Pengantar
Cagar Budaya sebagai sumber daya budaya memiliki sifat rapuh, unik,
langka, terbatas, dan tidak terbarui. Sifat ini menyebabkan jumlahnya
cenderung berkurang sebagai akibat dari pemanfaatan yang tidak
memperhatikan upaya pelindungannya, walaupun batas usia 50 tahun
sebagai titik tolak penetapan status “kepurbakalaan” objek secara bertahap
menempatkan benda, bangunan, atau struktur lama menjadi cagar budaya
baru. Warisan yang lebih tua, karena tidak bisa digantikan dengan yang
baru, akan terus berukurang tanpa dapat dicegah.
Pengaturan cagar budaya dapat ditarik dasar hukumnnya pada Pasal 32 ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
mengamanatkan bahwa: “Negara memajukan kebudayaan nasional
Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan
masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”
Fokus pengaturan untuk kepentingan ilmu (arkeologi) dan seni yang selama
puluhan tahun menjadi perhatian, yaitu sejak keluarnya Monumenten
Ordonnatie tahun 1938 yang disusun Pemerintah Kolonial Belanda, mulai
tahun 2010 perhatian itu lebih terfokus kepada persoalan upaya kongkret
meningkatkan kesejahteraan rakyat sekaligus mengangkat peradaban
bangsa menggunakan tinggalan purbakala. Ini adalah misi sebenarnya dari
penyusunan UU-CB.
Pengertian Pelestarian
Upaya pelestarian yang telah dilakukan dahulu dan sekarang pada dasarnya
mempunyai tujuan yang sama, yaitu pelestarian demi kepentingan
penggalian nilai-nilai budaya dan proses-proses yang pernah terjadi pada
masa lalu dan perkembangannya hingga kini serta pelestarian benda cagar
budaya karena nilainya terhadap suatu peristiwa sejarah yang pernah terjadi
pada masa lalu. Namun seiring dengan usaha pembangunan yang terus
berlangsung di negara kita, maka memberi tantangan tersendiri terhadap
upaya pelestarian. Pembangunan sering kali berdampak negatif terhadap
kelestarian benda cagar budaya. Problem semacam ini muncul dimana-mana
terutama di daerah perkotaan. Kegiatan pembangunan tanpa menghiraukan
keberadaan benda cagar budaya hingga saat ini masih terus berlangsung.
Hal ini tampak dari semakin menurunnya kualitas dan kuantitas benda cagar
budaya.
Keterangan:
Pl = pelindungan
Pb = pengembangan
Pf = pemanfaatan
Selain itu, Unit Pelaksana Teknis yang merupakan kepanjangan tangan dari
Pemerintah Pusat seperti Balai Pelestraian Peninggalan Purbakala (BP3),
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, atau Balai Arkeologi tidak
termasuk yang diserahkan kewenangannya kepada Pemerintah Daerah.
Namun Undang-Undang Cagar Budaya memberi peluang bagi Pemerintah
Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mendirikan atau
membubarkan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) menurut kebutuhan.
Daerah bahkan diberi tugas untuk menetapkan, menghapus, atau melakukan
peringkat kepentingan terhadap ca-gar budaya yang berada di wilayah
administrasinya masing-masing.
Tim Ahli Cagar Budaya
Dalam menjalankan tugas, tim ini dibantu oleh sebuah tim lagi yang disebut
sebagai Tim Pengolah Data. Nama tim ini muncul dalam Rancangan
Peraruran Pemerintah yang kini tengah dipersiapkan untuk dikeluarkan oleh
Presiden RI, diharapkan pada tahun 2014 sudah keluar. Tugas tim yang
bekerja di bawah koordinasi instansi bidang kebudayaan ini adalah
mengumpulkan dan melakukan verifikasi atas data, sebelum diserahkan
kepada Tim Ahli Cagar Budaya.
Dari pengalaman yang selama ini kita alami, sering kita dengar melalui
berbagai media antara lain adalah konflik antara pemerintah pusat dan
daerah khususnya mengenai pengelolaan cagar budaya. Di satu sisi,
pemerintah daerah merasa mempunyai kewenangan yang sangat besar
untuk membuat kebijakan daerah khususnya untuk memberi pelayanan,
prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat, sehingga kadang mereka begitu “berani”
melakukan pengelolaan cagar budaya. Di sisi lain, pemerintah pusat merasa
“ditinggalkan” dalam pengelolaan tersebut sehingga hasil darinya tidak
sesuai dengan harapan bersama. Banyak contoh kasus yang terjadi di
Indonesia terhadap penghilangan suatu cagar budaya yang justru dilakukan
oleh kebijakan pemerintah daerah itu sendiri, dengan alasan faktor ekonomi
dan kebutuhan ruang. Pelanggaran atau konflik itu muncul, pada hakekatnya
adalah tidak terlepas dari dampak adanya sistem otonomi daerah yang
diberlakukan selama ini.
¤
____________________________
*) Penulis
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/pelestarian-cagar-budaya-di-daerah-otonom/