Anda di halaman 1dari 3

Aktivitas Fisik dan Sindrom Pramenstruasi

American College of Obstetrics and Gynecolog (2000) menjelaskan bahwa durasi


aktivitas fisik berkorelasi secara signifikan terhadap tingkat gejala premenstruasi dengan
memperhatikan faktor abnormalitas kerja neuroendokrin. Seorang wanita yang
melakukan aktivitas fisik secara teratur mengalami gejala PMS yaitu kecemasan (anxiety)
lebih rendah dibandingkan wanita yang tidak melakukan aktivitas fi sik, hal ini juga dialami
pada pelari wanita (1). Sindrom pramenstruasi terjadi akibat berbagai faktor yang salah
satunya adalah akibat perubahan hormonal yang terjadi sebelum menstruasi (2).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar wanita yang mengalami gejala
emosional saat sindrom pramenstruasi disebabkan oleh ketidakseimbangan hormon
estrogen dan progesteron yang berdampak pada neurotransmitter serotonin dan GABA
yang mengatur nafsu makan dan perilaku makan. Menurut Ridha dalam Pratita (2013),
Mekanisme hormonal dan neurotransmitter yang menjadi penyebab terjadinya sindrom
pramenstruasi melibatkan beberapa hormon seperti estrogen, progesteron, leptin,
serotonin dan neurotransmitter GABA. Hipotalamus sebagai pusat dari pengaturan
aktivitas tubuh termasuk seksualitas dan penurunan stress dapat mempengaruhi kadar
hormon estrogen dan progesteron. Pada fase folikuler yang ditandai dengan terjadinya
menstruasi, kadar FSH meningkat dan kadar estrogen serta progesteron menurun. Pada
fase selanjutnya yaitu fase luteal, LH (Luteinizing Hormon) akan menyebabkan sel
granulosa dari folikel membentuk corpus luteum sehingga menghasilkan progesteron
dalam jumlah besar dan estrogen dalam jumlah kecil. Pada wanita yang mengalami
sindrom pramenstruasi terjadi ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron,
dimana kadar estrogen meningkat dan kadar progesteron menurun sehingga terjadi
penurunan sintesis serotonin yang berpengaruh pada perubahan suasana hati dan
perilaku. Penurunan sintesis serotonin ini banyak ditemukan pada wanita dengan
sindrom pramenstruasi yang mengalami gejala emosional sehingga berpengaruh pada
nafsu makannya. Adanya pengaruh terhadap nafsu makan maka akan berdampak pada
perilaku makannya. Penurunan kadar progesteron juga akan mempengaruhi
neurotransmitter GABA (gamma- aminobutyric acid) di otak yang terlibat dalam
pengaturan emosi, suasana hati dan perilaku makan. Penurunan sintesis serotonin dan
GABA ini melalui mekanismenya akan menurunkan nafsu makan wanita ketika sindrom
pramenstruasi terjadi (3).
Penelitian yang dilakukan oleh Tambing (2012) pada siswi SMAN 1 dan SMKN 3
Purworejo menunjukkan bahwa siswi dengan aktivitas fisik rendah berisiko mengalami
PMS 4,95 kali lebih tinggi dibanding siswi yang melakukan aktivitas fisik tinggi dengan
mempertimbangkan faktor stress (1)

