Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


DI TRIAGE IGD RSUP SANGLAH DENPASAR

OLEH:
MADE ARYAWA
PUTRA NIM. 1502116005

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
KONSEP TRIAGE KEPERAWATAN
GAWAT DARURAT

A. Pengertian

Triage adalah suatu konsep pengkajian yang cepat dan terfokus dengan suatu
cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta
fasilitas yang paling efisien dengan tujuan untuk memilih atau menggolongkan
semua pasien yang memerlukan pertolongan dan menetapkan prioritas
penanganannya (Kathleen dkk, 2008).
Triage adalah usaha pemilahan korban sebelum ditangani, berdasarkan
tingkat kegawatdaruratan trauma atau penyakit dengan mempertimbangkan
prioritas penanganan dan sumber daya yang ada.
Triage adalah suatu sistem pembagian/klasifikasi prioritas klien berdasarkan

berat ringannya kondisi klien/kegawatannya yang memerlukan tindakan segera.


Dalam triage, perawat dan dokter mempunyai batasan waktu (respon time) untuk
mengkaji keadaan dan memberikan intervensi secepatnya yaitu ≤ 10 menit.
Triase berasal dari bahasa prancis trier bahasa inggris triage danditurunkan
dalam bahasa Indonesia triase yang berarti sortir. Yaituproses khusus memilah
pasien berdasar beratnya cedera ataupenyakit untuk menentukan jenis perawatan
gawat darurat. Kiniistilah tersebut lazim digunakan untuk menggambarkan suatu
konseppengkajian yang cepat dan berfokus dengan suatu cara
yangmemungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan sertafasilitas

yang paling efisien terhadap 100 juta orang yang memerlukanperawatan di UGD
setiap tahunnya.(Pusponegoro, 2010)

B. Prinsip Dan Tipe Triage


Di rumah sakit, didalam triase mengutamakan perawatan pasien berdasarkan
gejala. Perawat triase menggunakan ABCD keperawatan seperti jalan nafas,
pernapasan dan sirkulasi, serta warna kulit, kelembaban, suhu, nadi, respirasi,
tingkat kesadaran dan inspeksi visual untuk luka dalam, deformitas kotor dan
memar untuk memprioritaskan perawatan yang diberikan kepada pasien di ruang

gawat darurat. Perawat memberikan prioritas pertama untuk pasien gangguan


jalan nafas, bernafas atau sirkulasi terganggu. Pasien-pasien ini mungkin memiliki
kesulitan bernapas atau nyeri dada karena masalah jantung dan mereka menerima
pengobatan pertama.Pasien yang memiliki masalah yang sangat mengancam
kehidupan diberikan pengobatan langsung bahkan jika mereka diharapkan untuk

mati atau membutuhkan banyak sumber daya medis. (Bagus,2007).


Menurut Brooker, 2008. Dalam prinsip triase diberlakukan system prioritas,
prioritas adalah penentuan/penyeleksian mana yang harus didahulukan mengenai
penanganan yang mengacu pada tingkat ancaman jiwa yang timbul dengan seleksi
pasien berdasarkan : 1) Ancaman jiwa yang dapat mematikan dalam hitungan
menit. 2) Dapat mati dalam hitungan jam. 3) Trauma ringan. 4) Sudah
meninggal.Pada umumnya penilaian korban dalam triage dapat dilakukan dengan:
1. Menilai tanda vital dan kondisi umum korban
2. Menilai kebutuhan medis

3. Menilai kemungkinan bertahan hidup


4. Menilai bantuan yang memungkinkan
5. Memprioritaskan penanganan definitive
6. Tag Warna

a. Prinsip dalam pelaksanaan triase :


a) Triase seharusnya dilakukan segera dan tepat waktu
Kemampuan berespon dengan cepat terhadap kemungkinan penyakit yang
mengancam kehidupan atau injuri adalah hal yang terpenting di departemen

kegawatdaruratan.
b) Pengkajian seharusnya adekuat dan akurat
Intinya, ketetilian dan keakuratan adalah elemen yang terpenting dalam proses
interview.
c) Keputusan dibuat berdasarkan pengkajian
Keselamatan dan perawatan pasien yang efektif hanya dapat direncanakan bila
terdapat informasi yang adekuat serta data yang akurat.
d) Melakukan intervensi berdasarkan keakutan dari kondisi
Tanggung jawab utama seorang perawat triase adalah mengkaji secara akurat

seorang pasien dan menetapkan prioritas tindakan untuk pasien tersebut. Hal
tersebut termasuk intervensi terapeutik, prosedur diagnostic dan tugas terhadap
suatu tempat yang dapat diterima untuk suatu pengobatan.
e) Tercapainya kepuasan pasien
Perawat triase seharusnya memenuhi semua yang ada di atas saat

menetapkan hasil secara serempak dengan pasien


Perawat membantu dalam menghindari keterlambatan penanganan yang
dapat menyebabkan keterpurukan status kesehatan pada seseorang yang
sakit dengan keadaan kritis.
Perawat memberikan dukungan emosional kepada pasien dan keluarga
atau temannya.
“Time Saving is Life Saving (respon time diusahakan sesingkat mungkin), The
Right Patient, to The Right Place at The Right Time, with The Right Care
Provider. “

Pengambilan keputusan dalam proses triage dilakukan berdasarkan:


1. Ancaman jiwa mematikan dalam hitungan menit
2. Dapat mati dalam hitungan jam
3. Trauma ringan
4. Sudah meninggal
(Making the Right Decision A Triage Curriculum, 1995: page 2-3)

b. Tipe Triage Di Rumah Sakit

1. Tipe 1 : Traffic Director or Non Nurse


a) Hampir sebagian besar berdasarkan system triage
b) Dilakukan oleh petugas yang tak berijasah
c) Pengkajian minimal terbatas pada keluhan utama dan seberapa sakitnya
d) Tidak ada dokumentasi
e) Tidak menggunakan protocol
2. Tipe 2 : Cek Triage Cepat
a) Pengkajian cepat dengan melihat yang dilakukan perawat beregristrasi atau
dokter

b) Termasuk riwayat kesehatan yang berhubungan dengan keluhan utama


c) Evaluasi terbatas
d) Tujuan untuk meyakinkan bahwa pasien yang lebih serius atau cedera
mendapat perawatan pertama
3. Tipe 3 : Comprehensive Triage

a) Dilakukan oleh perawat dengan pendidikan yang sesuai dan berpengalaman


b) 4 sampai 5 sistem katagori
c) Sesuai protocol

Beberapa tipe sistem triagelainnya :


1. Traffic Director
Dalam sistem ini, perawat hanya mengidentifikasi keluhan utama dan memilih
antara status “mendesak” atau “tidak mendesak”.Tidak ada tes diagnostik
permulaan yang diintruksikan dan tidak ada evaluasi yang dilakukan sampai tiba

waktu pemeriksaan.
2. Spot Check
Pada sistem ini, perawat mendapatkan keluhan utama bersama dengan data
subjektif dan objektif yang terbatas, dan pasien dikategorikan ke dalam salah satu
dari 3 prioritas pengobatan yaitu “gawat darurat”, “mendesak”, atau “ditunda”.
Dapat dilakukan beberapa tes diagnostik pendahuluan, dan pasien ditempatkan di
area perawatan tertentu atau di ruang tunggu.Tidak ada evaluasi ulang yang
direncanakan sampai dilakukan pengobatan.
3. Comprehensive

Sistem ini merupakan sistem yang paling maju dengan melibatkan dokter dan
perawat dalam menjalankan peran triage.Data dasar yang diperoleh meliputi
pendidikan dan kebutuhan pelayanan kesehatan primer, keluhan utama, serta
informasi subjektif dan objektif. Tes diagnostik pendahuluan dilakukan dan pasien
ditempatkan di ruang perawatan akut atau ruang tunggu, pasien harus dikaji ulang
setiap 15 sampai 60 menit (Iyer, 2004).
C. Klasifikasi Dan Penentuan Prioritas
Berdasarkan Oman (2008), pengambilan keputusan triage didasarkan pada
keluhan utama, riwayat medis, dan data objektif yang mencakup keadaan umum
pasien serta hasil pengkajian fisik yang terfokus. Menurut Comprehensive

Speciality Standard, ENA tahun 1999, penentuan triase didasarkan pada


kebutuhan fisik, tumbuh kembang dan psikososial selain pada factor-faktor yang
mempengaruhi akses pelayanan kesehatan serta alur pasien lewat sistem
pelayanan kedaruratan.Hal-hal yang harus dipertimbangkan mencakup setiap
gejala ringan yang cenderung berulang atau meningkat keparahannya .
Prioritas adalah penentuan mana yang harus didahulukan mengenai penanganan
dan pemindahan yang mengacu pada tingkat ancaman jiwa yang timbul.Beberapa
hal yang mendasari klasifikasi pasien dalam sistem triage adalah kondisi klien
yang meliputi :

1. Gawat, adalah suatu keadaan yang mengancam nyawa dan kecacatan yang
memerlukan penanganan dengan cepat dan tepat
2. Darurat, adalah suatu keadaan yang tidak mengancam nyawa tapi memerlukan
penanganan cepat dan tepat seperti kegawatan
3. Gawat darurat, adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa disebabkan oleh
gangguan ABC (Airway / jalan nafas, Breathing / pernafasan, Circulation /
sirkulasi), jika tidak ditolong segera maka dapat meninggal / cacat (Wijaya, 2010)
Berdasarkan prioritas perawatan dapat dibagi menjadi 4 klasifikasi :

Tabel 1. Klasifikasi Triage

KLASIFIKASI KETERANGAN

Gawat darurat (P1) Keadaan yang mengancam nyawa / adanya


gmainsaglgnuyan AcBaCrdiacn
pearlruretsint,dakpaensuerunanreg , kesadaran,
trauma mayor dengan perdarahan hebat

Gawat tidak darurat (P2) Keadaanmengancamnyawatetapitidak


memerlukantindakandarurat.Setelah
dilakukan diresusitasi maka
ditindaklanjuti oleh dokter spesialis.
Misalnya; pasien kanker tahap lanjut,
fraktur, sickle cell dan lainnya

