Anda di halaman 1dari 5

Emalku; yanto.radarcirebon@gmail.

Com

Tantangan Sekolah dan Guru Menularkan Virus “Candu Membaca” pada Siswa

Oleh Tri Joko Priatmo, M.Pd.

Pada abad ke-21 ini, kemampuan berliterasi peserta didik berkaitan erat dengan tuntutan
keterampilan membaca yang berujung pada kemampuan memahami informasi secara analitis,
kritis, dan reflektif. Akan tetapi, pembelajaran disekolah saat ini belum mampu mewujudkan
hal tersebut.

Membaca adalah proses membuka cakrawala pemikiran tentang ilmu pengetahuan seseorang.
Adapun kegiatan membaca berarti sebuah proses kegiatan untuk menambah pengetahuan
baru. Hal tersebutlah yang mendasari mengapa manusia hidup perlu membaca.

Tanpa aktivitas membaca, kegiatan pembelajaran tidak akan berlangsung dengan baik.
Mempelajari hal apapun tentunya harus dimulai dengan aktivitas membaca terlebih dahulu.
Begitu besar peranan membaca dalam kehidupan ini. Semakin banyak yang kita baca, semakin
kita tahu banyak hal. Semakin kita tahu banyak hal, semakin ingin terus membaca, semakin
ingin terus membaca semakin kita cinta membaca. Namun ironisnya, kegiatan membaca belum
menjadi kegemaran utama di kalangan pelajar. Hoby membaca masih terkalahkan jauh oleh
kegiatan menonton televisi, main Video Game, atau Playstation.

PISA 2009 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-57 dengan skor
396 (skor rata-rata OECD 493), sedangkan PISA 2012 menunjukkan peserta didik Indonesia
berada pada peringkat ke-64 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 496) (OECD, 2013).
Sebanyak 65 negara berpartisipasi dalam PISA 2009 dan 2012. Dari kedua hasil ini dapat
dikatakan bahwa praktik pendidikan yang dilaksanakan di sekolah belum memperlihatkan
fungsi sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang berupaya menjadikan semua warganya
menjadi terampil membaca untuk mendukung mereka sebagai pembelajar sepanjang hayat.

Selain itu, bercermin dari studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh
Central Connecticut State Univesity pada tahun 2016 yang lalu, Indonesia dinyatakan
menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca masyarakatnya. Indonesia
persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61).

Minat baca seseorang tidak dapat terbentuk secara instan, melainkan butuh proses yang
berkesinambungan danberkelanjutan agar minat baca seseorang dapat terbentuk dan menjadi
kebutuhan dalam kehidupan kita.

Bukan hal yang mudah menggugah minat baca seseorang di zaman yang setiap orang ingin
sesuatu yang serba instan ini. Orang akan lebih memilih mencari ringkasan buku atau hanya
melihat resensi buku yang telah dibuat orang lain dibandingkan dengan harus membeli buku
dan membacanya hingga akhir. Di era globalisasi saat ini, perkembangan teknologi menjadi
sebuah hal yang pasti. Bagaimana kemudahan ini pun telah merasuki generasi muda kita saat
ini. Hal tersebut tentu menjadi sebuah tantangan bagi para pendidik untuk menumbuhkan
minat baca siswanya.

Siswa dengan lingkungan baca yang baik, berasal dari keluarga dan sekolah yang
membiasakan membaca sebagai kebutuhan, pasti akan mendapatkan lingkungan dan
pembiasaan membaca yang baik pula. Namun sebaliknya, apabila seorang siswa tidak
mendapatkan pengalaman awal membaca yang cukup, maka penumbuhan minat baca bagi
anak tersebut pun akan mengalami kendala yang cukup besar.

Dewasa ini pemerintah sedang gencar-gencarnya meningkatkan minat baca dikalangan anak
usia sekolah dasar sampai sekolah lanjutan. Berbagai program pun dicanangkan. Mulai dari
program wajib baca, budayabaca, sampai pada hari gratis ongkir buku setiap bulan tanggal
17 di PT. POS indonesia, dan juga Gerakan Literasi Sekolah (GLS) untuk meningkatkan dan
menggali potensi membaca siswa sejak dini.

GLS dikembangkan berdasarkan sembilan agenda prioritas (Nawacita) yang terkait dengan
tugas dan fungsi Kemendikbud. Empat butir Nawacita terkait erat dengan komponen literasi
sebagai modal pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas, produktif dan berdaya
saing, berkarakter, serta nasionalis .

Kegiatan upaya menumbuhkan minat baca siswa merupakan tantangan awal yang harus
ditahlukkan oleh kalangan pendidik. Program kegiatan yang dirancang disekolah dari mulai
merangsang siswa untuk lebih mencintai buku dengan pengenalan buku, bazaar buku,
menempatkan buku di sudut sudut kelas, pembiasaan membaca 15 menit sebelum pelajaran
hingga pemberian reward kepada siswa.

Salah satu cara untuk menumbuhkan minat baca siswa yang ditawarkan penulis adalah Fun
Reading Challenge and Reward (FRCW). FRCW ini adalah salah satu cara untuk memotivasi
siswa membaca berupa pemberian penghargaan langsung (direct rewad) setelah mereka
menyelesaikan kegiatan membaca mereka. Pada FRCW siswa berlomba untuk
mengumpulkan jempol literasi.

