Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Jika kita berbicara tentang persalinan sudah pasti berhubungan dengan


perdarahan, karena semua persalinan baik pervaginam ataupun perabdominal
(sectio cesarea) selalu disertai perdarahan. Pada persalinan pervaginam
perdarahan dapat terjadi sebelum, selama ataupun sesudah persalinan. Perdarahan
bersama-sama infeksi dan gestosis merupakan tiga besar penyebab utama
langsung dari kematian maternal.1,2
Kematian maternal adalah kematian wanita saat hamil, melahirkan atau
dalam 6 minggu setelah berakhirnya kehamilan. Tingkat kematian maternal
(maternal mortality rate) atau Angka Kematian Ibu (AKI) didefinisikan sebagai
jumlah kematian maternal selama satu tahun dalam 100.000 kelahiran hidup.
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia tertinggi di ASEAN, sebesar
307/100.000 kelahiran hidup (Survei Demografi Kesehatan Indonesia SDKI 2002
- 2003); artinya lebih dari 18.000 ibu tiap tahun atau dua ibu tiap jam meninggal
oleh sebab yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan nifas.3
Kehamilan yang berhubungan dengan kematian maternal secara langsung di
Amerika Serikat diperkirakan 7 – 10 wanita tiap 100.000 kelahiran hidup. Data
statistik nasional Amerika Serikat menyebutkan sekitar 8% dari kematian ini
disebabkan oleh perdarahan post partum. Di negara industri, perdarahan post
partum biasanya terdapat pada 3 peringkat teratas penyebab kematian maternal,
bersaing dengan embolisme dan hipertensi. Di beberapa negara berkembang
angka kematian maternal melebihi 1000 wanita tiap 100.000 kelahiran hidup, dan
data WHO menunjukkan bahwa 25% dari kematian maternal disebabkan oleh
perdarahan post partum dan diperkirakan 100.000 kematian matenal tiap
tahunnya.4
Suatu perdarahan dikatakan fisiologis apabila hilangnya darah tidak melebihi
500 cc pada persalinan pervaginam dan tidak lebih dari 1000 cc pada sectio
cesarea. Perlu diingat bahwa perdarahan yang terlihat pada waktu persalinan
sebenarnya hanyalah setengah dari perdarahan yang sebenarnya. Seringkali sectio
cesarean menyebabkan perdarahan yang lebih banyak, harus diingat kalau

1
narkotik akan mengurangi efek vasokonstriksi dari pembuluh darah.2,3 Efek
perdarahan pada ibu hamil tergantung pada volume darah saat ibu hamil, seberapa
tingkat hipervolemia yang sudah dicapai dan kadar hb sebelumnya. Anemia dalam
kehamilan yang masih tinggi di Indonesia (46%) serta fasilitas transfuse darah
yang masih terbatas menyebabkan PPP akan mengganggu penyembuhan pada
masa nifas, proses involusi, dan laktasi.5,6

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Perdarahan postpartum (PPP) didefinisikan sebagai kehilangan 500 ml
atau lebih darah setelah persalinan pervaginam atau 1000 ml atau lebih
setelah seksio sesaria.7,8
Perdarahan pascasalin adalah kehilangan darah > 500 ml melalui jalan
lahir setelah kala tiga (plasenta lahir) dan > 1000 pada operasi sesar dalam 24
jam pertama setelah anak lahir.8
Perdarahan post partum adalah perdarahan yang melebihi 500 ml setelah
bayi lahir. Pada praktisnya tidak perlu mengukur jumlah perdarahan sampai
sebanyak itu sebab menghentikan perdarahan lebih dini akan memberikan
prognosis lebih baik. Pada umumnya bila terdapat perdarahan yang lebih dari
normal, apalagi telah menyebabkan perubahan tanda vital (seperti kesadaran
menurun, pucat, limbung, berkeringat dingin, sesak napas serta tensi < 90
mmHg dan nadi > 100/menit), maka penanganan harus segera dilakukan.(7)
Definisi lain menyebutkan perdarahan post partum adalah perdarahan
500 cc atau lebih yang terjadi setelah plasenta lahir.8
Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian : 8,9-12
a. Perdarahan postpartum primer (early postpartum hemorrhage) yang
terjadi dalam 24 jam setelah anak lahir.
b. Perdarahan postpartum sekunder (late postpartum hemorrhage) yang
terjadi antara 24 jam dan 6 minggu setelah anak lahir.

B. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian perdarahan postpartum setelah persalinan pervaginam
yaitu 5-8 %. Perdarahan postpartum adalah penyebab paling umum
perdarahan yang berlebihan pada kehamilan, dan hampir semua tranfusi pada
wanita hamil dilakukan untuk menggantikan darah yang hilang setelah
persalinan.3

3
Di negara kurang berkembang merupakan penyebab utama dari kematian
maternal hal ini disebabkan kurangnya tenaga kesehatan yang memadai,
kurangnya layanan transfusi, kurangnya layanan operasi.8,14
Kematian maternal adalah kematian wanita saat hamil, melahirkan atau
dalam 6 minggu setelah berakhirnya kehamilan. Tingkat kematian maternal
(maternal mortality rate) atau Angka Kematian Ibu (AKI) didefinisikan sebagai
jumlah kematian maternal selama satu tahun dalam 100.000 kelahiran hidup.
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia tertinggi di ASEAN, sebesar
307/100.000 kelahiran hidup (Survei Demografi Kesehatan Indonesia SDKI
2002 - 2003); artinya lebih dari 18.000 ibu tiap tahun atau dua ibu tiap jam
meninggal oleh sebab yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan
nifas.3

C. KLASIFIKASI
Perdarahan post partum dibagi menjadi1,9:
a) Perdarahan Post Partum Dini / Perdarahan Post Partum Primer (early
postpartum hemorrhage) adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam
pertama setelah kala III. Penyebab utama perdarahan postpartum primer
adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir
dan inversio uteri.
b) Perdarahan pada Masa Nifas / Perdarahan Post Partum Sekunder (late
postpartum hemorrhage). Perdarahan pada masa nifas adalah perdarahan
yang terjadi pada masa nifas (puerperium) tidak termasuk 24 jam
pertama setelah kala III. Perdarahan postpartum sekunder disebabkan
oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang
tertinggal.

D. ETIOLOGI
Perdarahan sekunder ditemukan kurang dari 1% dari semua persalinan.
Sebab-sebabnya ialah adanya subinvolusi, vaginal hematom, sisa plasenta,
dan robekan serviks yang kadang tidak terdiagnosis sewaktu ibu bersalin
karena perdarahan pada waktu persalinan tidak menonjol.1

4
1. Subinvolusi
Sesudah persalinan uterus yang beratnya 1.000 gram akan mengecil
sampai menjadi 40 - 60 gram dalam 6 minggu. Proses ini dinamakan
involusi uterus, yang didahului oleh kontraksi uterus yang kuat, yang
menyebabkan berkurangnya peredaran darah dalam organ tersebut.
Kontraksi itu dalam masa nifas beriangsung terus walaupun tidak se- kuat
pada permulaan. Hal tersebut berlangsung beserta hilangnya pengaruh
estrogen dan progesteron menyebabkan autolisis dengan akibat sel-sel otot
pada dinding uterus menjadi lebih kecil dan lebih pendek. Pada sub-
invoiusi proses mengecilnya uterus terganggu. Faktor-faktor penyebab
antara lain tertinggalnya sisa plasenta di dalam rongga uterus,
endometritis, adanya mioma uteri, dan sebagainya. Pada peristiwa ini
lokhia benambah banyak dan tidak jarang terdapat pula perdarahan. Pada
pemeriksaan bimanual ditemukan utems lebih besar dan lebih lembek
daripada yang seharusnya sesuai dengan masa nifas.1

Gambar 1. Involusi normal dari uterus sesudah persalinan

2. Vaginal hematom
Laserasi pembuluh darah dibawah mukosa vagina dan vulva akan
menyebabkan hematom, perdarahan akan tidak terdeteksi dan dapat
menjadi berbahaya karena tidak akan terdeteksi selama beberapa jam dan
bisa menyebabkan terjadinya syok.8

