Amnioinfusion
Amnioinfusion
Pada kehamilan normal, cairan amnion memberikan ruang bagi janin untuk
tumbuh, bergerak, dan berkembang. Tanpa cairan amnion, uterus akan berkontraksi dan
menekan janin. Jika terjadi pengurangan volume cairan amnion pada awal kehamilan,
janin akan mengalami berbagai kelainan seperti gangguan perkembangan anggota
gerak, cacat dinding perut, dan sindroma Potter , suatu sindrom dengan gambaran wajah
berupa kedua mata terpisah jauh, terdapat lipatan epikantus, pangkal hidung yang lebar,
telinga yang rendah dan dagu yang tertarik ke belakang.
Pada pertengahan usia kehamilan, cairan amnion menjadi sangat penting bagi
perkembangan paru janin. Tidak cukupnya cairan amnion pada pertengahan usia
kehamilan akan menyebabkan terjadinya hipoplasia paru yang dapat menyebabkan
kematian.
Selain itu cairan ini juga mempunyai peran protektif pada janin, cairan ini
mengandung agen-agen anti bakteria dan bekerja menghambat pertumbuhan bakteri
yang memiliki potensi patogen. .Selama proses persalinan dan kelahiran cairan amnion
terus bertindak sebagai medium protektif pada janin untuk memantau dilatasi servik.
Selain itu cairan amnion juga berperan sebagai sarana komunikasi antara janin dan ibu.
Kematangan dan kesiapan janin untuk lahir dapat diketahui dari hormon urin janin yang
diekskresikan ke dalam cairan amnion.
Cairan amnion juga dapat digunakan sebagai alat diagnostik untuk melihat
adanya kelainan-kelainan pada proses pertumbuhan dan perkembangan janin dengan
melakukan kultur sel. Jadi cairan amnion memegang peranan yang cukup penting dalam
proses kehamilan dan persalinan.
Amnion manusia pertama kali dapat diidentifikasi pada sekitar hari ke-7 atau ke-
8 perkembangan mudigah. Pada awalnya sebuah vesikel kecil yaitu amnion,
berkembang menjadi sebuah kantung kecil yang menutupi permukaan dorsal mudigah.
1
Karena semakin membesar, amnion secara bertahap menekan mudigah yang sedang
tumbuh, yang mengalami prolaps ke dalam rongga amnion.
Gambar 1. Kantung amnion pada hari ke-10 ditampakkan pada gambar sebelah
kiri dan di sebelah kanan merupakan kantung amnion pada hari ke-
12 yang selanjutnya akan tumbuh menekan mudigah dikutip dari
Cunningham
Cairan amnion pada keadaan normal berwarna putih agak keruh karena adanya
campuran partikel solid yang terkandung di dalamnya yang berasal dari lanugo, sel
epitel, dan material sebasea. Volume cairan amnion pada keadaan aterm adalah sekitar
800 ml, atau antara 400 ml -1500 ml dalam keadaan normal. Pada kehamilan 10 minggu
rata-rata volume adalah 30 ml, dan kehamilan 20 minggu 300 ml, 30 minggu 600 ml.
Pada kehamilan 30 minggu, cairan amnion lebih mendominasi dibandingkan dengan
janin sendiri.
Cairan amnion diproduksi oleh janin maupun ibu, dan keduanya memiliki peran
tersendiri pada setiap usia kehamilan. Pada kehamilan awal, cairan amnion sebagian
besar diproduksi oleh sekresi epitel selaput amnion.
Dengan bertambahnya usia kehamilan, produksi cairan amnion didominasi oleh
kulit janin dengan cara difusi membran. Pada kehamilan 20 minggu, saat kulit janin
mulai kehilangan permeabilitas, ginjal janin mengambil alih peran tersebut dalam
memproduksi cairan amnion.
Pada kehamilan aterm, sekitar 500 ml per hari cairan amnion di sekresikan dari
urin janin dan 200 ml berasal dari cairan trakea. Pada penelitian dengan menggunakan
radioisotop, terjadi pertukaran sekitar 500 ml per jam antara plasma ibu dan cairan
amnion.
2
Pada kondisi dimana terdapat gangguan pada ginjal janin, seperti agenesis ginjal,
akan menyebabkan oligohidramnion dan jika terdapat gangguan menelan pada janin,
seperti atresia esophagus, atau anensefali, akan menyebabkan polihidramnion.
