Anda di halaman 1dari 32

KUMPULAN KHUTBAH JUMAT PILIHAN 2015

7 Larangan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam – Larangan Keenam

Jangan Saling Membenci

Firman Allah “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surge yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang- orang yang bertakwa. (yaitu)
orang- orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-
orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-
orang yang berbuat kebajikan.” (QS Ali Imran [3]: 133-134)

Mengapa harus ada rasa saling benci jika kita ditakdirkan sebagai umat yang bersaudara satu
sama lain. Persaudaraan yang jauh lebih mulia daripada persaudaraan karena ikatan darah,
bahasa atau suku bangsa.

Mengapa harus ada rasa saling benci hanya karena kita berbeda daerah, berbeda suku, berbeda
organisasi, berbeda partai, jika kita masih meyakini Allah sebagai satu- satunya Dzat Yang Maha
Kuasa yang patut disembah. Mengapa kita saling membenci jika tuhan kita adalah sama yaitu
Allah Swt dan Allah menegaskan bahwa kita bersaudara.

Sahabatku, sungguh tak ada alasan bagi kita untuk membenci saudara kita sendiri. Karena
jangankan untuk membenci, kita malah tidak berhak berprasangka buruk sedikitpun kepada
sesama dan muslim. Jikapun ada prasangka itu muncul, maka kita diharuskan untuk menepisnya
dan sebisa mungkin mencarikan alasan agar kita tetap bisa berprasangka baik terhadapnya.
Dengan diiringi itikad untuk tabayyun dan memberikan nasehat demi kebaikannya.

Tentu manusiawi jikalau kita mencintai seseorang atau membenci nya. Karena manusia
diberikan karunia berupa perasaan. Akan tetapi islam diturunkan oleh Allah adalah sebagai
pedoman untuk kita agar bisa mengendalikan setiap apapun karunia Allah kepada kita. Tak
hanya rasa benci, bahkan rasa cinta pun perlu untuk dikendalikan.

Imam Ali bin Abi Thalibn radiyallahu’anhu pernah berkata, “Cintailah orang yang engkau
cintai sekedar nya saja, sebab boleh jadi bisa jadi kelak ia akan menjadi orang yang engkau
benci. Dan, bencilah orang yang engkau benci sekedarnya saja, sebab bisa jadi kelak ia akan
menjadi orang yang engkau cintai.”

Membenci janganlah disebabkan karena benci terhadap fisik, melainkan bencilah dikarenakan
adanya tingkah laku atau kebiasaan yang tidak di ridhai Allah Swt. Bencilah perilaku, sifat yang
tidak di ridhai-Nya, janganlah membenci orangnya. Sehingga rasa benci yang demikian akan
mendorong seseorang untuk mengoreksi, mengingatkan dan memperbaiki saudaranya. Benci
yang demikian hakikatnya adalah cinta.

Ketika sang ayah memukul anaknya karena tidak shalat sedangkan usia anaknya sudah melewati
masa baligh, maka pukulan ayahnya bukanlah kebencian, melainkan rasa cinta. Jikapun pukulan
sang ayah karena kebencian, maka kebencian itu kepada perbuatan tidak shalat, bukan kebencian
kepada diri anaknya. Sang ayah memukul anaknya itu agar ia shalat, agar ia mendapat pelajaran
dan keselam,atan.

Bagaimana rasa mengelola rasa benci yang tidak jarang muncul di dalam hati kita terhadap
seseorang. Saudaraku, kebencian kita biasanya dipicu karena ada hal pada dirinya yang tidak kita
sukai. Padahal harus kita sadari, bahwa sangat sulit bahkan mustahil segala apa yang terjadi di
dunia ini adalah hal- hal yang kita sukai. Apalagi setiap diri manusia bukanlah makhluk yang
sempurna.

Trik yang bisa kita lakukan untuk menepis rasa benci pada seseorang adalah dengan melihat sisi
lain dari diri orang itu. Karena seburuk- buruknya perilaku seseorang, ia pasti memiliki sisi
baiknya. Bahkan bisa jadi kebencian kita padanya hanya disebabkan secuil perilaku kecilnya
yang tidak sesuai dengan kita. Dibalik itu, boleh jadi justru amat banyak hal- hal baik yang akan
kita sukai

Rasulullah Saw pernah bersabda, “Tidak boleh seorang mu’min (suami) membenci seorang
mu’minah (istrinya), bila dia tidak menyenangi satu dari perilakunya, dia tentu menyukai
(perilakunya) yang lain.” (HR. Muslim, –Shahih)

Apa pelajaran berharga dari hadits diatas. Hendaknya kita selalu siap menerima kenyataan
bahwa orang yang memiliki hubungan dengan kita, baik itu pasangan, kerabat atau teman,
tidaklah sempurna. Jika ada satu hal atau lebih yang tidak kita sukai dari dirinya, maka carilah
sisi lain dari dirinya yang positif dan kita sukai. insyaAllah hal ini akan semakin mempererat
persaudaraan kita dengannya

Dengan demikian, kita bisa terhindar dari perasaan saling membenci. Bahkan, kita bisa memiliki
kemampuan mengelola rasa benci di dalam hati kita dan mengubahnya menjadi rasa cinta yang
memperkokoh tali persaudaraan.

Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )


Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.
Jurus Mengendalikan Amarah

Bagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat ketika marah, lalu apa yang
harus kita lakukan ketika marah melanda kita?

Pertama, andaipun memang harus marah, maka marahlah dengan cara sebagaimana yang telah
dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Yaitu, marah yang benar, tegas dan
santun. InsyaAllah, marah dengan cara yang demikian akan memberikan jalan keluar terhadap
permasalahan yang tengah dihadapi.

Kedua, bersikaplah tawadlu dan jangan banyak keinginan. Mengapa? Karena di saat kita banyak
keinginan, maka akan banyak sekali kemungkinan-kemungkinan kita akan merasakan
kekecewaan yang berlanjut kepada kemarahan. Yaitu, saat keinginan-keinginan kita itu tidak
terpenuhi.

Bukan berarti tidak boleh memiliki keinginan. Melainkan maksudnya adalah bahwa kita harus
selalu siap menghadapi segala kemungkinan. Karena tidak setiap keinginan kita akan terwujud.
Semakin ingin dihargai, dihormati, dipuji, dikagumi, dibalasbudi, akan semakin sering sakit hati
dan ngambek.

Ketiga, ucapkanlah “`A’udzubillahi minasyaithaanirrahjiim” (Aku berlindung kepada Allah,


dari godaan syaitan yang terkutuk.). Karena kemarahan itu adalah bentuk hasutan syaitan.

Sulaiman Ibnu Sard RA. meriwayatkan, “Pernah dua orang yang saling mencerca satu sama
lain di hadapan Rasulullah Saw.. Sementara itu, kami sedang duduk di sisi beliau. Salah seorang
dari mereka menghina yang lainnya dengan diiringi kemarahan, hingga merah mukanya. Maka,
Rasulullah Saw. bersabda, “Aku mengetahui suatu kalimat yang jika diucapkan olehnya (orang
yang sedang marah), maka akan hilang kemarahannya. Hendaklah dia berkata, “A’udzubillahi
minasy syaithanir rajim (Aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk).” (HR.
Bukhari dan Muslim)

Keempat, diamlah sejenak. Jangan bereaksi dahulu ketika amarah terasa bergejolak. Karena
akhlaq itu adalah respon yang spontan. Sebagai contoh, saat kita keluar dari masjid dan kita
mendapati sandal kita raib dari tempatnya, ada orang yang secara spontan langsung
mengungkapkan kejengkelan dan kemarahannya bahkan dengan kata-kata yang tidak baik.
Dalam contoh situasi seperti ini, maka sebaiknya sikap yang kita lakukan adalah menahan diri
untuk bereaksi secara spontan.

Lebih baik diam sejenak sembari berpikir, ah barangkali sandalnya tertukar. Atau, oh barangkali
sandalnya sedang dipinjam sebentar oleh seseorang yang tidak sempat memohon izin karena
mendesak dan tidak tahu siapa pemiliki sandal itu. Atau, oh barangkali sandalnya memang
hilang berarti tanda akan punya sandal baru. Toh, tidak mungkin jika hal kehilangan itu
menyebabkan dirinya jadi tidak punya sandal seumur hidupnya.
Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw. bersabda, “Apabila di antara kalian marah maka
diamlah.” Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallamucapkan sebanyak tiga kali.” (HR.
Ahmad)

Kelima, sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw., apabila kita sedang dalam keadaan marah yang
tidak juga bisa reda dengan sikap diam, maka apabila keadaan kita sedang berdiri, duduklah. Jika
dengan duduk masih juga belum bisa reda, maka berbaringlah. Tentu saja bukan berarti harus
berbaring di sembarang tempat. Maksudnya adalah, ketika amarah masih belum juga reda,
carilah situasi yang lebih bisa menenangkan dan menentramkan hati.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Jika salah seorang kalian marah dan dia
dalam keadaan berdiri, maka hendaklah duduk. Jika masih belum reda marahnya, maka
hendaklah berbaring.” (HR. Ahmad).

Hal ini karena marah dalam keadaan berdiri lebih besar kemungkinannya untuk melakukan
keburukan dan kerusakan daripada dalam keadaan duduk. Sedangkan berbaring lebih jauh aman
daripada duduk dan berdiri.

Keenam, ambillah wudhu. Air wudhu insyaAllah akan menentramkan hati yang panas dibakar
amarah.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya, kemarahan itu berasal dari
syaitan. Dan syaitan tercipta dari api. Dan sesungguhnya, api itu dapat dipadamkan dengan
air. Jika salah seorang diantara kalian marah, maka berwudhulah.” (HR. Ahmad dan Abu
Daud).

Sahabatku, untuk menghindari letupan amarah, kurangilah keinginan-keinginan dan kurangi juga
keinginan untuk mendapatkan segala hal yang sempurna. Orang yang senantiasa ingin
mendapatkan segala hal yang sempurna biasanya jauh lebih sensitif untuk terpancing amarah.
Mengapa? Karena, hakikatnya di dunia ini memang tak ada yang sempurna. Selalu ada saja
kekurangan dalam hal apapun.

Ketika kita bisa mengendalikan kemarahan kita, maka kita akan merasakan keadaan yang jauh
lebih enak dan lega. Kemarahan biasanya selalu meninggalkan penyesalan dan rasa sakit.
Sedangkan saat kita bisa menahannya kemudian menyampaikan uneg-uneg kita dengan cara
yang santun, itu justru akan memberikan hasil yang efektif, yaitu maksud tersampaikan tanpa ada
penyesalan dan tanpa ada yang tersakiti. Keputusan yang kita buat pun akan jauh lebih baik.

