Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebelum secara spesifik berbicara tentang kerajaan-kerajaan Islam yang
berada di pulau Jawa, sebagai sebuah rentetan peristiwa, kita tidak bisa
meninggalkan pembahasan secara umum dalam konteks Indonesia. Munculnya
Islam telah dirintis sejak abad 1-5 H./7-11 M, yaitu sejak berjayanya dua kerajaan
besar Sriwijaya yang berada di Palembnang dan Majapahit yang berpusat di Jawa
Timur. Begitu besarnya dua kerajaan ini, hingga aspek kecil yang terjadi di
tengah kekuasaan yang non-politik kurang mendapat perhatian semestinya. Pada
periode dua kerajaan besar ini para pedagang muslim dari Gujarat, Persia, Arab
maupun Cina telah membentuk komunitas-komunitas Islam di sekitar lokasi
perdagangan yang mereka singgahi. Mereka tinggal di tempat tersebut murni
hanya urusan pelayaran dan perdagangan.
Keterlibatan orang Islam dalam urusan politik baru terjadi pada abad ke-9 M,
ketika mereka terlibat dalam pemberontakan petani-petani Cina terhadap
kekuasaan Tang pada masa pemerintahan Hi-Tsung (878-889 M). Akibat
pemberontakan itu, kaum muslimin banyak yang dibunuh. Sebagian yang lain lari
ke Kedah, wilayah yang masuk kekuasaan sriwijaya. Bahkan ada yang ke
Palembang dan membuat perkampungan muslim di daerah tersebut, dan sriwijaya
saat itu memang melindungi kaum muslim yang berada di wilayah
kekuasaannya.1
Kekuasaan Sriwijaya lama kelamaan mungkin merosot. Bersamaan dengan
itu di Jawa sedang bangkit kerajaan Singasari. Kerajaan ini mengadakan ekspidisi
Pamalayu tahun 1275 M dan berhasil mengalahkan kerajaan Melayu di
Sumatera. Keadaan tersebut mendorong daerah-daerah di selat Malaka yang
dikuasai kerajaan Sriwijaya untuk melepaskan diri dari kekuasaannya. Ditengah
kelemahan itu, pedagang memanfaatkannya untuk mendapatkan keunutngan
dengan mendukung daerah-daerah yang muncul dan daerah-daerah yang
menyatakan diri sebagai daerah yang bercorak Islam, yaitu kerajaan Samudera

1
Sumber untuk hal ini menurut Taufik Abdullah adalah berita dan tulisan-tulisan asing
dan makam-makam yang berada di wilayah tertentu. Taufik Abdullah, Sejarah Umat, hal. 39 dan
Badri Yatim, Sejarah Peradaban, hal. 194.

1
Pasai yang berada di daerah pesisir laut timur Aceh. Di daerah ini sebenarnya
sudah lama, sejak abad ke-7 dan 8, disinggahi para pedagang muslim dan proses
Islamisasi sudah di mulai sejak saat itu. Kerajaan Samudera Pasai kemudian
semakin berkembang baik dalam bidng politik maupun perdagangan. Kekacauan
akibat perebutan kekuasaan yang terjadi di Singasari dan juga berlanjut pada
kerajaan Majapahit membuat keduanya semakin tidak mampu mengontrok
daerah selat Malaka dan Melayu. Sehingga kemudian kerajaan Samudera Pasai
dan Malaka berkembang mencapai puncaknya pada abad ke-16 M.2
Sementara itu, berkembangnya Islam di Jawa bersamaan dengan semakin
melemahnya kekuasaan Majapahit. Kelemahan pemerintahan kerajaan Majapahit
itu memberi peluang kepada raja-raja Islam pesisir untuk membangun pusat-pusat
kekuasaan yang independen, lepas dari kontrol Majapahit. Demak kemudian
berhasil menggantikan posisi Majapahit sebagai kerajaan pusat kekuasaan di
Jawa. Meskipun proses Islamisasi di Jawa sudah berlangsung cukup lama, namun
eksistensi secara nyata baru di mulai sejak terbentuknya kekuasaan dengan
berdirinya kerajaan Islam Demak ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja kerajaan Islam yang berdiri di pulau Jawa?
2. Siapa saja pendiri kerajaan Islam di pulau Jawa?

