medis
• Menilai kemungkinan bertahan hidup
• Menilai bantuan yang memungkinkan
• Memprioritaskan penanganan definitif
• Tag Warna

IV. Kategori Triase:


Setelah melakukan penilaian, korban dikategorikan sesuai dengan kondisinya
dan diberi tag warna, sebagai berikut:
a. Merah (Immediate)
Mengancam jiwa atau fungsi vital, perlu resusitasi dan tindakan bedah segera,
mempunyai kesempatan hidup yang besar. Penangan dan oemindahan bersifat
segera yaitu gangguan pada jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi. Contohnya
sumbatan jalan nafas, syok hemoragik, luka terpotong pada tangan dan kaki,
luka bakar tingkat II dan III >25%.
b. Kuning (Delay)
Potensial mengancam nyawa atau fungsi vital bila tidak segera ditangani dalam
jangka waktu singkat. Penanganan dan pemindahan bersifat jangan terlambat.
Contoh pada tulang besar, trauma torak, dan laserasi luas.
c. Hijau (Walking Wounded)
Perlu penganan seperti pelayanan biasa, tidak perlu segera. Penangan dan
pemindahan bersifat terakhir. Contoh luka ringan. Korban dengan kondisi
yang cukup ringan, korban dapat berjalan
d. Hitam (Dead and Dying)
Kemungkinan untuk hidup sangat kecil, luka sangat parah. Hanya perlu terapi
suportif. Contoh henti jantung dan trauma kepala kritis.

Klasifikasi Triase berdasarkan pada keakutan (Iyer, 2004) :

a. Prioritas 1 atau Emergensi


- Pasien dengan kondisi mengancam nyawa, memerlukan evaluasi dan intervensi
segera
- Pasien dibawa ke ruang resusitasi
- Waktu tunggu 0 (Nol) menit
b. Prioritas 2 atau Urgent
- Pasien dengan penyakit yang akut
- Mungkin membutuhkan trolley, kursi roda atau jalan kaki
- Waktu tunggu 30 menit
- Area critical care
c. Prioritas 3 atau Non Urgent
- Pasien yang biasanya dapat berjalan dengan masalah medis yang minimal
- Kondisi yang timbul sudah lama
- Area ambulatory
d. Prioritas 0 atau 4 Kasus kematian
- Tidak ada respon pada segala rangsangan
- Tidak ada respirasi spontan
- Tidak ada bukti aktivitas jantung
- Hilangnya respon pupil terhadap cahaya

Type Triase Di Rumah Sakit

a. Type 1 : Traffic Director or Non Nurse


- Pengkajian minimal terbatas pada keluhan utama dan seberapa sakitnya
- Tidak ada dokumentasi
- Tidak menggunakan protokol
b. Type 2 : Cek Triase Cepat
- Pengkajian cepat dengan melihat yang dilakukan perawat beregristrasi atau
dokter
- Termasuk riwayat kesehatan yang berhubungan dengan keluhan utama
- untuk meyakinkan bahwa pasien yang lebih serius atau cedera mendapat
perawatan pertama
c. Type 3 : Comprehensive Triase
- Dilakukan oleh perawat dengan pendidikan yang sesuai dan berpengalaman
- 4 sampai 5 sistem katagori
- Sesuai protokol

V. Dokumentasi Triase
Pada tahap pengkajian, pada proses triase yang mencaup dokumentasi adalah
(ENA, 2005) :
- Waktu dan datangnya alat transportasi
- Keluhan utama
- Pengkodean prioritas atau keakuratan perawatan
- Penentuan pemberi perawatan kesehatan yang tepat
- Penempatan di area pengobatan yang tepat
- Permualaan intervensi (misalnya prosedur diagnostik EKG, AGD)

Proses dokumentasi traise menggunakan sistem SOPIE, yaitu sebagai


berikut (ENA, 2005):

- S: data objektif
- O: data objektif
- A: analisa data yang mendasari penentuan diagniosa keperawatan
- P: rencana keperawatan
- I: Implementasi, termasuk tes diagnostik
- E: evaluasi atau respon pasien terhadap pengobatan dan perawatan yang diberikan