Ketika kita memarahi orang lain, kemudian dia memenuhi kehendak kita, itu bukanlah karena ia
suka melakukannya melainkan karena rasa takut, tertekan dan keterpaksaan. Padahal cara yang
paling baik untuk menggerakkan orang lain adalah dengan menyentuh hatinya sehingga ia
menuruti kehendak kita benar-benar karena kehendak hatinya sendiri yang ridha. Tak ada orang
yang senang berada di dekat orang yang marah. Orang selalu senang dan nyaman berada di dekat
orang yang bisa mengendalikan amarahnya.
Untuk menjadi orang yang mampu mengendalikan amarah, yang harus kita miliki adalah tekad
untuk benar-benar mau belajar mengendalikannya. Selain itu, kita pun harus tahu saat-saat paling
sensitif kita mudah marah. Pada saat inilah tingkatkan kesadaran kita untuk tidak marah dan
menghindari kemungkinan-kemungkinan terpancingnya kemarahan.

Setelah tadi kita membahas panjang lebar bagaimana cara mengendalikan amarah yang ada di
dalam diri kita, lalu bagaimana cara kita menghadapi orang-orang yang pemarah?

1. Pahami apakah orang ini memang memiliki karakter yang mudah marah atau tidak. Jika
memang itu sudah menjadi karakternya, maka kita bisa ketahui apa saja hal-hal yang bisa
mudah memancing kemarahannya sehingga kita bisa menghindari hal-hal yang
berpotensi meletupnya kemarahannya.
2. Teori batu. Ketika batu dilempar kepada seseorang lalu batu itu mengenainya, maka batu
itu kemudian akan mental. Nah, dalam penggambaran ini, semestinya tangkaplah batu itu
agar tidak mental. Karena sesungguhnya orang yang sedang marah itu ingin agar
kemarahannya diterima. Menghadapi orang yang sedang marah, jangan hadapi dengan
kemarahan. Hadapi saja dengan sikap tenang dan dengarkan hingga ia berhenti sendiri
dan reda kemarahannya.
3. Kalau kita melihat orang yang pemarah, jadikanlah pelajaran. Bahwa seperti itulah
buruknya kemarahan, dan saya tidak ingin buruk seperti dia.
4. Jika kita ingin marah, ingatlah sesungguhnya marah akan menimbulkan rasa sakit hati.
Ingat penggambaran paku yang dicabut sebagaimana sudah diulas di atas. Tidak mudah
mengobati luka di hati.
5. Jika kita menghadapi orang yang pemarah, jadilah pemaaf. Jangan ladeni kemarahan
dengan kemarahan. Kemuliaan akan Allah anugerahkan kepada orang-orang yang
berlapang dada. Untuk menjadi orang yang berlapang dada, jadilah orang yang selalu
rendah hati dan sadar bahwa segala sesuatu hanyalah titipan Allah Swt.. semata. Serta,
kurangilah harapan kita terhadap orang lain untuk memenuhi keperluan pribadi kita.
Semakin kita tidak berharap kepada orang lain, semakin kecil kemungkinan kita untuk
sakit hati, dan semakin jauh pula kita dari rasa kecewa dan amarah.

Saudaraku, adalah mustahil kita berjumpa dengan orang yang sempurna. Sebaik apapun kita,
pasti ada saja orang yang tidak suka kepada kita. Apabila ada orang yang tidak suka kepada kita,
jangan sampai itu membuat kita jadi sengsara. Karena orang yang tidak suka kepada kita itu
tidak membahayakan kita. Hal yang membahayakan adalah justru bila kita tidak suka kepada dia.
Coba, yang membuat kita jadi gelisah adalah bukan karena penghinaan dia, tapi keinginan kita
untuk dihormati.

Orang yang tidak suka dan sebel kepada kita itu adalah orang yang setia kepada kita. Siang
malam dia memikirkan kita, ingat kepada kita. Kita sudah tidur, dia masih terjaga memikirkan
diri kita. Kemana-mana dia pergi, kita dibicarakan. Kita ini diidolakan olehnya. Setiap dia
membicarakan kejelekan kita atau menjelek-jelekkan kita, pahalanya sampai kepada kita, dan
dosa kita dipikul oleh dia. Bukankah itu pengabdian tiada tara yang dia lakukan kepada kita?!

Kerugian itu adalah apabila kita sebel kepada orang lain. Waktu kita habis sia-sia, pikiran kita
lelah, hati kita penat, dan dosa kita malah bertambah. Janganlah tiru keburukan dengan
keburukan. Untuk apa kita berpendidikan, sekolah, belajar jika hanya untuk meniru keburukan
yang orang lain lakukan.

Orang yang bisa bersikap tenang itu adalah orang lebih kuat dan menyegankan dibandingkan
orang yang mudah marah besar. Semakin tenang seseorang, semakin bisa dia menahan amarah,
semakin bisa dia tidak membalas marah dengan kemarahan, maka semakin jernih dan
berwibawalah dirinya. Juga semakin dicintai dan semakin bermanfaatlah dirinya. Inilah berkah
dari mengendalikan amarah.

Amarah adalah sikap yang negatif. Tetapi apabila amarah itu mendekatkan diri kita kepada Allah
Swt., maka itu adalah amarah yang positif. Sebelum memeluk Islam, ‘Umar bin Khattab RA.
adalah orang yang sangat temperamen dan keras. Tetapi setelah masuk Islam, sikapnya yang
seperti demikian itu disesuaikan dengan ajaran Islam. Sehingga dampak yang terjadi sungguh
sangat luar biasa terhadap perkembangan Islam itu sendiri.

Marahlah dengan marah yang bisa menjadi amal shaleh. Yaitu seperti marah ketika kebenaran
diinjak-injak. Marah ketika keluarga dinistakan. Marahlah ketika Islam dinistakan. Marahlah
dalam rangka membela dan menegakkan kebenaran. Kemarahan dalam membela kebenaran
seperti ini adalah ibadah.

Akan tetapi, kemarahan seperti demikian, tidak boleh membuat kita menjadi orang yang dzalim.
Tetaplah segala sesuatu harus pada tempatnya. Bahkan di dalam ajaran Islam, dalam
pertempuran sekalipun tidak boleh ada kedzaliman. Segala hal memiliki koridornya. Demikian
juga dengan kemarahan. Rasulullah Saw. telah mencontohkan bagaimana semestinya seorang
muslim sejati menyikapi amarahnya.

Duhai Allah, ampuni dosa-dosa yang telah kami perbuat dengan lisan ini. Ampuni jikalau
kemarahan kami mendzalimi dan menjadi kesulitan bagi hamba-hamba-Mu.

Ya Allah, karuniakan kepada kami kesanggupan menahan lisan ini dari kemungkaran.
Kesanggupan menjaga amarah dan kemampuan memaafkan orang-orang yang menyakiti kami.
Ya Allah, selamatkan umat dan bangsa ini dari amarah yang membawa bencana dan malapetaka.
`aamiin..

Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )

Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Ja


Bahaya Lisan

Kita lihat banyak orang yang senang berbicara tapi tidak kurang terampil menjaga kemuliaan
dengan kata-katanya. Banyak orang gemar berkata-kata tanpa bisa menjaga diri, padahal kata-
kata yang terucap dari mulut seseorang harus selalu bisa dipertanggung-jawabkan. Sebab, boleh
jadi kata-kata itulah yang akan menyeretnya ke dalam kesulitan. Sebelum berkata apa pun, kita
yang menawan kata-kata, tapi sesudah kata terucapkan, kitalah yang ditawan kata-kata.
Rasulullah Saw. bersabda:
“Barang siapa memperbanyak perkataan, maka akan jatuh dirinya. Dan barang siapa yang
dirinya jatuh, maka akan banyak dosanya. Dan barang siapa yang banyak dosanya, maka
nerakalah tempatnya.” (HR. Abu Hatim).
Secara kasat mata, lidah hanyalah bagian kecil dari organ tubuh manusia. Ia lentur, tidak
bertulang. Namun, di balik sifat kelenturannya ini, tersimpan kedahsyatan yang bisa
mengantarkan manusia ke pintu kebahagiaan, sekaligus bisa menjerumuskannya ke dalam
kehinaan hidup di dunia dan akhirat. Abdullah ibn Mas‘ud mengungkapkan, “Wahai lisan,
ucapkanlah yang baik-baik, niscaya kamu akan beruntung! Diamlah dari mengucapkan yang
buruk-buruk, niscaya kamu akan selamat sebelum menyesal!”
Bicara memang gampang, tapi sering kali kita tidak memikirkan efek dari lisan kita. Dalam
kitabnya Ihyâ’ ‘Ulûmuddîn, Imam Al-Ghazali menetapkan banyak bicara yang merupakan “buah
perbuatan” lisan sebagai racun pertama hati, yang menyebabkan manusia jauh dari cahaya Ilahi.
Lisan seseorang adalah cerminan dari baik dan buruk dan cerminan kualitas iman seseorang.
Nabi Saw. bersabda,
“Tidak akan lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan tidak akan lurus hatinya,
sehingga lurus lisannya. Dan seseorang tidak akan masuk surga apabila tetangganya tidak
merasa aman dari kejahatan lisannya.” (HR Ahmad).
Berhati-hatilah dalam menggunakan lisan ini; menggerakkannya memang mudah, tidak perlu
menghabiskan tenaga yang besar, tidak butuh biaya mahal, tapi bencana bisa datang kepada kita
hanya karena kata yang terucap oleh lisan. Berbicara itu baik, tapi diam jauh lebih bermutu. Dan
ada yang lebih hebat dari diam, yaitu berkata benar.
Suatu hari Luqman Al-Hakim diperintahkan majikannya untuk menyembelih seekor kambing
dan mengambil dagingnya yang terbaik untuk jamuan tamu. Luqman pun membeli seekor
kambing, kemudian menyembelihnya, lalu mengambil lidah dan hatinya untuk dimasak dan
disajikan kepada majikan dan tamunya. Melihat hal itu, majikannya marah dan menegur,
“Luqman, bukankah tadi aku perintahkan untuk mengambil daging terbaik untuk jamuan para
tamuku?” Luqman pun menjawab, “Tidak ada daging terbaik kecuali lidah dan hati.”
Beberapa waktu kemudian sang majikan memerintahkannya untuk menyembelih kambing
kembali dan menyuruhnya agar membuang daging yang terburuk. Luqman pun pergi ke pasar
untuk membeli kambing dan menyembelihnya, kemudian ia buang lidah dan hatinya. Melihat
ulah Luqman, sang majikan pun kesal lalu berkata, “Apa maksudmu, wahai Luqman? Kemarin
aku perintahkan untuk menyembelih kambing dan menghidangkan daging terbaik, tetapi kamu
hanya menyuguhkan hati dan lidah. Sekarang, ketika aku menyuruhmu untuk menyembelih
kambing lagi dan memerintahkan kepadamu agar membuang daging terburuk, kamu pun
membuang hati dan lidah. Apakah kamu bermaksud mempermainkan aku?”
“Maafkan hamba, Tuan, tetapi apa yang hamba lakukan itu memang sudah sepatutnya. Tidak ada
daging terbaik kecuali lidah dan hati, apabila digunakan untuk kebaikan. Dan tidak ada daging
terburuk kecuali lidah dan hati kalau digunakan untuk keburukan,” jawab Luqman dengan lugas.
Lisanlah yang dapat menciptakan pola komunikasi manusia dengan manusia lainnya. Lisanlah
yang memunculkan segala bahasa. Lisanlah yang memberi nada segala rasa. Lisanlah yang
menimbulkan nyanyian dan irama. Lisan dapat membuat hati yang rindu menjadi mesra. Lisan
yang penuh nasihat dapat menenteramkan amarah di dalam dada. Lisan dapat memutarbalikkan
segala peristiwa. Dan lisanlah yang bisa membuat orang menangis menjadi tertawa.
Lisan yang dihiasi pancaran iman dan akal yang sempurna akan selalu berzikir, beristighfar, dan
mengucapkan hal-hal terpuji. Adapun lisan yang tidak dihiasai pancaran iman hanya akan
melakukan hal-hal yang biasa dikenal dengan istilah bahaya lisan. Paling tidak, ada 5 bahaya
lisan berikut ini yang perlu kita waspadai.
Dusta
Jujur itu disenangi oleh Allah, dan termasuk ciri orang beriman. Sebaliknya, dusta itu sangat
dimurkai oleh Allah, dan termasuk ciri orang munafik. Rasulullah Saw. menyerukan kepada
umatnya agar senantiasa membiasakan berkata jujur dan menjauhi ucapan dusta. Dalam sebuah
hadis dikatakan,
“Hendaklah kamu berkata jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu akan membawamu pada
kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan itu akan membawamu ke surge. Seseorang tidak henti-
hentinya berkata jujur dan membiasakan kejujuran sampai ia dicatat di sisi Allah sebagai orang
jujur. Jauhilah olehmu perkataan dusta, karena sesungguhnya dusta itu akan membawamu pada
durhaka, dan sesungguhnya durhaka itu akan membawamu ke neraka. Seseorang tidak henti-
hentinya berdusta dan membiasakan dusta sampai ia dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.”
(HR. Muslim).
Nabi menganjurkan umatnya untuk selalu berkata jujur karena kejujuran merupakan akhlak
mulia yang akan mengarahkan seseorang kepada kebaikan, sebagaimana dijelaskan oleh Nabi
dalam hadis lain, “Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebajikan.” Kebajikan adalah
segala sesuatu yang meliputi makna kebaikan, ketaatan kepada Allah, dan berbuat baik kepada
sesama.
Seorang mukmin yang hatinya senantiasa terkoneksi dengan Allah, tidak akan membiarkan
lisannya berkata-kata tanpa batas, karena ia sadar bahwa setiap kata yang terucap dimintai
pertanggungjawaban oleh Allah Swt. kelak di hari kemudian. Berdusta adalah sesuatu yang tak
mungkin terlontar dari mulut seorang mukmin.
Ali ibn Abu Thalib berkata: “Dosa paling besar di sisi Allah adalah kedustaan, dan seburuk-
buruk penyesalan adalah penyesalan pada hari kiamat.”
Jangan meremehkan dosa dari berkata dusta, sebab meski kata-kata itu sepele, bahaya dusta
sungguh bisa menggelincirkan manusia dari jalan Allah. Bukankah manusia itu terpeleset karena
sesuatu yang sepele? Dan perkataan dusta paling bahaya adalah berdusta atas nama Rasulullah
Saw. Dikatakan dalam sebuah hadits, “Barang siapa berdusta dengan membawa-bawa namaku,
maka bersiap-siaplah untuk menduduki tempatnya di neraka.” (HR. Bukhari).
Orang yang suka berdusta itu sesungguhnya mendapatkan dua kali kerugian. Pertama, jika
kebohongannya tidak diketahui, dia akan mendapatkan dosa dari perbuatan tercela ini. Kedua,
jika kebohongannya diketahui orang lain, mereka akan kehilangan kepercayaan. Bahkan,
kepadanya akan disematkan predikat pendusta atau pembohong.
Orang yang berkata jujur dan tidak suka berbohong, secara psikologis tidak punya beban berat
dalam hidupnya. Karenanya, hatinya senantiasa merasa tenteram dan damai. Sebaliknya, orang
yang biasa berdusta, hidupnya menjadi tidak tenang dan dunia terasa sempit. Ia akan senantiasa
merasa dihantui oleh perasaannya sendiri, karena ada perasaan khawatir kebohongannya
diketahui orang lain.
2. Berburuk sangka (sû’uzhzhan)
Ali ibn Abu Thalib berkata, “Buruk sangka melayukan hati, mencurigai orang yang terpercaya,
menjadikan asing kawan yang ramah, dan merusak kecintaan saudara.”
Alangkah tenteramnya hati yang tak mudah berburuk sangka. Jangan biarkan hal-hal yang remeh
dan sepele, yang tak ada manfaatnya, mengotori, menyempitkan dan merusak kebersihan hati
kita. Saat hati menyimpan prasangka kepada orang lain, lisanlah yang mengeluarkan kata-kata
penuh sangkaan. Tidak ada buruk sangka kepada seseorang, jika lisan tak pernah berbicara
sesuatu yang penuh prasangka.
Lisan yang terbiasa melontarkan perkataan-perkataan penuh prasangka(sû’uzhzhan) dapat
membuat hati menjadi busuk, karena apa pun yang kita sangka akan mempengaruhi cara kita
berpikir, cara kita bersikap, dan cara kita mengambil keputusan. Berbahagialah orang-orang yang
pandai berbaik sangka. Hati-hatilah dari prasangka karena prasangka itu merupakan perkataan
yang paling dusta.
Allah Swt. berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena
sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al
Hujurât [49]: 12).
Imam Al-Ghazali berkata dalam Ihyâ ‘Ulûmuddîn:
“Ketahuilah bahwa prasangka buruk (sû’uzhzhan) adalah haram seperti halnya ucapan yang
buruk. Sebagaimana haram membicarakan keburukan seseorang kepada orang lain, maka tidak
boleh juga membicarakannya kepada diri (hati), lalu kita berprasangka buruk terhadap saudara
sendiri. Jangan memiliki keyakinan hati terhadap orang lain dengan keburukan. Apa yang
terlintas di dalam hati dimaafkan, bahkan keraguan juga. Yang dilarang adalah berprasangka,
dan prasangka adalah kata lain dari sesuatu yang dijadikan sandaran yang hati condong
kepadanya.”

“Bahaya Lisan” ditulis oleh KH Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym)


Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.
Bahaya Lisan Bag.2
3. Menggunjing (ghîbah)

Secara sederhana, ghîbah adalah perbuatan menggunjingkan aib dan keburukan orang lain di
belakangnya. Pengertian ghîbah ini secara jelas disebutkan oleh Nabi Saw. dalam sebuah hadis:

“Ghîbah adalah engkau membicarakan saudaramu dengan apa yang ia tidak suka (untuk
dibicarakan).” Lalu ada sahabat bertanya, “Bagaimana jika saudaraku itu memang seperti apa
yang aku bicarakan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Jika saudaramu memang seperti
apa yang engkau bicarakan, sungguh engkau telah meng-ghîbah-nya. Dan jika saudaramu itu
tidak seperti apa yang engkau katakan, sungguh engkau telah menuduhnya.” (HR. Muslim,
Tirmidzi).

Mahasuci Allah yang senantiasa menyembunyikan aib dan keburukan kita. Tanpa kasih sayang-
Nya, kita hanyalah seoongok daging hina, yang penuh dengan cela dan kekurangan. Karena itu,
sungguh tidak pantas apabila kita sebagai manusia yang jauh dari kesempurnaan malah senang
mengumbar aib dan menggunjingkan keburukan orang lain.

Imam Al-Ghazali menyebutkan beberapa faktor yang mendorong seseorang berbuat ghîbah.
Pertama, melampiaskan kemarahan. Jika sedang marah, seseorang akan dengan mudah
menyebutkan keburukan-keburukan. Lisannya seakan-akan tidak terkendali untuk mengutarakan
aib dan meluapkan emosi dengan kata-katanya yang penuh celaan dan makian.

Kedua, menyesuaikan diri dengan kawan-kawan, dengan berbasa-basi dan mendukung


pembicaraan mereka, walaupun pembicaraannya itu sedangkan menggunjingkan aib seseorang.
Ketiga, ingin lebih dahulu menjelek-jelekkan seseorang yang dikhawatirkan membicarakan hal
yang jelek mengenai dirinya di sisi orang yang disegani.

Keempat, ingin bercuci tangan dari perbuatan buruk yang dinisbatkan kepada dirinya. Kelima,
ingin membanggakan diri; engangkat dirinya sendiri dan menjatuhkan orang lain. Misalnya, ia
mengatakan, “Si fulan itu bodoh, pemahamannya dangkal, ucapannya lemah.”

Keenam, kedengkian. Bisa jadi ia mendengki orang yang disanjung, dicintai, dan dihormati
banyak orang, kemudian ia berharap nikmat itu lenyap dari orang tersebut, tetapi tidak
menemukan caranya kecuali dengan mempermalukan orang tersebut di hadapan banyak orang.

Ketujuh, bermain-main, senda gurau, dan mengisi kosong waktu dengan lelucon dan candaan. Ia
lalu menyebutkan aib orang lain agar orang-orang menertawakannya. Rasulullah Saw. bersabda:

“Celakalah bagi orang yang mengatakan sesuatu agar ditertawakan oleh orang-orang
kemudian dia berbohong. Celakalah baginya, celakalah baginya.” (HR. Tirmidzi).
Kedelapan, melecehkan dan merendahkan orang lain untuk menghinakannya. Penyebabnya
adalah kesombongan yang membuat seseorang memandang orang lain lebih rendah
kedudukannya.

Suatu ketika Jabir ibn Abdullah r.a. dan para sahabat lainnya bepergian bersama Rasulullah
Saw., lalu terciumlah bau bangkai yang busuk. Rasulullah Saw. pun bertanya kepada para
sahabat:

“Apakah kalian tahu bau apa ini? Ketahuilah, bau busuk ini berasal dari orang-orang yang
berbuat ghîbah (menggunjing).” (HR. Ahmad).