C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui kerajaan Islam yang berdiri di pulau Jawa
2. Untuk mengetahui pendiri-pendiri kerajaan Islam di pulau Jawa

2
Dikerajaan Majapahit ketika Hayam Wuruk dan patihnya Gajah Mada berkuasa
memang kehidupan tenang , sehingga banyak daerah yang mengaku berada dibawah
perlindungannya. Akan tetapi semenjak Gajah Mada tiada (1364 M), disusul kemudian oleh
Hayam Wuruk (1389 M), Majapahit goncang. Kegoncangan terjadi karena perebutan kekuasaan
antara Wikramawardana dan Bre Wirabumi yang terjadi selama 10 tahun. Wikramawardana
berhasil merebut kekuasaan, namun ia kemudian diserang Girindawardhana dari Kediri pada tahun
1468 M. Sejak saat itu Majapahit hilang dari peradaan. Ibid., hal. 196.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kerajaan Islam Demak


Sebagaimana tercatat dalam buku-buku sejarah, kesultanan Demak
merupakan kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Ia merupakan kerajaan Islam
terbesar dipantai utara Jawa. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Fatah (ada yang
menyebut Raden Patah) pada tahun 1478. Sebelum menjadi sebuah kerajaan
besar, kesultanan ini awalnya merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit dan
pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya.3
Perkembangan Islam di Jawa bersamaan waktunya dengan melemahnya
posisi kerajaan Majapahit. Hal itu memberi peluang kepada penguasa-penguasa
Islam di pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuatan yang independen.
Pemerintahan Raden Patah berlangsung kira-kira di akhir abad ke-15 hingga
awal abad ke-16. Dikatakan, ia adalah sorang anak raja Majapahit dari seorang
ibu Muslim keturunan Campa,Tiongkok. Menurut tradisi Jawa, nama asli Raden
Patah adalah Jin Bun. Ketika sang ibu mengandung dirinya, raja Brawijaya
menikahkan ibunya dengan penguasa Palembang bernama Arya Damar. Saat
dewasa Raden Fatah dan adiknya yang bernama Raden Kusen , pergi ke
Majapahit untuk mengabdi pada kerajaan sang ayah. Dalam perjalanan ke istana
mereka berkunjung ke Ngampel untuk belajar agama Islam. Disini, Raden Fatah
dekat dengan seorang Sunan Ampel. Pada mulanya, keadaan Raden Fatah dan
Kusen di angkat menjadi adipati di Terung. Ketika majapahit lemah akibat
konflik internal, Raden Patah dengan dukungan adiknya dan Sunan Ampel,
melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan Hindu ini, berkat dukungan kota-kota
hubungan Islam, seperti Tuban dan Gresik, Raden Patah mendirikan kerajaan
Islam dengan Pusat di Demak.4 Di bawah pimpinan Sunan Ampel Denta, para
ulama sebagai pemimpin spiritual dan sosial yang di kenal dalam sejarah sebagai
Wali Sanga (Sembilan Wali) bersepakat mengangkat Raden Patah menjadi raja
pertama kerajaan Demak dengan gelar Senopati Jimbun Ngabdurahman

3
Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara, (Yogyakarta: Diva Press, 2016), hal. 193.
4
Mohammad Iskandar dan Anhar Gonggong, Muatan Lokal Ensiklopedia Sejarah dan
Budaya Kepulauan Nusantara Awal, (Jakarta: Lentera Abadi, 2009), hal. 74.