VI. Emergency Severity Index (ESI)


Emergency Severity Index (ESI) adalah kategori algoritma lima triase yang
membagi keadaan darurat pasien dari keadaan aktual dan kebutuhan pasien (ESI
Triage Team, 2004). Standar lima level tersebut adalah resuscitation (1), emergency
(2), urgent (3), less urgent (4), serta no urgent (5).
B. PRIMARY SURVEY
Survei primer atau biasa disebut primary survey adalah suatu proses melakukan
penilaian keadaan korban gawat darurat dengan menggunakan prioritas ABCDE untuk
menentukan kondisi patofisiologis korban dan pertolongan yang dibutuhkan dalam waktu
emasnya. Penilaian keadaan korban gawat darurat dan prioritas terapi dilakukan
berdasarkaan jenis perlukaan, stabilitas tanda - tanda vital.
Adapun prioritas ABCDE yaitu :
1. Airway,menjaga airway dengan kontrol servikal (cervical spinecontrol)
Airway manajemen merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan
membutuhkan keterampilan yang khusus dalam penatalaksanaan keadaan gawat
darurat, oleh karena itu hal pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas.
Menurut ATLS (Advanced Trauma Life Support) 2004, Kematian-kematian dini
karena masalah airway seringkali masih dapat dicegah, dan dapat disebabkan oleh :
a. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway
b. Ketidakmampuan untuk membuka airway
c. Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru
d. Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang
e. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi
f. Aspirasi isi lambung

Teknik-teknik mempertahankan airway :

a. Head tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan horizontal,
kecuali pada pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala pasien harus
direndahkan dengan posisi semilateral untuk memudahkan drainase lendir, cairan
muntah atau benda asing. Kepala diekstensikan dengan cara meletakkan satu
tangan di bawah leher pasien dengan sedikit mengangkat leher ke atas. Tangan lain
diletakkan pada dahi depan pasien sambil mendorong / menekan ke belakang.
Posisi ini dipertahankan sambil berusaha dengan memberikan inflasi bertekanan
positif secara intermittena (Alkatri, 2007).
b. Chin lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian secara
hati – hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari tangan
yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut, ibu jari
dapat juga diletakkan di belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara bersamaan,
dagu dengan hati – hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan
hiperekstensi leher. Manuver ini berguna pada korban trauma karena tidak
membahayakan penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang leher atau
mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera
spinal.
c. Jaw thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada mandibula,
jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus mandibula, jari
tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus mandibula sedangkan ibu
jari kanan dan kiri berada pada mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat
ke atas melewati molar pada maxila (Arifin, 2012)

d. Oropharingeal Airway (OPA)


Airway orofaringeal digunakan untuk membebaskan jalan napas pada pasien
yang kehilangan refleks jalan napas bawah (Kene, davis, 2007).
Teknik yang dapat dilakukan adalah : Posisikan kepala pasien lurus dengan
tubuh. Kemudian pilih ukuran pipa orofaring yang sesuai dengan pasien. Hal ini
dilakukan dengan cara menyesuaikan ukuran pipa oro-faring dari tragus (anak
telinga) sampai ke sudut bibir. Masukkan pipa orofaring dengan tangan kanan,
lengkungannya menghadap ke atas (arah terbalik), lalu masukkan ke dalam rongga
mulut. Setelah ujung pipa mengenai palatum durum putar pipa ke arah 180 drajat.
Kemudian dorong pipa dengan cara melakukan jaw thrust dan kedua ibu jari tangan
menekan sambil mendorong pangkal pipa oro-faring dengan hati-hati sampai
bagian yang keras dari pipa berada diantara gigi atas dan bawah, terakhir lakukan
fiksasi pipa orofaring. Periksa dan pastikan jalan nafas bebas. Fiksasi pipa oro-
faring dengan cara memplester pinggir atas dan bawah pangkal pipa, rekatkan
plester sampai ke pipi pasien (Arifin, 2012).
e. Nasopharingeal Airway
Pada penderita yang masih memberikan respon, airway nasofaringeal lebih
disukai dibandingkan airway orofaring karena lebih bisa diterima dan lebih kecil
kemungkinannya merangsang muntah (ATLS, 2004).
Teknik yang dapat dilakukan adalah : Posisikan kepala pasien lurus dengan
tubuh. Pilihlah ukuran pipa naso-faring yang sesuai dengan cara menyesuaikan
ukuran pipa naso-faring dari lubang hidung sampai tragus (anak telinga). Pipa
nasofaring diberi pelicin dengan KY jelly (gunakan kasa yang sudah diberi KY
jelly). Masukkan pipa naso-faring dengan cara memegang pangkal pipa naso-
faring dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke arah mulut (ke bawah).
Masukkan ke dalam rongga hidung dengan perlahan sampai batas pangkal pipa.
Patikan jalan nafas sudah bebas.

