Anda di halaman 1dari 4

1.

Smoker melanosis ( pigmentasi fisiologis)


Smoker melanosis disebabkan oleh efek asap rokok pada melanosit yang terletak di
epitel mukosa mulut (lining mukosa). Asap diduga menyebabkan perubahan pada mukosa
melalui kombinasi efek fisik(panas) dan kimiawi (nikotin dan senyawa khusus tembakau).
Melanin sendiri dapat mengikat berbagai zat, termasuk obat, dan memiliki afinitas tinggi
terhadap nikotin. Penelitian juga menemukan bahwa kandungan nikotin dan tembakau ( N-
nitrosamin dan benzopyrene) dapat terakumulasi dalam jaringan manusia yang
mengandung melanin dan mempengaruhi melanogenesis. Nikotin dan benzopyrene dapat
merangsang melanosit untuk menghasilkan melanin. Frekuensi dan jumlah pigmentasi
mukosa berkorelasi dengan jumlah rokok yang dihisap perhari.
Permukaan gingiva bagian labial merupakan predileksi tempat yang paling banyak
ditemukan smoker melanosis pada studi di swedia. Berdasarkan ras studi menyatakan
bahwa orang berkulit hitam memiliki frekuensi yang lebih tinggi terjadi pigmentasi pada
permukaan mukosa terutama pada orang perokok dibandingan yang tidak merokok. Pada
predileksi jenis kelamin , perempuan ditemukan lebih sering mengalami smoker melanosis
dibandingan laki-laki, hal ini disebabkan oleh adanya hubungan antara hormon dan
merokok. Penjelasan ini didukung oleh peningkatan pigmentasi pada wanita hamil atau
menggunakan obat kontrasepsi dan studi in vitro yang menunjukan peningkatan sintesis
melanosit yang diberikan perlakuan dengan estrogen. Berdasarkan umur, smoker
melanosis paling sering ditemukan pada umur 24-35 th , hal ini disebabkan oleh pada studi
ditemukan paling banyak perokok tembakau direntang usia tersebut
Smoker melanosis bukan merupakan suatu keganasan dan tidak berbahaya. Prognosis
pada pasien smoker melanosis sangat baik. Namun, berbagai resiko kesehatan yang terkait
dengan merokok harus dibicarakan dengan pasien.
Umumnya smoker melanosis tidak membutuhkan perawatan. Namum pasien harus di
berikan pengetahuan mengenai lesi yang di derita berupa komunikasi instruksi dan edukasi,
Diagnosis banding : amalgam tattoo, oral malignan melanoma, oral nevus, oral
melanotic macula.1

2. Ductus stensoni prominen


Dustus stensoni merupakan jalan keluar untuk sekresi dari kelenjar liur parotis ( kelanjar
liur mayor). Ductus stensoni melewati tepi anterior kelenjar di lobus superfisial , bebelok
medial di perbatasan anterior masseter dan menembus buccinator kemudian memasuki
rongga mulut lateral ke sisi bukal molar rahang atas.2 Panjang duktus bervariasi diantara 3
dan 5cm. saluran biasanya tidak terlihat selama pemeriksaan. 3

