Anda di halaman 1dari 22

LEMBAR KERJA MAHASISWA ( LKM ) 11

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH PATOFISIOLOGI

Dosen Pengampu : Dwi Novitasari, S.Kep., Ns., M.Sc.

Oleh :

LUTFIANI BARKAH PRIYATI

NIM : 180203125

UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN S1

2019
LEMBAR KERJA MAHASISWA (LKM) 11 TENTANG GANGGUAN
PADA SISTEM PENCERNAAN

1. Anatomi dan fisiologi system pencernaan


A. Anatomi dan Fisiologi
Anatomi saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan
(faring), kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus.
Fisiologi sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut
sampai anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk
menerima makanan, mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi,
menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang bagian
makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa proses tersebut dari
tubuh. Anatomi dan fisiologi sistem pencernaan yaitu :
a. Mulut
Merupakan suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air.
Mulut merupakan bagian awal dari sistem pencernaan lengkap dan jalan
masuk untuk system pencernaan yang berakhir di anus. Bagian dalam
dari mulut dilapisi oleh selaput lendir. Pengecapan dirasakan oleh organ
perasa yang terdapat di permukaan lidah. Pengecapan sederhana terdiri
dari manis, asam, asin dan pahit. Penciuman dirasakan oleh saraf
olfaktorius di hidung, terdiri dari berbagai macam bau. Makanan
dipotong-potong oleh gigi depan (incisivus) dan di kunyah oleh gigi
belakang (molar, geraham), menjadi bagian-bagian kecil yang lebih
mudah dicerna. Ludah dari kelenjar ludah akan membungkus bagian-
bagian dari makanan tersebut dengan enzim-enzim pencernaan dan
mulai mencernanya. Ludah juga mengandung antibodi dan enzim
(misalnya lisozim), yang memecah protein dan menyerang bakteri
secara langsung. Proses menelan dimulai secara sadar dan berlanjut
secara otomatis.
b. Tenggorokan (Faring)
Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan.
Didalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kelenjar limfe
yang banyak mengandung kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan
terhadap infeksi, disini terletak bersimpangan antara jalan nafas dan
jalan makanan, letaknya dibelakang rongga mulut dan rongga hidung,
didepan ruas tulang belakang keatas bagian depan berhubungan dengan
rongga hidung, dengan perantaraan lubang bernama koana, keadaan
tekak berhubungan dengan rongga mulut dengan perantaraan lubang
yang disebut ismus fausium. Tekak terdiri dari bagian superior yaitu
bagian yang sama tinggi dengan hidung, bagian media yaitu bagian
yang sama tinggi dengan mulut dan bagian inferior yaitu bagian yang
sama tinggi dengan laring. Bagian superior disebut nasofaring, pada
nasofaring bermuara tuba yang menghubungkan tekak dengan ruang
gendang telinga. Bagian media disebut orofaring, bagian ini berbatas
ke depan sampai di akar lidah. Bagian inferior disebut laringofaring
yang menghubungkan orofaring dengan laring.
c. Kerongkongan (Esofagus)
Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang
dilalui sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam
lambung. Makanan berjalan melalui kerongkongan dengan
menggunakan proses peristaltik. Esofagus bertemu dengan faring pada
ruas ke-6 tulang belakang. Menurut histologi, esofagus dibagi menjadi
tiga bagian yaitu bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka),
bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus), serta bagian
inferior (terutama terdiri dari otot halus).
d. Lambung
Merupakan organ otot berongga yang besar, yang terdiri dari tiga
bagian yaitu kardia, fundus dan antrium. Lambung berfungsi sebagai
gudang makanan, yang berkontraksi secara ritmik untuk mencampur
makanan dengan enzim-enzim. Sel-sel yang melapisi lambung
menghasilkan 3 zat penting yaitu lendir, asam klorida (HCL), dan
prekusor pepsin (enzim yang memecahkan protein). Lendir melindungi
sel – sel lambung dari kerusakan oleh asam lambung dan asam klorida
menciptakan suasana yang sangat asam, yang diperlukan oleh pepsin
guna memecah protein. Keasaman lambung yang tinggi juga berperan
sebagai penghalang terhadap infeksi dengan cara membunuh berbagai
bakteri.
e. Usus halus (usus kecil)
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang
terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan
pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui
vena porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus)
dan air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang
dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang
mencerna protein, gula dan lemak. Lapisan usus halus terdiri dari
lapisan mukosa (sebelah dalam), lapisan otot melingkar, lapisan otot
memanjang dan lapisan serosa. Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu
usus dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejunum), dan usus
penyerapan (ileum).
1) Usus Dua Belas Jari (Duodenum)
Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus
yang terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke usus
kosong (jejunum). Bagian usus dua belas jari merupakan bagian
terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan
berakhir di ligamentum treitz. Usus dua belas jari merupakan organ
retroperitoneal, yang tidak terbungkus seluruhnya oleh selaput
peritoneum. pH usus dua belas jari yang normal berkisar pada
derajat sembilan. Pada usus dua belas jari terdapat dua muara
saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu. Lambung
melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum),
yang merupakan bagian pertama dari usus halus. Makanan masuk
ke dalam duodenum melalui sfingter pilorus dalam jumlah yang
bisa di cerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan
megirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti mengalirkan
makanan
2) Usus Kosong (Jejenum)
Usus kosong atau jejunum adalah bagian kedua dari usus halus, di
antara usus dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan
(ileum). Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara
2-8 meter, 1- 2 meter adalah bagian usus kosong. Usus kosong dan
usus penyerapan digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium.
Permukaan dalam usus kosong berupa membran mukus dan
terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas permukaan dari usus.
3) Usus Penyerapan (Illeum)
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus.
Pada sistem pencernaan manusia ileum memiliki panjang sekitar 2-
4 m dan terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan
oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau
sedikit basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam
empedu.
f. Usus Besar (Kolon)
Usus besar atau kolon adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum.
Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Usus besar
terdiri dari kolon asendens (kanan), kolon transversum, kolon
desendens (kiri), kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum).
Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi
mencerna beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi.
Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting,
seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus.
Beberapa penyakit serta antibiotik bias menyebabkan gangguan pada
bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang bisa
menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare.
g. Rektum dan Anus
Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar
(setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi
sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini
kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada
kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam
rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB).
Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di
dalam rektum akan memicu system saraf yang menimbulkan keinginan
untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali
material akan dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan
kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama,
konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi. Orang dewasa dan anak
yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang
lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot yang
penting untuk menunda BAB. Anus merupakan lubang di ujung saluran
pencernaan, dimana bahan limbah keluar dari tubuh. Sebagian anus
terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lannya dari usus.
Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot sphinkter. Feses
dibuang dari tubuh melalui proses defekasi (buang air besar) yang
merupakan fungsi utama anus (Pearce, 1999).