Karena perbuatan ghîbah ini berkaitan dengan erat dengan lisan yang mudah bergerak dan
berbicara, kita hendaknya selalu memperhatikan apa yang akan kita ucapkan. Jangan sampai
tanpa disadari kita terjatuh dalam perbuatan ghîbah. Dan bila kita bisa menjaga lisan ini dari
menyakiti orang lain dengan tidak menggunjingkannya, insya Allah kita akan menjadi Muslim
sejati.

4. Mengadu domba (namîmah)

Di antara bahaya lisan yang tak boleh dihiraukan adalah namîmah, atau dikenal dengan istilah
mengadu domba. Namîmah ini identik dengan kebencian dan permusuhan. Mungkin sebagian
dari kita yang mengetahui bahaya namimah akan mengatakan, “Ah, saya tak mungkin berbuat
demikian….” Namun, jika kita tidak benar-benar menjaga hati dan lisan ini, kita akan mudah
tergelincir. Apalagi ketika rasa benci dan dengki telah memenuhi hati. Bahkan, saat kita bisa
menjaga lisan ini dari namîmah, tanpa disadari kita terpengaruh oleh namîmah yang dilakukan
seseorang.

Jangan pernah ketidaksukaan atau kedengkian kita kepada seseorang menjadikan kita berlaku
jahat dan berlaku tidak adil kepadanya, termasuk berbuat namîmah. Sebab, betapa banyak
perbuatan namîmah yang terjadi karena timbulnya dengki di hati. Apalagi kepada saudara
sesama Muslim, hendaknya kita tidak memendam kedengkian. Dengki dan adu domba adalah
akhlak tercela yang dibenci Allah karena dapat menimbulkan permusuhan, sedangkan Islam
memerintahkan agar umat Muslim bersaudara dan merapat barisan selayaknya bangunan yang
kokoh.

Nabi Saw. bersabda:

“Janganlah kalian saling mendengki, saling membenci, saling bermusuhan, dan janganlah kamu
menjual barang serupa yang sedang ditawarkan saudaramu kepada orang lain, dan jadilah
kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim).

Berusahakah dengan sungguh-sungguh untuk menjaga lisan dan menahannya dari perkataan
yang tak berguna, apalagi dari perkataan yang karenanya saudara kita tersakiti dan terzalimi.
Bukankah mulut seorang mukmin tak akan berkata kecuali yang baik.
Semoga Allah ‘Azza wa Jalla senantiasa melindungi kita dari kejahatan lisan kita dan tak
memasukkan kita ke dalam golongan manusia yang merugi di akhirat dikarenakan lisan yang tak
terjaga.

ALLÂHUMMA INNÎ A‘ÛDZU BIKA MIN SYARRI SAM‘Î WA MIN SYARRI BASHARÎ
WA MIN SYARRI LISÂNÎ WA MIN SYARRI MANIYYÎ

(Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-M dari kejahatan pendengaranku,


penglihatanku, lisanku, hatiku, dan kejahatan maniku)

5. Banyak bicara

Tak setiap ingin bicara harus langsung dikatakan. Periksa hati dulu, apa niat kita berbicara?
Semakin kita banyak bertanya, niscaya akan mendapat jawaban perlu atau tidaknya berbicara.
Bicaralah sesudah yakin benar dan membawa manfaat.

Rasulullah Saw. bersabda:

“Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku di akhirat nanti adalah
orang yang paling jelek akhlaknya, orang yang banyak bicara, orang yang berbicara dengan
dibuat-buat, dan orang yang sombong….” (Shahîh Al-Jâmi‘ Al-Shaghîr).

Bentuk kejahatan lidah itu ada dua, yaitu lidah yang banyak membicatakan kebatilan dan lidah
yang diam terhadap kebatilan. Kejahatan lidah memang bisa setajam pedang. Jika kita tidak hati-
hati menggunakannya, ketajamannya bisa menumpahkan darah, sebagaimana pedang menusuk
tubuh manusia. Bisa pula lidah itu membiarkan api yang membakar semakin besar.

Suatu hari seorang laki-laki menemui Rasulullah Saw. seraya berkata:

“Wahai Rasulullah! Sungguh wanita itu dikenal sering mengerjakan shalat, puasa, dan
sedekahnya. Akan tetapi, ia juga terkenal jahat lidahnya terhadap tetangga-tetangganya.”
Rasulullah Saw. pun bersabda kepadanya, “Sungguh ia termasuk ahli neraka.” Kemudian laki-
laki itu berkata lagi, “Kalau wanita yang satu lagi terkenal sedikit shalatnya, puasanya, dan
sedekahnya, tetapi ia tidak pernah menyakiti tetangganya.” Rasulullah Saw. pun bersabda,
“Sungguh ia termasuk ahli surga.” (HR Muslim).

Hadis ini memuat dua pelajaran penting: pertama, kita harus berbuat baik kepada tetangga,
terutama apabila ia saudara sesama Muslim. Bahkan, saking dianjurkan kita untuk menghormati
tetangga, Rasulullah Saw. menganjurkan apabila kita memasak sup agar memperbanyak kuahnya
supaya bisa dibagikan kepada tetangga.

Kedua, hadis ini dengan tegas mengingatkan tentang bahaya lidah. Betapa jika tidak dikontrol
iman, lidah bisa menjerumuskan seseorang ke dalam neraka. Meskipun seseorang itu ahli ibadah,
banyak shalat, puasa, bila ia tidak mampu menjaga lidahnya dari melakukan fitnah, berbohong,
dan dengki, amalannya tersebut hanya akan sia-sia.

Oleh sebab itu, lidah bisa menjadi media taat kepada Allah, dan bisa pula untuk memuaskan
hawa nafsu. Lidah bisa digunakan untuk membaca Al-Quran, mengkaji hadis, dan
menyampaikan nasihat, tetapi lidah juga bisa berubah layaknya penyulut api. Menyebarkan
fitnah, bersaksi palsu, ghîbah, namîmah, dan memecah belah umat. Jika lidah seseorang
digunakan seperti ini, seberapa banyak pun ibadahnya tetap tak ada gunanya, semuanya gugur
gara-gara lidah yang terselip.

“Bahaya Lisan” ditulis oleh KH Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym)


Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.
Hakikat Cinta
Hakikat Cinta Kepada Allah

ٓ َّ ‫تۗ قُل‬
‫َّل‬ َّ ‫ع ِملُواْ ٱل‬
ِ ‫ص ٰـ ِل َح ٰـ‬ َ ‫ٱَّللُ ِعبَادَهُ ٱلَّذِينَ َءا َمنُواْ َو‬َّ ‫ذَٲ ِل َك ٱلَّذِى يُبَش ُِر‬
ً‫سنَ ً۬ة‬
َ ‫علَ ۡي ِه أ َ ۡج ًرا ِإ ََّّل ۡٱل َم َودَّةَ ِفى ۡٱلقُ ۡربَ ٰىۗ َو َمن يَ ۡقتَ ِر ۡف َح‬
َ ‫أ َ ۡسـَٔلُ ُك ۡم‬
‫ش ُكور‬ َ ‫ور‬ً۬ ُ‫غف‬ َّ ‫نَّ ِز ۡد لَهُ ۥ فِي َہا ُح ۡسنًاۚ ِإ َّن‬
َ َ‫ٱَّلل‬
“Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah menggembirakan hamba- hamba-Nya yang
mencintai-Nya (beriman) dan mengerjakan amal yang shaleh. Katakanlah: “Aku tidak meminta
kepadamu sesuatu upahpun atas seruan cinta-Ku, kecuali cinta dalam kemesraan
(kekeluargaan). Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Aku tambahkan baginya kebaikan
pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (Q.S.
Asy-Syura: 23)

Cinta kepada Allah Swt adalah mengutamakan Allah di atas siapapun dan apapun juga. Cinta
kepada Allah adalah sikap tunduk, patuh dan berbuat sedaya upaya dengan maksud hanya
mengharapkan keridhaan-Nya.

Imam Al Ghazali menjelaskan bahwa cinta kepada Allah Swt adalah tujuan utama dan tertinggi
dari seluruh derajat/level spiritual. Setelah derajat kecintaan ini, tidak ada lagi derajat yang lain
kecuali buah dari kecintaan itu sendiri. Aktifitas-aktifitas spiritual seperti sabar, taubat, zuhud,
dan lain sebagainya itu akan bermuara pada mahabatullah (cinta kepada Allah Swt).

Kita tentu sudah tak asing lagi dengan nama Rabi’ah Al ‘Adawiyah, atau minimalnya kita pernah
mendengar namanya. Ia adalah seorang sufi wanita terkenal dari Bahsrah. Suatu ketika, Rabi’ah
Al ‘Adawiyah berziarah ke makam Rasulullah Saw. dan berucap, “Maafkan aku ya Rasulullah,
bukan aku tidak mencintaimu tapi hatiku telah tertutup untuk cinta kepada yang lain, karena
telah penuh cintaku pada Allah Swt”.

Ucapan Rabi’ah Al ‘Adawiyah di atas mengajarkan bahwa cinta kepada Allah Swt itu harus
mendominasi hati sehingga tidak hadir sesuatu yang lain yang menjadi pesaing bagi-Nya di
dalam hati untuk dicintai. Bukan berarti Rabi’ah Al ‘Adawiyah tidak mencintai Rasullah Saw.
Ucapan Rabi’ah Al ‘Adawiyah tersebut mengandung arti bahwa cinta kepada Allah Swt adalah
cinta yang utama yang menjadi latarbelakang cinta yang lain termasuk cinta kepada Rasul. Jadi
seorang mu’min yang mencintai Allah dengan sungguh-sungguh pastilah mencintai apa yang di
cintai-Nya pula. Rasulullah Saw pernah berdoa, “Ya Allah karuniakan kepadaku kecintaan
kepada-Mu, kecintaan kepada orang yang mencintai-Mu dan kecintaan apa saja yang
mendekatkan diriku pada kecintaan-Mu. Jadikanlah Dzat-Mu lebih aku cintai daripada air yang
dingin bagi orang yang dahaga.” (HR. Abu Nu’aim).
Imam Ghazali juga menerangkan bahwa kata “mahabbah” (kecintaan) berasal dari kata “hubb”
yang mempunyai asal kata “habb” dan berarti biji atau inti. Sebagian ahli tasawuf menjelaskan
bahwa hubb adalah awal sekaligus akhir dari perjalanan keberagamaan. Mungkin kita banyak
mengalami perbedaan dalam menjalankan syariat disebabkan perbedaan mazhab atau karena
perbedaan ijtihad. Namun, rasa cinta kepada Allah Swt adalah kekuatan yang bisa menyatukan
perbedaan-perbedaan tersebut.

Kecintaan kepada Allah Swt tidak hanya kita wujudkan dalam ibadah-ibadah mahdah
(hablumminallah) semata, melainkan juga mencakup ibadah-ibadah yang bentuknya interaksi
dengan sesama manusia dan alam lingkungan.

Ada satu kisah, sewaktu masih kecil, Husain (cucu Rasulullah Saw) pernah bertanya kepada
ayahnya, yaitu Ali bin Abi Thalib, “Apakah engkau mencintai Allah?” Ali RA menjawab, “Ya”.
Lalu Husain bertanya lagi, “Apakah engkau mencintai kakek dari Ibu?” Ali RA menjawab,
“Ya”. Husain bertanya lagi, “Apakah engkau mencintai Ibuku?” Ali RA pun menjawab, “Ya”.
Husain kecil kembali bertanya, “Apakah engkau mencintaiku?” Ali RA menjawab, “Ya”.

Husain kecil yang masih polos itu mengajukan pertanyaan terakhir, “Ayahku, bagaimana engkau
menyatukan begitu banyak cinta di hatimu?” Kemudian Ali RA menjelaskan, “Anakku,
pertanyaanmu hebat! Cintaku pada kekek dari ibumu (Rasulullah Saw), ibumu (Fatimah RA)
dan cintaku kepada engkau adalah karena cintaku kepada Allah Swt”. Karena sesungguhnya
semua cinta itu merupakan cabang-cabang dari cinta yang utama yaitu cinta kepada Allah Swt.
Setelah mendengar jawaban dari ayahnya itu Husain jadi tersenyum mengerti.

Bersambung…

Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )


Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.
Bahaya Riya
Fokuslah untuk terus berbuat baik
Tidak usah mempedulikan
Orang tau atau tidak
Orang berterimakasih atau tidak
Orang mengakui atau tidak
Orang menghargai atau tidak
Orang balas budi atau tidak
Semua itu benar-benar tidak penting

Yang penting adalah cukuplah Alloh yang menjadi saksi dan amal-amal kebaikan kita diterima,
diridhoi Alloh.

Maka teruslah fokus untuk berbuat baik dan berbuat yang lebih baik lillahi ta ‘alaa.

Terbayang… Alangkah bahagianya jika kita menjadi orang yang baik hati

Yang benar-benar baik sampai ke lubuk hati terdalam..


Tak ada sombong
Tak ada riya
Tak ada ujub
Tak ada dengki
Tak ada kotor hati
MasyaAlloh…

Allah berfirman “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan
membalas tipuan mereka . Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas.
Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut
Allah kecuali sedikit sekali” (QS. An Nisaa’:142).

“Dari Amir al-Mukminin,Abu Hafs Umar bin Khattab r.a bin Nufail bin Abd al-Uzza bin Riyah
bin Abdullah bin Qurt bin Riyah bin Adi Ka’ab bin luay bin Ghalib al-Quraiys al-Adawi
berkata,”Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, “sesungguhnya sahnya amal itu
tergantung dengan niat. Setiap orang akan memperoleh dari apa yang diniatkannya. Jika
seseorang itu hijrah untuk Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya tersebut diterima oleh Allah dan
Rasul. Namun, jika hijrahnya itu untuk dunia yang akan diperolehnya atau wanita yang akan
dinikahinya, maka hijrahnya tersebut sesuai dengan apa yang diniatkannya tersebut”(HR.
Bukhari and Muslim)

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda : “Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah
orang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya
kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya
kepadanya : ‘Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Ia menjawab :
‘Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berfirman :
‘Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang
demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar
menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya
orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca al
Qur`an. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun
mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya: ‘Amal apakah yang telah engkau lakukan
dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab: ‘Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya,
serta aku membaca al Qur`an hanyalah karena engkau.’ Allah berkata : ‘Engkau dusta! Engkau
menuntut ilmu agar dikatakan seorang ‘alim (yang berilmu) dan engkau membaca al Qur`an
supaya dikatakan (sebagai) seorang qari’ (pembaca al Qur`an yang baik). Memang begitulah
yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas
mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang
diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan
kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah
bertanya : ‘Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Dia menjawab : ‘Aku
tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti
aku melakukannya semata-mata karena Engkau.’ Allah berfirman : ‘Engkau dusta! Engkau
berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang
begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar
menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.” (HR. Muslim)

Semoga kita bisa selalu menjaga keikhlasan dalam beramal hanya untuk Alloh semata. Aamiin

Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )


Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.
Siapa Sahabat Terbaik Kita ?
Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh,

Sahabatku yang baik hati, semoga Alloh mengaruniakan kepada kita kawan-kawan yang baik..

ۡ‫ِى ي ُِريدُونَ َو ۡج َههُ ۥۖ َو ََّل تَعۡ د ُ َع ۡينَاكَ َع ۡن ُہ ۡم ت ُ ِريد ُ ِزينَةَ ۡٱل َحيَ ٰوةِ ٱلد ُّۡنيَاۖ َو ََّل ت ُ ِطع‬ ۡ ۡ َ ‫َوٱصۡ بِ ۡر ن َۡف‬
ِ ‫سكَ َم َع ٱلَّذِينَ يَ ۡدعُونَ َربَّ ُہم بِٱلغَدَ ٰوةِ َوٱلعَش‬
ً‫َم ۡن أَ ۡغفَ ۡلنَا قَ ۡلبَهُۥ َعن ذ ِۡك ِرنَا َوٱتَّبَ َع ه ََو ٰٮهُ َو َكانَ أَمۡ ُرهُ ۥ فُ ُر ً۬طا‬

“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja
dengan mengharap Ridha-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena
mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang
hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah
keadaannya itu melewati batas” (Al-Kahfi: 28).

Dari ibnu Abbas r.a. Menceritakan bahwa Rosulullah pernah ditanya, Wahai Rosulullah
manakah diantara kawan-kawan kami yang terbaik?
Beliau menjawab, ;
“Seseorang yang dengan melihatnya mengingatkan kalian kepada Alloh,
Dengan perkataannya bertambah amal kebaikan kalian,
Dan amal-amalnya mengingatkan kalian kepada akherat. “.
( HR. Abu Ya’la)

Dalam sebuah hadits Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang peran dan
dampak seorang teman dalam sabda beliau :

ُ‫ َوإِ َّما أ َ ْن ت َِجدَ ِم ْنه‬، ُ‫ع ِم ْنه‬ ِ ‫ام ُل ْال ِمس‬


َ ‫ َوإِ َّما أ َ ْن تَ ْبتَا‬، َ‫ْك إِ َّما أ َ ْن يُحْ ِذيَك‬ ِ ‫ْك َونَافِخِ ْال ِك‬
ِ ‫ فَ َح‬، ‫ير‬ ِ ‫ام ِل ْال ِمس‬
ِ ‫صا ِلحِ َوالس َّْو ِء َك َح‬ ِ ‫َمث َ ُل ْال َج ِل‬
َّ ‫يس ال‬
‫ َو ِإ َّما أ َ ْن ت َِجدَ ِري ًحا َخ ِبيثَة‬، َ‫ير ِإ َّما أ َ ْن يُحْ ِرقَ ثِيَابَك‬ ْ
ِ ‫ َونَافِ ُخ ال ِك‬، ً‫ط ِيبَة‬
َ ‫ِري ًحا‬

“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan
seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau
engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau
harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan
kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari 5534 dan
Muslim 2628)

Mari kita tafakur siapa sahabat terdekat kita, karena akan sangat mempengaruhi hati dan perilaku
kita.

Kebaikan Seseorang Bisa Dilihat Dari Temannya


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan teman sebagai patokan terhadapa baik dan
buruknya agama seseorang. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kepada kita agar memilih teman dalam bergaul. Dalam sebuah hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

‫المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل‬

“Agama Seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah
yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al
Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 927)

Semoga setiap detik yang kita jalani menjadi amal soleh.. aamiin

Wassalamu ‘alaikum warahmatullohi wabarokaatuh..

Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )


Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.
Riya Terselubung
Syaitan tidak berhenti berusaha menjadikan amalan anak Adam tidak bernilai di sisi Allah.
Diantara cara jitu syaitan adalah menjerumuskan anak Adam dalam berbagai model riyaa’.
Sehingga sebagian orang “KREATIF” dalam melakukan riyaa’, yaitu riyaa’ yang sangat halus
dan terselubung. Diantara contoh kreatif riyaa’ tersebut adalah :

Pertama : Seseorang menceritakan keburukan orang lain, seperti pelitnya orang lain, atau malas
sholat malamnya, tidak rajin menuntut ilmu, dengan maksud agar para pendengar paham
bahwasanya ia tidaklah demikian. Ia adalah seorang yang dermawan, rajin sholat malam, dan
rajin menuntut ilmu. Secara tersirat ia ingin para pendengar mengetahui akan amal ibadahnya.

Model yang pertama ini adalah model riya’ terselubung yang terburuk, dimana ia telah
terjerumus dalam dua dosa, yaitu mengghibahi saudaranya dan riyaa’, dan keduanya merupakan
dosa besar. Selain itu ia telah menjadikan saudaranya yang ia ghibahi menjadi korban demi
memamerkan amalan sholehnya

Kedua : Seseorang menceritakan nikmat dan karunia yang banyak yang telah Allah berikan
kepadanya, akan tetapi dengan maksud agar para pendengar paham bahwa ia adalah seorang
yang sholeh, karenanya ia berhak untuk dimuliakan oleh Allah dengan memberikan banyak
karunia kepadanya.

Ketiga : Memuji gurunya dengan pujian setinggi langit agar ia juga terkena imbas pujian
tersebut, karena ia adalah murid sang guru yang ia puji setinggi langit tersebut. Pada hakikatnya
ia sedang berusaha untuk memuji dirinya sendiri, bahkan terkadang ia memuji secara langsung
tanpa ia sadari. Seperti ia mengatakan, “Syaikh Fulan / Ustadz Fulan…luar biasa ilmunya…,
sangat tinggi ilmunya mengalahkan syaikh-syaikh/ustadz-ustadz yang lain. Alhamdulillah saya
telah menimba ilmunya tersebut selama sekian tahun…”

Keempat : Merendahkan diri tapi dalam rangka untuk riyaa’, agar dipuji bahwasanya ia adalah
seorang yang low profile. Inilah yang disebut dengan “Merendahkan diri demi meninggikan
mutu”

Kelima : Menyatakan kegembiraan akan keberhasilan dakwah, seperti banyaknya orang yang
menghadiri pengajian, atau banyaknya orang yang mendapatkan hidayah dan sadar, akan tetapi
dengan niat untuk menunjukkan bahwasanya keberhasilan tersebut karena kepintaran dia dalam
berdakwah

Keenam : Ia menyebutkan bahwasanya orang-orang yang menyelisihinya mendapatkan


musibah. Ia ingin menjelaskan bahwasanya ia adalah seorang wali Allah yang barang siapa yang
mengganggunya akan disiksa atau diadzab oleh Allah.