Cairan amnion juga berperan dalam sistem imun bawaan karena memiliki peptid
antimikrobial terhadap beberapa jenis bakteri dan fungi patogen tertentu. Cairan amnion
adalah 98% air dan elektrolit, protein , peptide, hormon, karbohidrat, dan lipid. Pada
beberapa penelitian, komponen-komponen cairan amnion ditemukan memiliki fungsi
sebagai biomarker potensial bagi abnormalitas-abnormalitas dalam kehamilan.
Beberapa tahun belakangan, sejumlah protein dan peptide pada cairan amnion diketahui
sebagai faktor pertumbuhan atau sitokin, dimana kadarnya akan berubah-ubah sesuai
dengan usia kehamilan. Cairan amnion juga diduga memiliki potensi dalam
pengembangan medikasi stem cell.
Volume cairan amnion pada setiap minggu usia kehamilan bervariasi, secara
umum volume bertambah 10 ml per minggu pada minggu ke-8 usia kehamilan dan
meningkat menjadi 60 ml per minggu pada usia kehamilan 21 minggu, yang kemudian
akan menurun secara bertahap sampai volume yang tetap setelah usia kehamilan 33
minggu. Normal volume cairan amnion bertambah dari 50 ml pada saat usia kehamilan
12 minggu sampai 400 ml pada pertengahan gestasi dan 1000 – 1500 ml pada saat
3
aterm. Pada kehamilan postterm jumlah cairan amnion hanya 100 sampai 200 ml atau
kurang.
5
2. Cairan Paru
Cairan paru janin memiliki peran yang penting dalam pembentukan cairan amnion. Pada
penelitian dengan menggunakan domba, didapatkan bahwa paru-paru janin
memproduksi cairan sampai sekitar 400 ml/hari, dimana 50% dari produksi tersebut
ditelan kembali dan 50% lagi dikeluarkan melalui mulut. Meskipun pengukuran secara
langsung ke manusia tidak pernah dilakukan, namun data ini memiliki nilai yang
representratif bagi manusia. Pada kehamilan normal, janin bernafas dengan gerakan
inspirasi dan ekspirasi, atau gerakan masuk dan keluar melalui trakea, paru-paru dan
mulut. Jadi jelas bahwa paru-paru janin juga berperan dalam pembentukan cairan
amnion.
3. Gerakan menelan
Pada manusia, janin menelan pada awal usia kehamilan. Pada janin domba, proses
menelan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya usia kehamilan. Sherman
dan teman-teman melaporkan bahwa janin domba menelan secara bertahap dengan
volume sekitar 100-300 ml/kg/hari.
Banyak teknik berbeda yang dicoba untuk mengukur rata-rata volume cairan
amnion yang ditelan dengan menggunakan hewan, namun pada manusia, pengukuran
yang tepat sangat sulit untuk dilakukan. Pritchard meneliti proses menelan pada janin
dengan menginjeksi kromium aktif pada kompartemen amniotik, dan menemukan rata-
rata menelan janin adalah 72 sampai 262 ml/kg/hari.
Abramovich menginjeksi emas koloidal pada kompartemen amniotik dan
menemukan bahwa volume menelan janin meningkat seiring dengan bertambahnya usia
kehamilan. Penelitian seperti ini tidak dapat lagi dilakukan pada masa sekarang ini
karena faktor etik, namun dari penelitian di atas jelas bahwa kemampuan janin menelan
tidak menghilangkan seluruh volume cairan amnion dari produksi urin dan paru-paru
janin, karena itu, harus ada mekanisme serupa dalam mengurangi volume cairan
amnion.
6
Gambar 4. Distribusi cairan amnion pada kehamilan
Dikutip dari Gilbert
4. Absorpsi Intramembran
Satu penghalang utama dalam memahami regulasi cairan amnion adalah
ketidaksesuaian antara produksi cairan amnion oleh ginjal dan paru janin, dengan
konsumsinya oleh proses menelan. Jika dihitung selisih antara produksi dan konsumsi
cairan amnion, didapatkan selisih sekitar 500-750 ml/hari, yang tentu saja ini akan
menyebabkan polihidramnion. Namun setelah dilakukan beberapa penelitian, akhirnya
terjawab, bahwa sekitar 200-500 ml cairan amnion diabsorpsi melalui intramembran.