2. Jelaskan tentang penyakit Peptik ulseratif mengenai penyebab,


patogenesis, patofisiologis, tanda gejala, komplikasi, pemeriksaan
diagnostik dan managementnya
A. Pengertian
Tukak peptik (peptic ulcer disease) adalah lesi pada lambung atau
duodenum yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor agresif
(sekresi asam lambung, pepsin, dan infeksi bakteri Helicobacter pylori)
dengan faktor defensif/ faktor pelindung mukosa (produksi prostagladin,
gastric mucus, bikarbonat, dan aliran darah mukosa) (Berardy dan Lynda,
2005).
Tukak peptik merupakan keadaan kontinuitas mukosa lambung
terputus dan meluas sampai di bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak
meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi. Walaupun seringkali dianggap
juga sebagai tukak (misalnya tukak karena stres) (Wilson dan Lindseth,
2005).
B. Penyebab
Penyebab yang pasti belum diketahui. Ada dua pendapat yang ekstrim,
apakah penyakit ini adalah suatu kelainan setempat atau merupakan bagian
dari suatu kelainan sistemik dimana tukak hanya merupakan tanda/ gejala
(Simadibrata, 2001). Tukak peptic terjadi karena pengeluaran asam-pepsin
oleh H. Pylory, NSAID atau faktor-faktor lain yang menyebabkan
ketidakseimbangan pertahanan mukosal lambung. Lokasi tukak
menghubungkan dengan jumlah faktor-faktor etiologi. Tukak dapat terjadi
di perut bagian manapun seperti bagian distal, antrum dan duodenum
(Berardy dan Lynda, 2005).
C. Pathogenesis dan patofisiologi
Pada individu yang sehat terdapat keseimbangan fisiologi antara
sekresiasam lambung dan pertahanan mukosa saluran cerna. Sebaliknya
pada PUD terdapat ganguan keseimbangan antara faktor agresif (asam
lambung, pepsin, garam empedu, H. pylori, dan NSAID) dan mekanisme
defensif mukosa (aliran darahmukosa, mukus, sekresi bikarbonat mukosa,
sel mukosa restitusi, dan pembaruansel epitel).
1) Asam lambung dan Pepsin
 Pada Gastric ulcer
Bahan iritan akan menimbulkan defek mukosa barier dan
terjadidifusi balik ion H+, Histamin terangsang untuk lebih banyak
mengeluarkan sam lambung, timbul dilatasi dan peningkatan
permeabilitas pembuluh kapiler, kerusakan mukosa lambung,
gastritisakut/ kronik, dan tukak gaster. Plasma membran sel epitel
epitel lambung terdiri dari lapisan-lapisan lipid bersifat pendukung
mukosa barier. Dalam faktor asam lambung termasuk faktor
genetik, yaitu seseorang mempunyai massa sel parietal yang besar.
Tukak gaster yang letaknya dekat pylorus atau dijumpai bersama
dengan tukak duodeni biasanya disertai hipersekresiasam,
sedangkan bila lokasinya pada tempat lain dilambung
biasanyadisertai hiposekresi asam.
 Pada Deodenum ulcer
Pada tukak duodenum terjadi peningkatan produksi dan pelepasan
gastrin, sensitivitas mukosa lambung terhadap rangsangan gastric
meningkat secara berlebihan, jumlah sel parietal, pepsinogen
khususnya pepsinogen I juga meningkat. Sekresi bikarbonat dalam
duodenum
2) H.pylori
Helicobacter pylori merupakan bakteri berbentuk spiral, gram
negative sensitif terhadap pH, bakteri mikroaerophilic berada diantara
lapisan mucus dan permukaan lapisan sel epitel di lambung, atau lokasi
lain dimanaterdapat sel epitel tipe gastric.
Patofisiologi Infeksi akibat H.pylori tidak diketahui dengan pasti,
tapididuga karena H. pylori menghasilkan sitotoksin yang
mengakibatkan hancurnya mukosa lambung, sekresi interleukin-8 dan
terjadi adherence dari sel epitel lambung karena meningkatnya sekresi
asam lambung. H.pylori dapat memproduksi urease dalam jumlah yang