f. Airway definitif
Terdapat tiga jenis airway definitif yaitu : pipa orotrakeal, pipa nasotrakeal, dan
airway surgical (krikotiroidotomi atau trakeostomi). Penentuan pemasangan
airway definitif didasarkan pada penemuan- penemuan klinis antara lain (ATLS,
2004):
1. Adanya apnea
2. Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara-cara yang
lain
3. Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau
vomitus
4. Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway
5. Adanya cedera kepala yang membutuhkan bantuan nafas (GCS < 8)
6. Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan
Pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah

Intubasi orotrakeal dan nasotrakeal merupakan cara yang paling sering


digunakan. Adanya kemungkinan cedera servikal merupakan hal utama yang harus
diperhatikan pada pasien yang membutuhkan perbaikan airway. Faktor yang paling
menentukan dalam pemilihan intubasi orotrakeal atau nasotrakeal adalah
pengalaman dokter. Kedua teknik tersebut aman dan efektif apabila dilakukan
dengan tepat. Ketidakmampuan melakukan intubasi trakea merupakan indikasi
yang jelas untuk melakukan airway surgical.

Apabila pernafasan membaik, jaga agar jalan nafas tetap terbuka dan periksa
dengan cara (Haffen, Karren, 1992) :

1. Lihat (look), melihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan
dinding dada yang adekuat.
2. Dengar (listen), mendengar adanya suara pernafasan pada kedua sisi dada.
3. Rasa (feel), merasa adanya hembusan nafas.
2. Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi
Oksigen sangat penting bagi kehidupan. Sel-sel tubuh memerlukan pasokan
konstan O2 yang digunakan untuk menunjang reaksi kimiawi penghasil energi, yang
menghasilkan CO2 yang harus dikeluarkan secara terus-menerus (Sherwood, 2001)..
Pada keadaan normal, oksigen diperoleh dengan bernafas dan diedarkan dalam aliran
darah ke seluruh tubuh (Smith, 2007). Airway yang baik tidak dapat menjamin pasien
dapat bernafas dengan baik pula (Dolan, Holt, 2008). Menjamin terbukanya airway
merupakan langkah awal yang penting untuk pemberian oksigen.
Apabila pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik bag-
valve-face-mask merupakan cara yang efektif, teknik ini lebih efektif apabila dilakukan
oleh dua orang dimana kedua tangan dari salah satu petugas dapat digunakan untuk
menjamin kerapatan yang baik (ATLS, 2004). Cara melakukan pemasangan face-mask
(Arifin, 2012):
a. Posisikan kepala lurus dengan tubuh
b. Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila sungkup muka
dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada kebocoran)
c. Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)
d. Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus mandibula, jari
manis dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk memegang
dan memfiksasi sungkup muka
e. Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala pasien
f. Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah dipasangkan
g. Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan kanan dan kiri
memegang mandibula dan sungkup muka bersama-sama)
h. Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)
i. Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi sungkup muka,
sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang bag (kantong) reservoir
sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag)