Darurat tidak gawat (P3) Keadaan yang tidak mengancam nyawa tetapi
memerlukan tindakan darurat. Pasien sadar, tidak
ada gangguan ABC dan dapat langsung
diberikan terapi definitive.
Untuk tindak lanjut dapat ke poliklinik, misalnya
laserasi, fraktur minor / tertutup,
sistitis, otitis media dan lainnya

Tidak gawat tidak darurat (P4) Keadaan tidak mengancam nyawa dan tidak
memerlukan tindakan gawat. Gejala dan
tandaklinisringan/asimptomatis.
Misalnya penyakit kulit, batuk, flu, dan
sebagainya
Tabel 2. Klasifikasi berdasarkan Tingkat Prioritas (Labeling)

KLASIFIKASI KETERANGAN

Prioritas I (merah) Mengancam jiwa atau fungsi vital, perlu resusitasi dan
tindakan bedah segera, mempunyai kesempatan hidup yang besar. Penanganan dan pe

Prioritas II (kuning) Potensial mengancam nyawa atau fungsi vital bila tidak
segera ditangani dalam jangka waktu singkat. Penanganan dan pemindahan bersifat ja

Prioritas III (hijau) Perlu penanganan seperti pelayanan biasa, tidak perlu
segera.Penanganandanpemindahanbersifat terakhir. Contoh luka superficial, luka-luka

Prioritas 0 (hitam) Kemungkinan untuk hidup sangat kecil, luka sangat


parah. Hanya perlu terapi suportif. Contoh henti jantung kritis, trauma kepala kritis
Tabel 3. Klasifikasi berdasarkan Tingkat Keakutan(Iyer, 2004).

TINGKAT KEAKUTAN

Kelas I Pemeriksaan fisik rutin (misalnya memar minor); dapat menunggu lama tanpa bahaya

Kelas II Nonurgen / tidak mendesak (misalnya ruam, gejala


flu); dapat menunggu lama tanpa bahaya

Kelas III Semi-urgen / semi mendesak (misalnya otitis media);


dapatmenunggusampai2jamsebelum pengobatan

Kelas IV Urgen / mendesak (misalnya fraktur panggul, laserasi


berat, asma); dapat menunggu selama 1 jam

Kelas V Gawat darurat (misalnya henti jantung, syok); tidak


boleh ada keterlambatan pengobatan ; situasi yang mengancam hidup

D. Proses Triage
Proses triage dimulai ketika pasien masuk ke pintu UGD. Perawat triage
harus mulai memperkenalkan diri, kemudian menanyakan riwayat singkat dan
melakukan pengkajian, misalnya melihat sekilas kearah pasien yang berada di
brankar sebelum mengarahkan ke ruang perawatan yang tepat.
Pengumpulan data subjektif dan objektif harus dilakukan dengan cepat, tidak
lebih dari 5 menit karena pengkajian ini tidak termasuk pengkajian perawat
utama. Perawat triage bertanggung jawab untuk menempatkan pasien di area
pengobatan yang tepat; misalnya bagian trauma dengan peralatan khusus, bagian
jantung dengan monitor jantung dan tekanan darah, dll. Tanpa memikirkan
dimana pasien pertama kali ditempatkan setelah triage, setiap pasien tersebut
harus dikaji ulang oleh perawat utama sedikitnya sekali setiap 60 menit.
Untuk pasien yang dikategorikan sebagai pasien yang mendesak atau gawat
darurat, pengkajian dilakukan setiap 15 menit / lebih bila perlu.Setiap pengkajian
ulang harus didokumentasikan dalam rekam medis.Informasi baru dapat
mengubah kategorisasi keakutan dan lokasi pasien di area pengobatan.Misalnya
kebutuhan untuk memindahkan pasien yang awalnya berada di area pengobatan
minor ke tempat tidur bermonitor ketika pasien tampak mual atau mengalami
sesak nafas, sinkop, atau diaforesis.(Iyer, 2004).
Bila kondisi pasien ketika datang sudah tampak tanda - tanda objektif bahwa
ia mengalami gangguan pada airway, breathing, dan circulation, maka pasien

ditangani terlebih dahulu. Pengkajian awal hanya didasarkan atas data objektif
dan data subjektif sekunder dari pihak keluarga. Setelah keadaan pasien membaik,
data pengkajian kemudian dilengkapi dengan data subjektif yang berasal langsung
dari pasien (data primer)

Alur dalam proses triase:


1. Pasien datang diterima petugas / paramedis UGD.
2. Diruang triase dilakukan anamnese dan pemeriksaan singkat dan cepat (selintas)
untuk menentukan derajat kegawatannya oleh perawat.
3. Bila jumlah penderita/korban yang ada lebih dari 50 orang, maka triase dapat

dilakukan di luar ruang triase (di depan gedung IGD)


4. Penderita dibedakan menurut kegawatnnya dengan memberi kodewarna:
1) Segera-Immediate (merah). Pasien mengalami cedera mengancam jiwa yang
kemungkinan besar dapat hidup bila ditolong segera. Misalnya:Tension
pneumothorax, distress pernafasan (RR< 30x/mnt), perdarahan internal, dsb.
2) Tunda-Delayed (kuning) Pasien memerlukan tindakan defintif tetapi tidak ada
ancaman jiwa segera. Misalnya : Perdarahan laserasi terkontrol, fraktur tertutup
pada ekstrimitas dengan perdarahan terkontrol, luka bakar <25% luas permukaan
tubuh, dsb.