besar dimana urease mengkatalis hidrolisis urea menjadi ammonia.
Peningkatan jumlah amonia akan mempengaruhi ketahanan mukosa
lambung sehingga terjadi ulkus. Peningkatan basal dan stimulasi
sekresi asam terjadi pada individu yang terinfeksi H.pylori.
3) NSAID
NSAID dapat menyebabkan PUD dengan cara menghambat COX-1
sehingga menyebabkan penghabatan sistesis prostaglandin yang secara
sekunder berpengaruh pada sekresi mucus. (COX-1 menghasilkan
prostaglandin yang merupakan pelindung fisiologi yang mengatur
ketahanan mukosa)
H.pylori dan NSAID merupakan penyebab perubahan dalam
pertahanan mukosa dengan mekanisme yang berbeda dan merupakan
faktor penting dalam pembentukan PUD.
D. Tanda dan gejala
Gambaran klinis utama tukak peptik adalah kronik dan nyeri
epigastrium. Nyeri biasanya timbul 2 sampai 3 jam setelah makan atau pada
malam hari sewaktu lambung kosong. Nyeri ini seringkali digambarkan
sebagai teriris, terbakar atau rasa tidak enak. Remisi dan eksaserbasi
merupakan ciri yang begitu khas sehingga nyeri di abdomen atas yang
persisten. Pola nyeri-makan-hilang ini dapat saja tidak khas pada tukak
lambung. Bahkan pada beberapa penderita tukak lambung makanan dapat
memperberat nyeri. Biasanya penderita tukak lambung akan mengalami
penurunan berat badan. Sedangkan penderita tukak duodenum biasanya
memiliki berat badan yang tetap (Wilson dan Lindseth, 2005).
Penderita tukak peptik sering mengeluh mual, muntah dan
regurgitasi. Timbulnya muntah terutama pada tukak yang masih aktif, sering
dijumpai pada penderita tukak lambung daripada tukak duodenum, terutama
yang letaknya di antrum atau pilorus. Rasa mual disertai di pilorus atau
duodenum. Keluhan lain yaitu nafsu makan menurun, perut kembung, perut
merasa selalu penuh atau lekas kenyang, timbulnya konstipasi sebagai
akibat instabilitas neromuskuler dari kolon (Akil, 2006).
Penderita tukak peptik terutama pada tukak duodenum mungkin
dalam mulutnya merasa dengan cepat terisi oleh cairan terutama cairan
saliva tanpa ada rasa. Keluhan ini diketahui sebagai water brash. Sedang
pada lain pihak kemungkinan juga terjadi regurgitasi pada cairan lambung
dengan rasa yang pahit (Akil, 2006).
Secara umum pasien tukak gaster mengeluh dispepsia. Dispepsia
adalah suatu sindrom atau kumpulan keluhan beberapa penyakit saluran
cerna seperti mual, muntah, kembung, nyeri ulu hati, sendawa atau terapan,
rasa terbakar, rasa penuh ulu hati dan cepat merasa kenyang (Tarigan,
2001).
E. Komplikasi
Tukak dapat berkomplikasi pada perdarahan. Pendarahan berlaku
pada 15-20% pasien tukak peptik. Perdarahan adalah komplikasi tersering
pada tukak peptik yaitu pada dinding posterior bulbus duodenum, karena
pada tempat ini dapat terjadi erosi arteria pankreatikaduodenalis atau arteria
gastroduodenalis. Dikatakan 25% daripada kematian akibat tukak peptik
adalah disebabkan komplikasi pendarahan ini (Kumar, 2005).
Komplikasi lain yang bisa terjadi adalah perforasi di lambung
sehingga menyebabakan terjadinya peritonitis. Perforasi terjadi pada 5%
pasien tukak peptik. Diagnosis dipastikan melalui adanya udara bebas
dalam rongga peritoneal, dinyatakan sebagai bulan sabit translusen antara
bayangan hati dan diafragma. Pada tukak juga dapat berkomplikasi menjadi
obstruksi. Tukak prepilorik dan duodeni bisa menimbulkan gastric outlet
obstruction melalui terbentuknya fibrosis atau oedem dan spasme.
Mual,kembung setelah makan merupakan gejala-gejala yang sering timbul.
Apabila obstruksi bertambah berat dapat timbul nyeri dan muntah (Kumar,
2005).