3
Panembahan Palembang Sayidin Panatagama.5 Raden Patah memerintah pada
tahun 1500-1518.6 Dalam menjalankan pemerintahannya, terutama dalam
persoalan-persoalan agama, di bantu oleh para ulama yang mengangkatnya itu.
Sebelumnya, Demak yang masih bernama Bintoro merupakan daerah Majapahit
yang diberikan raja Majapahit (Brawijaya V) kepada Raden Patah. Daerah ini
lambat laun menjadi pusat perkembangan agama Islam yang diselenggarakan
oleh para Wali.7
Pada permulaan abad ke-16, Raden Patah menyerang Majapahit dan berhasil
merebut ibu kota. Ia memindahkan semua alat upacara kerajaan dan benda
pusaka majapahit dan berhasil merebut ibu kota. Ia memindahkan semua alat
upacara kerajaan dan benda pusaka Majapahit ke Demak. Tindakan ini di ambil
sebagai lambang bahwa kerajaan Majapahit tetap bertahan dalam bentuk baru di
Demak. Oleh karena itu, Demak dapat mengaku sebagai penerus Kerajaan
majapahit yang sah.
Raden Patah memiliki seorang putera yang bernama Pati Unus atau Pangeran
Sabrang Lor yang terkenal gagah berani. Setelah berhasil merebut Jepara, Pati
Unus diangkat menjadi adipati di kota itu. Sejumlah daerah pesisir di Jawa
Tengah dan Jawa Timur kemudian mengakui kekuasaan Demak. Seperti Gajah
Mada, Unus juga bercita-cita menjadikan Demak sebagai kerajaan terbesar di
Nusantara.8 Menurut Tome Pires juga, tidak lama setelah naik tahta, Pati Unus
merencanakan suatu serangan terhadap Malaka. Pati Unus membangun angkatan
lautnya selama tujuh tahun dengan niat untuk menyerang Malaka.9 Semangat
perangnya semakin memuncak ketika tahu Malaka ditakluknya oleh Portugis
pada tahun 1511. Akan tetapi, sekitar pergantian tahun 1512-1513, tentaranya
mengalami kekalahan besar.10 Pada tahun 1518, Raden Patah wafat.11

5
Raden Patah adalah putra Raja Majapahit, Brawijaya V dengan seorang selir dari
Campa. Raden Patah kemudian berguru kepada Sunan Ampel dan menikah dengan anak sulung
dari Nyari Ageng Maloka, cucu Sunan Ampel. Oleh Brawijaya, Raden Patah diangkat sebagai
adipati di Glagahwangi dengan nama Adipati Natapraja dengan ibu kota Demak. Lihat Purwadi,
Babad, hal. 163.
6
Magdalia Alfian,dkk, Sejarah 2, (Jakarta: Esis, 2006), hal.97.
7
Ahmad Khalil, Islam Jawa dengan judul kecil Sufisme dalam Etika & Tradisi Jawa,
(Malang: UIN Malang Press, 2008), hal. 61.
8
Op.Cit., hal. 75.
9
Ibid.,hal. 75.
10
H.J. Graff dan Th. G. Th. Pigeud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, (Jakarta: Grafiti
Pers, 1985), hal. 49.

4
Pati Unus kemudian di gantikan oleh Trenggono yang dilantik sebagai sultan
oleh Sunan Gunung Jati dengan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Ia memerintah
pada tahun 1524-1546. Pada masa Sultan Demak yang ketiga inilah Islam
berkembang meluas keseluruh tanah Jawa, bahkan sampai ke Kalimantan
Selatan. Penaklukan Sunda kelapa berakhir pada tahun 1527 yang dilakukan oleh
pasukan gabungan Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fadhilah Khan.
Majapahit dan Tuban jatuh kebawah kekuasaan kerajaan Demak diperkirakan
pada tahun 1527 itu juga. Selanjutnya pada tahun 1529, Demak berhasil
menundukkan Masiun, dan berturut-turut Blor (1530), Surabaya (1531), dan
pasuruan (1535), antara tahun 1541-1542 Demak berhasil menundukkan
Lamongan, Blitar, Wirasaba, dan Kediri. Tahun 1544, Palembang dan
Banjarmasin mengakui kekuasaan Demak. Sementara daerah Jawa Tengah
bagian selatan sekitar Gunung Merapi, Pengging, dan Pajang berhasil dikuasai
berkat jalinan penguasa Demak dengan pemuka Islam, Sunan Tembayat. Pada
tahun 1546, dalam penyerbuan ke Blambangan, Sultan Trenggono terbunuh. Ia
kemudian digantikan adiknya, Prawoto. Masa pemerintahan Prawoto tidak
berlangsung lama karena terjadi pemberontakan oleh adipati-adipati sekitar
kerajaan Demak. Sunan Prawoto sendiri kemudian dibunuh oleh Aria
Penangsang dari Jipang pada tahun 1549. Dengan demikian kerajaan Demak
berakhir, dan dilanjutkan oleh kerajaan Pajang di bawah kekuasaan Jaka Tingkir
yang berhasil membunuh Aria Penangsang.
B. Kerajaan Pajang
Kesultanan Pajang adalah kelanjutan dan dipandang sebagai pewaris
kerajaan Islam Demak. Kesultanan yang terletak di daerah Kertasura sekarang itu
merupakan kerajaan Islam yang pertama terletak di daerah pedalaman pulau
Jawa. Usai kesultanan Pajang ini tidak panjang. Kekuasaan dan kebesarannya
kemuadian diambil alih oleh kerajaan Mataram yang berpusat di Ngayogyakarta.
Sultan atau raja pertama kesultanan Pajang adalah Jaka Tingkir yang
mendapat gelar Hadiwijaya. Ia berasal dari Pengging, dilereng Gunung Merapi.12