Ini adalah bentuk tazkiyah (merekomendasi) diri sendiri yang terselubung.


Ketujuh : Ia menunjukkan dan memamerkan kedekatannya terhadap para dai/ustadz, seakan-
akan bahwa dengan dekatnya dia dengan para ustadz menunjukkan ia adalah orang yang sholeh
dan disenangi para ustadz. Padahal kemuliaan di sisi Allah bukan diukur dari dekatnya seseorang
terhadap ustadz atau syaikh, akan tetapi dari ketakwaan. Ternyata kedekatan terhadap ustadz
juga bisa menjadi ajang pamer dan persaingan.

Kedelapan : Seseorang yang berpoligami lalu ia memamerkan poligaminya tersebut. Jika ia


berkenalan dengan orang lain, serta merta ia sebutkan bahwasanya istrinya ada 2 atau 3 atau 4. Ia
berdalih ingin menyiarkan sunnah, akan tetapi ternyata dalam hatinya ingin pamer. Poligami
merupakan ibadah, maka memamerkan ibadah juga termasuk dalam riyaa’.

Para pembaca yang budiman, ini sebagian bentuk riyaa’ terselubung, semoga Allah melindungi
kita dari terjerumus dalam bentuk-bentuk riyaa’ terselubung tersebut. Tidak perlu kita menuduh
orang terjerumus dalam riyaa’ akan tetapi tujuan kita adalah untuk mengoreksi diri sendiri.

Hanya kepada Allahlah tempat meminta hidayah dan taufiiq.

Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 22-03-1434 H / 04 Februari 2013 M

Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja


Apakah Sabar ada Batasnya?
Bersabar atas cobaan dan bencana dengan menyebut-nyebut kebaikan dan mendapatkan pahala
yang agung.

Allah SWT berfirman :

َ ‫ص ٰـبِ ُرونَ أ َ ۡج َرهُم بِغ َۡي ِر ِح‬


ً۬ ‫س‬
‫اب‬ َّ ‫إِنَّ َما ي َُوفَّى ٱل‬

“Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan tanpa batas.”

QS Az-Zumar : 10

Tanpa takaran dan tanpa ukuran, makanya tidak ada balasan melebihi balasan orang yang sabar.

Allah SWT berfirman :

ِ ‫ع ۡز ِم ۡٱۡل ُ ُم‬
‫ور‬ َ ‫صبَ َر َو َغفَ َر إِ َّن ذَٲلِكَ لَ ِم ۡن‬
َ ‫َولَ َمن‬

“Tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan
yang mulia.”

QS Asy-Asyura : 43

Maksudnya orang yang bersabar, lalu ia tidak mencari menang sendiri dan memaafkan orang
yang mendzoliminnya, sesungguhnya hal itu termasuk perbuatan yang terpuji.

Allah SWT berfirman :

َ‫ص ٰـ ِب ِرين‬ َّ ‫صلَ ٰوةِۚ ِإ َّن‬


َّ ‫ٱَّللَ َم َع ٱل‬ َّ ‫ص ۡب ِر َوٱل‬ ۡ ْ‫يَ ٰـٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُوا‬
َّ ‫ٱست َِعينُواْ ِبٱل‬

“Mohonlah pertolongan (Kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Sungguh, Allah beserta orang-
orang yang sabar.”

QS Al-Baqarah : 153

Maksudnya, mohonlah pertolongan untuk mendapat akhirat dengan menahan nafsu,


meninggalkan maksiat dan sabar melaksanakan kewajiban, karena sesungguhnya sholat
mencegah perbuatan keji dan mungkar.
Allah SWT berfirman :

َّ ‫َولَن َۡبلُ َونَّ ُك ۡم َحت َّ ٰى نَعۡ لَ َم ۡٱل ُم َج ٰـ ِهدِينَ ِمن ُك ۡم َوٱل‬


َ َ‫ص ٰـ ِب ِرينَ َون َۡبلُ َواْ أَ ۡخب‬
‫ار ُك ۡم‬

“Dan sungguh, Kami benar-benar akan menguji sehingga Kami mengetahui orang-orang yang
benar-benar berjihad dan bersabar di antara kamu.”

QS Muhammad : 31

Artinya, sungguh Kami akan menguji kalian semua dengan beberapa beban, sehingga dapat
terbedakan antara orang yang bersungguh-sungguh dalam agamanya dan orang yang berbohong.

Ayat-ayat tentang perintah sabar dan keutamaannya sangat banyak, dikatakan bahwa
sesungguhnya sabar disebutkan dalam seratus tempat didalam Al-Quran.

Semoga bermanfaa
Larangan Mencari Cari Aib Orang Lain
Dari sahabat Ibnu Umar radhiyallahu’anhu, bahwa beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

َ‫اإل ْي َمانُ إِلَى قَ ْلبِ ِه َّلَ تُؤْ ذُوا ال ُم ْس ِل ِميْنَ َوَّلَ تُعَيِ ُروا َوَّلَ تَتَّبِعُوا َع ْو َراتِ ِه ْم فَإِنَّهُ َم ْن يَتَّبِ ْع َع ْو َرة‬
ِ ‫ض‬ ِ ‫سانَ ِه َولَ ْم يَ ْف‬
َ ‫يَا َم ْعش ََر َم ْن آ َمنَ بِ ِل‬
ِ ‫ضحْ هُ لَهُ َولَو في َج ْو‬
‫ف َرحْ ِل ِه‬ ْ َ
َ ‫أ ِخ ْي ِه ال ُم ْس ِل ِم تَتَّبَ َع هللاُ َع ْو َرتَهُ َو َم ْن يَتَّبَعِ هللاُ يَ ْف‬

“Wahai sekalian orang yang beriman dengan lisannya yang belum sampai ke dalam hatinya,
janganlah kalian mengganggu kaum muslimin,
janganlah kalian menjelek-jelekkannya, janganlah kalian mencari-cari aibnya. Barang siapa yang
mencari-cari aib saudaranya sesama muslim niscaya Allah akan mencari aibnya.
Barang siapa yang Allah mencari aibnya niscaya Allah akan menyingkapnya walaupun di dalam
rumahnya.” (H.R. At Tirmidzi dan lainnya)

‫ٱلظ ِن ِإ ۡث ً۬ ۖم‬
َّ ‫ض‬ َ ۡ‫ٱلظ ِن ِإ َّن بَع‬ َّ َ‫يرا ِمن‬ ً ً۬ ِ‫ٱجتَنِبُواْ َكث‬
ۡ ْ‫يَ ٰـٓأَيُّ َہا ٱلَّذِينَ َءا َمنُوا‬
‫ب أَ َحدُڪ ُۡم أَن‬ ُّ ‫ضاۚ أَيُ ِح‬ً ۡ‫ض ُكم بَع‬ ُ ۡ‫سواْ َو ََّل يَ ۡغتَب بَّع‬ َّ ‫َو ََّل تَ َج‬
ُ ‫س‬
‫اب َّر ِح ً۬يم‬ ً۬ ‫ٱَّللَ تَ َّو‬ َّ ْ‫ڪ َل لَ ۡح َم أَ ِخي ِه َم ۡي ً۬ت ًا فَ َك ِر ۡهت ُ ُموهُۚ َوٱتَّقُوا‬
َّ ‫ٱَّللَۚ ِإ َّن‬ ُ ‫يَ ۡأ‬
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian
prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah
sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
QS. Al-Hujurat : 12
Orang yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan
tajassus dan senantiasa sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri. Sesungguhnya orang yang
sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri dan melupakan kejelekan orang lain, maka hatinya
akan tenteram dan tidak akan merasa capai. Setiap kali dia melihat kejelekan yang ada pada
dirinya, maka dia akan merasa hina tatkala melihat kejelekan yang serupa ada pada saudaranya.
Sementara orang yang senantiasa sibuk memperhatikan kejelekan orang lain dan melupakan
kejelekannya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya akan merasa letih, dan akan sulit
baginya meninggalkankejelekan dirinya. Mengutip perkataan Imam Abu Hatim bin Hibban Al-Busthi.
Agungnya Kalimat “Hasbunallahu Wa
Ni’mal Wakiil”
How To Find Long Lasting Love (The Daily
Western)
Khutbah Masjid Nabawi 4/3/1436 H – 26/12/2014 M
Oleh : Syaikh Abdul Baari Ats-Tsubaiti hafizohulloh
Khutbah Pertama :

Segala puji bagi Allah, sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah, amma ba’du:

“Hasbunallah wani’mal wakiil” (Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah sebaik-baik
Sandaran), suatu kalimat yang agung, mengandung makna-makna yang tinggi, indah
kandungannya, memberi pengaruh yang kuat. Al-Hasiib adalah Dzat Yang menghitung nafas-
nafasmu, yang dengan karuniaNya Ia menjauhkan keburukan darimu, Yang diharapkan
kebaikannya, dan cukup dengan karuniaNya, dengan anugerahNya Ia menghilangkan keburukan.

Al-Hasiib adalah Dzat yang jika engkau mengangkat hajatmu kepadaNya maka Iapun
memenuhinya, jika ia menghukum dengan suatu keputusan maka ia menetapkannya dan
menjalankannya.

َّ ‫َو َكفَى ِب‬


‫اَّللِ َحسِيبًا‬

Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat perhitungan (QS Al-Ahzaab : 36)


Maknanya adalah yang mengetahui bagian-bagian dan ukuran-ukuran yang para hamba
mengetahuinya semisal ukuran-ukuran tersebut dengan cara menghitung, adapun Allah
mengetahuinya tanpa menghitung.

َّ ‫َو َم ْن َيت ََو َّك ْل َعلَى‬


ُ‫َّللاِ فَ ُه َو َح ْسبُه‬

Dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya. (QS At-Tholaq : 3)

Yaitu Allah akan mencukupkan urusan agama dan dunianya, Yang menghilangkan kesedihan
dan kegelisahannya, dan seluruh kecukupan diperoleh maka tidaklah diperoleh kecuali dengan
Allah, atau dengan sebagian makhlukNya, dan seluruh kecukupan yang diperoleh dengan (sebab)
makhlukNya maka sesungguhnya diperoleh denganNya

‫َونِ ْع َم ْال َو ِكي ُل‬

“Dan Allah adalah Sebaik-baik Sandaran”. (QS Ali ‘Imron : 163)


Yaitu, sebaik-baik tempat bersandar kepadanya dalam memperoleh kenikmatan dan untuk
menolak kemudhorotan dan bencana.