F. Pemeriksaan diagnosis
Diagnosis tukak peptik biasanya dipastikan dengan pemeriksaan
barium radiogram. Bila radiografi barium tidak berhasil membuktikan
adanya tukak dalam lambung atau duodenum tetapi gejala-gejala tetap ada,
maka ada indikasi untuk melakukan pemeriksaan endoskopi. Peneraan
kadar serum gastrin dapat dilakukan jika diduga ada karsinoma lambung
atau sindrom Zolliger-Ellison (Wilson dan Lindseth, 2005).
Diagnosis tukak gaster ditegakkan berdasarkan pengamatan klinis,
hasil pemeriksaan radiologi dan endoskopi, disertai biopsi untuk
pemeriksaan histopatologi, tes CLO (Campylobacter Like Organism), dan
biakan kuman Helicobacter pylori. Secara klinis pasien mengeluh nyeri ulu
hati kadang-kadang menjalar ke pinggang disertai mual dan muntah
(Tarigan, 2001).

Radiologi : Terlihat gambaran niche atau crater.

Endoskopi : Terlihat tukak gaster engan pinggir teratur, mukosa licin,

lipatan radiasi keluar dari pinggir tukak secara teratur.

Hasil Biopsi : Tidak menunjukkan adanya keganasan

Pemeriksaan tes CLO (Compylobacter Like Organism) /PA (Pyloric


Antrum) : Untuk mennjukkan apakah ada infeksi Helicobacter pylori
dalam rangka eradikasi kuman (Tarigan, 2001).
Pemeriksaan endoskopik saluran makanan memudahkan diagnosis
tepat ulkus duodenum. Endoskopik tidak diperlukan untuk diagnosis ulkus
duodeum jika telah dikenali dengan pemeriksaan radiografik barium. Akan
tetapi endoskopi mungkin paling besar nilainya: (1) dalam mendektesi ulkus
duodenum yang dicurigai pada tiadanya ulkus yang dapat diperlihatkan
secara radiografik, (2) pada pasien dengan deformitas radiografik dan
ketidakpastian mengenai aktivitas ulkus, (3) dalam mengenali ulkus yang
terlampau kecil atau terlampau dangkal untuk dikenali dengan sinar–x dan
(4) dalam mengenali (atau meniadakan), ulkus sebagai sumber pendarahan
saluran makanan yang aktif. Endoskopi memungkinkan visualisasi dan
dokumentasi fotografik sifat ulkus, ukuran, bentuk dan lokasinya dan dapat
memberikan suatu dasar/ basis referensi untuk penilaian penyembuhan
ulkus (Mc.Guigan, 2001).
Dalam perkembangannya jenis tes diagnostik infeksi Helicobacter
pylori adalah sebagai berikut:
1) Non Invasif
 Serologi : I 9G, I 9A anti Helicobacter pylori
 Urea breath test : 13C, 14C
2) Invasif / endoskopik
 Tes urease : CLO (Campylobacter Like Organism), MIU (Motilit
Indole Urease)
 Histopatologi
 Kultur mikrobiologi
 Polymerase chain reaction (Rani, 2001).
G. Managemen
Tujuan pengobatan tukak peptik adalah menghilangkan keluhan/
gejala penderita, menyembuhkan tukak, mencegah relaps/ kekambuhan dan
mencegah komplikasi. Secara garis besar pengobatan tukak peptik adalah
eradikasi kuman H. Pylori serta pengobatan/ pencegahan gastropati NSAID
(Tarigan, 2001).
Pada saat ini, penekanan pengobatan ditujukan pada peran luas
infeksi Helicobacter pylori sebagai penyebab ulkus peptikum. Eradikasi
Helicobacter pylori infeksi dapat dilakukan pengobatan antibiotik yang
sesuai. Penderita ulkus harus menghentikan pengobatan dengan NSAID
atau apabila hal ini tidak dapat dilakukan pemberian agonis prostaglandin
yang berkerja lama, misalnya misoprostol (Ganong, 2003).
Dalam memberikan terapi terhadap tukak peptik akut pada
umumnya serupa dengan penderita tukak peptik kronik. Bila ditemukan
penderita dengan keluhan berat, maka sebaiknya dirawat di rumah sakit,
serta perlu istirahat untuk beberapa minggu. Penderita dengan keluhan
ringan umumnya dapat dilakukan dengan berobat jalan (Akil, 2006).
Secara garis besar pengelolaan penderita dengan tukak peptik adalah
sebagai berikut:
1) Non – Farmakologi
a. Istirahat
Secara umum pasien tukak dianjurkan pengobatan rawat jalan, bila
kurang berhasil atau ada komplikasi baru dianjurkan rawat inap.
Penyembuhan akan lebih cepat dengan rawat inap walaupun
mekanismenya belum jelas, kemungkinan oleh bertambahnya jam
istirahat, berkurangnya refluks empedu, stress dan penggunaan
analgesik. Stress dan kecemasan memegang peran dalam
peningkatan asam lambung dan penyakit tukak (Tarigan, 2001).

b. Diet
Makanan lunak apalagi bubur saring, makanan yang mengandung
susu tidak lebih baik daripada makanan biasa, karena makanan
halus akan merangsang pengeluaran asam. Cabai, makanan
merangsang, makanan mengandung asam dapat menimbulkan rasa
sakit pada beberapa pasien tukak dan dispepsia non tukak,
walaupun belum dapat dibuktikan keterkaitannya (Tarigan, 2001).
c. Pantang merokok
Merokok menghalangi penyembuhan tukak gaster kronik,
menghambat sekresi bikarbonat pankreas, menambah keasaman
bulbus duodenum, menambah refluks duogenogastrik akibat
relaksasi sfingter pilorus sekaligus meningkatkan kekambuhan
tukak (Tarigan, 2001). Alkohol belum terbukti mempunyai efek
yang merugikan. Air jeruk yang asam, coca-cola, bir, kopi tidak
mempunyai pengaruh ulserogenik pada mukosa lambung tetapi
dapat menambah sekresi asam dan belum jelas dapat menghalangi
penyembuhan tukak dan sebaiknya diminum jangan pada waktu
perut sedang kosong (Tarigan, 2001).
2) Farmakologi
a. Antagonis Reseptor H2
Antagonis Reseptor H2 mengurangi sekresi asam lambung
dengan cara berkompetisi dengan histamin untuk berikatan dengan
reseptor H2 pada sel pariental lambung. Bila histamin berikatan
dengan H2 maka akan dihasilkan asam. Dengan diblokirnya tempat
ikatan antara histamin dan reseptor digantikan dengan obat-obat
ini, maka asam tidak akan dihasilkan. Efek samping obat golongan
ini yaitu diare, sakit kepala, kantuk, lesu, sakit pada otot dan
konstipasi (Berardy and Lynda, 2005).
Kemampuan antagonis reseptor H2 menurunkan asam
lambung disamping dengan toksisitas rendah merupakan kemajuan
dalam pengobatan penyakit. Hasil dari beberapa uji klinik
menunjukkan obat-obat ini dapat menjaga gejala dengan efektif
selama episode akut dan mempercepat penyembuhan tukak
duodenal (Ghosh dan Kinnear, 2003).
b. PPI (Proton Pump Inhibitor)
Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim KH
ATPase yang akan memecah KH ATP akan menghasilkan energi
yang digunakan untuk mengeluarkan asam dari kanalikuli serta
pariental ke dalam lumen lambung. Panjang dapat menimbulkan
kenaikan gastin darah dan dapat menimbulkan tumor karsinoid
pada tikus percobaan. Pada manusia belum terbukti gangguan
keamanannya pada pemakaian jangka panjang (Tarigan, 2001).
Penghambat pompa proton dimetabolisme dihati dan
dieliminasi di ginjal. Dengan pengecualian penderita disfungsi hati
berat, tanpa penyesuaian dosis pada penyakit liver dan penyakit
ginjal. Dosis Omeprazol 20-40 mg/hr, Lansoprazol 15-30 mg/hr,
Rabeprazol 20 mg/hr, Pantoprazol 40 mg/hr dan Esomeprazol 20-
40 mg/hr (Lacy dkk, 2008).
Inhibitor pompa proton memiliki efek yang sangat besar
terhadap produksi asam. Omeprazol juga secara selektif
menghambat karbonat anhidrase mukosa lambung, yang
kemungkinan turut berkontribusi terhadap sifat suspensi asamnya
(Parischa dan Hoogerwefh, 2008).
Efek samping obat golongan ini jarang, meliputi sakit
kepala, diare, konstipasi, muntah, dan ruam merah pada kulit. Ibu
hamil dan menyusui sebaiknya menghindari penggunaan PPI
(Lacy dkk, 2008).
c. Sulkrafat
Pada kondisi adanya kerusakan yang disebabkan oleh asam,
hidrolisis protein mukosa yang diperantarai oleh pepsin turut
berkontribusi terhadap terjadinya erosi dan ulserasi mukosa.
Protein ini dapat dihambat oleh polisakarida bersulfat. Selain
menghambat hidrolisis protein mukosa oleh pepsin, sulkrafat juga
memiliki efek sitoprotektif tambahan, yakni stimulasi produksi
lokal prostagladin dan factor pertumbuhan epidermal (Parischa dan
Hoogerwefh, 2008).
Dosis sulkrafat 1gram 4x sehari atau 2gram 2x sehari. Efek
samping yang sering dilaporkan adalah konstipasi, mual dan mulut
kering (Berardy dan Lynda, 2005).
d. Koloid Bismuth
Mekanisme kerja melalui sitoprotektif membentuk lapisan
bersama protein pada dasar tukak dan melindungi terhadap
rangsangan pepsin dan asam. Dosis obat 2 x 2 tablet sehari. Efek
samping, berwarna kehitaman sehingga timbul keraguan dengan
pendarahan (Tarigan, 2001).
e. Analog Prostaglandin : Misoprostol
Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung menambah
sekresi mukus, sekresi bikarbonat dan meningkatkan aliran darah
mukosa. Biasanya digunakan sebagai penangkal terjadinya tukak
gaster pada pasien yang menggunakan OAINS. Dosis 4 x 200mg
atau 2 x 400 mg pagi dan malam hari. Efek samping diare, mual,
muntah, dan menimbulkan kontraksi otot uterus sehingga tidak
dianjurkan pada wanita yang bakal hamil (Tarigan, 2001).
Misoprostol dapat menyebabkan eksaserbasi klinis (kondisi
penyakit bertambah parah) pada pasien yang menderita penyakit
radang usus, sehingga pemakaiannya harus dihindari pada pasien
ini. Misoprostol dikontaindikasikan selama kehamilan, karena
dapat menyebabkan aborsi akibat terjadinya peningkatan
kontaktilitas uterus. Sekarang ini misoprostol telah disetujui
penggunaannya oleh United States Food and Drug Administration
(FDA) untuk pencegahan luka mukosa akibat NSAID (Parischa
dan Hoogerwefh, 2008).

f. Antasida
Pada saat ini antasida digunakan untuk menghilangkan keluhan
nyeri dan obat dispepsia. Mekanisme kerjanya menetralkan asam
lambung secara lokal. Preparat yang mengandung magnesium akan
menyebabkan diare sedangkan aluminium menyebabkan
konstipasi. Kombinasi keduanya saling menghilangkan pengaruh
sehingga tidak terjadi diare dan konstipasi. Dosis: 3 x 1 tablet, 4 x
30 cc (3 kali sehari malam dan sebelum tidur). Efek samping diare,
berinteraksi dengan obat digitalis, barbiturat, salisilat, dan kinidin
(Tarigan, 2001).

3. Jelaskan tentang penyakit Appendicitis mengenai penyebab, patogenesis,


patofisiologis, tanda gejala, komplikasi, pemeriksaan diagnostik dan
managementnya
A. Pengertian
Apendiks (umbai cacing) merupakan perluasan sekum yang rata-
rata panjangnya adalah 10 cm. Ujung apendiks dapat terletak di berbagai
lokasi, terutama di belakang sekum. Arteri apendisialis mengalirkan darah
ke apendiks dan merupakan cabang dari arteri ileokolika (Gruendemann,
2006).
Apendisitis akut adalah peradangan pada apendiks vermiformis
(Grace, 2007).
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering (Mansjoer, 2000).
Apendisitis merupakan penyakit prototip yang berlanjut melalui
peradangan, obstruksi dan iskemia di dalam jangka waktu bervariasi
(Sabiston, 1995). Peradangan akut apendiks memerlukan tindak bedah
segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya. Namun,
pengangkatan apendiks tidak menimbulkan defek fungsi sistem imun yang
jelas (Sjamsuhidayat, 2005).
B. Penyebab
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan
sebagai factor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor
yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hyperplasia jaringan
limfa, fekarit atau batu tinja, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula
menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang dapat menimbulkan apendiks
karena parasit seperti E.histolytica (Syamsyuhidayat, 1997).
Penyebab apendisitis Menurut Syamsyuhidayat, 2004: fekalit/massa
fekal padat karena konsumsi diet rendah serat, Tumor apendiks Cacing
ascaris, Erosi mukosa apendiks karena parasit E. Histolytica, dan
hiperplasia jaringan limfe.
Menurut Mansjoer, 2000 penyebab apendisitis adalah: hiperflasia
folikel limfoid, fekalit, benda asing, struktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, dan neoplasma. Sedangkan pendapat lain yang
dilontarkan oleh Markum, 1996, apendisitis dapat disebabkan: fekolit,
parasit, hiperplasia limfoid, stenosis fibrosis akibat radang sebelumnya dan
Tumor karsinoid.
C. Pathogenesis dan patofisiologi
Secara klinis, apendisitis ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
1) Apendisitis akut
Apendisitis yang terjadi dengan diawali oleh nyeri periumbilikal yang
diikuti dengan rasa mual dan muntah sehingga bisa menyebabkan
anoreksia, dan peningkatan nyeri lokal pada perut bagian kanan bawah.
Lamanya rasa nyeri ini berlangsung selama 24 sampai 36 jam.
Penyebab apendisitis akut ini adalah adanya obstruksi apendiks dan
infeksi hematogen (Craig, 2005). Obstruksi tersebut menyebabkan
mukus yang diproduksi mengalami sumbatan, sehingga semakin lama,
mukus tersebut semakin banyak. Namun, elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan di mana akan menyebabkan peningkatan
tekanan intralumen (Anonim, 2000).
2) Apendisitis Kronis
Apendisitis kronis terjadi apabila ada rasa nyeri di perut bagian kanan
bawah yang tidak berat, tetapi bisa menyebabkan aktivitas penderita
terganggu dan lebih dari dua minggu. Nyeri yang dirasakan dapat
berlangsung secara terus-menerus dan bisa bertambah berat parah kemudian
mereda lagi (Sjamsuhidajat et al., 2003).
D. Tanda dan gejala
Manifestasi klinis menurut Mansjoer, 2000 : Keluhan apendiks
biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilicus atau periumbilikus yang
berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri akan beralih ke
kuadran kanan bawah, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau
batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise, dan demam yang tidak
terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat konstipasi, tetapi kadang-kadang
terjadi diare, mual, dan muntah. Pada permulaan timbulnya penyakit belum
ada keluhan abdomen yang menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri
abdomen bawah akan semakin progresif, dan dengan pemeriksaan seksama
akan dapat ditunjukkan satu titik dengan nyeri maksimal. Perkusi ringan
pada kuadran kanan bawah dapat membantu menentukan lokasi nyeri. Nyeri
lepas dan spasme biasanya juga muncul. Bila tanda Rovsing, psoas, dan
obturatorpositif, akan semakin meyakinkan diagnosa klinis.
Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari
Mual, muntah dan nyeri yang hebat di perut kanan bagian bawah. Nyeri bisa
secara mendadak dimulai di perut sebelah atas atau di sekitar pusar, lalu
timbul mual dan muntah. Setelah beberapa jam, rasa mual hilang dan nyeri
berpindah ke perut kanan bagian bawah. Jika dokter menekan daerah ini,
penderita merasakan nyeri tumpul dan jika penekanan ini dilepaskan, nyeri
bisa bertambah tajam. Demam bisa mencapai 37,8-38,8° Celsius.
Pada bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua
bagian perut. Pada orang tua dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat
dan di daerah ini nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila usus buntu pecah,
nyeri dan demam bisa menjadi berat. Infeksi yang bertambah buruk bisa
menyebabkan syok.

E. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik
berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah
mengalami perdindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan
apendiks, sekum, dan letak usushalus (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004)
Komplikasi usus buntu juga dapat meliputi infeksi luka,
perlengketan, obstruksi usus, abses abdomen/ pelvis, dan jarang sekali dapat
menimbulkan kematian (Craig, 2011).
Selain itu, terdapat komplikasi akibat tidakan operatif. Kebanyakan
komplikasi yang mengikuti apendisektomi adalah komplikasi prosedur intra
abdomen dan ditemukan di tempat- tempat yang sesuai, seperti: infeksi
luka, abses residual, sumbatan usus akut, ileus paralitik, fistula tinja
eksternal, fistula tinja internal, dan perdarahan dari mesenterium apendiks
(Bailey, 1992). Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks
yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi
adalah 10% sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia.
Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup
demam dengan suhu 37,7 0C atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri
atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer C.Suzanne, 2002)
F. Pemeriksaan diagnosis
1) Hitung sel darah komplit Pada pemerksaan darah lengkap ditemukan
jumlah leukosit antara 10.000 – 20.000/mL dan netrofil di atas 75%.
2) C. Reactive Protein (CRP) Adalah sintesis dari sekresi fase akut hati
sebagai respon dari infeksi atau inflamasi. Pada apendisitis didapatkan
peningkatan kadar C. Reactive Protein (CRP).
3) Pemeriksaan USG dilakukan untuk menilai inflamasi dan apendisitis.
4) Pemeriksaan CT Scan pada abdomen untuk mendeteksi apendisitis dan
adanya kemungkinan perforasi

5) Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab
appendicitis. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak- anak
G. Managemen
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah
ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk
membatasi aktifitas fisik sampai pembedahan dilakukan. Analgetik dapat
diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan untuk
mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan
resiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum atau
spinal, secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi yang merupakan
metode terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi terbuka, insisi
Mc.Burney banyak dipilih oleh para ahli bedah. Pada penderita yang
diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu. Pemeriksaan
laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih
terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan laparoskopi
diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan
operasi atau tidak (SmeltzerC.Suzanne,2000).
Menurut Arief Mansjoer (2000), penatalaksanaan apendisitis adalah
sebagai berikut:
1. Tindakan medis
a. Observasi terhadap diagnosa
Dalam - B 12 jam pertama setelah timbul gejala dan tanda
apendisitis, sering tidak terdiagnosa, dalam hal ini sangat penting
dilakukan observasi yang cermat. Penderita dibaringkan ditempat
tidur dan tidak diberi apapun melalui mulut. Bila diperlukan maka
dapat diberikan cairan aperviteral. Hindarkan pemberian narkotik
jika memungkinkan, tetapi obat sedatif seperti barbitural atau
penenang tidak karena merupakan kontra indikasi. Pemeriksaan
abdomen dan rektum, sel darah putih dan hitung jenis di ulangi
secara periodic. Perlu dilakukan foto abdomen dan thorak posisi
tegak pada semua kasus apendisitis, diagnosa dapat jadi jelas dari
tanda lokalisasi kuadran kanan bawah dalam waktu 23 jam setelah
timbul gejala.
b. Intubasi
Dimasukkan pipa naso gastrik preoperatif jika terjadi peritonitis
atau toksitas yang menandakan bahwa ileus pasca operatif yang
sangat menggangu. Pada penderita ini dilakukan aspirasi kubah
lambung jika diperlukan. Penderita dibawa kekamar operasi
dengan pipa tetap terpasang.
c. Antibiotik
Pemberian antibiotik preoperatif dianjurkan pada reaksi sistematik
dengan toksitas yang berat dan demam yang tinggi
2. Terapi bedah
Pada apendisitis tanpa komplikasi, apendiktomi dilakukan segera
setelah terkontrol ketidakseimbangan cairan dalam tubuh dan gangguan
sistematik lainnya. Biasanya hanya diperlukan sedikit persiapan.
Pembedahan yang direncanakan secara dini baik mempunyai praksi
mortalitas 1% secara primer angka morbiditas dan mortalitas penyakit
ini tampaknya disebabkan oleh komplikasi ganggren dan perforasi yang
terjadi akibat yang tertunda.
3. Terapi pasca operasi
Perlu dilakukan obstruksi tanda- tanda vital untuk mengetahui
terjadinya perdarahan didalam, syok hipertermia, atau gangguan
pernapasan angket sonde lambung bila pasien telah sadar, sehingga
aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posisi
fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan.
Selama itu pasien dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar,
misalnya pada perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan
sampai fungsi usus kembali normal. Kemudian berikan minum mulai
15 ml/ Jam selama 4- 5 Jam lalu naikkan menJadi 30 ml/jam. Keesokan
harinya diberikan makan saring, dan hari berikutnya diberikan makanan
lunak. Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak
ditempat tidur selama 2x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri
dan duduk diluar kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien
diperbolehkan pulang.

Anda mungkin juga menyukai