11
Ahmad Khalil, Islam Jawa dengan judul kecil Sufisme dalam Etika & Tradisi Jawa,
(Malang: UIN Malang Press, 2008), hal. 62.
12
Jaka Tingkir adalah putra Kebo Kenanga dan cucu dari Adipati Jayaningrat atau
Handayaningrat. Adapun Handayaningrat adalah menantu Prabu Brawijaya dari putrinya yang
bernama Rara Pembayun membuahkan dua putra: Kebo Kanigara dan Kebo Kenanga. Putra
sulung, Kebo Kanigara suka mengembara dan bertapa. Ia tetap kukuh beragama Budha. Konon ia

5
Oleh raja Demak ketiga, Sultan Trenggono, Jaka Tingkir diangkat menjadi
penguasa di Pajang, setelah sebelumnya dikawinkan dengan anak perempuannya.
Kediaman penguasa Pajang itu, menurut Babad, di bangun dengan mencontoh
Keraton Demak.
Pada tahun 1546 Sultan Demak meninggal dunia, setelah itu muncul
kekacauan di ibu kota. Jaka Tingkir yang telah menjadi penguasa Pajang itu
dengan segera mengambil alih kekuasaan karena anak sulung Sultan Trenggono
yang menjadi pewaris tahta kesultanan, susuhunan Prawoto, dibunuh oleh
kemenakannya, Aria Penangsang yang waktu itu menjadi penguasa di Jipang
(Bojonegoro sekarang).
Setelah itu, ia memerintahkan agar semua benda pusaka milik kerajaan
Demak di pindahkan ke Pajang. Setelah menjadi raja yang paling berpengaruh di
pulau Jawa, Raja Pajang, Jaka Tingkir ini menjadi gelar Sultan Hadiwijaya. Pada
masa kekuasaannya sejarah Islam di Jawa mulai dalam bentuk baru, titik politik
pindah dari pesisir (Demak) ke pedalaman. Peralihan pusat politik itu membawa
akibat yang sangat besar dalam perkembangan peradaban Islam di tanah Jawa.
Sultan Hadiwijaya memperluas kekuasaannya di tanah pedalaman kearah
timur sampai daerah Madiun, di aliran anak sungai Bengawan Solo yang terbesar.
Setelah itu secara berturut-turut ia dapat menundukkan Blora pada tahun 1554
dan kediri tiga tahun berikutnya (1577). Pada tahun 1581, ia berhasil
mendapatkan pengakuan sebagai Sultan Islam dari raja-raja terpenting di Jawa
Timur. Pada umumnya, hubungan antara keraton Pajang dengan raja-raja yang
berkuasa di Jawa Timur memang bersahabat.
Selama pemerintahan Sultan Hadiwijaya, kesusastraan dan kesenian keraton
yang sudah maju di Demak dan Jepara lambat laun dikenal juga di pedalaman
Jawa. Pengaruh agama Islam yang kuat di pesisir akhirnya menjalar dan tersebar
pula ke daerah pedalaman. Inilah kemudian yang membawa dampak besar pada
bola peradaban Islam di Jawa, dimana dikenal corak peradaban Islam pedalaman
dan corak pesisiran.
Sultan Pajang meninggal dunia tahun 1587 dan dimakamkan di Butuh, suatu
daerah di sebelah barat taman kerajaan Pajang. Dia digantikan oleh menantunya,

mati dibakar dan tidak jelas dimana kuburnya. Sementara adiknya, Kebo Kenanga memeluk
agama Islam dan ketika melakukan ibadah Shalat jum’at di Pengging banyak warga desa yang
mengikutinya. Lihat Purwadi, Babad, hal. 168.