5
Gambar 2. Episiotomi

Episiotomi dapat menyebabkan perdarahan yang berlebihan jika mengenai


arteri atau vena yang besar, jika episitomi luas, jika ada penundaan antara
episitomi dan persalinan, atau jika ada penundaan antara persalinan dan
perbaikan episiotomi. Perdarahan yang terus terjadi dan kontraksi uterus
baik akan mengarah pada perdarahan dari laserasi ataupun episiotomi.
Ketika laserasi serviks atau vagina diketahui sebagai penyebab perdarahan
maka repair adalah solusi terbaik.8

3. Sisa plasenta
Sisa plasenta dan ketuban yang masih tertinggal dalam rongga rahim
dapat menimbulkan perdarahan postpartum dini atau perdarahan
pospartum lambat (biasanya terjadi dalam 6 – 10 hari pasca persalinan).
Pada perdarahan postpartum dini akibat sisa plasenta ditandai dengan
perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi rahim
baik. Pada perdarahan postpartum lambat gejalanya sama dengan
subinvolusi rahim, yaitu perdarahan yang berulang atau berlangsung terus
dan berasal dari rongga rahim. Perdarahan akibat sisa plasenta jarang
menimbulkan syok. Penilaian klinis sulit untuk memastikan adanya sisa
plasenta, kecuali apabila penolong persalinan memeriksa kelengkapan
plasenta setelah plasenta lahir. Apabila kelahiran plasenta dilakukan oleh
orang lain atau terdapat keraguan akan sisa plasenta, maka untuk
memastikan adanya sisa plasenta ditentukan dengan eksplorasi dengan
tangan, kuret atau alat bantu diagnostik yaitu ultrasonografi. Pada

6
umumnya perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan
kontraksi rahim baik dianggap sebagai akibat sisa plasenta yang tertinggal
dalam rongga rahim.6

4. Robekan uteri
Ruptur uteri atau robeknya dinding rahim terjadi akibat terlampauinya
daya regang miometrium. Paling sering terjadi pada bagian lateral bawah
kiri dan kanan dari porsio. Pada bekas seksio sesarea, risiko terjadinya
ruptura uteri lebih tinggi. Diagnosis :15
a. Perdarahan intraabdominal, dengan atau tanpa perdarahan pervaginam
b. Nyeri perut hebat (dapat berkurang setelah ruptura terjadi)
c. Syok atau takikardia
d. Adanya cairan bebas intraabdominal
e. Hilangnya gerak dan denyut jantung janin
f. Bentuk uterus abnormal atau konturnya tidak jelas
g. Dapat didahului oleh lingkaran konstriksi (Bandl’s ring)
h. Nyeri raba/tekan dinding perut
i. Bagian-bagian janin mudah dipalpasi

E. FAKTOR RESIKO
Faktor risiko PPP dapat ada saat sebelum kehamilan, saat kehamilan, dan
saat persalinan. Faktor risiko sebelum kehamilan meliputi usia, indeks massa
tubuh, dan riwayat perdarahan postpartum. Faktor risiko selama kehamilan
meliputi usia, indeks massa tubuh, riwayat perdarahan postpartum, kehamilan
ganda, plasenta previa, preeklampsia, dan penggunaan antibiotik. Sedangkan
untuk faktor risiko saat persalinan meliputi plasenta previa anterior, plasenta
previa mayor, peningkatan suhu tubuh >37⁰C, korioamnionitis, dan retensio
plasenta.8,17
Meningkatnya usia ibu merupakan faktor independen terjadinya PPP. Pada
usia lebih tua jumlah perdarahan lebih besar pada persalinan sesar dibanding
persalinan vaginal. Secara konsisten penelitian menunjukkan bahwa ibu yang
hamil kembar memiliki 3-4 kali kemungkinan untuk mengalami PPP.