Gambar menunjukkan distribusi cairan amnion pada fetus. Dengan ditemukan adanya
absorbsi intramembran ini, tampak jelas bahwa terdapat keseimbangan yang nyata
antara produksi dan konsumsi cairan amnion pada kehamilan normal.
7
paru memberi kontribusi kecil terhadap volume amnion secara keseluruhan dan cairan
yang tersaring melalui plasenta berperan membentuk sisanya. 98% cairan amnion
adalah air dan sisanya adalah elektrolit, protein, peptid, karbohidrat, lipid, dan hormon.
Terdapat sekitar 38 komponen biokimia dalam cairan amnion, di antaranya
adalah protein total, albumin, globulin, alkalin aminotransferase, aspartat
aminotransferase, alkalin fosfatase, γ-transpeptidase, kolinesterase, kreatinin kinase,
isoenzim keratin kinase, dehidrogenase laktat, dehidrogenase hidroksibutirat, amilase,
glukosa, kolesterol, trigliserida, High Density Lipoprotein (HDL), low-density
lipoprotein (LDL), very-low-density lipoprotein (VLDL), apoprotein A1 dan B,
lipoprotein, bilirubin total, bilirubin direk, bilirubin indirek, sodium, potassium, klorid,
kalsium, fosfat, magnesium, bikarbonat, urea, kreatinin, anion gap , urea, dan
osmolalitas.
Faktor pertumbuhan epidermis (epidermal growth factor, EGF) dan factor
pertumbuhan mirip EGF, misalnya transforming growth factor-α, terdapat di cairan
amnion. Ingesti cairan amnion ke dalam paru dan saluran cerna mungkin meningkatkan
pertumbuhan dan diferensiasi jaringan-jaringan ini melalui gerakan inspirasi dan
menelan cairan amnion.
Beberapa penanda (tumor marker) juga terdapat di cairan amnion termasuk α-
fetoprotein (AFP), antigen karsinoembrionik (CEA), feritin, antigen kanker 125 (CA-
125), dan 199 (CA-199).
AMNIOINFUSI
Amnioinfusi merupakan suatu prosedur melakukan infusi larutan NaCl fisiologis
atau Ringer laktat ke dalam kavum uteri untuk menambah volume cairan amnion.
Tindakan ini dilakukan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat berkurangnya
volume cairan amnion, seperti deselearasi variabel berat dan sindroma aspirasi
mekonium dalam persalinan. Tindakan amnioinfusi cukup efektif, aman, mudah
dikerjakan, dan biayanya murah.
Pada tahun 1976, Gabbe dkk.(1) pertama kali melaporkan tindakan amnio infusi
pada kera rhesus yang hamil. Dalam percobaannya, janin kera memperlihatkan
gambaran deselerasi variabel menyusul pengeluaran cairan amnion dari kavum uteri;
dan gambaran deselerasi variabel menghilang setelah kavum uteri diisi kembali dengan
8
cairan. Penelitian pada manusia baru dilaporkan pada tahun 1983 oleh Miyazaki dan
(2),
Taylor yang menyatakan bahwa tindakan amnio-infusi dapat menghilangkan
gambaran deselerasi variabel yang timbul akibat oligohidramnion.
Ruptur membran dini menempatkan bayi pada resiko kompresi tali pusat dan
amnionitis. Amnioinfusi bertujuan untuk mencegah atau mengurangi kompresi tali pusat
dengan menambahkan cairan ke dalam kavum uteri. Terlalu sedikit penelitian yang
menunjukkan bahwa amnioinfusi bermanfaat untuk bayi, yang kehamilannya
mengalami ruptur membran dini. Membran yang mengelilingi bayi dan cairan dalam
uterus biasanya ruptur selama persalinan. Jika terjadi ruptur membran dini (sebelum
usia kehamilan 37 minggu) bayi mempunyai resiko tinggi untuk mengalami infeksi.
Kemungkinan terjadinya kompresi tali pusat juga lebih tinggi, yang dapat mengurangi
aliran nutrisi dan oksigen dari ibu ke bayi. Cairan tambahan dapat dimasukkan melalui
serviks ibu atau perut ibu ke dalam uterus, inilah yang disebut amnioinfusi, yang
menyebabkan cairan yang mengelilingi bayi bertambah.
9
Ketuban sebelum amnioinfusi adalah 6,2 ± 3,3 cm. Angka keberhasilannya dapat
mencapai 76%.