6
Aria Pangiri, anak susuhunan Prawoto yang dibunuh oleh Aria Panangsang.
Ketika terjadi pergantian kekuasaan itu, Aria Pangiri adalah penguasa atau adipati
di Demak. Setelah menetap di keraton Pajang, Aria Pangiri dikelilingi oleh
pejabat-pejabat yang dibawanya dari Demak. Sementara itu, anak Sultan
Hadiwijaya, Pangeran Benawa, dijadikan penguasa di daerah Jipang.
Pangeran muda ini, karena tidak puas dengan nasibnya di tengah-tengah
lingkungan yang masih asing baginya, meminta bantuan kepada Senopati,
penguasa Mataram, untuk mengusir raja Pajang yang baru itu (Aria Pangiri).
Pada masa tahun 1588, usahanya itu berhasil.13 Sebagai rasa terima kasih,
Pangeran Benawa menyerahkan hak atau warisan ayahnya kepada Senopati.
Akan tetapi Senopati menyatakan keinginannya untuk tetap tinggal di Mataram,
ia hanya minta “Pusaka Kerajaan” Pajang. Mataram ketika itu memang sedang
dalam proses menjadi sebuah kerajaan yang besar. Pangeran Benawa kemudian
dikukuhkan sebagai Raja Pajang, akan tetapi ia berada dibawah perlingdungan
kerajaan Mataram. Sejak itu, Pajang menjadi kerajaan boneka yang sepenuhnya
berada dibawah kekuasaan Mataram.
Riwayat kerajaan Pajang berakhir tahun 1681.14 Kerajaan Pajang waktu itu
memberontak terhadap Mataram yang ketika itu di bawah Sultan Agung. Pajang
dihancurkan rajanya melarikan diri ke Giri dan Surabaya.
C. Mataram
Awal kelahiran kerajaan Mataram adalah ketika Sultan Hadiwijaya dari
Pajang meminta bantuan kepada Ki Pamanahan yang berasal dari daerah
pedalaman untuk menghadapi dan menumpas pemberontakan Aria penangsang
yang telah disinggung di atas. Sebagai hadiah atas bantuan Ki Pamanahan
tersebut, Sultan kemudian menghadiahkan daerah Mataram kepadanya yang
kemudian hari menurunkan raja-raja Mataram Islam.
Pada tahun 1577 M, Ki Gede Pamanahan menempati istana barunya di
Mataram. Dia di gantikan oleh puteranya, Senopati tahun 1584 dan di kukuhkan
oleh Sultan Pajang. Senopati dipandang sebagai Sulta Mataram pertama, setelah
Pangeran Benawa, anak Sultan Hadiwijaya menawarkan kekuasaan atas Pajang
kepada Senopati. Meskipun Senopati menolak dan hanya meminta pusaka
kerajaan, diantaranya Gong Kiai Sekar Delima, Kendali Kiai Macan Guguh, dan

13
Ahmad Khalil, Op.Cit., hal. 65.
14
Ibid., hal. 66.

7
Pelana Kiai Jatayu,15 namun dalam tradisi Jawa, penyerahan benda-benda pusaka
itu sama artinya dengan menyerahkan kekuasaan.
Senopati kemudian berkeinginan juga menguasai semua raja yang berada
dibawah kekuasaan Pajang, tetapi ia tidak mendapat pengakuan dari pada
penguasa Jawa Timur sebagai pengganti Raja Demak dan juga Pajang. Melalui
perjuagan berat, yang dijalani dengan melakukan peperangan demi peperangan,
akhirnya ia berhasil menguasai sebagian dari kekuasaan raja-raja tersebut.
Senopati meninggal dunia tahun 1601 M, dan digantikan oleh puteranya
Seda Ing Krapyak kemudian yang memerintah tahun 1613 M. Sea Ing Krapyak
kemudian diganti oleh puteranya, Sultan Agung, yang melanjutkan usaha
ayahnya.16 Pada tahun 1619, seluruh Jawa Timur praktis sudah berada di bawah
kekuasaan Sultan Agung. Dimasa pemerintahan Sultan Agung inilah kontak-
kontak bersenjata anatara kerajaan Mataram dengan VOC mulai terjadi. Pada
tahun 1630 M, Sultan Agung menetapkan Amangkurat I sebagai putera Mahkota.
Sultan Agung wafat tahun 1646 M, dan dimakamkan di Imogiri. Ia digantikan
oleh putera mahkota yang telah ditetapkan sebelumnya. Masa pemerintahan
Amangkurat I hampir tidak pernah reda dari konflik. Dalam setiap konflik, yang
tampil sebagai lawan adalah mereka yang didukung oleh para ulama yang
bertolak dari keprihatinan agama. Tindakan pertama pemerintahannya adalah
menumpas pendukung Pangeran Alit dengan membunuh banyak ulama yang
dicurigai.17 Ia yakin ulama dan santri adalah bahaya bagi tahtanya. Sekitar 5000-
6000 ulama besarta keluarganya dibunuh (1647 M). Amangkurat I bahkan merasa
tidak memerlukan titel “Sultan”. Pada tahun 1677 dan 1678 pemberontakan para
ulama muncul kembali dengan tokoh spiritual Raden Kajoran. Pemberontakan-
pemberontakan seperti itulah yang akhirnya membawa akibat keruntuhan
Keraton Mataram.