3) Minimal (hijau). Pasien mendapat cedera minimal, dapat berjalan dan menolong
diri sendiri atau mencari pertolongan. Misalnya : Laserasi minor, memar dan
lecet, luka bakar superfisial.
4) Expextant (hitam) Pasien mengalami cedera mematikan dan akan meninggal
meski mendapat pertolongan. Misalnya : Luka bakar derajat 3 hampir diseluruh
tubuh, kerusakan organ vital, dsb.
5) Penderita/korban mendapatkan prioritas pelayanan dengan urutan warna :
merah, kuning, hijau, hitam.
6) Penderita/korban kategori triase merah dapat langsung diberikan pengobatan

diruang tindakan UGD. Tetapi bila memerlukan tindakan medis lebih lanjut,
penderita/korban dapat dipindahkan ke ruang operasi atau dirujuk ke rumah sakit
lain.
7) Penderita dengan kategori triase kuning yang memerlukan tindakan medis lebih
lanjut dapat dipindahkan ke ruang observasi dan menunggu giliran setelah
pasien

dengan kategori triase merah selesai ditangani.


8) Penderita dengan kategori triase hijau dapat dipindahkan ke rawat jalan, atau
bila sudah memungkinkan untuk dipulangkan, maka penderita/korban dapat
diperbolehkan untuk pulang.
9) Penderita kategori triase hitam dapat langsung dipindahkan ke kamar jenazah.
(Rowles, 2007).

E. Dokumentasi Triage
Dokumen adalah suatu catatan yang dapat dibuktikan atau

dijadikan bukti dalam persoalan hukum. Sedangkan pendokumentasian adalah


pekerjaan mencatat atau merekam peristiwa dan objek maupun aktifitas
pemberian jasa (pelayanan) yang dianggap berharga dan penting
Dokumentasi asuhan dalam pelayanan keperawatan adalah bagian dari
kegiatan yang harus dikerjakan oleh perawat setelah memberi asuhan kepada
pasien. Dokumentasi merupakan suatu informasi lengkap meliputi status
kesehatan pasien, kebutuhan pasien, kegiatan asuhan keperawatan serta respons
pasien terhadap asuhan yang diterimanya. Dengan demikian dokumentasi
keperawatan mempunyai porsi yang besar dari catatan klinis pasien yang

menginformasikan faktor tertentu atau situasi yang terjadi selama asuhan


dilaksanakan. Disamping itu catatan juga dapat sebagai wahana komunikasi dan
koordinasi antar profesi (Interdisipliner) yang dapat dipergunakan untuk
mengungkap suatu fakta aktual untuk dipertanggungjawabkan.
Dokumentasi asuhan keperawatan merupakan bagian integral dari asuhan
keperawatan yang dilaksanakan sesuai standar. Dengan demikian pemahaman
dan ketrampilan dalam menerapkan standar dengan baik merupakan suatu hal
yang mutlak bagi setiap tenaga keperawatan agar mampu membuat dokumentasi
keperawatan secara baik dan benar.
Dokumentasi yang berasal dari kebijakan yang mencerminkan standar
nasional berperan sebagai alat manajemen resiko bagi perawat UGD. Hal tersebut
memungkinkan peninjau yang objektif menyimpulkan bahwa perawat sudah
melakukan pemantauan dengan tepat dan mengkomunikasikan perkembangan

pasien kepada tim kesehatan. Pencatatan, baik dengan computer, catatan naratif,
atau lembar alur harus menunjukkan bahwa perawat gawat darurat telah
melakukan pengkajian dan komunikasi, perencanaan dan kolaborasi,
implementasi dan evaluasi perawatan yang diberikan, dan melaporkan data
penting pada dokter selama situasi serius. Lebih jauh lagi, catatan tersebut harus
menunjukkan bahwa perawat gawat darurat bertindak sebagai advokat pasien
ketika terjadi penyimpangan standar perawatan yang mengancam keselamatan
pasien. (Anonimous,2002).
Proses dokumentasi triage menggunakan sistem SOAPIE, sebagai berikut :

1. S : data subjektif
2. O : data objektif
3. A : analisa data yang mendasari penentuan diagnosa keperawatan
4. P : rencana keperawatan
5. I : implementasi, termasuk di dalamnya tes diagnostic
6. E : evaluasi / pengkajian kembali keadaan / respon pasien terhadap
pengobatan dan perawatan yang diberikan (ENA, 2005)
LAPORAN PENDAHULUAN
STROKE NON HEMORAGIK (SNH)

I. Konsep Teori

A. Definisi
Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang
cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala
yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian
tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler. (Hendro Susilo, 2000).
Sedangkan menurut Pahria, (2004) Stroke Non Haemoragik adalah cedera
otak yang berkaitan dengan obstruksi aliran darah otak terjadi akibat
pembentukan trombus di arteri cerebrum atau embolis yang mengalir ke otak
dan tempat lain di tubuh.