INDIKASI
Amnioinfusi terutama ditujukan untuk mengurangi kejadian deselerasi variabel
akibat kompresi tali pusat, dan mencegah terjadinya aspirasi mekonium yang kental
selama persalinan. Amnioinfusi dilakukan pada deselerasi variabel yang berat dan
berulang, yang tidak menghilang dengan tindakan konvensional (perubahan posisi ibu
dan pemberian oksigen).
1. Deselerasi variabel
Deselerasi variabel merupakan perubahan periodik denyut jantung janin yang
paling sering dijumpai selama persalinan. Perubahan denyut jantung janin tersebut
terjadi sebagai respons terhadap berkurangnya aliran darah di dalam tali pusat.
Deselerasi variabel merupakan refleks vagal yang disebabkam oleh kompresi tali
pusat yang terjadi akibat lilitan tali pusat di leher janin, terjepitnya tali pusat oleh
bagian ekstremitas janin, atau tali pusat yang terjepit di antara badan janin dan
dinding uterus.
Gambaran spesifik dari deselerasi variabel berupa penurunan denyut jantung
janin, akibat kontraksi, yang gambarannya bervariasi dalam hal bentuk maupun
hubungan saat terjadinya deselerasi dengan kontraksi uterus.
Berdasarkan besar dan lamanya penurunan denyut jantung janin, yang terjadi,
maka deselerasi variabel dibedakan atas 3 jenis, yaitu (4):
10
3. Deselerasi variabel derajat berat, bila penurunan denyut jantung janin, sampai di
bawah 70 dpm., dan lamanya lebih dari 60 detik.
Di samping itu dikenal juga pembagian deselerasi variabel berdasarkan gambaran
yang sifatnya tidak membahayakan (benign) dan yang membahayakan janin
(ominous) (5).
Bila aliran darah di dalam tali pusat berkurang cukup banyak, akan terjadi deselerasi
variabel derajat sedang atau berat, atau deselerasi variabel dengan tanda-tanda
berbahaya.
Pada keadaan deselerasi variabel yang berat dan menetap, keadaan janin akan
semakin memburuk. Bila keadaan ini tidak dapat dikoreksi, maka tindakan
pengakhiran persalinan harus segera dilakukan.
Resiko aspirasi mekonium cukup tinggi pada janin dengan mekonium yang
kental, terutama bila janin mengalami hipoksia. Mekonium yang encer tidak
menyebabkan terjadinya sindroma aspirasi mekonium dan tidak menambah
12
mortalitas perinatal. Upaya untuk mengencerkan mekonium yang kental akan
mengurangi kejadian sindroma aspirasi mekonium (10,11).
Sebuah uji coba internasional secara acak, yang didanai oleh Institut Kesehatan
Kanada Research (CIHR), telah mengungkapkan bahwa amnioinfusion, infus salin
ke dalam rahim, tidak mengurangi risiko sindrom aspirasi mekonium (MAS),
seperti sebelumnya diyakini.
Penelitian, yang dipimpin oleh Dr William Fraser dari Departemen Obstetri dan
Gynaecolgy dari Université de Montréal dan Ibu-Anak Pusat Kesehatan terkait
dengan Rumah Sakit Ste-Justine, ini diterbitkan dalam edisi terbaru New England
Journal of Medicine .
13
"Dr Fraser dan rekan-rekannya telah membuat kontribusi yang sangat penting
untuk pengetahuan kita tentang kemungkinan pencegahan MAS, kondisi paru-paru
yang jarang tapi sangat serius untuk neonatus," kata Dr Michael Kramer, Direktur
Ilmiah CIHR Institut Pembangunan Manusia, Anak Kesehatan dan Pemuda.
"Metode studi ketat dan ruang lingkup internasional ini percobaan acak (56 lokasi
studi di 13 negara) memberikan bukti yang sangat kuat terhadap penggunaan
amnioinfusion, dan hasilnya cenderung memiliki dampak yang besar pada praktek
kelahiran di seluruh dunia."
Sindrom aspirasi mekonium (juga disebut sebagai aspirasi mekonium) terjadi
ketika bayi yang baru lahir menghirup campuran cairan mekonium dan ketuban
selama persalinan. Mekonium adalah bahan yang mengisi saluran usus janin selama
kehamilan dan terbentuk dari cairan ketuban tertelan dan sel usus mati. Meskipun
steril, terhirup mekonium sangat mengiritasi paru-paru bila bayi bernapas pertama
kali. Hal ini dapat menyebabkan penyumbatan parsial atau lengkap dari saluran
napas bayi saat menghembuskan napas, sehingga sulit untuk bernapas.