15
H.J. de Graff, Awal Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan Senopati (Jakarta:
Grafiti Pers, 1987), hal. 95. Seperti yang dikutip Badri Yatim, Sejarah Peradaban, hal. 214.
16
Pada tahun 1614, Sultan Agung mendapatkan tanda peghargaan sebagai penguasa
Islam dari kerajaan Islam di Makkah, Namun demikian ia tetap menghubungkan diri dengan
tradisi Jawa yang bercorak Hindu. Ia dikenal sebagai penyusun kalender Jawa yang bersandar pada
perhitungan Hijriah. Ia pula yang menyuruh punjangga-pujangga Jawa menulis sejarah Jawa
(babad tanah Jawa) dengan maksud memperlihatkan Sultan Agung sebagai penerus penguasa
Majapahit. Lihat Franz Magnis, Etika, hal. 33.
17
Amangkurat I tercatat sebagai raja Mataram yang pertama memutuskan jalinan
hubungan kerajaan dengan ulama-ulama. Setelah itu, tidak satupun raja-raja di Mataram ini yang
menerima nama atau gelar Arab. Ibid.

8
D. Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Kerajaan
ini didirikan oleh Syarif Hidayatullah. Ia seorang ulama (wali) yang tangkas dan
cakap dalam urusan pemerintahan. Gelarnya adalah Sunan Gunung Jati.
Makamnya hingga kini menjadi jujugan para peziarah yang ingin ngalap berkah
wali yang berjasa dalam penyebaran Islam ditanah Jawa.
Pada awal abad ke-16, Cirebon masih merupakan sebuah daerah kecil di
bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Raja Pajajaran hanya menempatkan seorang
juru labuhan yang bernama Pangeran Walangsungsang di wilayah ini. Pangeran
Walangsungsang adalah seorang tokoh yang mempunyai hubungan darah dengan
Raja Pajajaran. Ketika berhasil memajukan Cirebon, ia sudah menganut agama
Islam. Disebutkan oleh Temo Pires bahwa Islam sudah ada di Cirebon pada
sekitar tahun 1470-1475 M. Akan tetapi, orang yang berhasil meningkatkan
status Cirebon menjadi sebuah kerajaan adalah Syarif Hidayatullah yang terkenal
dengan gelar Sunan Gunung Jati, pengganti dan keponakan dari Pangeran
Walangsungsang. Dialah pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan kemudian juga
Banten.
Sebagai keponakan dari Pangeran Walangsungsang, Sunan Gunung Jati juga
mempunyai hubungan darah dengan raja Pajajaran. Raja dimaksud adalah Prabu
Siliwangi, raja Sunda yang berkedudukan di Pakuan Pajajaran, yang menikah
dengan Nyai Subang Larang tahun 1422. Dari perkawinannya itu lahirlah tiga
orang putera, masing-masing Raden Walangsungsang, Nyai Lara santang, dan
Raja Sengara. Sunan Gunung Jati adalah putera Nyai Lara Santang dari
perkawinannya dengan Maulana Sultan Mahmud alias Syarif Hidayatullah dari
Bani Hasyim, ketika Nyai itu menunaikan ibadah haji.
Disebutkan, Sunan Gunung Jati lahir tahun 1448 M, dan wafat pada 1568 M
dalam usia 120 tahun.18 Karena kedudukannya sebagai seorang Wali Songo, ia
mendapat penghormatan dari raja-raja di Jawa, seperti Demak dan Pajang.
Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah kerajaan Islam yang bebas dari
kekuasaan Pajajaran, Sunan Gunung Jati berusaha meruntuhkan kerajaan
Pajajaran yang masih belum menganut Islam itu.