Fun Reading adalah kegiatan membaca yang menyenangka, Challenge adalah tantangan
membaca berapa buku yang bisa mereka baca dan menuliskan ringkasannya, sedangkan
Reward adalah penghargaan langsung yang mereka dapatkan berupa makanan ringan atau
disertakan pada undian hadiah mingguan melalui “Jempol Literasi” yang mereka kumpulkan.

Jempol literasi adalah berupa cetakan kertas gambar jempol like ( seperti like di facebook)
ukuran 4 x 6 cm dengan warna desain menarik yang diperbanyak oleh sekolah dibagikan oleh
petugas di perpustakaan sekolah.

Nah, siswa mendapatkan jempol literasi dengan cara menukarkan lembar literasi kepada
petugas perpustakaan. Apakah lembar literasi itu? Lembar literasi berisi datasingkat judul
buku, pengarang, tahun terbit dan ringkasan isi sebuah buku yang di perbanyak sebelumnya
dan ditempelkan pada setiap buku di perpustakaan. Dari beberapa lembar literasi yang siswa
punya, kemudian ditukarkan dengan jempol literasi oleh petugas perpustakaan.

Jempol literasi menjadi benda sangat berharga bagi siswa sebagai reward langsung setelah
mereka menyelesaikan membaca buku. Jempol literasi ini yang kemudian bisa ditukarkan
dengan beberapa jenis perlengkapan sekolah berupa pena, pensil, penggaris, tas topi atau
aneka makanan dan minuman ringan seperti cokelat atau teh botol yang di pajang di
perpustakaan atau kantin sekolah. Jempol literasi juga dapat disertakan pada undian hadiah
literasi yang diundi tiap minggu oleh wali kelas didepan siswa kelasnya atau pembina OSIS
pada waktu selesai upacara Senin atau kegiatan religi pada hari Jumat. Inilah bentuk reward
luarbiasa kepada siswa yang langsung mereka dapatkan dari kegiatan membaca yang mereka
telah lakukan.
Betapa reward yang ditawarkan ini akan menjadi pelecut bagi anak dalam membaca. Tidak
sedikit siswa yang menjadikan buku sebagai objek yang mereka harus cari kala mereka pergi
berlibur. Setiap minggu menjadi tantangan buat mereka tentang sebanyak apa buku yang
sudah mereka baca. Biarkan anak suka membaca, biarkan mereka merencanakan sendiri
berapa buku yang akan mereka baca,biarkan anak candu membaca, biarkan buku menjadi
pemuas dahaga pengetauan mereka, tanpa harus dibebani dengan berbagai macam tuntutan.

Sungguh pemandangan yang luar biasa bagi kami para pendidik bisa menyaksikan momen
dimana siswa kami begitu semangat untuk menggali pengetahuan. Ada yang suka buku
cerita, novel, legenda, dongeng, tapi tidak sedikit pula yang mereka baca adalah ilmu
pengetahuan yang pada akhirnya sangat menunjang mereka dalam pembelajaran setiap hari.
Bagaimana akhirnya disetiap obrolan mereka terselip pertanyaan, "Kamu tahu judul buku
ini?", atau "Kemarin aku baca buku ini, lo. Isinya tentang ..."

Bukankah itu tujuan utama literasi sesungguhnya? Memberikan peluang yang sebesar-
besarnya kepada anak untuk mengeksploitasi pengetahuan dan pengalaman baca mereka.
Mungkin belum bisa merasuk ke seluruh jiwa siswa, namun dengan semua program serta
dukungan yang kini diberikan, literasi bisa menjadi andalan bangsa Indonesia dalam
mengembangkan sayap ke seluru penjuru dunia. Literasi bisa menjadi tonggak kebangkitan
bangsa sehingga buta literasi bisa kita bumi hanguskan. Menjadikan generasi yang melek
informasi, melek baca dan tidak lagi bermusuhan dengan pengetahuan.

Finlandia, sebuah negara dengan sistem pendidikan terbaik saat ini. Di negeri ini minat baca
masyarakatnya sangat tinggi, Berikut adalalah budaya yang terjadi di sana menurut yang
ditulis Gamerman (2008) :

- Orang tua yang baru melahirkan bayi diberi paket pertumbuhan anak dari pemerintah,
termasuk buku.
- Terdapat perpustakaan di mal-mal. Terdapat buku keliling yang selalu membuat
masyaraka bisa mengakses buku dengan mudah.
- Tidak ada kelas untuk anak berbakat. Kelas khusus lebih difokuskan pada yang yang
tertinggal dalam hal membaca.
- Guru disana memiliki kebebasan dalam merancang pembelajaran menyesuaikan
kebutuhan siswa. Di kita sekolah ibarat pabrik mobil. Di Finlandia, guru ibarat seorang
pengusaha.
- Membaca adalah hal yang ditemukan di setiap sudut kota. Bahkan di dalam bus atau
angkot terdapat perpustakaan mini.

Bagaimana literasi telah menjadi pembakar semangat belajar, pendobrak tembok kemalasan,
dan penggugah semangat belajar, tidak hanya bagi siswa, namun guru pun ada di dalamnya.
Berawal dari sekolah, mari kita sukseskan Gerakan Literasi Sekolah dengan berbagai
kreatifitas bukan hanya untuk menumbuhkan motivasi membaca, tetapi lebih dari itu
membudayakan membaca masyarakat untuk kemajuan pendidikan dan bangsa Indonesia
yang kita cintai ini.

Anda mungkin juga menyukai