Mekonium mengubah cairan ketuban, mengurangi aktivitas antibakteri dan
selanjutnya meningkatkan risiko infeksi bakteri perinatal. Aspirasi menginduksi 3
efek paru utama, yaitu obstruksi jalan napas, disfungsi surfaktan dan pneumonitis
kimia. Mekonium bercampur dengan cairan ketuban terjadi dalam 7 hingga 22%
dari persalinan. Di mana saja dari 2% atau lebih dari sepertiga dari persalian, MAS
dapat terjadi.
Salah satu teknik yang digunakan untuk mengurangi risiko adalah
amnioinfusion. Teknik ini melibatkan memasukkan saline, melalui penyisipan
kateter pada servik uterus, ke dalam rongga amnion wanita yang menunjukkan
mekonium berat. Amnioinfusion dimaksudkan untuk mengurangi risiko MAS
dengan mengencerkan mekonium.
Wanita yang memenuhi syarat untuk uji coba secara acak, setelah membran janin
pecah dan tebal, buram, mekonium bernoda (warna kehijauan) cairan ketuban
diidentifikasi. Dalam percobaan ini, amnioinfusi tidak efektif dalam mengurangi
risiko sindrom aspirasi mekonium.
"Amnioinfusion telah digunakan dalam pencegahan sindrom aspirasi mekonium,
atau MAS, selama 15 tahun terakhir. Sebelum penelitian kami, informasi tentang
efektivitas intervensi didasarkan pada penelitian kecil yang dilakukan di pusat-
14
pusat tunggal," kata Dr Fraser . "Penelitian kami adalah penelitian besar pertama
yang memiliki ukuran sampel cukup untuk menjawab pertanyaan, apakah teknik ini
efektif untuk mencegah MAS Kami menunjukkan bahwa itu tidak efektif dalam
konteks ini.
Cairan NaCl fisiologis atau Ringer laktat dimasukkan melalui jarum spinal yang
ditusukkan ke dalam kantung amnion yang terlihat dengan ultrasonografi. Pada cara
transservikal, cairan dimasukkan melalui kateter yang dipasang ke dalam kavum uteri
melalui serviks uteri. Lebih dipilih ringer laktat daripada NaCl 0,9 % karena NaCl 0,9
% kemungkinan bisa menyebabkan perubahan komsentrasi elektrolit fetus. Walau
bagaimanapun, untuk mendapatkan konsentrasi elektrolit dalam batas normal dapat
dipilih NaCl 0,9 % sebagai alternatif.(8)
Selama tindakan amnioinfusi, denyut jantung janin dimonitor terus dengan alat
kardiotokografi (KTG) untuk melihat perubahan pada denyut jantung janin.
Mula-mula dimasukkan 250 ml bolus cairan NaCI atau Ringer laktat selama 20-
30 menit. Kemudian dilanjutkan dengan infus 10-20 ml/jam sebanyak 600 ml. Jumlah
tetesan infusi disesuaikan dengan perubahan pada gambaran KTG. Apabila deselerasi
variabel menghilang, infusi dilanjutkan sampai 250 ml, kemudian tindakan dihentikan,
kecuali bila deselerasi variabel timbul kembali. Jumlah maksimal cairan yang
dimasukkan adalah 800-1000 ml. Apabila setelah 800-1000 ml cairan yang dimasukkan
tidak menghilangkan deselerasi variabel, maka tindakan dianggap gagal.
Banyak protokol yang berbeda-beda dari berbagai institusi dan tidak ada
protokol yang telah terbukti menjadi protokol terbaik. Suatu survei dari bagian Obstetri
mengungkapkan bahwa mereka menggunakan metoda berikut : (1) bolus cairan ( 50 -
15
1000 mL) yang diikuti oleh pemasukan cairan secara konstan, (2) bolus serial ( 200 -
1000 mL diatur tiap 20 menit sampai empat jam), dan (3) pemasukan cairan secara
konstan ( 15 - 2250 mL/hour). Suatu percobaan menemukan bahwa pemasukan cairan
secara terus menerus dan bertahap sama efektifnya.(6)
KONTRAINDIKASI (7)
KOMPLIKASI(7,15)
Dalam review dari suatu akademik departemen di Amerika Serikat di mana 220
amnioinfusi yang dilakukan per tahun, 49 pusat melaporkan komplikasi jelas termasuk
hypertonia rahim, denyut kelainan jantung janin, amnionitis, ruptur pada jaringan parut
bekas sectio sesarea, menginduksi terjadinya persalinan, polihidramnion iatrogenik dan
16
kegagalan jantung atau pernafasan ibu. Kematian dua ibu diduga telah dikaitkan dengan
emboli cairan ketuban telah dilaporkan.