Al-Wakiil adalah Yang mengurus seluruh alam, dalam penciptaan, pengaturan, pemberian
petunjuk dan taqdirnya. Al-Wakiil adalah yang dengan kebaikanNya mengatur segela urusan
hambaNya, maka Ia tidak akan meninggalkan hambaNya, tidak membiarkannya, tidak
menyerahkan hambaNya kepada yang lain, dan diantaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam

َ ‫اللَّ ُه َّم َرحْ َمتَكَ أ َ ْر ُجو فَالَ تَ ِك ْلنِي ِإلَى نَ ْفسِي‬


‫ط ْرفَةَ َعيْن‬

“Ya Robku, hanya kepada rahmatMu-lah ku berharap, maka janganlah Engkau serahkan diriku
kepada diriku meski hanya sekejap mata”

Yaitu janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku dan memalingkan aku kepada diriku, karena
barang siapa yang bertawakkal kepada dirinya maka ia telah binasa.

“Hasbunallah wani’mal wakiil” (Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah sebaik-baik
Sandaran) yaitu Allah cukup bagi orang yang bertawakkal kepadaNya, yang berlindung
kepadaNya, Dialah yang menghilangkan ketakutan dari seorang yang sedang takut, Dia
melindungi orang yang meminta perlindungan, Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik
penolong. Barangsiapa yang berloyal kepadaNya, meminta pertolonganNya, bertawakal
kepadaNya, serta menyerahkan segala urusannya kepadaNya, maka Allah akan melindunginya
dengan penjagaanNya dan naunganNya. Barangsiapa yang takut kepadaNya dan bertakwal
kepadaNya maka Allah akan menjadikannya aman dari segala yang ia takutkan dan kawatirkan.
Serta Allah akan mendatangkan baginya seluruh kemanfaatan yang ia butuhkan.

ُ‫َّللاِ فَ ُه َو َح ْسبُه‬ ُ ‫( َويَ ْر ُز ْقهُ ِم ْن َحي‬٢) ‫َّللاَ يَجْ عَ ْل لَهُ َم ْخ َر ًجا‬


َّ ‫ْث َّل يَحْ تَسِبُ َو َم ْن يَت ََو َّك ْل َعلَى‬ َّ ‫ق‬ ِ َّ ‫َو َم ْن يَت‬

Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan
memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. (QS At-Tholaq : 2-
3)

Maka janganlah merasa lambat akan datangnya pertolongan Allah, rizkiNya dan kesembuhan
dariNya, karena

(٣) ‫ش ْيء قَد ًْرا‬ َّ ‫َّللاَ َبا ِل ُغ أ َ ْم ِر ِه قَدْ َج َع َل‬


َ ‫َّللاُ ِل ُك ِل‬ َّ ‫ِإ َّن‬

Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah


mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (QS At-Tholaq : 3), tidak akan dipercepat dan
tidak pula terlambat.

Allah berfirman :

(٦٤) َ‫َّللاُ َو َم ِن اتَّبَ َعكَ ِمنَ ْال ُمؤْ ِمنِين‬ ُّ ‫يَا أَيُّ َها النَّ ِب‬
َّ َ‫ي َح ْسبُك‬
Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang
mengikutimu. (QS Al-Anfaal : 64)

Yaitu Allah akan melindungimu dan melindungi para pengikutmu.

َّ ‫ْس‬
ُ‫َّللاُ بِكَاف َع ْبدَه‬ َ ‫أَلَي‬

Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya. (QS Az-Zumar : 36)

Dan rahasia datangnya perlindungan Allah adalah mewujudkan peribadatan, maka semakin
bertambah penghambaan (peribadatan) seorang hamba kepada Allah maka semakin bertambah
pula perlindungan Allah Azza wa Jalla. Maka tambahlah penghambaanmu niscaya Allah Azza
wa Jalla menambah penjagaan dan perlindunganNya bagimu.

“Hasbullah wa ni’mal wakiil” adalah tempat perlindungan seorang hamba tatkala dalam kondisi
krisis yang parah, dalam kondisi yang sangat genting. Perkataan ini lebih kuat daripada kekuatan
materi dan sebab-sebab duniawi. Perkataan ini adalah tempat bertumpu seorang muslim tatkala
hartanya direbut, tatkala ia tak mampu untuk meraih haknya, tatkala sedikit pendukungnya,
perkataan ini adalah penghiburnya tatkala musibah menerpa, bentengnya tatkala genting, yaitu
tatkala ia mengucapkan perkataan ini dengan keyakinan yang kuat, karena ia meyakini
bahwasanya “Laa haula wa laa quwwat illa billah” (Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan
Allah).

Maka jika seorang hamba ditimpa kesulitan, diliputi oleh musibah lalu ia berkata “Hasbiyallahu
wa ni’mal wakiil” (cukuplah Allah penolongku dan sebaik-baik sandaran) maka hatinya akan
terkosongkan dari segala sesuatu kecuali Allah semata. Maka hal ini akan menjadikan seorang
yang tertimpa musibah dan ujjian akan merasa dalam relung hatinya adanya keyakinan
bahwasanya segala perkara di tangan Allah.

(Maha suci Allah pemilik segala kekuasaan, maha suci Allah pemilik kesombongan, maha suci
Allah yang Maha hidup dan tidak akan mati). Maka akan ringan baginya kesedihan
bagaimanapun beratnya, akan ringan penderitaan bagaimanapun puncaknya, karenanya penyeru
dari keluarga Fir’aun berkata :

‫صير بِ ْال ِعبَا ِد‬ ُ ‫َوأُفَ ِو‬


َّ ‫ض أَ ْم ِري إِلَى‬
َّ ‫َّللاِ إِ َّن‬
ِ َ‫َّللاَ ب‬

Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha melihat akan hamba-
hamba-Nya”. (QS Al-Mukmin : 44)

Nabi Ya’qub ‘alaihis salaam berkata :

َّ ‫ِإنَّ َما أَ ْش ُكو َبثِي َو ُح ْزنِي ِإلَى‬


ِ‫َّللا‬

“Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku” (QS
Yusuf : 86)
“Hasbunallahu wani’mal wakiil” adalah doa permintaan, obat bagi segala yang menggelisahkan
seorang muslim baik perkara dunia maupun akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda :

‫ وهو رب العرش العظيم ؛ سبع مرات ؛ كفاه‬، ‫ حسبي هللا َّل إله إَّل هو ؛ عليه توكلت‬: ‫من قال في كل يوم حين ي وحين يمسي‬
‫هللا ما أهمه من أمر الدنيا واآلخرة‬

“Barangsiapa yang setiap hari tatkala pagi dan petang mengucapkan “Hasbiyallahu laa ilaaha
illah Huwa ‘alaihi tawkkaltu wa huwa Robbul ‘Arsyil ‘Adhiim” (artinya : Cukuplah Allah
bagiku tiada sesembahan kecuali Dia, kepadaNya-lah aku bertawakkal, dan Dia adalah
Penguasa ‘Arsy yang agung) sebanyak 7 kali, maka Allah akan memenuhi apa yang
menggelisahkannya dari perkara dunia dan akhirat”

“Hasbiyallahu wa ni’mal wakiil” diucapkan oleh Ibrahim ‘alaihis salaam tatkala dilemparkan di
api, maka jadilah api tersebut dingin dan membawa keselamatan. Diucapkan pula oleh Rasul kita
yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala mereka berkata kepadanya :

ْ َ‫اس قَدْ َج َمعُوا لَ ُك ْم ف‬


‫اخش َْو ُه ْم‬ َ َّ‫ِإ َّن الن‬

“Sesungguhnya orang-orang (yaitu kafir Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk


menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka” (QS Ali Imron : 173)

Justru semakin menambah keimanan mereka (Nabi dan para sahabat),

‫َّللاُ ذُو فَضْل َع ِظيم‬ َّ َ‫سوء َواتَّ َبعُوا ِرض َْوان‬


َّ ‫َّللاِ َو‬ َ ‫َّللاِ َوفَضْل لَ ْم َي ْم‬
ُ ‫س ْس ُه ْم‬ َّ َ‫فَا ْنقَلَبُوا ِب ِن ْع َمة ِمن‬

Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak
mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. dan Allah mempunyai karunia
yang besar” (QS Ali Imron : 174)

Tatkala mereka menyerahkan urusan mereka kepada Allah dan menyandarkan hati mereka
kepadaNya, maka Allah memberikan kepada mereka balasan berupa empat perkara, (1)
kenikmatan, (2) karunia, (3) dihindarkan dari keburukan, (4) dan mengikuti keridhoan Allah,
maka mereka ridho kepada Allah dan Allahpun ridho kepada mereka.

Yang dimaksud dengan menyerahkan urusan kepada Allah subhanahu yaitu setelah berusaha dan
berikhiyar, maka tidaklah mereka mencari kesembuhan kecuali dariNya, tidaklah mereka
mencari kecukupan kecuali dariNya, tidaklah mereka kemuliaan kecuali darinya, maka seluruh
perkara bergantung kepada Allah, mengharap dariNya.

Dan inilah doa yang dengan doa tersebut Allah menjaga kehormatan Aisyah –semoga Allah
meridoinya-, tatkala ia naik tunggangannya ia berkata, “Hasbiyallahu wa ni’mal wakiil”
(cukuplah Allah bagiku dan sebaik-baik Sandaran). Lalu turulah ayat-ayat yang menjelaskan
sucinya Aisyah dari tuduhan keji.
“Hasbunallahu wani’mal wakiil” adalah doanya orang-orang yang kuat, dan bukan doanya
orang-orang yang lemah, doanya orang-orang yang kuat hati mereka, tidak terpengaruh oleh
dugaan-dugaan, tidak diganggu oleh kejadian-kejadian, tidak terkontaminasi oleh kelemahan dan
ketakutan, karena mereka mengetahui bahwasanya Allah telah menjamin orang yang bertawakal
kepadanya dengan jaminan penjagaan yang sempurna. Maka ia yakin kepada Allah, tenang
percaya dengan janji Allah, maka sirnalah kesedihannya, hilanglah kegelisahannya, kesulitan
pun berganti menjadi kemudahan, kesedihan menjadi kegembiraan, dan ketakutan menjadi
ketenteraman.