7
Perdarahan postpartum juga berhubungan dengan obesitas. Risiko perdarahan
akan meningkat dengan meningkatnya indeks massa tubuh. Pada wanita
dengan indeks massa tubuh lebih dari 40 memiliki resiko sebesar 5,2%
dengan persalinan normal.17

F. GEJALA KLINIS
Efek perdarahan banyak bergantung pada volume darah sebelum hamil
dan derajat anemia saat persalinan. Gambaran PPP yang dapat mengecohkan
adalah kegagalan nadi dan tekanan darah untuk mengalami perubahan besar
sampai terjadi kehilangan darah sangat banyak. Kehilangan banyak darah
tersebut menimbulkan tanda-tanda syok yaitu penderita pucat, tekanan darah
rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstrimitas dingin, dan lain-lain.
Gambaran klinis pada hipovolemia dapat dilihat pada tabel berikut: 1,8,17

Tabel 1. Gambaran klinis perdarahan obstetric


Volume darah Tekanan darah Tanda dan Derajat syok
yang hilang (sistolik) gejala
500-1000 mL Normal Tidak ditemukan -
(<15-20%)
1000-1500 mL 80-100 mmHg Takikardi (<100 Ringan
(20-25%) kali/menit)
Berkeringat
Lemah
1500-2000 mL 70-80 mmHg Takikardi (100- Sedang
(25-35%) 120 kali/menit)
Oliguria
Gelisah
2000-3000 mL 50-70 mmHg Takikardi (>120 Berat
(35-50%) kali/menit)
Anuria

(Sumber : B-Lynch (2006)

G. DIAGNOSIS

Dapat disebut perdarahan post partum bila perdarahan terjadi sebelum,


selama, setelah plasenta lahir. Beberapa gejala yang bisa menunjukkan
perdarahan postpartum :6

8
a. Perdarahan yang tidak dapat dikontrol
b. Penurunan tekanan darah
c. Peningkatan detak jantung
d. Penurunan hitung sel darah merah ( hematokrit)
e. Pembengkakan dan nyeri pada jaringan daerah vagina dan sekitar
perineum
Perdarahan hanyalah gejala, penyebabnya haruslah diketahui dan
ditatalaksana sesuai penyebabnya.6 Perdarahan postpartum dapat berupa
perdarahan yang hebat dan menakutkan sehingga dalam waktu singkat ibu
dapat jatuh kedalam keadaan syok. Atau dapat berupa perdarahan yang
merembes perlahan-lahan tapi terjadi terus menerus sehingga akhirnya
menjadi banyak dan menyebabkan ibu lemas ataupun jatuh kedalam syok.6
Pada perdarahan melebihi 20% volume total, timbul gejala penurunan
tekanan darah, nadi dan napas cepat, pucat, extremitas dingin, sampai terjadi
syok. Pada perdarahan sebelum plasenta lahir biasanya disebabkan retensio
plasenta atau laserasi jalan lahir, bila karena retensio plasenta maka
perdarahan akan berhenti setelah plasenta lahir. Pada perdarahan yang terjadi
setelah plasenta lahir perlu dibedakan sebabnya antara atonia uteri, sisa
plasenta, atau trauma jalan lahir. Pada pemeriksaan obstretik kontraksi uterus
akan lembek dan membesar jika ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik
dilakukan eksplorasi untuk mengetahui adanya sisa plasenta atau laserasi
jalan lahir.6,8
Berikut langkah-langkah sistematik untuk mendiagnosa perdarahan
postpartum: 6
1. Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri
2. Memeriksa plasenta dan ketuban : apakah lengkap atau tidak
3. Lakukan ekplorasi kavum uteri untuk mencari :
a. Sisa plasenta dan ketuban
b. Robekan rahim
c. Plasenta succenturiata
4. Inspekulo : untuk melihat robekan pada cervix, vagina, dan varises
yang pecah.

9
5. Pemeriksaan laboratorium : bleeding time, Hb, Clot Observation test
dan lain-lain.