Stroke nonhemoragik adalah stroke yang disebabkan karena sumbatan


pada arteri sehingga suplai glukosa dan oksigen ke otak berkurang dan terjadi
kematian sel atau jaringan otak yang disuplai.

B. Etiologi
Menurut Baughman, C Diane.dkk (2000) stroke biasanya di akibatkan dari
salah satu tempat kejadian, yaitu:
1. Trombosis (Bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher).
2. Embolisme serebral (Bekuan darah atau material lain yang di bawa ke otak

dari bagian otak atau dari bagian tubuh lain).


3. Hemorargik cerebral (Pecahnya pembuluh darah serebral dengan perlahan
ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak). Akibatnya adalah
gangguan suplai darah ke otak , menyebabkan kehilangan gerak, pikir,
memori, bicara, atau sensasi baik sementara atau permanen.
Penyebab lain terjadinya stroke non hemoragik adalah :
1. Aterosklerosis
Terbentuknya aterosklerosis berawal dari endapan ateroma (endapan
lemak) yang kadarnya berlebihan dalam pembuluh darah. Selain dari

endapan lemak, aterosklerosis ini juga mungkin karena arteriosklerosis,


yaitu penebalan dinding arteri (tunika intima) karena timbunan kalsium
yang kemudian mengakibatkan bertambahnya diameter pembuluh darah
dengan atau tanpa mengecilnya pembuluh darah.
2. Infeksi

Peradangan juga menyebabkan menyempitnya pembuluh darah,


terutama yang menuju ke otak.
3. Obat-obatan
Ada beberapa jenis obat-obatan yang justru dapat menyebabkan stroke
seperti: amfetamin dan kokain dengan jalan mempersempit lumen
pembuluh darah ke otak.
4. Hipotensi
Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba bisa menyebabkan berkurangnya
aliran darah ke otak, yang biasanya menyebabkan seseorang pingsan.

Stroke bisa terjadi jika hipotensi ini sangat parah dan menahun.
Sedangkan faktor resiko pada stroke (Baughman, C Diane.dkk, 2000):
1. Hipertensi merupakan faktor resiko utama.
2. Penyakit kardiovaskuler (Embolisme serebral mungkin berasal dari
jantung).
3. Kadar hematokrit normal tinggi (yang berhubungan dengan infark
cerebral).
4. Kontrasepsi oral, peningkatan oleh hipertensi yang menyertai usia di
atas 35 tahun dan kadar esterogen yang tinggi.

5. Penurunan tekanan darah yang berlebihan atau dalam jangka panjang


dapat menyebabkan iskhemia serebral umum.
6. Penyalahgunaan obat tertentu pada remaja dan dewasa muda.
7. Konsultan individu yang muda untuk mengontrol lemak darah, tekanan
darah, merokok kretek dan obesitas.
8. Mungkin terdapat hubungan antara konsumsi alkohol dengan stroke.

C. Manifestasi klinik
Menurut Smeltzer dan Bare, (2002) Stroke menyebabkan berbagai deficit

neurologik, gejala muncul akibat daerah otak tertentu tidak berfungsi akibat
terganggunya aliran darah ke tempat tersebut, bergantung pada lokasi lesi
(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak
adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Gejala
tersebut antara lain :

a. Umumnya terjadi mendadak, ada nyeri kepala


b. Parasthesia, paresis, Plegia sebagian badan
c. Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan
control volunter terhadap gerakan motorik. Di awal tahapan stroke,
gambaran klinis yang muncul biasanya adalah paralysis dan hilang atau
menurunnya refleks tendon dalam.
d. Dysphagia
e. Kehilangan komunikasi
f. Gangguan persepsi

g. Perubahan kemampuan kognitif dan efek psikologis


h. Disfungsi Kandung Kemih

D. Patofisiologi
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak.
Luasnya infark hergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya
pembuluh daralidan adekdatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai
oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah
(makin lambat atau cepat) pada gangguan lokal (trombus, emboli, perdarahan,

dan spasme vaskular) atau karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan
pant dan jantung). Aterosklerosis sering sebagai faktor penyebab infark pad-a
otak. Trombus dapat berasal dari plak arterosklerotik, atau darah dapat beku
pada area yang stenosis, tempat aliran darah mengalami pelambatan atau
terjadi turbulensi (Muttaqin, 2008).
Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai
emboli dalam aliran darah. Trombus mengakihatkan iskemia jaringan otak
yang disuplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan dan edema dan
kongesti di sekitar area. Area edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih

besar daripada area infark itu sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa
jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari. Dengan berkurangnya edema
klien mulai menunjukkan perbaikan. Oleh karena trombosis biasanya tidak
fatal„ jika tidak terjadi perdarahan masif. Oklusi pada pembuluh darah
serebral oleh embolus menyebabkan edema dan nekrosis diikuti trombosis.

Jika terjadi septik infeksi akan meluas pada dinding pembuluh darah maka
akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh
darah yang tersumbat . menyebabkan dilatasi aneurisma pembuluh darah. Hal
ini akan menyebabkan perdarahan serebral, jika aneurisma pecah atau ruptur
(Muttaqin, 2008).
Perdarahan pada otak disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik clan
hipertensi pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan
lebih sering menyebabkan kematian di bandingkan keseluruhan penyakit
serebro vaskulai; karena perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak,

peningkatan tekanan intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan


herniasi otak pada falk serebri atau lewat foramen magnum (Muttaqin, 2008).
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hernisfer otak, dan
perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak.
Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan
otak di nukleus kaudatus, talamus, dan pons (Muttaqin, 2008).
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral:
Perubahan yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversibel untuk
waktu 4-6 menit. Perubahan ireversibel jika anoksia lebih dari 10 menit.

Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah
satunya henti jantung (Muttaqin, 2008).

E. Komplikasi
Komplikasi pada stroke non hemoragik adalah:
1. Berhubungan dengan imobilisasi: infeksi pernafasan, nyeri pada daerah
tertekan, konstipasi.
2. Berhubungan dengan paralise: nyeri punggung, dislokasi sendi,
deformitas, terjatuh.

3. Berhubungan dengan kerusakan otak: epilepsy, sakit kepala.


F. Penatalaksanaan
Menurut Smeltzer dan Bare, (2002) penatalaksanaan stroke dapat dibagi
menjadi dua, yaitu :
a. Phase Akut :

1) Pertahankan fungsi vital seperti : jalan nafas, pernafasan, oksigenisasi


dan sirkulasi.
2) Reperfusi dengan trombolityk atau vasodilation : Nimotop. Pemberian
ini diharapkan mencegah peristiwa trombolitik / emobolik.
3) Pencegahan peningkatan TIK. Dengan meninggikan kepala 15-30
menghindari flexi dan rotasi kepala yang berlebihan, pemberian
dexamethason.
4) Mengurangi edema cerebral dengan diuretik
5) Pasien di tempatkan pada posisi lateral atau semi telungkup dengan

kepala tempat tidur agak ditinggikan sampai tekanan vena serebral


berkurang
b. Post phase akut
1. Pencegahan spatik paralisis dengan antispasmodik
2. Program fisiotherapi
3. Penanganan masalah psikososial

G. Pemeriksaan penunjang
Menurut Muttaqin, (2008), pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan

ialah sebagai berikut :


a. Angiografi serebral
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik
seperti perdarahan arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari
sumber perdarahan seperti aneurisma atau malformasi vaskular.
b. Lumbal pungsi
Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada carran
lumbal menunjukkan adanya hernoragi pada subaraknoid atau perdarahan
pada intrakranial. Peningkatan jumlah protein menunjukkan adanya

proses inflamasi. Hasil pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai pada


perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna
likuor masih normal (xantokrom) sewaktu hari-hari pertama.
c. CT scan.
Pemindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi

henatoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia, dan posisinya
secara pasti. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdens fokal,
kadang pemadatan terlihat di ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak.
d. MRI
MRI (Magnetic Imaging Resonance) menggunakan gelombang
magnetik untuk menentukan posisi dan besar/luas terjadinya perdarahan
otak. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan area yang mengalami lesi
dan infark akibat dari hemoragik.
e. EEG

Pemeriksaan ini berturuan untuk melihat masalah yang timbul dan


dampak dari jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls listrik
dalam jaringan otak.

II. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian data keperawatan
a. Identitas klien: Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor
register, diagnose medis.

b. Keluhan utama: Biasanya didapatkan kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara
pelo, dan tidak dapat berkomunikasi. (Jusuf Misbach, 1999)
c. Primary Survey
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan manajemen
segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam kehidupan.
Tujuan dari Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki
dengan segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan
pada primary survey antara lain (Fulde, 2009) :

• Airway maintenance dengan cervical spine protection

• Breathing dan oxygenation


• Circulation dan kontrol perdarahan eksternal

• Disability-pemeriksaan neurologis singkat

• Exposure dengan kontrol lingkungan


Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert.,

D’Souza., & Pletz, 2009) :


a) General Impressions
• Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.

• Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera

• Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)


b) Pengkajian Air way
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas
pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya
sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan

nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin
memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi
selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau dada.
Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi
pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :

• Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas
dengan bebas?

• Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:


✓ Adanya snoring atau gurgling
✓ Stridor atau suara napas tidak normal
✓ Agitasi (hipoksia)
✓ Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
✓ Sianosis

• Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan

potensial penyebab obstruksi :


✓ Muntahan
✓ Perdarahan
✓ Gigi lepas atau hilang
✓ Gigi palsu
✓ Trauma wajah

• Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.

• Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang berisiko

untuk mengalami cedera tulang belakang.


• Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai
indikasi :
✓ Chin lift/jaw thrust
✓ Lakukan suction (jika tersedia)
✓ Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
✓ Lakukan intubasi

c) Pengkajian Breathing (Pernafasan)


Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan
keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai,
maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase
tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi buatan
(Wilkinson & Skinner, 2010).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :

• Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
✓ Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda
sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest

wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.


✓ Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous
emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan
pneumotoraks.
✓ Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.

• Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.

• Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai

karakter dan kualitas pernafasan pasien.