3. Fissure tongue
Fissure tongue adalah suatu kondisi yang sering terlihat pada populasi umum yang
dicirikan dengan celah disertai kedalaman yang bervariasi pada dorsal dan lateral
lidah.etiologi dari fissure tongue tidak diketahui namun di duga ada peranan faktor
keturunan dikarenakan kondisi ini terlihat pada setiap anggota keluarga yang terpengaruhi.
Fissure tounge biasanya asimtomatik kecuali dikarenakan kondisi OH yang buruk sehingga
terjadi penumpukan debris didalam celah yang dapat menyebakan keluhan rasa sakit.
Ditumakan pada pemeriksaan intraoral rutin sebagai temuan insidential. Fissure tongue
juga terlihat pada sindro melkersson-rosenthal dan sindrom down dan sering terlihat
berbarengan dengan geografik tongue.
Tidak terdapat predileksi ras, beberapa studi mendapatkan laki-laki lebih banyak
menderita fissure tongue dibandingkan dengan perempuan. Fissure tongue dapat
ditemukan dalam masa anak-anak namun lebih banyak ditemukan pada kondisi dewasa
dikarenakan fissure tongue akan semakin prominen seiring betambahnya usia.
Prognosis dari fissure tongue sangat baik. ini merupakan sebuah varian normal pada
lidah. Namun jika dikaitkan dengan sindroma melkerson tingkat morbidity pada lesi ini
meningkat . hal ini bukan disebabkan oleh fissure tongue namun dikarenakan
granulomatous inflammation dari jaringan lunak dari bibir /wajah dan paralisis wajah.
Fissure tongue dapat diinformasikan kepada pasien bahwa ini merupakan temuan yang
biasa dan tidak memerlukan terapi yang spesifik. Pasien sebaiknya disintruksikan untuk
membersihkan lidahnya agar tidak terjadi jebakan debris kedalam celah yang dapat
menyebabkan terjadinya iritasi.
Diagnosis banding : geografi tounge, cheilitis granulomatosa.4
4. Stomatitis aftosa rekuren
Stomatitis Aftosa Rekuren atau disingkat SAR, juga dikenal dengan istilah aphtae, atau
canker sores, merupakan salah satu penyakit mukosa mulut yang paling sering ditemukan.
Karakteristik dari penyakit ini adalah adanya ulser berulang disertai dengan rasa sakit pada
rongga mulut dan berbentuk bulat atau oval yang dikelilingi kelim kemerahan. Stomatitis
aftosa rekuren dapat diartikan sebagai ulser yang terjadi secara berulang yang terbatas pada
rongga mulut dan dapat muncul tanpa adanya pengaruh dari penyakit sistemik.5
Secara klinis SAR dibedakan menjadi 3, minor, mayor, dan herpetiform. Gambaran
klinis tipe minor adalah ulser berukuran kurang dari 10 mm, jumlah ulser sampai dengan
5, sembuh dalam waktu 7-14 hari tanpa meninggalkan jaringan parut dengan predileksi
lokasi pada mukosa tidak berkeratin terutama mukosa labial/bukal, dorsum, dan lateral
lidah. Tipe mayor memiliki diameter lebih dari 10 mm, jumlah ulser sampai dengan 3,
waktu penyembuhan 2 minggu sampai 3 bulan, dapat meninggalkan jaringan parut dengan
predileksi lokasi pada mukosa berkeratin dan tidak berkeratin, terutama palatum lunak.
Tipe herpetiform merupakan ulser berukuran 1 – 2 mm, berjumlah 5 – 20 hingga 100 lesi,
waktu penyembuhan 7 – 14 hari tanpa meninggalkan jaringan parut dengan predileksi
lokasi mukosa tidak berkeratin terutama dasar mulut dan ventral lidah.6,7
Etiologi SAR tidak diketahui, tetapi memiliki faktor predisposisi multifaktorial,
seperti faktor genetik, trauma, gangguan psikologi, alergi, defisiensi hematinik, faktor
imunologi, usia, dan gangguan hormonal.5,7,8
Terapi simptomatik dapat diberikan untuk mengurangi rasa sakit dan membantu proses
penyembuhan. Perawatan yang diberikan dapat dengan pemberian obat secara topikal atau
pemberian obat secara sistemik. Pemberian obat secara sistemik dapat dipertimbangkan
apabila pengobatan topikal tidak memberikan hasil yang baik. Pemilihan obat bervariasi
untuk setiap individu, tergantung pada keluhan pasien, letak dan ukuran lesi, tingkat
keparahan, serta faktor predisposisinya.5,9
Diagnosis banding : stomatitis aftosa mayor, HFMD, lesi ulserasi karena HSV
5. Leukoedema
Leukoedema adalah variasi normal umum mukosa mulut. Prevalensi telah dilaporkan
hingga 90% diantara orang kulit hitam, tanpa kecenderungan jenis kelamin. Prevalensi
lebih ditinggi pada orang kilut hitam mungkin disebabkan karena pigmentasi mukosa yang
lebih membuat kondisi ini lebih jelas. Secara klinis. Leukoedema muncul sebagai kondisi
difus, berwarna putih abu abu, dan dapat diregangkan sehingga tampak seperti mukosa
normal pada umumnya dan muncul kembali setelah berhenti di manipulasi.
Leukoedema sering melibatkan mukosa bukal dan kadang kadang pada batas lateral
lidah. dapat menyebal ke mukosa labil dan jarang mempengaruhi mukosa dasar mulut,
palatofaringeal dan laring.
Leukoedema tidak berpotensi transformasi menuju keganasan dan tidak memerlukan
perawatan pada kondisi ini .10
etiologi dari leukoedema tidak diketahui, namun leukoedema dapat disebabkan oleh
iritasi lokal secara kronis. Merokok menggunakan tembakau maupun ganja merupakan
faktor resiko dari perkembangan lesi ini . sebagian besar kasus begitu halus dan sering
tidak terdiagnosis.11
Diagnosis banding : white sponge nevus, leukoplakia, dan frictional keratosis

Daftar pustaka
1. Ferreira leticia . Smoker’s Melanosis Treatment & Management. Medscape. 2018.
Available at : https://emedicine.medscape.com/article/1077501-treatment
2. Chason Hannah M, Brian W. Downs. Anatomy, Head and Neck Parotid Gland. LLC. 2018.
Available at : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534225/
3. Bialek EJ, Jakubowski W, Zajkowski P, Szopinski KT, Osmolski A. US of the major
salivary glands: anatomy and spatial relationships, pathologic conditions, and pitfalls.
Radiographics. 2006 May-Jun;26(3):745-63. Available at :
https://pubs.rsna.org/doi/10.1148/rg.263055024?url_ver=Z39.88-
2003&rfr_id=ori%3Arid%3Acrossref.org&rfr_dat=cr_pub%3Dpubmed
4. Kelsc Robert D. Fissured Tongue Treatment & management. Medscap.2018. available at :
https://emedicine.medscape.com/article/1078536-treatment
5. Scully C. Aphthous ulceration. New Engl J Med. 2006;355: 165–72
6. Glick M, Chair W. Burket’s Oral Medicine. Ed ke-12. USA: People’s Medical Publishing
House; 2015: 73-75
7. Scully C. Medical Problems in Dentistry. Ed ke-6. London: Elsevier; 2010; 292-293
8. Neville, B.W., Douglas D.D., Carl M.A., Jerry E.B. Oral and Maxillofacial Pathology. 3th
Ed. Elsevier; 2012; 331-6.
9. Hudson J. Recurrent Aphthous Stomatitis: Diagnosis and Management in Primary Care.
JPCRR. 2014; 1(4): 197-200
10. Mortazavi Hamed, Yaser Safi, Maryam Baharvand, dkk. Oral White Lession : An Update
Clinical Diagnostic Decision Tree. Dent J. 2019
11. Lombardo Massimo. Leukoedema. Oral Phatology. 2007

Anda mungkin juga menyukai