H. PENATALAKSANAAN
1. Tatalaksana Umum :15
a. Panggil bantuan tim untuk tatalaksana secara simultan
b. Nilai sirkulasi, jalan napas, dan pernapasan pasien
c. Bila menemukan tanda-tanda syok, lakukan penatalaksanaan syok
d. Berikan oksigen
e. Pasang infus intravena dengan kanul berukuran besar (16
atau 18) dan mulai pemberian cairan kristaloid
(NaCl 0,9% atau Ringer Laktat atau Ringer Asetat) sesuai
dengan kondisi ibu. Pada saat memasang infus, lakukan juga
pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan.
f. Jika fasilitas tersedia, ambil sampel darah dan lakukan
pemeriksaan:
 Kadar hemoglobin (pemeriksaan hematologi rutin)
 Penggolongan ABO dan tipe Rh serta sampel
untuk pencocokan silang
 Profil Hemostasis :
 Waktu perdarahan (Bleeding Time/BT) o Waktu pembekuan
(Clotting Time/CT)
 Prothrombin time (PT)
 Activated partial thromboplastin time (APTT)
 Hitung trombosit
 Fibrinogen
 Lakukan pengawasan tekanan darah, nadi, dan pernapasan ibu.
 Periksa kondisi abdomen: kontraksi uterus, nyeri tekan, parut
luka, dan tinggi fundus uteri.
 Periksa jalan lahir dan area perineum untuk melihat perdarahan
dan laserasi (jika ada, misal: robekan serviks atau robekan
vagina).

10
 Periksa kelengkapan plasenta dan selaput ketuban.
 Pasang kateter Folley untuk memantau volume urin dibandingkan
dengan jumlah cairan yang masuk. (CATATAN:
produksi urin normal 0.5-1 ml/ kgBB/jam atau sekitar 30
ml/jam).
 Siapkan transfusi darah jika kadar Hb < 8 g/dL
atau secara klinis ditemukan keadaan anemia berat.
 1 unit whole blood (WB) atau packed red cells (PRC)
dapat menaikkan hemoglobin 1 g/dl atau hematokrit
sebesar 3% pada dewasa normal.
 Mulai lakukan transfusi darah, setelah
informed consent ditandatangani untuk persetujuan transfusi.
 Tentukan penyebab dari perdarahannya dan lakukan tatalaksana
spesifik sesuai penyebab

2. Tatalaksana khusus
a. Subinvolusi
Terapi subinvolusi ialah pemberian ergometrin peroral atau suntikan
intramuskular. Pada subinvolusi karena tertinggalnya sisa plasenta,
perlu dilakukan kerokan rongga rahim (kuretase).1
b. Vaginal hematom
Hematoma jalan lahir bagian bawah biasanya terjadi apabila terjadi
laserasi pembuluh darah dibawah mukosa, penetalaksanaannya bisa
dilakukan insisi dan drainase. Apabila hematom sangat besar curiga
sumber hematoma karena pecahnya arteri, cari dan lakukan ligasi
untuk menghentikan perdarahan.8
c. Sisa plasenta
Sebagian kecil dari plasenta yang tertinggal dalam uterus disebut sisa
plasenta. Apabila kontraksi uterus jelek atau kembali lembek setelah
kompresi bimanual ataupun massase dihentikan, bersamaan
pemberian uterotonica lakukan eksplorasi ke dalam rahim dengan cara
manual/digital atau kuret. Beberapa ahli menganjurkan eksplorasi

11
secepatnya, akan tetapi hal ini sulit dilakukan tanpa general anestesi
kecuali pasien jatuh dalam syok. Jangan hentikan pemberian
uterotonica selama dilakukan eksplorasi. Setelah eksplorasi lakukan
massase dan kompresi bimanual ulang tanpa menghentikan pemberian
uterotonica.6
Pemberian antibiotik spectrum luas setelah tindakan eksplorasi
dan manual removal. Apabila perdarahan masih berlanjut dan
kontraksi uterus tidak baik bisa dipertimbangkan untuk dilakukan
laparatomi. Pemasangan tamponade uterovaginal juga cukup berguna
untuk menghentikan perdarahan selama persiapan operasi.6