“Hasbunallahu wani’mal wakiil” adalah senjata seorang dai yang menyeru kepada jalan Allah.
Seorang mukmin yang benar tegar tidak tergoyahkan oleh goncangan-goncangan, ia tetap
melangkah, memurnikan tawakalnya, dan baginya ganjaran yang besar. Allah berfirman :

‫َّللاُ َّل ِإلَهَ ِإَّل ه َُو َعلَ ْي ِه ت ََو َّك ْلتُ َوه َُو َربُّ ْال َع ْر ِش ْال َع ِظ ِيم‬
َّ ‫ي‬ َ ‫فَإ ِ ْن ت ََولَّ ْوا فَقُ ْل َح ْس ِب‬

Jika mereka berpaling (dari keimanan), Maka Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada
Tuhan selain Dia. hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki
‘Arsy yang agung”. (QS At-Taubah : 129)

Mereka yang menyampaikan agama Allah, mereka mengetahui bahwasanya Allah adalah
penolong mereka, maka merekapun takut kepada Allah dan tidak peduli dengan orang-orang
yang menghalangi, mereka yakin bahwasanya mereka di atas kebenaran, bahwasanya agama
mereka benar, mereka menempuh jalannya para nabi dengan penuh kelembutan dan hikmah.

“Hasbunallah wani’mal wakiil” adalah doa rido terhadap taqdir Allah. Allah berfirman :

َّ ‫(ولَ ْو أَنَّ ُه ْم َرضُوا َما آتَا ُه ُم‬


ُ‫َّللا‬ َ ٥٨) َ‫طون‬ ُ ‫ط ْوا ِم ْن َها ِإذَا ُه ْم يَ ْس َخ‬ ُ ‫ت فَإ ِ ْن أ ُ ْع‬
َ ‫طوا ِم ْن َها َرضُوا َو ِإ ْن لَ ْم يُ ْع‬ َّ ‫َو ِم ْن ُه ْم َم ْن يَ ْل ِم ُزكَ فِي ال‬
ِ ‫صدَقَا‬
(٥٩) َ‫َّللاِ َرا ِغبُون‬ َ َّ
َّ ‫سولهُ إِنا إِلى‬ ُ ُ ‫ض ِل ِه َو َر‬ َ ْ
ْ ‫َّللاُ ِمن ف‬ َّ ‫سيُؤْ ِتينَا‬ ُ َ
َّ ‫سولهُ َوقالوا َح ْسبُنَا‬
َ ُ‫َّللا‬ ُ ُ ‫َو َر‬

Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi
sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari
padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah. Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha
dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: “Cukuplah Allah
bagi Kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya,
Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah,” (tentulah yang
demikian itu lebih baik bagi mereka). (QS At-Taubah : 58-59)

Seandainya seorang muslim menerima keputusan Allah, rido dengan hikmahNya maka lebih
baik dan agung baginya. Ini merupakan adab jiwa, adab lisan, dan adab iman. Ridho dengan
pembagian Allah, rido dengan sikap pasrah dan menerima, bukan ridho terpaksa. Maka
cukupkanlah diri dengan Allah, niscaya Allah akan mencukupkan untuk hambaNya. Dan
mencukupkan diri dengan Allah merupakan sikap seorang muslim tatkala miskin dan tatkala
memberi, tatkala menolak dan tatkala mengambil, dalam kondisi senang dan susah.

“Hasbiyallahu wa ni’mal wakiil”, merupakan washiat Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi
wasallam kepada umatnya tatkala dalam kondisi berat, beliau bersabda :
‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه‬َ ِ ‫ب النَّ ِبي‬ ِ ‫ص َحا‬ ِ ‫احبُ ْالقَ ْر ِن قَ ِد ْالتَقَ َم ْالقَ ْرنَ َوا ْست َ َم َع‬
ْ َ ‫اإلذْنَ َمت َى يُؤْ َم ُر ِبال َّن ْفخِ َفيَ ْنفُ ُخ َف َكأ َ َّن ذَلِكَ ثَقُ َل َعلَى أ‬ ِ ‫ص‬َ ‫ْف أ ُ ْن َع ُم َو‬
َ ‫َكي‬
ْ‫سلَّ َم فَقَا َل لَ ُه ْم قُ ْولُوا َح ْسبُنَا هللاُ َو ِن ْع َم ْال َو ِك ْي ُل َعلَى هللاِ ت ََو َّكلنَا‬
َ ‫َو‬

“Bagaimana aku tenteram sementara malaikat Israfil telah menempel pada sangkakala dan
menanti izin kapan ia diperintahkan untuk meniup, maka diapun meniup”.

Maka hal ini memberatkan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Nabi berkata
kepada mereka :”Ucapkanlah : “Hasbunallahu wani’mal wakiil, ‘alallahi tawakalnaa” (cukuplah
Allah bagi kami dan Dia sebaik-baik bersandar, hanya kepadaNyalah kami menyerahkan urusan
kami)

Barangsiapa yang Allah cukup baginya maka pikirannya tidak tersibukan dengan makar (rencana
jahat) yang disiapkan oleh para pemakar, tidak menggelisahkannya perkumpulan orang-orang
yang selalu menanti-nanti keburukan menimpa kaum muslimin, tidak juga rencana jahat ahli
kufur dan orang sesat dan penipu atau orang yang menampakkan perkara yang bertentangan
dengan batinnya. Karenanya Allah menenangkan NabiNya dan menurunkan firmanNya kepada
Nabi :

َّ َ‫َوإِ ْن ي ُِريد ُوا أ َ ْن يَ ْخدَعُوكَ فَإ ِ َّن َح ْسبَك‬


ُ‫َّللا‬

Dan jika mereka bermaksud menipumu, maka Sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi
pelindungmu). (QS Al-Anfaal : 62)

Yazid bin Hakiim pernah berkata :

‫ هللا بيني وبينك‬،‫ حسبي هللا‬: ‫ ويقول‬،‫ما َ ِهبْتُ أحدا ً قط َه ْيبَتِي رجالً ظلمتُه وأنا أعلم أنه َّل ناصر له إَّل هللا‬

“Tidaklah aku takut kepada seorangpun sebagaimana ketakutanku kepada seseorang yang aku
menzoliminya, dan aku tahu bahwasanya tidak ada penolong baginya kecuali Allah. Ia berkata,
“Hasbiyallahu” (cukuplah Allah penolongku), ia berkata :”Antara aku dan engkau ada Allah”

“Hasbiyallahu wa ni’mal wakiil” membuahkan kepercayaan kepada Allah subhaanahu, dan


bersandar kepadaNya, merasa Allah selalu bersamanya dalam setiap waktu dan setiap kondisi.

Jika seorang hamba telah mengetahui bahwasanya Allah yang mencukupkan rizkinya, mata
pencahariannya, penjagaan dan perhatinan, pertolongan dan kejayaan, maka ia hanya akan
mencukupkan dengan pertolongan Allah dari pertolongan selainNya. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda :

ُ‫َو َم ِن ا ْستَ ْكفَى َكفَاهُ هللا‬

“Barangsiapa yang mencari kecukupan (dari Allah) maka Allah mencukupkannya”

“Hasbiyallahu wani’mal wakiil” membuahkan penyerahan seorang hamba dirinya kepada Allah,
berbaik sangka kepadaNya subhaanahu, karena Allah tersifatkan dengan kekuatan yang
sempurna, ilmu dan hikmah yang sempurna, dan Allah tidaklah mentakdirkan bagi hamba
kecuali yang membawa kemaslahatan bagi sang hamba baik di dunia maupun akhirat. Allah
berfirman :

َ ‫َّللاَ َكانَ بِ ُك ِل‬


‫ش ْيء َع ِلي ًما‬ َّ ‫َوا ْسأَلُوا‬
ْ َ‫َّللاَ ِم ْن ف‬
َّ ‫ض ِل ِه إِ َّن‬

Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
segala sesuatu. (QS An-Nisaa’ : 32)

Juga membuahkan pemantapan tauhid dan tawakkal kepada Pencipta. Allah berfirman :

‫فَا ْعبُدْهُ َوت ََو َّك ْل َعلَ ْي ِه‬

Maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. (QS Huud : 1230)

Allah berfiman :

ِ ‫ق َو ْال َم ْغ ِر‬
‫ب َّل إِلَهَ إَِّل ه َُو فَات َّ ِخذْهُ َو ِكيال‬ ِ ‫َربُّ ْال َم ْش ِر‬

(Dia-lah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia,
Maka ambillah Dia sebagai Pelindung. (QS Al-Muzammil : 9)

Allah juga berfirman :

‫أََّل تَتَّ ِخذُوا ِم ْن دُونِي َو ِكيال‬

“Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku, (QS Al-Isroo’ : 2)

Khutbah Kedua :

Dan janganlah dipahami dari ini semua, seseorang lalu menyembunyikan kemalasannya dan
ketidakmampuannya dibalik “hasbunallahu wani’mal wakiil”. Karena ini merupakan bentuk dari
kelemahan dan kehinaan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada sahabat-
sahabatnya doa berikut :

‫س ِل َوأَع ُْوذ ُ ِبكَ ِمنَ ْال ُجب ِْن َو ْالب ُْخ ِل َوأَعُوذ ُ ِبكَ ِم ْن َغلَبَ ِة الدَّي ِْن‬
َ ‫اللَّ ُه َّم ِإنِي أَعُوذ ُ ِبكَ ِمنَ ْال َه ِم َو ْال ُح ْز ِن َوأَع ُْوذ ُ ِبكَ ِمنَ ْال َعجْ ِز َو ْال َك‬
‫الر َجا ِل‬ِ ‫َوق ْه ِر‬َ

“Ya Allah aku berlindung kepadaMu dari kegelisahan dan kesedihan, aku berlindung kepadaMu
dari ketidakmampuan dan kemalasan, aku berlindung kepadaMu dari sifat penakut dan pelit,
dan aku berlindung kepadaMu dari terlilit hutang dan penguasaan para lelaki”

Maka seorang muslim menghadapi semua peristiwa dan kondisi dengan “Hasbiyallahu wa
ni’mal wakiil” dengan menghadirkan akan agungnya makna kalimat ini, tingginya nilai yang
ditunjukkannya, disertai dengan amal yang sungguh-sungguh, dan menempuh sebab-sebab
dengan hikmah dan ilmu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
َّ ‫ص َعلَى َما يَ ْنفَعُكَ واستعن ِب‬
‫اَّلل وَّلتعجز‬ ْ ‫يف َوفِي ُكل َخيْر احْ ِر‬ َّ ‫َّللاِ ِمنَ ْال ُمؤْ ِم ِن ال‬
ِ ‫ض ِع‬ ُّ ‫ْال ُمؤْ ِمنُ ْالقَ ِو‬
َّ ‫ي َخيْر َوأ َ َحبُّ ِإلَى‬

“Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada seorang mukmin
yang lemah, dan semuanya ada kebaikan. Semangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat
bagimu dan mintalah pertolongan Allah dan jangan lemah”

sumber: www.firanda.com

Anda mungkin juga menyukai