• Penilaian kembali status mental pasien.

• Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan


• Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
✓ Pemberian terapi oksigen
✓ Bag-Valve Masker
✓ Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang

benar), jika diindikasikan


✓ Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway
procedures

• Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan
terapi sesuai kebutuhan.

d) Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi
jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis

shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia,


pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urin.
Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan
yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung
mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan. Penyebab lain
yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax, cardiac
tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang
nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara memadai dan dikelola
dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2010).

Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :


• Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.

• CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.

• Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian


penekanan secara langsung.

• Palpasi nadi radial jika diperlukan:


✓ Menentukan ada atau tidaknya
✓ Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
✓ Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)

✓ Regularity
• Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary
refill).

• Lakukan treatment terhadap hipoperfusi


e) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
✓ A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah
yang diberikan
✓ V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
✓ P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
✓ U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus
nyeri maupun stimulus verbal.

f) Expose, Examine dan Evaluate


Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien
diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk
dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien.
Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah
mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan
telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien,
kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).

Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam
jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
✓ Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
✓ Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien
luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak
stabil atau kritis (Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009)
d. Secondary Assessment
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara
head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah
kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok
telah mulai membaik.
1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang merupakan

bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi keluhan utama,
riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga, sosial, dan
sistem. (Emergency Nursing Association, 2007). Pengkajian riwayat pasien secara
optimal harus diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya,
usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu, konsultasikan dengan anggota
keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat kejadian. Anamnesis
yang dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai cedera
yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera wajah,

maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen dan tungkai bawah.


b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal atau

vertebra lain, fraktur ekstremitas.


C. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan
keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat

P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah
diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa
jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam
komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)
Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang disesuaikan dengan kondisi
pasien. Pada pasien dengan kecenderungan konsumsi alkohol, dapat digunakan

beberapa pertanyaan di bawah ini (Emergency Nursing Association, 2007):


• C. have you ever felt should Cut down your drinking?

• A. have people Annoyed you by criticizing your drinking?

• G. have you ever felt bad or Guilty about your drinking?


• E. have you ever had a drink first think in the morning to steady your nerver or

get rid of a hangover (E ye-opener)


Jawaban Ya pada beberapa kategori sangat berhubungan dengan masalah
konsumsi alkohol.
Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga akronim HITS dapat digunakan dalam
proses pengkajian. Beberapa pertanyaan yang diajukan antara lain : “dalam setahun
terakhir ini seberapa sering pasanganmu” (Emergency Nursing Association, 2007):

• Hurt you physically?

• Insulted or talked down to you?

• Threathened you with physical harm?

• Screamed or cursed you?

Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang meliputi
:

• Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat


nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang
anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun saat
tidur?

• Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris,


tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan
pasien mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
• Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri
terlokalisasi di satu titik atau bergerak?

• Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak ada
nyeri dan 10 adalah nyeri hebat

• Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? Berapa
lama nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah
pernah merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan nyeri
sebelumnya atau berbeda?
Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan
tanda-tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi
oksigen, tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri.
e. Pemeriksaan fisik

1) Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang datang
dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian
belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan
wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka
termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala (Delp &
Manning. 2004).
2) Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri.

Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena
pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya
menjadi sulit. Re evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
1) Mata
periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah isokor atau anisokor
serta bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau
midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata (macies visus dan acies campus),
apakah konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-
gatal, ptosis, exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta diplopia

2) Hidung
periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan penciuman, apabila
ada deformitas (pembengkokan) lakukan palpasi akan kemungkinan krepitasi
dari suatu fraktur.
3) Rahang atas
periksa stabilitas rahang atas
4) Rahang bawah
periksa akan adanya fraktur
5) Mulut dan faring
inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna, kelembaban, dan adanya
lesi; amati lidah tekstur, warna, kelembaban, lesi, apakah tosil meradang,
pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/ tumor,
pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amati adanya tonsil meradang atau
tidak

(tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri


3) Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau
krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan
menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi
trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas,
pembekakan, emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan
simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal. Jaga airway,
pernafasan, dan oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder..

4) Toraks
Inspeksi
Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk adanya trauma
tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan
kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot
pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace
maker, frekuensi dan irama denyut jantung, (lombardo, 2011)
Palpasi
seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul, emfisema subkutan, nyeri

tekan dan krepitasi.


Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan
bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub)
5) Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada
keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan
kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot
dan nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang,
untuk

adanya trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan internal, adakah distensi
abdomen, asites, luka, lecet, memar, ruam, massa, denyutan, benda tertusuk,
ecchymosis, bekas luka , dan stoma. Auskultasi bising usus, perkusi abdomen,
untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk mengetahui
adakah kekakuan atau nyeri tekan, hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,,

nyeri lepas yang jelas atau uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan
intra abdominal, dapat dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal
lavage, ataupun USG (Ultra Sonography). Pada perforasi organ berlumen
misalnya usus halus gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera karena itu
memerlukan re-evaluasi berulang kali. Pengelolaannya dengan transfer penderita
ke ruang operasi bila diperlukan (Tim YAGD 118, 2010).
6) Pelvis (perineum/rectum/vagina)
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik
(pelvis menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan masuk
dalam

keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG/ gurita
untuk mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis (Tim YAGD 118, 2010).
Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam, lesi,
edema, atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur harus
dilakukan sebelum memasang kateter uretra. Harus diteliti akan kemungkinan
adanya darah dari lumen rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh
tidaknya rectum dan tonus musculo sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok
vagina dapat menentukan adanya darah dalam vagina atau laserasi, jika terdapat
perdarahan vagina dicatat, karakter dan jumlah kehilangan darah harus
dilaporkan