Gambar 3. Eksplorasi ke dalam uterus

d. Robekan uteri
Robekan serviks sering terjadi pada sisi lateral karena
serviks yang terjulur akan mengalami robekan pada posisi spina
ischiadica tertekan oleh kepala bayi.1 Bila kontraksi uterus baik,
plasenta lahir lengkap, tetapi terjadi perdarahan banyak maka
segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan dari portio.
Jepitkan klem ovarium pada kedua sisi portio yang robek
sehingga perdarahan dapat segera dihentikan. Jika setelah
eksplorasi lanjutan tidak dijumpai robekan lain, lakukan
penjahitan. Jahitan dimulai dari ujung alas robekan kemudian ke

12
arah luar sehingga semua robekan dapat dijahit. Setelah tindakan,
periksa tanda vital pasien, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri
dan perdarahan pasca tindakan. Beri antibiotika profilaksis,
kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda infeksi. Bila terdapat defisit
cairan, lakukan restorasi dan bila kadar Hb<8 g%, berikan
transfusi darah.15

3. Tindakan pembedahan
a. Laparatomi
Pemilihan jenis irisan vertical ataupun horizontal (Pfannenstiel)
adalah tergantung operator. Begitu masuk bersihkan darah bebas
untuk memudahkan mengeksplorasiuterus dan jaringan sekitarnya
untuk mencari tempat rupture uteri ataupun hematom. Reparasi
tergantung tebal tipisnya rupture. Pastikan reparasi benar- benar
menghentikan perdarahan dan tidak ada perdarahan dalam karena
hanya akan menyebabkan perdarahan keluar lewat vagina.
Pemasangan drainase apabila perlu. Apabila setelah pembedahan
ditemukan uterus intact dan tidak ada perlukaan ataupun rupture
lakukan kompresi bimanual disertai pemberian uterotonica.
b. Histerektomi
Merupakan tindakan curative dalam menghentikan perdarahan yang
berasal dari uterus. Total histerektomi dianggap lebih baik dalam
kasus ini walaupun subtotal histerektomi lebih mudah dilakukan, hal
ini disebabkan subtotal histerektomi tidak begitu efektif
menghentikan perdarahan apabila berasal dari segmen bawah rahim,
servix, fornix vagina.

I. KOMPLIKASI
Perdarahan postpartum yang tidak ditangani dapat mengakibatkan :
1. Syok hemoragik
Akibat terjadinya perdarahan, ibu akan mengalami syok dan
menurunnya kesadaran akibat banyaknya darah yang keluar. Hal ini

13
menyebabkan gangguan sirkulasi darah ke seluruh tubuh dan dapat
menyebabkan hipovolemia berat. Apabila hal ini tidak ditangani dengan
cepat dan tepat, maka akan menyebabkan kerusakan atau nekrosis tubulus
renal dan selanjutnya merusak bagian korteks renal yang dipenuhi 90%
darah di ginjal. Bila hal ini terus terjadi maka akan menyebabkan ibu tidak
terselamatkan.
2. Anemia
Anemia terjadi akibat banyaknya darah yang keluar dan menyebabkan
perubahan hemostasis dalam darah, juga termasuk hematokrit darah.
Anemia dapat berlanjut menjadi masalah apabila tidak ditangani, yaitu
pusing dan tidak bergairah dan juga akan berdampak juga pada asupan
ASI bayi.
3.Sindrom Sheehan
Hal ini terjadi karena, akibat jangka panjang dari perdarahan
postpartum sampai syok. Sindrom ini disebabkan karena hipovolemia
yang dapat menyebabkan nekrosis kelenjar hipofisis. Nekrosis kelenjar
hipofisi dapat mempengaruhi sistem endokrin.6

J. PENCEGAHAN
Pencegahan merupakan tindakan terbaik, dan identifikasi berbagai faktor
resiko merupakan salah satu langkah mengantisipasi perdarahan postpartum.
Stratifikasi kehamilan berdasarkan resiko memudahkan penataan strategi
pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil sesuai jenjang fasilitas rujukan.
Berbagai hal dapat dilakukan dalam rangka mengantisipasi hal tersebut,
antara lain:3,8
1. Mengoptimalkan kondisi ibu sebelum hamil dan sebelum bersalin,
misalnya mengatasi anemia, mengobati penyakit kronis, memperbaiki
keadaan umum dan lain-lain.
2. Mengidentifikasi faktor resiko perdarahan postpartum baik antepartum
maupun intrapartum, sehingga kehamilan beresiko tinggi segera dapat
ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih di tempat rujukan dengan fasilitas
memadai.