18
Ahmad Khalil, Op.Cit., hal. 69.

9
Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan Islam ke daerah-daerah
lain di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa
dan Banten. Dasar bagi pengembangan Islam dan perdagangan kaum Muslimin di
Banten diletakkan oleh Sunan Gunung Jati tahun 1524 atau 1525 M. Ketika
kembali ke Cirebon, Banten diserahkan kepada anaknya, Sultan Hasanuddin.
Sultan inilah yang menurunkan raja-raja Banten. Ditangan raja-raja Banten
tersebut, akhirnya kerajaan Pajajaran dikalahkan. Atas prakarsa Sunan Gunung
Jati juga penyerangan ke Sunda Kelapa dilakukan (1527 M). Penyerangan ini
berjalan lancar dengan bantuan tentara dari Demak.
Setelah Sunan Gunung Jati wafat, ia digantikan oleh cicitnya yang terkenal
dengan gelar Pangeran Ratu atau Penembahan Ratu. Penembahan Ratu wafat
tahun 1650, dan digantikan oleh puteranya yang bergelar Penembahan Girilya.
Keutuhan Cirebon sebagai satu kerajaan hanya sampai masa kekuasaan pangeran
Giriliya ini. Sepeninggal Giriliya, sesuai dengan kehendaknya sendiri, Cirebon di
perintah oleh dua puteranya, Martawijaya atau Penembahan Sepuh dan
Kartawijaya atau Panembahan Anom. Panembahan Sepuh memimpin Kesultanan
Kesepuhan sebagai rajanya yang pertama dengan gelar Syamsuddin, sementara
Panembahan Anom memimpin Kesultanan Kanoman dengan gelar Bahruddin.19
E. Banten
Sebelum kerajaan Islam berkuasa di Banten, ketika masih berada di bawah
kekuasaan raja-raja Sunda (dari Pajajaran, atau mungkin sebelumnya), Banten
sudah menjadi kota yang berarti. Dalam tulisan Sunda Kuno, cerita Parahyangan,
disebutkan nama Wahanten Girag. Nama ini dapat dihubungkan dengan Banten,
sebuah kota pelabuhan di ujung barat pantai utara Jawa. Pada tahun 1524 atau
1525, Sunan Gunung Jati dari Cirebon, meletakkan dasar bagi pengembangan
agama dan kerajaan Islam serta perdagangan orang-orang Islam disana.
Menurut sumber tradisional, penguasa Pajajaran di Banten menerima Sunan
Gunung Jati dengan ramah-tamah dan tertarik masuk Islam. Penguasa itu
membukakan jalan seluas-luasnya bagi kegiatan pengislaman di Banten. Dengan
segera ia menjadi orang yang berkuasa atas kota itu dengan bantuan tentara Jawa
yang memang dimintanya. Namun, menurut berita Barros, penyebaran Islam di
Jawa Barat tidak melalui jalan damai, sebagaimana disebut oleh sumber