Aktivitas Fisik
Menurut Kristanti dalam Ekasari (2019), aktivitas fisik adalah setiap pergerakan tubuh
akibat aktivitas otot-otot skelet yang mengakibatkan pengeluaran energi. Setiap orang
melakuan aktivitas fisik antara individu satu dengan yang lain tergantung gaya hidup
perorangan dan faktor lainnya. Aktivitas fisik terdiri dari aktvitas selama bekerja, tidur,
dan pada waktu senggang. Latihan fisik yang terencana, terstruktur, dilakukan berulang-
ulang termasuk olahraga fisik sedang yang dilakukan secara terus menerus dapat
mencegah resiko terjadinya penyakit tidak menular (4). Menurut WHO dalam Wardani
(2015), menyatakan bahwa aktivitas fisik adalah variable utama, setelah angka
metabolisme basal dalam penghitungan pengeluaran energi. Setiap orang memiliki
aktivitas atau kegiatan yang wajib dilakukan setiap hari. Kegiatan wajib tersebut tidak
hanya pekerjaan yang mendatangkan penghasilan, namun juga meliputi kegiatan lain
seperti kegiatan domestik rumah tangga, bersosialisasi, rekreasi dan lain sebagainya.
Walaupun tidak penting secara ekonomi, namun pengeluaran energi untuk kegiatan-
kegiatan tersebut perlu diperhitungkan agar didapatkan angka pengeluaran energi
seseorang sebagai manusia tidak hanya sebagai pekerja. Pengeluaran energi tersebut
kemudian dapat menjadi gambaran kebutuhan energi agar seseorang dapat hidup
dengan lebih sejahtera dan berkualitas secara keseluruhan. Besarnya aktivitas fisik yang
dilakukan seseorang selama 24 jam dinyatakan dalam PAL (Physical Activity Level) atau
tingkat aktivitas fisik. PAL merupakan besarnya energi yang dikeluarkan (kkal) per
kilogram berat badan dalam 24 jam. PAL ditentukan dengan rumus sebagai berikut

∑(𝑃𝐴𝑅 × 𝑤)
𝑃𝐴𝐿 =
24 𝑗𝑎𝑚
Keterangan :
PAL : Physical Activity Level (tingkat aktivitas fisik)
PAR : Physical Activity Ratio (jumlah energi yang dikeluarkan untuk tiap
jenis kegiatan per satuan waktu tertentu)
w : Alokasi waktu tiap aktivitas (jam)

TABEL 1
KLASIFIKASI STATUS GIZI BERDASARKAN IMT/U

Kategori Nilai PAL


1.40-1.69
Ringan (sedentary lifestyle)

1.70-1.99
Sedang (active or moderately active lifestyle)

Berat (vigorous or vigorously active lifestyle) 2.00-2.40


Sumber : FAO/WHO/UNU (2001)

Menurut WHO yang dimodifikasi WNPG VIII dalam Pratita (2013) , Kategori aktivitas fisik dibagi menjadi
3 yaitu ringan, sedang dan berat. Pengelompokkan aktivitas fisik didasarkan pada beban kerja masing-
masing. Beban kerja ringan meliputi aktivitas sekolah dan aktivitas lain yang tidak menguras tenaga,
beban kerja sedang meliputi aktivitas sekolah disertai dengan pekerjaan rumah tangga dan olahraga,
dan beban kerja berat meliputi pekerjaan di lapangan (3)

1. Kusumawardani EF, Adi AC. Aktivitas Fisik Dan Konsumsi Kedelai Pada Remaja Putri Yang
Mengalami Premenstrual Syndrome Di Smkn 10 Surabaya. Media Gizi Indones. 2018;12(1):54.
2. Devi M. Hubungan kebiasaan makan dengan kejadian sindrom pramenstruasi pada remaja putri.
Teknol Dan Kejuru [Internet]. 2010;32(2):197–208. Available from:
http://journal.um.ac.id/index.php/teknologi-kejuruan/article/viewFile/3101/461
3. Pratita R, Margawati A. Hubungan Antara Derajat Sindrom Pramenstruasi Dan Aktivitas Fisik
Dengan Perilaku Makan Pada Remaja Putri. J Nutr Coll [Internet]. 2013;2(4):645–51. Available
from: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jnc
4. Ekasari MF, Riasmini NM, Hartini T. Meningkatkan Kualitas Hidup Lansia Konsep Dan Berbagai
Intervensi. 2019. 119 p.

Anda mungkin juga menyukai