14
3. Membekali diri dengan penguasaan langkah-langkah pertolongan pertama
perdarahan postpartum, dan mengadakan rujukan sebagaimana mestinya.
Saat persalinan berlangsung, berbagai riset membuktikan manajemen aktif
kala tiga berhasil menurunkan insidens perdarahan postpartum. Manajemen
aktif kala tiga mencakup:
a. Pemberian uterotonika dalam 1 menit pertama setelah bayi lahir,
b. Peregangan tali pusat terkendali disertai penekanan uterus ke arah
dorsokranial (manuver Brandt-Andrew),
c. Masase uterus melalui dinding abdomen pasca kelahiran plasenta.
Kombinasi ketiga tindakan tersebut bertujuan menghasilkan kontraksi uterus
yang baik sehingga mempersingkat waktu dan mengurangi perdarahan pada
kala tiga persalinan dibanding manajemen pasif (fisiologis), termasuk
mengurangi permintaan transfusi, dan menurunkan angka kematian maternal.8
Tertinggalnya sisa plasenta dan bekuan darah dalam kavum uteri dapat
dicegah dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan plasenta dan segera
mengevakuasinya secara manual bila ditemukan. 8,13

Gambar 4. Memeriksa kelengkapan plasenta

Robekan jalan lahir dapat dicegah dengan menghindari pimpinan


persalinan pada saat pembukaan serviks belum lengkap, menghindari
pertolongan persalinan yang manipulatif dan traumatik. Robekan jalan lahir
dapat terjadi saat kepala dan bahu dilahirkan terlalu cepat dan tidak
terkendali. Episiotomi rutin untuk mencegah robekan berlebihan pada
perineum tidak didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang cukup sehingga tidak
dianjurkan sebab justru meningkatkan resiko robekan derajat tiga atau empat,
meningkatkan jumlah darah yang hilang dan resiko hematom.17

15
K. PROGNOSIS
Prognosis tergantung faktor resiko dan bila ditangani dengan cepat dan tepat
maka prognosis dari perdarahan post partum akan baik.

16
BAB III
KESIMPULAN

1. Perdarahan post partum adalah perdarahan yang masif yang berasal dari
tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir dan jaringan
sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu di samping
perdarahan karena hamil ektopik dan abortus. Perdarahan postpartum
terjadi hilangnya ±500 mL atau lebih darah setelah selesainya kala 3
persalinan. Pada praktisnya tidak perlu mengukur jumlah perdarahan
sampai sebanyak itu sebab menghentikan perdarahan lebih dini akan
memberikan prognosis lebih baik.
2. Angka kejadian perdarahan postpartum setelah persalinan pervaginam
yaitu 5-8 %. Perdarahan postpartum adalah penyebab paling umum
perdarahan yang berlebihan pada kehamilan, dan hampir semua tranfusi
pada wanita hamil dilakukan untuk menggantikan darah yang hilang
setelah persalinan.
3. Menurut kejadiannya perdarahan post partum terbagi menjadi dua, yaitu
Perdarahan postpartum dini atau primer bila perdarahan terjadi dalam 24
jam pertama dan Perdarahan postpartum lambat atau sekunder bila
perdarahan terjadi setelah 24 jam persalinan.
4. Faktor penyebab perdarahan postpartum sekunder ialah subinvolusi,
vaginal hematom, sisa plasenta, dan robekan uteri.
5. Faktor resiko terbagi atas faktor resiko antenatal dan intrapartum.
Gejala klinis perdarahan bergantung pada volume darah sebelum hamil
dan derajat anemia saat persalinan. Kehilangan banyak darah tersebut
menimbulkan tanda-tanda syok yaitu penderita pucat, tekanan darah
rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstrimitas dingin, dan lain-lain.
6. Diagnosis perdarahan post partum bila ditemukan perdarahan yang tidak
dapat dikontrol, penurunan tekanan darah, peningkatan detak jantung,
Penurunan hitung sel darah merah ( hematokrit), dan pembengkakan dan
nyeri pada jaringan daerah vagina dan sekitar perineum
7. Penatalaksanaan terbagi atas penatalaksanaan umum, khusus, dan
pembedahan.