Beberapa kejadian lain yang dikaitkan dengan amnioinfusi, kasus prolaps tali
pusat telah dilaporkan. Komplikasi amnioinfusi lainnya yang jarang dilaporkan
termasuk salah satunya kasus gangguan jaringan parut rahim dan kasus polihidramnion
iatrogenik dan meningkatnya tekanan intrauterin selama amnioinfusi, yang
menyebabkan janin mengalami bradikardia. Lima kasus emboli cairan amnion telah
dilaporkan dalam suatu literature medis. Semua dikaitkan dengan faktor-faktor risiko
yang dilaporkan sebelumnya untuk emboli cairan ketuban.
17
KEPUSTAKAAN
1. Gebbe SG, et al. Umbilical cord compression associated with amniotomy:
Laboratory observation. Am J Obstet Gynecol 1976;126: 353-5
2. Miyazaki FS, Taylor NA. Saline amnioinfusion for relief of varible or prolonged
diecelerations. A preliminary report. Am J Obstet Gynecol 1983;146: 670-8
3. Hofmeyr Gj. External cephalic version facilitation for breech prensentation at term
(Cochrane revlew). In: The Cochrane Library. Issue 1, 1999. Oxford: Update
software
4. American Academy of Family Physicians. ALSO Course Syllabus, Kansas City,
1977
5. Hofmeyr GJ, et al. Amnioinfusi, Eur J Obstet Gynaecol Reprod etiol 1996; 64; 159-
65
6. Weismiller DG. Transcervical amnioinfusion. American Family Physicians.
February 1,1998
7. Hofmeyr Gj. Amnioinfusion for Preterm Rupture of Membrane (Cochrane revlew).
In: The Cochrane Library. Issue 1, 1998. Oxford: Update software.
8. Roque H, Gillen-Goldstein J, Funai EF. Amnioinfusion Technique. UpToDate
Marketting Professional. February 8, 2011.
9. Davis RO, et al. Fetal meconium aspiration syndrome accuming despite airway
management considered appropriate. Am J Obstet Gynecol 1985;151: 731-6
10. Usta IM, et al. The impact of a policy of amnioninfusion for meconium-stained
amniotic fluid. Obstet Gynecol 1995;85: 237-41
11. Macri CJ, et al. Prophylactic amnioinfusion improves outcome of pregnancy
complicated by thick meconium and oligohydramnios. Am J Obstet Gynecol 1992;
167: 117-21
12. Rossi EM, et al. Meconium aspiration syndrome: Intrapartum and neonatal
attributes, Am J Obstet Gynecol 1989; 161: 1106-10
13. Dye T, et. Amnioinfusion and the intrauterine prevention of meconium aspiration.
Am J Obstet Gynecol 1994; 171:1601-5
14. M, Boulvain. Amnioinfusion for meconium stained amniotic fluid. RHL the WHO
Reproductive Health Library. Geneva ; 2002.
15. Family Practice.com. Amnioinfusion.
18
LAPORAN KASUS
A. Anamnese
Ny. M, 38 tahun, G4P3A0, Karo, Kristen, SMA, IRT i/d Tn.S, 40 tahun, Karo, Kristen,
wiraswasta, merupakan pasien rawat bersama dengan bagian cardiologi dengan
diagnosis Gravida + CHF Fc I-II ec ASD
KU : Sesak Nafas
T : Hal ini dialami os sejak 3 bulan ini, nafas semakin memberat sejak 1 minggu
yang lalu, riwayat mules-mules mau melahirkan (-), riwayat keluar lendir darah
(-), riwayat keluar air dari kemaluan (-). BAB (+) N, BAK (+) N.
RPT : Penyakit Jantung (+) Riwayat Persalinan
B. Pemeriksaan Umum
Status Present
Sensorium : Compus mentis Anemis : (-)
Tek. Darah : 110/70 mmHg Sianosis : (-)
Heart Rate : 100 x/i Ikterus : (-)
Respiratory Rate : 30 x/i Dyspnea : (+)
Temperartur : 36,7ºC Oedem : (-)
Status Lokalisata
Kepala : Mata : Palpebra inferior : Anemis (-)
Cor : SN 1 (N), SN 2 fixed spilts, Gallop (-).
Pulmo : SP : vesikuler
19
ST : (-)
Hepar : dalam batas normal
Lien : dalam batas normal
Status Obstetri
Abdomen : Membesar asimetris
TFU : ½ bpx - pusat (25 cm)
Tegang : Kiri
Terbawah : Kepala
Gerak : (+)
His : (-)
DJJ : 144 x/i
EBW : 1800-2000 gram
USG TAS :
Janin Tunggal, presentasi kepala, anak hidup
FM (+), FHR (+) 144x/i
Plasenta fundal
BPD 80 mm (32 W 3 D)
FL 60 mm (30 W 5 D)
AFI 6,5 cm
Kesan : IUP (30-32 mg) + PK + AH
Darah Rutin
Hb : 14.2 gr/dl
Ht : 41.7 %
Leukosit : 6.870/mm3
Trombosit : 167.000/mm3
Faal Hati
Bilirubin total : 0.69 mg/dl ( N : <1)
20
Bilirubin direct : 0.23 mg/dl ( N: < 0.25)
Alkalin Fosfatase : 111 U/L (N : Pr 35-104)
SGOT : 10 U/L (N: <31)
SGPT : 12 U/L ( N : 32)
Faal Ginjal
Elektrolit
Na : 130 mEq/L
Kalium : 2,6 mEq/L
Klorida : 104 mEq/L
O2 2-4 L/i
Digoksin 1 x 0,25 mg
Furosemida 1 x 40 mg
KSR 1 x 600 mg
21
Follow up tanggal 24 Mei 2011
KU : sesak nafas (+)
Status Present :
Sensorium : Compos mentis Anemis : (-)
Tek. Darah : 130/70 mmHg Sianosis : (-)
Heart Rate : 82 x/i Ikterik : (-)
Resp. Rate : 24 x/i Dyspnoe : (+)
Temperature : 36,8 0C Oedem : (-)
Status Lokalis
Gerak : (+)
His : (-)
DJJ : 148x/i
O2 2-4 L/i
Digoksin 1 x 0,25 mg
Furosemida 1 x 20 mg
KSR 1 x 600 mg
USG TAS
22
- Janin Tunggal, Presentasi Kepala, Anak Hidup
- HC 27,40 cm (29 W 6 D)
- AC 24,29 cm (29 W 0 D)
- FL 6,34 cm (32 W 5 D)
- AFI 3,2 cm
- EFW 1423
R/ : - Amnioinfusion
Status Lokalis
Gerak : (+)
His : (-)
DJJ : 140x/i
O2 2-4 L/i
Digoksin 1 x 0,125 mg
KSR 1 x 600 mg
- Amnioinfusi
KU : Mules-mules sesekali
Status Present :
Sensorium : Compos mentis Anemis : (-)
Tek. Darah : 120/80 mmHg Sianosis : (-)
Heart Rate : 84 x/i Ikterik : (-)
Resp. Rate : 20 x/i Dyspnoe : (-)
Temperature : 36.8 0C Oedem : (-)
25
Status Lokalis
Gerak : (+)
His : 1 x 10 ”/10’, reguler
DJJ : 140x/i
R/ : Obs Inpartu
Status Lokalis
Gerak : (+)
His : 3 x 20”/10’, reguler
DJJ : 144x/i
VT : Cx axial, Ø 4 cm, eff 100 %, selket (+), Kepala H I-II, UUK arah jam 9
ST : Lendir darah (+), air ketuban (-)
26
Diagnosa : MG + KDR ( 30-32 mg ) + PK + AH + Inpartu + CHF Fc I-II ec ASD
R/ : PSP
Status Present :
Sensorium : Compos mentis Anemis : (-)
Tek. Darah : 120/90 mmHg Sianosis : (-)
Heart Rate : 90 x/i Ikterik : (-)
Resp. Rate : 22 x/i Dyspnoe : (-)
Temperature : 37,0 0C Oedem : (-)
Status Lokalis
Gerak : (+)
His : 4 x 40”/10’, reguler
DJJ : 148x/i
VT : Cx anterior, Ø lengkap, eff 100 %, selket (-) SRM 0 jam, Kepala H III +, UUK
arah jam 12
ST : Lendir darah (+), air ketuban (+)
Tanggal 26-5-2011 pukul 08.45 wib, secara Persalinan pervaginam Lahir Bayi ♂, BB
1400 gr, PB 36 cm, AS 8/9, Anus (+).
27
Hasil laboratorium 2 jam post PSP :
- Hb: 13,8 g%
- Ht : 40,20 %
- L : 12.980/mm3
- Tr : 175.000/mm3
Status Lokalis
Abdomen : Soepel, Peristaltik (+) Normal
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi (+) kuat
ASI : (+)
P/V : (-)
Lochia : (+) rubra
BAB : (+) Normal
BAK : (+) Normal
Therapi :
- O2 2-4 L/i (k/p)
- Cefadroxil 2 x 500 mg
- Asam Mefenamat 3 x 500 mg
- Vit B comp 2 x1
- Vit C 2 x 1
28
Follow up tanggal 28 Mei 2011
KU : -
Status Present :
Sensorium : Compos mentis Anemis : (-)
Tek. Darah : 130/80 mmHg Sianosis : (-)
Heart Rate : 84 x/i Ikterik : (-)
Resp. Rate : 20 x/i Dyspnoe : (-)
Temperature : 36.5 0C Oedem : (-)
Status Lokalis
Abdomen : Soepel, Peristaltik (+) Normal
TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi (+) kuat
ASI : (+)
P/V : (-)
Lochia : (+) rubra
BAB : (+) Normal
BAK : (+) Normal
Therapi :
- Cefadroxil 2 x 500 mg
- Asam Mefenamat 3 x 500 mg
- Vit B comp 2 x1
- Vit C 2 x 1
R/ : PBJ
29
ANALISA KASUS
Pada kasus ini didapati ANC yang kurang baik, os hanya melakukan ANC
sebanyak 1x ke bidan. Seharusnya os lebih intens untuk memeriksakan kandungannya
terutama ke dokter spesialis Kebidanan dan Kandungan mengingat os memiliki penyakit
penyerta dalam kehamilannya yaitu CHF fc I-II. Mengingat os adalah peserta
jamkesmas, maka ketiadaan biaya bukanlah menjadi penghalang dalam ini.
Pada pasien ini didapati oligohidramnion tanpa disertai keluarnya air dari
kemaluan, dan os didiagnosa CHF Fc I-II ec ASD, CHF pada kehamilan bisa
mengakibatkan pertumbuhan janin terhambat, dan pertumbuhan janin terhambat dapat
menyebabkan oligohidramnion. Pertumbuhan janin os terhambat dapat dilihat dari hasil
USG TAS, dimana dapati HC/AC > 1, FL/AC > 24 dan AFI < 5 cm, maka bisa
disimpulkan bahwa janin os mengalami pertumbuhan terhambat.
Pada os, beberapa jam setelah dilakukan amnioinfusi, terjadi his dan akhirnya os
melahirkan bayinya dalam kurun waktu < 24 jam post amnioinfusi. Beberapa penulis
telah melaporkan terjadinya kontraksi rahim berlebihan atau terjadinya kemajuan
persalinan luar biasa cepat terkait dengan amnioinfusi. Meskipun hubungan kausal
tidak dapat dianggap, dua kemungkinan mekanisme yang menghubungkan amnioinfusi
dengan peristiwa ini perlu dipertimbangkan. Yang pertama adalah penempatan kateter
amnioinfusi ekstra amnion. Penempatan foley kateter ekstra amnion dan infus larutan
prostaglandin atau salin yang digunakan merupakan metode induksi persalinan.
Mekanisme kerja infus salin ekstra amnion dianggap merangsang produksi
30
prostaglandin endogen, dan kemungkinan yang sama berlaku jika kateter amnioinfusi
secara tidak sengaja ditempatkan di ekstra amnion. Dalam kasus penyerapan infus salin
yang cepat juga dapat menyebabkan overload sirkulasi pada wanita yang rentan.
Persalinan pada os dilakukan tanpa analgesia epidural. Hal ini tidak sesuai
dengan literatur mengenai pemilihan persalinan untuk os dengan CHF fc I-II, dimana
penggunaan teknik analgesia untuk menghilangkan nyeri persalinan sangat dianjurkan
untuk kasus ini. Analgesia yang umum dipakai adalah analgesia epidural.
PERMASALAHAN
31