(pada tampon yang penuh memegang 20 sampai 30 mL darah). Juga harus


dilakuakn tes kehamilan pada semua wanita usia subur. Permasalahan yang ada
adalah ketika terjadi kerusakan uretra pada wanita, walaupun jarang dapat
terjadi pada fraktur pelvis dan straddle injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit
dikenali, jika pasien hamil, denyut jantung janin (pertama kali mendengar
dengan Doppler ultrasonografi pada sekitar 10 sampai 12 kehamilan minggu)
yang dinilai untuk frekuensi, lokasi, dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih
harus ditanya tentang rasa sakit atau terbakar dengan buang air kecil,
frekuensi, hematuria, kencing berkurang, Sebuah sampel urin harus diperoleh
untuk analisis.(Diklat RSUP Dr.
M.Djamil, 2010).
7) Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi, jangan
lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur terbuak), pada
saat pelapasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur pada
saat

menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen


(tekanan intra kompartemen dalam ekstremitas meninggi sehingga
membahayakan aliran darah), mungkin luput terdiagnosis pada penderita
dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan (Tim YAGD 118, 2010). Inspeksi
pula adanya kemerahan, edema, ruam, lesi, gerakan, dan sensasi harus
diperhatikan, paralisis, atropi/hipertropi otot, kontraktur, sedangkan pada jari-
jari periksa adanya clubbing finger serta catat adanya nyeri tekan, dan hitung
berapa detik kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat s/d 5-15 detik.
Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular. Perlukaan

berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.kerusakn ligament


dapat menyebabakan sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendonakan
mengganggu
pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot
dapat disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia. Adanya fraktur torako lumbal
dapat dikenal pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma. Perlukaan bagian lain
mungkin menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan dalam keadaan ini
hanya dapat didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan muskuloskletal tidak
lengkap bila belum dilakukan pemeriksaan punggung penderita. Permasalahan
yang muncul adalah

1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga
terjadi syok yang dpat berakibat fatal
2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita dalam
keadaan tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali barulah
kelainan ini dikenali.
3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah
penderita mulai sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2010).
8) Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll, memiringkan
penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat
dilakukan pemeriksaan punggung (Tim YAGD 118, 2010). Periksa`adanya
perdarahan,

lecet, luka, hematoma, ecchymosis, ruam, lesi, dan edema serta nyeri, begitu pula
pada kolumna vertebra periksa adanya deformitas.
9) Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik.
Peubahan dalam status neirologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS. Adanya
paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis atau saraf
perifer. Imobilisasi penderita dengan short atau long spine board, kolar servikal,
dan alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur servikal.
Kesalahan yang

sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai terbatas kepada kepala dan
leher saja, sehingga penderita masih dapat bergerak dengan leher sebagai sumbu.
Jelsalah bahwa seluruh tubuh penderita memerlukan imobilisasi. Bila ada trauma
kepala, diperlukan konsultasi neurologis. Harus dipantau tingkat kesadaran
penderita, karena merupakan gambaran perlukaan intra cranial. Bila terjadi
penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti ulang perfusi
oksigenasi, dan ventilasi (ABC). Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan
epidural subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat
RSUP Dr. M.Djamil, 2010).

Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching,


parese, hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia (
kesukaran dalam
mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan
respon sensori
Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul, yaitu :
1. Resiko perfusi jaringan cerebral tidak efektif b.d O2 otak menurun
2. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d

ketidakmampuan untuk mengabsorpsi nutrient


3. Hambatan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan otot.
4. Risiko kerusakan integritas kulit b.d factor risiko : lembap
5. Gangguan komunikasi verbal b.d. kerusakan neuromuscular, kerusakan
sentral bicara
6. Kerusakan ventilasi spontan berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan
DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 1999.Triage Officers Course. Singapore: Department of


Emergency Medicine Singapore General Hospital

Anonimous, 2002.Disaster Medicine. Philadephia USA: Lippincott Williams

Brunner and Suddarth, 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 volume 2


Penerbit Jakarta: EGC

ENA, 2005.Emergency Care.USA: WB Saunders Company

Herdman, T.Heather (2011).NANDA International Diagnosis Keperawatan


Definisi dan Klasifikasi 2009-2011. Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Jakarta

Iyer, P. 2004. Dokumentasi Keperawatan: Suatu Pendekatan Proses


Oman, Kathleen S. 2008. Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta :
EGC

Wilkinson, Judith.(2008). Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 7. Penerbit

Buku Kedokteran (EGC). Jakarta

Anda mungkin juga menyukai