17
8. Pencegahan dengan mengoptimalkan kondisi ibu selama hamil dan
sebelum bersalin, mengidentifikasi faktor resiko perdarahan postpartum
baik antepartum maupun intrapartum, dan membekali diri dengan
penguasaan langkah-langkah pertolongan pertama perdarahan postpartum.
9. Prognosis tergantung faktor resiko dan bila ditangani dengan cepat dan
tepat maka prognosis dari perdarahan postpartum akan baik.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Wiknjosastro, H.Ilmu Kebidanan. Edisi Keempat cetakan Kedua. Jakarta


:Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2008
2. Cunningham F G, Gant NF. Williams Obstetri. Edisi ke-21. Volume 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2011
3. Mike, ed. Buku panduan high risks obstetrics: firedrills and workshop.
Jakarta: the Royal College of Obstetricians and Gynaecologists; 2001.
4. JR Smith, BG Brennan. Postpartum Hemorrhage. http://www.emedicine.com
diunduh tanggal 25 April 2018

5. Gabbe. Obstretics – Normal and Problem Pregnancies. 4th ed. London:


Churchil Livingstone, Inc. 2002
6. Cuningham F. Leveno k, Bloom S, Houth J, G, Strap Wenstroom K, Chapter
25 Obstetrical Hemorrahge. Section VII, Obstetrical Complication,William
Obstetrics 22 th edition. Philadelphic. McGrouthill. 2005. P 635-663.
7. World Health Organization (WHO). WHO recommendations for the
prevention and treatment of postpartum haemorrhage. World Health. 2012
8. Mukherjee S, Arulkumaran S, (2009): Post-partum haemorrhage; Obsterics,
Gynaecology and Reproductive medicine, vol 19:5, hal 122-126
9. JNPKKR. POGI. Perdarahan setelah bayi lahir, dalam buku acuan nasional
pelayanan kesehatan maternal dan neonatal edisi kedua. Prawiroharjo S. Ed.
Jakarta. YBP-SP. 2002
10. Georgiou C. Balloon tamponade in the management of postpartum
haemorrhage: a review. BJOG An Int J Obstet Gynaecol [Internet].
2009;116(6):748–57.
11. Lagrew D. dan Hull A. 2009. Uterine Hemostatic Sutures dalam CMQCC
12. Obstetric Care Guidelines and Compendium of Best Practices. Available at:
www.cmqcc.org/resources/940/download
13. The International Federation of Gynecology and Obstetrics. Prevention and
Treatment of Postpartum Hemorrhage in Low Resourse Settings. FIGO
Guidelines. International Journal Gynecology and Obstetrics 2012; 117: 108-
118.

19
14. Rukmini. Gambaran penyebab kematian maternal di rumah sakit: Cermin
dunia kedokteran. [online]. 2007. September, [cited 2018 April 20]. Volume
34. Hal. 225. Available from: URL: http://www kalbe.co.id/cdk
15. World Health Organization (WHO). Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar Rujukan.Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia. 2013
16. Cuningham F. Leveno k, Bloom S, Houth J, G, Strap Wenstroom K, Chapter
25 Obstetrical Hemorrahge. Section VII, Obstetrical Complication,William
Obstetrics 22 th edition. Philadelphic. McGrouthill. 2005. P 635-663.
17. Alan H. DeCherney and Lauren Nathan. Current Obstretric & Gynecologic
Diagnosis & Tretment, Ninth edition : 2003 by The McGraw-Hill Companies,
Inc.

20

Anda mungkin juga menyukai