19
Ibid, hal. 71.

10
tradisional. Bebrapa pengislaman mungkin terjadi secara sukarela, tetapi
kekuasaan tidak diperoleh kecuali dengan menggunakan kekerasan. Banten,
dikatakan justru diserang dengan tiba-tiba.20
Untuk menyebarkan Islam di Jawa Barat, langkah Sunan Gunung Jati
berikutnya adalah menduduki pelabuhan Sunda yang tua, kira-kira tahun 1527. Ia
memperluas kekuasaannya atas kota-kota pelabuhan lain di Jawa Barat yang
semula di bawah kekuasaan Pajajaran.
Setelah ia kembali ke Cirebon, kekuasaannya atas Banten diserahkan kepada
puteranya, Hasanuddin. Hasanuddin sendiri menikah dengan puteri Demak dan
diresmikan menjadi Panembahan Banten tahun 1552. Ia meneruskan usaha-usaha
ayahnya dalam memperluas daerah Islam, yaitu ke lampung dan daerah
sekitarnya di Sumatera Selatan.
Pada tahun 1568, disaat kekuasaan Demak beralih ke Pajang. Hasanuddin
memerdekakakan Banten. Itulah sebabnya dalam sumber-sumber sejarah yang
menceritakan kelahiran Banten ia anggap sebagai raja Islam yang pertama di
Banten. Banten sejak semula memng merupakan vassal dari Demak. Hasanuddin
mangkat kira-kira tahun 1570 dan digantikan oleh anaknya, Yusuf. Setelah
sembilan tahun memgang tampuk kekuasaan, pada tahun 1579 Yusuf
menaklukkan Pakuwan yang belum menganut Islam dan waktu itu masih
menguasai sebagian besar daerah pedalaman Jawa Barat. Sesudah ibu kota
kerajaan itu jatuh dan raja beserta keluarganya menghilang, golongan bangsawan
Sunda masuk Islam. Walaupun telah memeluk Islam, mereka diperbolehkan tetap
memakai pangkat dan gelar yang disandang sebelumnya.
Setelah Yusuf meninggal dunia tahun 1580 M, ia digantikan oleh puteranya
Muhammad, yang masih muda belia. Selama Sultan Muhammad masih dibawah
umur, kekuasaan pemerintahan di pegang oleh kali (Arab: qadhi, jaksa agung)
bersama empat pembesar lainnya. Raja Banten yang saleh ini melanjutkan
serangan terhadap raja Palembang dan gugur dalam usia 25 tahun pada 1596. Ia
meninggalkan seorang anak yang baru berusia 5 bulan, Sultan Abdul Mafakhir
Mahmud Abdulkadir.
Sebelumnya memegang pemerintahan secara langsung, Sultan berturut-turut
berada di bawah 4 orang wali laki-laki dan seorang wali wanita. Ia baru aktif

20
Badri, Sejarah Peradaban, hal. 218.

11
memegang kekuasaan tahun 1626, dan pada tahun 1638 mendapat gelar Sultan
dari Mekah. Dialah raja Banten pertama dengan gelar sultan yang sebenarnya. Ia
meninggal tahun 1651 dan digantikan oleh cucunya Sultan Abulfath Abdulfath.
Pada masa Sultan Abulfath Abdulfath ini terjadi beberapa kali peperangan antara
Banten dan VOC yang berakhir dengan disetujuinya perjanjian perdamaian tahun
1659 M.21

21
Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 150-1900 Vol.1, (Jakarta:
Gramedia, 1987), hal 114. Seperti ditulis Badri, Sejarah Peradaban, hal. 219.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di pulau Jawa terbagi menjadi 5. Yaitu:
a. Kerajaan Demak
b. Kerajaan Pajang
c. Kerajaan Mataram
d. Kerajaan Cirebon
e. Kerajaan Banten
2. Pendiri kerajaan Islam di pulau Jawa adalah Raden Patah (Raden Fatah), Jaka
Tingkir, Ki Gede Pamanahan, Syarif Hidayatullah dan Sunan Gunung Jati.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. Sejarah Umat.


Yatim, Badri. Sejarah Peradaban.
Aizid, Rizem. Sejarah Islam Nusantara. Yogyakarta: Diva Press. 2016.

Iskandar, Mohammad dan Anhar Gonggong. Muatan Lokal Ensiklopedia Sejarah dan

Budaya Kepulauan Nusantara Awal. Jakarta: Lentera Abadi. 2009.

Purwadi. Babad.
Alfian,Magdalia dkk. Sejarah 2. Jakarta: Esis. 2006.
Khalil,Ahmad. Islam Jawa dengan judul kecil Sufisme dalam Etika & Tradisi Jawa.

Malang: UIN Malang Press. 2008.

Graff ,H.J. dan Th. G. Th. Pigeud. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa. Jakarta: Grafiti

Pers. 1985.

Graff,H.J. de. Awal Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan Senopati. Jakarta: Grafiti

Pers. 1987.

Magnis, Franz. Etika.

Kartodirjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 150-1900 Vol.1. Jakarta:

Gramedia. 1987.

14

Anda mungkin juga menyukai