Sedangkan apabila pernafasan tidak membaik dengan terbukanya airway,


penyebab lain harus dicari. Penilaian harus dilakukan dengan melakukan inspeksi,
palpasi, perkusi dan auskultasi pada toraks
3. Circulation dengan kontrol perdarahan (hemorrage control)
Perdarahan merupakan penyebab kematian setelah trauma (Dolan, Holt, 2008).
Oleh karena itu penting melakukan penilaian dengan cepat status hemodinamik dari
pasien, yakni dengan menilai tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi (ATLS,2004).
a. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun perfusi otak juga berkurang yang menyebabkan
penurunan tingkat kesadaran.
b. Warna kulit
Wajah yang keabu-abuan dan kulit ektremitas yang pucat merupakan tanda
hipovolemia.
c. Nadi
Pemeriksaan nadi dilakukan pada nadi yang besar seperti a. femoralis dan a. karotis
(kanan kiri), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama.
Dalam keadaan darurat yang tidak tersedia alat-alat, maka secara cepat kita
dapat memperkirakan tekanan darah dengan meraba pulsasi (Haffen, Karren, 1992):
a. Jika teraba pulsasi pada arteri radial, maka tekanan darah minimal 80 mmHg sistol
b. Jika teraba pulsasi pada arteri brachial, maka tekanan darah minimal 70 mmHg
sistol
c. Jika teraba pulsasi pada arteri femoral, maka tekanan darah minimal 70 mmHg
sistol
d. Jika teraba pulsasi pada arteri carotid, maka tekanan darah minimal 60 mmHg
sistol
4. Disability, status neurologis
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan
neurologis secara cepat. Hal yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi
pupil. Tanda-tanda lateralisasi dan tingkat (level) cedera spina. Cara cepat dalam
mengevaluasi status neurologis yaitu dengan menggunakan AVPU, sedangkan GSC
(Glasgow Coma Scale) merupakan metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi status
neurologis, dan dapat dilakukan pada saat survey sekunder. Adapun AVPU adalah :
A : Alert
V : Respon to verbal
P : Respon to pain
U : Unrespon
GSC (Glasgow Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana untuk menilai
tingkat kesadaran pasien.
a. Menilai “eye opening” penderita (skor 4-1)
Perhatikan apakah penderita :
1. Membuka mata spontan
2. Membuka mata jika dipanggil,diperintah atau dibangunkan
3. Membuka mata jika diberi rangsangan nyeri (dengan menekan ujung kuku jari
tangan)
4. Tidak memberikan respon
b. Menilai “best verbal response” penderita (skor 5-1)
Perhatikan apakah penderita :
1. Orientasi baik dan mampu berkomunikasi
2. Disorientasi atau bingung
3. Mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk kalimat
4. Mengerang (mengucapkan kata -kata yang tidak jelas artinya)
5. Tidak memberikan respon
c. Menilai “best motor respon” penderita (skor 6-1)
Perhatikan apakah penderita :
1. Melakukan gerakan sesuai perintah
2. Dapat melokalisasi rangsangan nyeri
3. Menghindar terhadap rangsangan nyeri
4. Fleksi abnormal (decorticated)
5. Ektensi abnormal (decerebrate)Tidak memberikan respon

Range skor : 3-15 (semakin rendah skor yang diperoleh, semakin jelek kesadaran).
Penurunan tingkat kesadaran perlu diperhatikan pada empat kemungkinan penyebab
(Pre-Hospital Trauma Life Support Commitee 2002) :
a. Penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak
b. Trauma pada sentral nervus sistem
c. Pengaruh obat-obatan dan alkohol
d. Gangguan atau kelainan metabolik
5. Exposure/environmental control, membuka baju penderita, tetapi cegah hipotermia
Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka
keseluruhan pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa
punggung dengan memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti
penderita dengan selimut kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan diberikan
cairan intra-vena yang sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak hipotermi
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 1999. Triage Officers Course. Singapore : Departement of Emergency
Medicine Singapore General Hospital
Anonimous, 2002. Disaster Medicine. Philadelphia USA : Lippincott Williams
ENA, 2005. Emergency Care. USA : WB Saunders Company
Iyer, P. 2004. Dokumentasi Keperawatan : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan.
Jakarta : EGC
Oman, Kathleen S. 2008. Panduan Belajar Keperawatan Emergensi.Jakarta : EGC
Wijaya, S. 2010. Konsep Dasar Keperawatan Gawat Darurat.Denpasar : PSIK FK
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37618/4/Chapter%20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai