Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN COPD

MATRIKULASI PROGRAM B

TANGGAL PERTEMUAN : 10 JULI 2017

NAMA : HENDRIMINA MELGA HELINCE SUKI

NIM : 17502090911045

PRODI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2017
I. Definisi

The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD)


tahun 2014 mendefinisikan COPD sebagai penyakit respirasi kronis yang dapat
dicegah dan dapat diobati, ditandai adanya hambatan aliran udara yang
persisten dan biasanya bersifat progresif serta berhubungan dengan
peningkatan respons inflamasi kronis saluran napas yang disebabkan oleh gas
atau partikel iritan tertentu. Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK
disebabkan oleh gabungan antara obstruksi saluran napas kecil (obstruksi
bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi pada setiap
individu

II. Etiologi
a. Kebiasaan merokok
Merokok adalah penyebab utama timbulnya COPD. Secara pisiologis rokok
berhubungan langsung dengan hiperflasia kelenjar mukosa bronkus dan
metaplasia skuamulus epitel saluran pernapasan. Juga dapat menyebabkan
bronkokonstriksi akut. Menurut Crofton & Doouglas merokok menimbulkan
pula inhibisi aktivitas sel rambut getar, makrofage alveolar dan surfaktan.
b. Polusi udara
Polusi zat-zat kimia yang dapat juga menyebabkan brokhitis adalah zat
pereduksi seperti O2, zat-zat pengoksidasi seperti N2O, hydrocarbon,
aldehid dan ozon.
c. Riwayat infeksi saluran nafas
Infeksi saluran pernapasan bagian atas pada seorang penderita bronchitis
koronis hampir selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah, serta
menyebabkan kerusakan paru bertambah. Ekserbasi bronchitis koronis
disangka paling sering diawali dengan infeksi virus, yang kemudaian
menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri.
d. Bersifat genetik yaitu defisiensi -1 antitripsin.

III. Epidemiologi
Menurut Badan Statistik Kesehatan Dunia yang keluarkan oleh WHO
tahun 2008, PPOK diperkirakan menjadi penyebab kematian ketiga pada tahun
2030 dan angka kecacatan karena PPOK akan meningkat dari urutan ke 9
menjadi urutan ke 5 pada tahun 2020 (Marieadelaid e, 2009). Pada tahun 2015
PPOK merupakan penyebab kematian ke-4 di dunia (Decramer et al, 2015).
Hasil RISKESDAS (2013) menyatakan bahwa prevalensi PPOK di Indonesia
sebesar 3,7%. Prevalensi PPOK di Indonesia tidak terlalu tinggi. Prevalensi
PPOK diperkirakan akan meningkat sehubungan dengan peningkatan usia
harapan hidup penduduk dunia, pergeseran pola dari penyakit infeksi ke
penyakit degeneratif serta meningkatnya kebiasaan merokok dan polusi udara
(Tjahjono, 2011). Menurut data RISKESDAS (2013) terjadi peningkatan
prevalensi perilaku merokok yaitu dari 34,2% tahun 2007 menjadi 38,3% PADA
tahun 2013. Harminto (2004) menyatakan bahwa 53% pasien merupakan
bekas perokok, 29% pasien perokok berat dan 17% pasien tidak pernah
merokok.

IV. Klasifikasi

Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK sebagai berikut :


1. PPOK Ringan
Gejala klinis:
– Dengan atau tanpa batuk
– Dengan atau tanpa produksi sputum.
– Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1
Spirometri :
– VEP1 • 80% prediksi (normal spirometri) atau
– VEP1 / KVP < 70%

2. PPOK Sedang
Gejala klinis:
– Dengan atau tanpa batuk
– Dengan atau tanpa produksi sputum.
– Sesak napas : derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas).
Spirometri:
– VEP1 / KVP < 70% atau
– 50% < VEP1 < 80% prediksi.
3. PPOK Berat
Gejala klinis:
– Sesak napas derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal napas kronik.
– Eksaserbasi lebih sering terjadi
– Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan.
Spirometri:
– VEP1 / KVP < 70%,
– VEP1 < 30% prediksi atau
– VEP1 > 30% dengan gagal napas kronik
Gagal napas kronik pada PPOK ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan
analisa gas darah, dengan kriteria:
– Hipoksemia dengan normokapnia atau
– Hipoksemia dengan hiperkapnia

V. Patofisiologi
Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada COPD
yang diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian
proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya
suatu inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Terjadinya
peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil dengan peningkatan formasi
folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran nafas
mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil
berkurang akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi,
yang meningkat sesuai berat sakit. Dalam keadaan normal radikal bebas dan
antioksidan berada dalam keadaan seimbang. Apabila terjadi gangguan
keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai
peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai
macam penyakit paru. Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress
oksidan, selanjutnya akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid.
Peroksidasi lipid selanjutnya akan menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi.
Proses inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut
akan menyebabkan dilepaskannya faktor kemotataktik neutrofil seperti
interleukin 8 dan leukotrien B4,tumuor necrosis factor(TNF),monocyte
chemotactic peptide(MCP)-1 dan reactive oxygen species (ROS). Faktor- faktor
tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang akan merusak
jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar dan
hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya
limfosit CD8,selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi. Pada
keadaan normal terdapat keseimbangan antara oksidan dan antioksidan.
Enzim NADPH yang ada dipermukaan makrofagdan neutrofil 9 akan
mentransfer satu elektron ke molekul oksigen menjadi anion super oksida
dengan bantuan enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen peroksida (H2O2)
yang toksik akan diubah menjadi OH dengan menerima elektron dari ion feri
menjadi ion fero, ion fero dengan halida akan diubah menjadi anion hipohalida
(HOCl). Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat
menginduksi batuk kronis sehingga percabangan bronkus lebih mudah
terinfeksi. Penurunan fungsi paru terjadi sekunder setelah perubahan struktur
saluran napas. Kerusakan struktur berupa destruksi alveolI yang menuju ke
arah emfisema karena produksi radikal bebas yang berlebihan oleh leukosit
dan polusi dan asap rokok.
Pathway

Merokok Polusi udara Infeksi saluran napas Genetik


oleh bakteri, virus

Defisiensi alfa
Hiperplasia kelenjar Stess Oksidan -1 antitripsin
mukoa bronkus dan
metaplasia skuamus
epitel sal.napas Peroksidasi Lipid
Penurunan
serin protease
Kerusakan sel dan inhibitor
Bronkokonstriksi inflamasi
dan restriksi
pembukan jalan
napas Aktifkan sel
makrofag alveolar

Peningkatan kerja
Faktor kemotaktik
otot pernapasan
neutrofil dilepas

Neutrofil lepaskan
Sesak napas protease

Jaringan parenkim
Ketidakefektifan
paru rusak
pola napas

Kerusakan dinding
alveolar

Penurunan napsu
Hiperseksresi mukus makan, anoreksia,

Batuk produktif Intake nutrisi kurang

Ketidakseimbangan
Ketidakefektifan nutrisi kurang dari
bersihan jalan napas kebutuhan tubuh
VI. Manifestasi klinik

Gejala yang paling sering terjadi pada pasien COPD adalah sesak
napas. Sesak napas juga biasanya menjadi keluhan utama pada pasien COPD
karena terganggunya aktivitas fisik akibat gejala ini. Sesak napas biasanya
menjadi komplain ketika FEV1 <60% prediksi. Pasien biasanya mendefinisikan
sesak napas sebagai peningkatan usaha untuk bernapas, rasa berat saat
bernapas, gasping, dan air hunger. Batuk bisa muncul secara hilang timbul,
tapi biasanya batuk kronis adalah gejala awal perkembangan COPD. Gejala ini
juga biasanya merupakan gejala klinis yang pertama kali disadari oleh pasien.
Batuk kronis pada COPD bisa juga muncul tanpa adanya dahak.

VII. Pemeriksaan diagnostik


1. Spirometri merupakan pemeriksaan penunjang definitif untuk diagnosis
COPD seperti yang sudah dijelaskan, dimana hasil rasio pengukuran FEV1/
FVC < 0,7.19.
2. Analisis Gas Darah untuk mengetahui kadar pH dalam darah
3. Radiografi bisa dilakukan untuk membantu menentukan diagnosis PPOK,
dan Computed Tomography (CT) Scan dilakukan untuk melihat adanya
emfisema pada alveoli.

VIII. Tata Laksana medis


Prinsip penatalaksanaan COPD diantaranya adalah sebagai berikut :
• Berhenti Merokok
• Terapi farmakologis dapat mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan
beratnya eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan dan toleransi
aktivitas.
• Regimen terapi farmakologis sesuai dengan pasien spesifik, tergantung
beratnya gejala, risiko eksaserbasi, availabilitas obat dan respon pasien.
• Vaksinasi Influenza dan Pneumococcal
• Semua pasien dengan napas pendek ketika berjalan harus diberikan
rehabilitasi yang akan memperbaiki gejala, kualitas hidup, kualitas fisik dan
emosional pasien dalam kehidupannya sehari-hari.
Terapi farmakologi
A. Bronkodilator
Bronkodilator adalah pengobatan yang berguna untuk meningkatkan FEV1
atau mengubah variable spirometri dengan cara mempengaruhi tonus otot
polos pada jalan napas.
•• β2Agonist (short-acting dan long-acting)
Prinsip kerja dari β2 agonis adalah relaksasi otot polos jalan napas dengan
menstimulasi reseptor β2 adrenergik dengan meningkatkan C-AMP dan
menghasilkan antagonisme fungsional terhadap bronkokontriksi. Efek
bronkodilator dari short acting β2 agonist biasanya dalam waktu 4-6 jam.
Penggunaan β2 agonis secara reguler akan memperbaiki FEV1 dan gejala
(Evidence B). Penggunaan dosis tinggi short acting β2 agonist pro renata
pada pasien yang telah diterapi dengan long acting broncodilator tidak
didukung bukti dan tidak direkomendasikan. Long acting β2 agonist
inhalasi memiliki waktu kerja 12 jam atau lebih. Formoterol dan salmeterol
memperbaiki FEV1 dan volume paru, sesak napas, health related quality of
life dan frekuensi eksaserbasi secara signifikan (Evidence A), tapi tidak
mempunyai efek dalam penurunan mortalitas dan fungsi paru. Salmeterol
mengurangi kemungkinan perawatan di rumah sakit (Evidence B).
Indacaterol merupakan Long acting β2 agonist baru dengan waktu kerja 24
jam dan bekerja secara signifikan memperbaiki FEV1, sesak dan kualitas
hidup pasien (Evidence A). Efek samping adanya stimulasi reseptor β2
adrenergik dapat menimbulkan sinus takikardia saat istirahat dan
mempunyai potensi untuk mencetuskan aritmia. Tremor somatic
merupakan masalah pada pasien lansia yang diobati obat golongan ini.
•• Antikolinergik
Obat yang termasuk pada golongan ini adalah ipratropium, oxitropium dan
tiopropium bromide. Efek utamanya adalah memblokade efek asetilkolin
pada reseptor muskarinik. Efek bronkodilator dari short acing
anticholinergic inhalasi lebih lama dibanding short acting β2 agonist.
Tiopropium memiliki waktu kerja lebih dari 24 jam. Aksi kerjanya dapat
mengurangieksaserbasi dan hospitalisasi, memperbaiki gejala dan status
kesehatan (Evidence A), serta memperbaiki efektivitas rehabilitasi
pulmonal (Evidence B). Efek samping yang bisa timbul akibat penggunaan
antikolinergik adalah mulut kering. Meskipun bisa menimbulkan gejala pada
prostat tapi tidak ada data yang dapat membuktikan hubungan kausatif
antara gejala prostat dan penggunaan obat tersebut.
B. Methylxanthine
Contoh obat yang tergolong methylxanthine adalah teofilin. Obat ini
dilaporkan berperan dalam perubahan otot-otot inspirasi. Namun obat ini tidak
direkomendasikan jika obat lain tersedia.25
C. Kortikosteroid
Kortikosteroid inhalasi yang diberikan secara regular dapat memperbaiki
gejala, fungsi paru, kualitas hidup serta mengurangi frekuensi eksaserbasi
pada pasien dengan FEV1<60% prediksi.25
D. Phosphodiesterase-4 inhibitor
Mekanisme dari obat ini adalah untuk mengurangi inflamasi dengan
menghambat pemecahan intraselular C-AMP. Tetapi, penggunaan obat ini
memiliki efek samping seperti mual, menurunnya nafsu makan, sakit perut,
diare, gangguan tidur dan sakit kepala.

Terapi Farmakologis Lain


•• Vaksin :vaksin pneumococcus direkomendasikan untuk pada pasien PPOK
usia > 65 tahun
•• Alpha-1 Augmentation therapy: Terapi ini ditujukan bagi pasien usia muda
dengan defisiensi alpha-1 antitripsin herediter berat. Terapi ini sangat mahal,
dan tidak tersedia di hampir semua negara dan tidak direkomendasikanuntuk
pasien PPOK yang tidak ada hubungannya dengan defisiensi alpha-1
antitripsin.
•• Antibiotik: Penggunaannya untuk mengobati infeksi bakterial yang
mencetuskan eksaserbasi
•• Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan antioksidan: Ambroksol, erdostein,
carbocysteine, ionated glycerol dan N-acetylcystein dapat mengurangi gejala
eksaserbasi.
•• Immunoregulators (immunostimulators, immunomodulator)
•• Antitusif: Golongan obat ini tidak direkomendasikan.
•• Vasodilator
Narkotik (morfin)
•• Lain-lain:Terapi herbal dan metode lain seperti akupuntur dan hemopati) juga
tidak ada yang efektif bagi pengobatan COPD
Terapi non farmakologis lain
1. Rehabilitasi
2. Konseling nutrisi
3. Edukasi
Terapi Lain
Terapi Oksigen
1. Ventilatory Support
2. Surgical Treatment ( Lung Volume Reduction Surgery (LVRS), Bronchoscopic
Lung Volume Reduction (BLVR), Lung Transplantation, Bullectomy.

IX. Referensi

Decramer. et al,(2015). Af-A-Glance Outpatient Management Reference for


Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). GOLD COPD

Hurst, Marlene.(2016).Belajar Mudah Keperawatan Medikal-Bedah Vol.1.EGC.

Nurarif Amin Huda, Kusuma Hardhi.(2016). Asuhan Keperawatan Praktis Edisi


Revisi Jilid 2. Mediaction.Jogjakarta.

Soeroto A. Yuwono, Suryadinata Hendarsah.(2013).Penyakit Paru Obstruktif


Kronik.EGC

Wijaya, A.Saferi, Putri Y.Mariza. 2013.KMB 1 Keperawatan Medikal


Bedah.Yogyakarta.

Tjahjono, HD. 2011. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nafsu Makan


Pada Pasien Penyakit Pernafasan Obstruksi Kronis diRSUD Dr. M.
Soewandhie Surabaya. Tesis. FIK UI. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai