Disusun oleh:
Kelompok B6
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas berkat
rahmat yang diberikan-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Tutorial Skenario E Blok
Trauma, Gawat Darurat, dan Forensik dengan baik.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
dalam pembuatan laporan ini, serta berbagai sumber yang telah penulis gunakan sebagai data
dan fakta pada makalah ini. Penulis juga berterima kasih kepada, dr. Nursanti, Sp. PA yang
telah memberikan pedoman dalam melakukan tutorial, membuat makalah hasil tutorial dan
telah memberi bimbingannya sebagai tutor sehingga kami dapat menyelesaikan masalah
skenario yang telah diberikan.
Penulis menyadari akan kekurangan dalam penulisan makalah ini. Maka dari itu, kritik
dan saran sangat diharapkan untuk memperbaiki dan mengembangkan isi dari makalah ini.
Penulis juga mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, serta penulis mohon maaf apabila
terdapat kesalahan penulisan dalam makalah ini. Akhir kata, apabila ada kesalahan kata-kata,
penulis meminta maaf dan diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas berkat
rahmat yang diberikan-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Tutorial Skenario E Blok
Trauma, Gawat Darurat, dan Forensik dengan baik.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
dalam pembuatan laporan ini, serta berbagai sumber yang telah penulis gunakan sebagai data
dan fakta pada makalah ini. Penulis juga berterima kasih kepada, dr. Nursanti, Sp. PA yang
telah memberikan pedoman dalam melakukan tutorial, membuat makalah hasil tutorial dan
telah memberi bimbingannya sebagai tutor sehingga kami dapat menyelesaikan masalah
skenario yang telah diberikan.
Penulis menyadari akan kekurangan dalam penulisan makalah ini. Maka dari itu, kritik
dan saran sangat diharapkan untuk memperbaiki dan mengembangkan isi dari makalah ini.
Penulis juga mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, serta penulis mohon maaf apabila
terdapat kesalahan penulisan dalam makalah ini. Akhir kata, apabila ada kesalahan kata-kata,
penulis meminta maaf dan diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................
..................................................................
............................................
............................................
......................................
................ii
BAB I ............................................
..................................................................
............................................
............................................
.............................................
...........................
.... 1
PENDAHULUAN ..........................................
.................................................................
.............................................
.............................................
..............................
....... 1
BAB II.............................................................
...................................................................................
.............................................
..............................................
..............................
....... 2
PEMBAHASAN .............................................
....................................................................
.............................................
.............................................
..............................
....... 2
IV. Learning
IV. Learning Issue ..........................................
................................................................
............................................
.............................................
.........................
.. 42
PENUTUP.................................
PENUTUP.......................................................
.............................................
.............................................
............................................
............................
...... 57
I. Kesimpulan ..........................................
................................................................
............................................
.............................................
................................
......... 57
DAFTAR PUSTAKA.................................
PUSTAKA.......................................................
..............................................
..............................................
................................59
..........59
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Blok Trauma, Gawat Darurat, dan Forensik adalah blok ke-28 dari Kurikulum
Berbasis Kompetensi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang. Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus sebagai bahan
pembelajaran untuk menghadapi kasus yang sebenarnya pada waktu yang akan datang.
Kasus yang dipelajari adalah mengenai syok hemoragik.
C. Data Tutorial
1. Tutor : dr. Nursanti, Sp. PA
2. Moderator : Siti Thania Luthfyah
3. Sekretaris : 1. Azora Khairani Kartika
2. Dani Gemilang Kusuma
4. Waktu : 1. Senin, 9 Oktober 2017, pukul 13.00 – 15.30 WIB
2. Rabu, 11 Oktober 2017, pukul 13.00 – 15.30 WIB
1
BAB II
PEMBAHASAN
Skenario E Blok 28 Tahun 2017
Tuan X, kisaran usia 27 tahun, datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit tipe
A diantar oleh polisi setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Dari saksi di tempat
kejadian diketahui mekanisme trauma ialah pasien yang mengendarai motornya dengan
kecepatan tinggi menabrak tiang listrik lalu terpelanting dan membentur trotoar. Saat itu
pasien tidak menggunakan helm. Baju dan celana pasien basah karena darah.
Hasil pemeriksaan di IGD:
Survey primer
Airway = bersuara saat dipanggil, aroma napas alkohol
Breathing = RR 32x/menit, SpO 2 95% (dengan udara bebas), gerakan thorax stati s
dan dinamis: simetris, auskultasi paru: vesikuler (+) normal, tidak ada ronkhi, tidak ada
wheezing
Circulation = nadi 145x/menit (isi dan tegangan kurang), TD: 70/50 mmHg, akral
dingin lembab pucat, CRT (capillary refill time) 4 detik
Dissability = respond to verbal (skala AVPU), GCS E 3M6V4
Exposure = temperatur 35,5°C, jejas di abdomen kanan atas, tampak fraktur
terbuka os humerus sinistra dengan perdarahan aktif, fraktur terbuka os femur sinistra
dengan perdarahan aktif, dan fraktur terbuka os cruris dengan perdarahan aktif
I. Klarifikasi Istilah
No. Istilah Definisi
1. IGD Area di dalam sebuah RS yang dirancang dan digunakan
untuk memberikan standar perawatan gawat darurat untuk
pasien yang membutuhkan perawatan akut atau mendesak
2. RS tipe A Rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan
kedokteran spesialis dan subspesialis luas oleh pemerintah,
rumah sakit ini telah ditetapkan sebagai tempat pelayanan
2
rujukan tertinggi (top referral hospital ) atau disebut juga
rumah sakit pusat
3. Survey primer Deteksi cepat dan koreksi segera terhadap kondisi yang
mengancam
4. Airway Airway harus diperiksa secara cepat untuk memastikan bebas
dan patennya atau tidak ada obstruksi atau hambatan jalan
napas. Jika terjadi gangguan lakukan head tilt chin lift atau
jaw thurst , namun bila memiliki peralatan yang lengkap
gunakan oral airway, nasal airway, atau intubasi ETT. Perlu
diwaspadai adanya fraktur servikal karena pada trauma atau
cedera berat harus dicurigai adanya cedera corda spinalis
5. Breathing Kualitas dan kuantitas ventilasi harus dievaluasi dengan cara
lihat, dengar, dan rasakan. Jika tidak bernapas maka se gera
diberikan ventilasi buatan. Jika penderita bernapas
perkirakan kecukupan bagi penderita. Perhatikan gerakan
nafas dada dan dengarkan suara napas penderita jika tidak
sadar
6. SpO2 Saturasi oksigen atau kadar oksigen dalam darah
7. Vesikuler Bunyi lemah dan nadanya rendah, biasanya terdengar di
semua bagian parenkim paru. Panjang inspirasi lebih dari
ekspirasi
8. Ronkhi Suara napas tambahan bernada rendah sehingga bersifat
sonor, terdengar tidak mengenakan (raspy), terjadi pada
saluran napas besar seperti trakhea bagian bawah dan
bronkus utama
9. Wheezing Suara pernapasan frekuensi tinggi nyaring yang terdengar di
akhir ekspirasi
10. Circulation Oksigen sel darah merah tanpa adanya distribusi ke jaringan
tidak akan bermanfaat bagi penderita. Perkiraan status
kecukupan output jantung dan kardiovaskular dapat
diperoleh hanya dengan memeriksa denyut nadi, mas a
pengisian kapiler, warna kulit dan suhu kulit
3
11. CRT Capillary refill time adalah tes yang dilakukan cepat pada
daerah dasar kuku untuk memonitor dehidrasi dan jumlah
aliran darah ke jaringan (perfusi)
12. Dissability Pemeriksaan status neurologi harus dilakukan yang meliputi
tingkat kesadaran dengan menggunakan Glasgow Coma
Scale (GCS) dan penilaian tanda lateralisasi, yaitu pupil
(ukuran, simetris dan reaksi terhadap cahaya, kekuatan tonus
otot (motorik)
13. Skala AVPU Metode yang digunakan tenaga kesehatan untuk mengukur
dan mencatat respon pasien yang mengindikasikan tingkat
kesadaran, yang diperiksa adalah kesadaran pasien (alert ),
respon dengan kata-kata (verbal ), rangsangan terhadap nyeri
( pain), dan ketidaksadaran sehingga tidak merespon baik
verbal maupun ransangan nyeri (unresponsive)
14. Exposure Buka pakaian penderita untuk memeriksa cedera agar tidak
melewatkan memeriksa seluruh bagian tubuh terlebih yang
tidak terlihat secara sepintas. Jika seluruh tubuh telah
diperiksa, penderita harus ditutup untuk mencegah hilangnya
panas tubuh
15. Fraktur Pemecahan atau kerusakan suatu bagian terutama tulang.
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas
jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya
disebabkan oleh trauma
4
3. Breathing = RR 32x/menit, SpO 2 95% (dengan udara bebas), gerakan thorax stati s
dan dinamis: simetris, auskultasi paru: vesikuler (+) normal, tidak ada ronkhi, tidak
ada wheezing
4. Circulation = nadi 145x/menit (isi dan tegangan kurang), TD: 70/50 mmHg, akral
dingin lembab pucat, CRT (capillary refill time) 4 detik
5. Dissability = respond to verbal (skala AVPU), GCS E 3M6V4
6. Exposure = temperatur 35,5°C, jejas di abdomen kanan atas, tampak fraktur
terbuka os humerus sinistra dengan perdarahan aktif, fraktur terbuka os femur sinistra
dengan perdarahan aktif, dan fraktur terbuka os cruris dengan perdarahan aktif
5
Trauma kepala ringan: benturan dengan trotoar (tanpa pengamanan helm)
trauma deselerasi penurunan kesadaran
Trauma tumpul abdomen: benturan dengan stang trauma abdomen kanan atas
Fraktur terbuka humerus sinistra: benturan dengan trotoar di tubuh sebelah kiri
trauma deselerasi fraktur
Fraktur terbuka femur sinistra: benturan dengan trotoar di tubuh sebelah kiri
trauma deselerasi fraktur
Fraktur terbuka cruris sinistra: benturan dengan trotoar di tubuh sebelah kiri
trauma deselerasi fraktur
Syok hemoragik : diawali dari Tn. X yang mengendarai motor dengan kecepatan
tinggi disertai dengan tidak menggunakan helm terjadinya trauma pada tn.X
trauma tajam dan trauma tumpul terjadi pendarahan yang bersifat akut
6
- Mata dan hidung mudah terkena debu, kotoran, dan asap yang bisa
menyebabkan iritasi.
- Tinitus (telinga berdenging karena berkendaran lama tanpa helm)
- Kanker kulit karena paparan sinar ultraviolet secara langsung dan lama
- Cedera kepala akibat tidak ada perlindungan saat kecelakaan, hingga kematian
c. Apa makna klinis baju dan celana pasien basah karena darah?
Makna klinis baju dan celana pasien basah karena darah yaitu telah terjadi
perdarahan masif dan dapat menyebabkan syok hemoragik. Baju pasien basah
karena darah artinya terdapat perdarahan akibat fraktur terbuka regio ekstremitas
bagian atas dan celana pasien basah karena darah artinya terdapat perdarahan yang
berupa fraktur terbuka regio ekstremitas bagian bawah pada kasus ini.
d. Bagaimana tindakan awal pada pasien ini dan tata cara pemi ndahan pasien dari
lokasi kecelakaan menuju IGD?
Aufar
Pada saat keadaan pra-RS titik berat diberikan pada penjagaan airway (jalan nafas),
kontrol pendarahan, imobilisasi penderita, dan segera bawa penderita ke RS
terdekat.
1) Penjagaan airway adalah mencegah terjadinya penyumbatan jalan nafas.
Penyumbatan jalan nafas ini dapat disebabkan karena darah, air liur ataupun
makanan yang keluar dari lambung. Semua hal tersebut dapat te rtahan di mulut,
7
masuk ke jalan nafas dan akhirnya menyebabkan penderita tidak bisa bernafas.
Oleh karena itu usahakan agar pada mulut tidak terdapat sumbatan tersebut.
Namun prosedur ini tidak boleh membuat leher mengalami gerakan terangkat
terlalu banyak karena pada keadaan patah tulang leher berbahaya bila bagian
leher banyak bergerak.
2) Kontrol perdarahan. Misal terdapat luka terbuka berdarah, hal yang perlu
dilakukan adalah segera melakukan tindakan tampon (menekan perdarahan
aktif dengan gulungan kain). Hal ini untuk mencegah darah terus mengalir dan
menyebabkan kejadian syok hipovolemia (kehabisan darah) pada pasien.
Penekanan dengan ban pinggang pada daerah sebelum perdarahan tidak
disarankan dalam hal ini karena dapat menimbulkan kematian jaringan bagian
ujung.
3) Imobilisasi penderita. Jangan terlalu banyak melakukan gerakan kepada
penderita karena pada kasus patah tulang (terutama leher), terlalu banyak
melakukan gerakan yang tidak tepat akan memperberat keadaan pasien.
Mencegah kerusakan lanjut bagian yang fraktur dengan cara pembalutan dan
pemasangan bidai. Sebelum melakukan penilaian fraktur, perlu dilakukan
penilaian klinis, apakah luka itu tembus tulang, adakah trauma pembuluh
darah/saraf ataukah ada trauma alat-alat dalam yang lain. Mengembalikan
posisi patahan tulang ke posisi semula (reposisi). Mempertahankan posisi itu
selama masa penyembuhan fraktur (immobilisasi). Biasanya dengan
pembidaian. Bidai terbagi 2, yaitu bidai anatomis (body splint ), menggunakan
bagian yang sehat sebagai bidai terhadap bagian yang lain dan bidai kayu (rigid
splint ).
Imobilisasi pada kasus Tn X:
1) Immobilisasi bagian tubuh yang mengalami dan bila dicurigai adanya fraktur
sebelum pasien dipindahkan.
2) Pasang bidai untuk mengurangi nyeri gerakan fragmen tulang dan se ndi sekitar
fraktur.
3) Pikirkan bidai sementara dengan bantalan yang memadai yang kemudian
dibebat dengan kencang. Immobilisasi ekstremitas bawah dapat dilakukan
dengan membabat kedua tungkai bersamaan, dengan ekstremitas yang sehat
8
bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas yang cedera. Peredaran distal harus
dikaji untuk menentukan kecukupan perfusi jaringan perifer.
9
2) Tempatkan pasien dalam posisi kaki lebih tinggi dan lakukan resusitasi cairan
segera melalui akses intravena, atau katater vena sentral, maupun jalur
intraoseus.
3) Ambil darah 20 ml untuk pemeriksaan laboratorium rutin, golongan darah, dan
uji silang.
4) Resusitasi cairan kristaloid Ringer’s Laktat (RL) bolus 2-4 L dalam 20-30 menit
5) Transfusi packed red cell (PRC) sesuai golongan darah. Pada perdarahan masif,
yakni perdarahan lebih dari sepertiga volume total darah dalam waktu kurang
dari 30 menit, dilakukan transfusi darah sebanyak lebih dari 1-2 kali lipat
volume darah pasien dalam waktu lebih dari 24 jam. Pertimbangkan
penghentian transfusi setelah Hb > 10 g/dL.
6) Atasi sumber perdarahan, hemostasis darurat secara operatif dipe rlukan apabila
terjadi perdarahan masif ≥40%.
7) Nilai ketat hemodinamik dan amati tanda-tanda perbaikan syok: tanda vital,
kesadaran, perfusi perifer, urin output, saturasi oksigen, dan analisis gas darah.
Parameter yang harus dipantau selama stabilisasi dan pengobatan yakni denyut
jantung, frekuensi pernapasan, tekanan darah, tekanan vena sentral (CVP), dan
pengeluaran urin. Pengeluaran urin yang kurang dari 30 ml/jam (atau 0.5
ml/kg/jam) menunjukkan perfusi ginjal yang tidak adekuat.
Pada kondisi hipovolemia berat dan berkepanjangan, pertimbangkan dukungan
inotropik dengan dopamin, vasopresin, atau dobutamin untuk meningkatkan
kekuatan ventrikel setelah volume darah dicukupi terlebih dahulu.
10
ataksia dan sedasi. Efek-efek sedasi inilah yang meningkatkan kejadian kecelakaan
lalu lintas seperti pada kasus.
11
Bau napas alcohol diperiksa secara objektif dengan membau napas pasien. Untuk
mengetahui seberapa banyak alcohol di darah, pasien dapat juga diminta untuk
mengeluarkan napas ke dalam balon yang kemudian dilepaskan ke dalam tabung
yang berisi pita dengan kristal berwarna kuning. Warna kristal berubah menjadi
hijau sesuai dengan kadar alkohol. Electronic alcohol meter dengan cara kerja
serupa tetapi lebih praktis juga bisa dipakai untuk melihat kadar alkohol.
3. Breathing = RR 32x/menit, SpO 2 95% (dengan udara bebas), gerakan thorax statis dan
dinamis: simetris, auskultasi paru: vesikuler (+) normal, tidak ada ronkhi, tidak ada
wheezing
a. Mengapa RR meningkat pada kasus? Bagaimana mekanismenya?
Baroreseptor mendapat rangsangan dari perubahan tegangan dalam pembuluh
darah akibat volume darah yang berkurang. Bila terjadi penurunan tekanan darah,
maka rangsangan terhadap baroreseptor akan menurun, sehingga rangsangan yang
dikirim baroreseptor ke pusat juga akan berkurang. Sehingga terjadi penurunan
rangsangan terhadap cardio inhibitory centre dan hambatan terhadap pusat
vasomotor. Akibat dari kedua hal tersebut, maka akan terjadi vasokonstriksi dan
takikardi. Baroreseptor ini terdapat di sinus caroticus, arcus aorta, atrium dexta et
sinistra, ventrikel sinistra, dan dalam sirkulsi paru. Baroreseptor sinus caroticus
merupakan baroreseptor yang paling berperan dalam pengaturan tekanan darah.
Bila aliran darah ke otak menurun sampai <40mmHg, maka akan terjadi
symphathetic discharge massive. Respon dari reseptor di otak ini lebih kuat
darirespon perifer.
12
Gambar 7. Mekanisme kompensasi perdarahan masif
c. Apa makna klinis nilai SpO 2 95% (dengan udara bebas) pada kasus?
Pada kasus, saturasi oksigen perifer pasien saat bernafas dengan udara bebas adalah
95% yang berarti perfusi oksigen pasien sedikit menurun karena volume darah
berkurang sehingga oksigen yang dialirkan juga berkurang. Saturasi oksigen perlu
selalu dipantau untuk menilai perfusi jaringan. Mekanismenya:
Perdarahan hipovolemia efektivitas perfusi oksigen di paru-paru menurun
saturasi oksigen menurun.
13
e. Apa makna klinis auskultasi paru: vesikuler (+) normal, tidak ada ronkhi, tidak ada
wheezing?
Tidak ada penyempitan jalan napas akibat bronkokontriksi, edema, maupun adanya
benda asing yang masuk yang dapat menghalangi jalan napas.
14
METODE PEMBERIAN OKSIGEN
I. Sistem Aliran Rendah
1) Kateter Nasal Oksigen : Aliran 1 - 6 liter/ menit menghasilkan oksigen
dengan konsentrasi 24-44 % tergantung pola ventilasi pasien. Bahaya: Iritasi
lambung, pengeringan mukosa hidung, kemungkinan distensi lambung,
epistaksis.
2) Kanula Nasal Oksigen : Aliran 1 - 6 liter / menit menghasilkan O2 dengan
konsentrasi 24 - 44 % tergantung pada polaventilasi pasien. Bahaya : Iritasi
hidung, pengeringan mukosa hidung, nyeri sinus dan epitaksis
3) Sungkup Muka Sederhana Oksigen : Aliran 5-8 liter/ menit O 2 dengan
konsentrasi 40 - 60 %. Bahaya : Aspirasi bila muntah, penumpukan CO 2 pada
aliran O2 rendah, Empisema subcutan kedalam jaringan mata pada aliran O 2
tinggi dan nekrose, apabila sungkup muka dipasang terlalu ketat.
4) Sungkup muka " Rebreathing " dengan kantong O 2 : Aliran 8-12 l/menit
menghasilkan oksigen dnegan konsentrasi 60 - 80%. Bahaya : Terjadi
aspirasi bila muntah, empisema subkutan kedalam jaringan mata pada alir an
O2 tinggi dan nekrose, apabila sungkup muka dipasang terlalu ketat.
5) Sungkup muka " Non Rebreathing " dengan kantong O 2 : Aliran 8-12 l/menit
menghasilkan konsentrasi O2 90 %. Bahaya : Sama dengan sungkup muka
" Rebreathing ".
II. Sistem Aliran tinggi
1) Sungkup muka venturi (venturi mask ) Oksigen : Aliran 4 -14 It / menit
menghasilkan konsentrasi O2 30 - 55 %. Bahaya : Terjadi aspirasi bila
muntah dan nekrosis karena pemasangan sungkup yang terl alu ketat.
2) Sungkup muka Aerosol ( Ambu Bag ) Oksigen : Aliran lebih dan 10 V menit
menghasilkan konsentrasi O2 100 %. Bahaya : Penumpukan air pada
aspirasi bila muntah serta nekrosis karena pemasangan sungkup muka yang
terialu ketat.
15
1) Nekrose CO2 ( pemberian dengan FiO 2 tinggi) pada pasien dependent on
Hypoxic drive misal kronik bronchitis, depresi pemafasan berat dengan
penurunan kesadaran. Jika terapi oksigen diyakini merusak CO2, terapi O2
diturunkan perlahan-lahan karena secara tiba-tiba sangat berbahaya
2) Toxicitas paru, pada pemberian FiO 2 tinggi (mekanisme secara pasti tidak
diketahui). Terjadi penurunan secara progresif compliance paru karena
perdarahan interstisial dan edema intraalveolar
3) Retrolental fibroplasias. Pemberian dengan FiO2 tinggi pada bayi premature
pada bayi BB <1200 gr. Kebutaan
4) Barotrauma (ruptur alveoli dengan emfisema interstisial dan mediastinum), jika
O2 diberikan langsung pada jalan nafas dengan alat Cylinder Pressure atau auflet
dinding langsung.
4. Circulation = nadi 145x/menit (isi dan tegangan kurang), TD: 70/50 mmHg, akral
dingin lembab pucat, CRT (capillary refill time) 4 detik
a. Mengapa nadi meningkat tapi isi dan tegangan kurang? Bagaimana mekanismenya?
Peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah respons homeostasis saat terja di
hipovolemia. Peningkatan kecepatan aliran darah ke mikrosirkulasi berfungsi
mengurangi asidosis jaringan. Terjadinya perdarahan yang cukup berat pada Tn. X
menyebabkan pasokan aliran darah berkurang mengakibatkan denyut nadi pasien
lebih cepat dari biasanya. Isi dan tegangan kurang akibat perdarahan →
hipovolemia yang disebabkan fraktur terbuka.
16
demikian, pada tahap awal syok hemoragik, tekanan darah sistolik dapat
dipertahankan.
Fase Dekompensasi :
Pada fase ini metabolisme anaerob sudah mulai terjadi dan semakin meningkat.
Akibatnya sistem kompensasi yang terjadi sudah tidak lagi efektif untuk
meningkatkan kerja jantung. Produksi asam laktat meningkat, produksi asam
karbonat intraseluler juga meningkat sehingga terjadi asidosis metabolik. Membran
sel terganggu, akhirnya terjadi kematian sel. Terjadi juga pelepasan mediator
inflamasi seperti TNF. Akhirnya sistem vaskular mulai tidak dapat
mempertahankan vasokonstriksi. Sehingga terjadi vasodilatasi yang menyebabkan
tekanan darah turun dibawah nilai normal dan jarak sistol-diastol menyempit.
17
Tes CRT dilakukan dengan memegang tangan pasien lebih tinggi dari jantung
(mencegah refluks vena. Pada bayi yang baru lahir, pengisian kapiler dapat diukur
dengan menekan pada tulang dada selama lima detik dengan jari telunjuk atau ibu
jari, dan catat waktu yang dibutuhkan untuk warna kulit kembali normal setelah
tekanan dilepaskan. Jika aliran darah baik ke daerah kuku, warna kuku kembali
normal kurang dari 2 detik. Pada bayibaru lahir batas normal pengisian kapiler
adalah 3 detik.
18
pemasangan infus dua line pada tangan kanan dan kiri untuk pemberian cairan.
Cairan kristaloid yang diberikan (misalnya NaCl 0,9%) dihangatkan terlebih dahulu
untuk menghindari terjadinya hipotermia. Keadaan hipotermia dapat menyebabkan
terjadinya gangguan pembekuan darah. Sebelum diberikan cairan infus diambil
sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium dan cross match golongan
match golongan darah.
Pasang infus bila perlu 2 jalur, tentukan jenis cairan
Perbaiki kehilangan darah, bila perlu teruskan selama transportasi
Pemasangan kateter urin
Monitor kecepatan dan irama jantung
Berikan diuretik bila diperlukan
Bila curiga ada cedera cervikal dan tulang
tulan g belakang
Luka: - hentikan pendarahan dengan balutan
- profilaksis tetanus
- antibiotik bila perlu
Shock: pemberian cairan kristaloid (ringer lactat) IV 2-4 liter dalam 20-30 menit
dan kateter urin untuk monitoring perfusi ginjal dan hemodinamika pasien terkait
syoknya. Jaga suhu tubuh jangan sampai hipotermi.
5. Dissability =
Dissability = respond to verbal (skala
(skala AVPU), GCS E 3M6V4
a. Apa makna klinis respond to verbal (skala
(skala AVPU) pada kasus?
Respond to verbal pada pemeriksaan dengan menggunakan skala AVPU
mengindikasikan bahwa pasien hanya merespon (menjadi fully
(menjadi fully alert atau partially
atau partially
alert ) jika diberi rangsangan verbal seperti panggilan atau teriakan yang artinya
pasien mengalami gangguan kesadaran kemungkinan karena adanya trauma
trau ma pada
kepala.
19
caranya dengan
dengan menanyakan pertanyaan yang jawabannya bukan berupa ‘ya’
atau ‘tidak’ seperti ‘Tahun berapa sekarang?’atau ‘Sekarang anda ada dimana?’
(2) V: response to Verbal stimulus
Hal ini mengindikasikan bahwa pasien hanya merespon (menjadi fully alert
atau partially alert) jika diberi rangsangan verbal seperti panggilan atau
teriakan.
(3) P: response to Pain
Pada level ini, menandakan pasien sudah tidak responsive lagi dengan
rangsangan verbal dan harus dirangsang dengan perlakuan fisik seperti cubitan
atau pukulan. Positif jika ketika dicubit atau dipukul, pasien meringis atau
mengerang.
(4) U: Unresponsive
Level terendah kesadaran. Terjadi jika sudah dilakukan rangsangan nyeri di
kedua sisi dan pasien tetap dalam kondisi flasid atau tidak sadarkan diti tanpa
adanya pergerakan atau suara.
Semua level dibawah Alert
dibawah Alert interpretasinya
interpretasinya adalah gangguan kesadaran. Maka pada
kasus ini, Tn. X mengalami gangguan kesadaran dengan tingkat kesadaran di level
sadar jika distimulus dengan verbal.
20
c. Apa interpretasi GCS E3M6V4 pada kasus?
Glasgow-Coma Scale E3 V4 M6 13
E3. Pasien membuka mata ketika diajak bicara, dipanggil atau diperintahkan.
V4. Pasien bisa berbicara jelas, namun tidak terorientasi dengan baik.
M6. Pasien bisa mengerti dan melakukan tindakan sesuai perintah. Perlu
diperhatikan kesesuaian respon motoric pasien untuk memastikan ada tidaknya
jejas di belahan otak yang berbeda.
Interpretasi:
1. Berat 8-3
2. Sedang 9-12
3. Ringan 13-15
Kualitas Kesadaran
1. 14-15 Kompos mentis
2. 12-13 Apatis
3. 11-12 Somnolen
4. 8-10 Stupor
5. <5 Koma
21
(2) Verbal response (1 to 5 points).
- (V5) Sadar penuh: pasien bias berbicara dan menjawab pertanyaan perihal
lokasi, tempat, dan waktu saat ini. Bisa juga ditanyakan bagaimana kejadian
ini bias terjadi.
- (V4) Bingung: pasien bias berbicara jelas, namun tidak terorientasi dengan
baik.
- (V3) Kata-kata tidak sesuai: pasien menjawab rangsangan verbal dengan
jawaban tidak sesuai dengan situasi, tidak jelas dan terkadang dengan
jawaban kasar atau tidak senonoh
- (V2) Meracau: mengeluarkan kata kata yang tidak dimengerti orang normal.
- (V1) Tidak ada respon suara apapun
(3) Motor response (1 to 6 points).
- (M6) Mengikuti perintah: pasien bisa mengerti dan melakukan tindakan
sesuai perintah. Perlu diperhatikan kesesuaian respon motoric pasien untuk
memastikan ada tidaknya jejas di belahan otak yang berbeda.
- (M5) Nyeri terlokalisir: jika pasien dapat dengan akurat mendorong atau
melepaskan cubitan yang dilakukan pemeriksa dengan tangannya, maka
pasien tersebut responsif dengan nyeri terlokalisir.
- (M4) Mengelak dari nyer: hal ini mengindikasikan bahwa tubuh pasien
hanya menjauh ketika diberikan rangsangan nyeri.
- (M3) Fleksi (postur dekortikasi): tubuh pasien menekuk menjadi postur
protektif dengan lengan fleksi ke dada. Hal ini terjadi pada trauma otak
berat.
- (M2) Ekstensi (postur decerebrasi): tubuh pasien ekstensi, kaki tungkai dan
lengan ekstensi dan kaku, bahkan sulit digerakkan.
- (M1) Benar-benar flacid
22
Gambar 10. Skala GCS
6. Exposure = temperatur 35,5°C, jejas di abdomen kanan atas, tampak fraktur terbuka
os humerus sinistra dengan perdarahan aktif, fraktur terbuka os femur sinistra dengan
perdarahan aktif, dan fraktur terbuka os cruris dengan perdarahan aktif
23
a. Apa interpretasi temperatur 35,5°C? Bagaimana mekanisme hipotermi?
Temperatur normal: 36.5-37.5 35,50C = Hipotermia ringan.
Klasifikasi hipotermia pasien trauma adalah 34 – 36oC hipotermia ringan, 32 – 34oC
hipotermia sedang, dan < 32 oC hipotermia berat. Trauma dan perdarahan dengan
hipoperfusi jaringan mengganggu termoregulasi sehingga menyebabkan
hipotermia.
Tahap dekompensasi dimana tubuh tidak mampu lagi mempertahankan fungsi-
fungsinya. Yang terjadi adalah tubuh akan berupaya menjaga organ-organ vital
yaitu dengan mengurangi aliran darah ke lengan, tungkai, dan perut dan
mengutamakan aliran ke otak, jantung, dan paru. Tanda dan gejala yang dapat
ditemukan diantaranya adalah rasa haus yang hebat, peningkatan denyut nadi,
penurunan tekanan darah, kulit dingin, pucat, serta kesadaran yang mulai
terganggu.
Perdarahan massif penurunan perfusi jaringan penurunan suplai oksigen dan
energi ke sel penurunan metabolisme seluler penurunan penghasilan energi
penurunan panas
Perdarahan massif respon stress: Vasokonstriksi penurunan pelepasan panas
dari pembuluh darah penurunan suhu.
c. Bagaimana hubungan antara jejas yang terbentuk pada abdomen kanan atas dengan
gejala yang terjadi pada kasus?
Adanya jejas menandakan terlah terjadinya trauma benda tumpul. Jejas biasanya
berupa memar, perubahan warna, dan perubahan structural yang tampak secara
kasat mata. Regio abdomen kanan atas sebagian besar diisi oleh hepar. Tumbukan
benda tumpul menyebabkan gaya yang dihantarkan melalui jaringan kulit dan otot
abdomen ke organ internal. Akibat energi tersebut, jaringan organ yang terkena
24
mengalami kerusakan, contohnya pembuluh darah organ. Trauma pada abdomen
dapat menyebabkan perdarahan intraabdomen yang semakin memperberat keadaan
hipovolemik Tn.X.
25
1. Nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya
2. Trauma pada bagian bawah dari dada
3. Hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas
4. Pasien cedera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat,alkohol, cedera
otak)
5. Pasien cedera abdominal dan cedera medula spinalis (sumsum tulang
belakang)
6. Patah tulang pelvis.
Dugaan perdarahan intraperitoneal didukung oleh lokasi trauma, keadaan umum
pasien, khususnya keadaan kadar hemoglobin dan hematokrit darah, dan bila
diperlukan pungsi dinding perut dengan kanula.
Dugaan trauma ginjal, yang diantarannya didukung dengan adanya hematuria,
dapat dievaluasi dengan pembuatan nefrografi dengan kontras intra vena (IVP) dan
ruptura buli- buli, dapat dideteksi dengan sistografi, bila mana ditemukan trauma
tumpul suprasimfisis disertai tanda-tanda peritonitis, hematuria dengan diuresis
yang relatif sedikit.
TINDAKAN PENANGGULANGAN
Evaluasi keadaan jantung-paru
Atasi keadaan syok serta perbaikan kondisi cairan dan balans elekt rolit
Eksplorasi luka/laparotomi pada semua kasus trauma tajam dan trauma tembus
Kebijakan khusus :
Perdarahan arteri : dikuasai dengan ligasi
26
Perforasi usus/gaster : tertutup perforasi. Bila terdapat perforasi multipel usus,
secukupnya.
Ruptura limpa : dilakukan splenektomi, penjahitan limpa tidak memuaskan,
e. Bagaimana hubungan antara fraktur dengan gejala yang terjadi pada kasus?
Fragmen-fragmen patahan tulang berpotensi merobek arteri arteri kecil maupun
besar disekitar tulang. Pada paha, arteri besar yang besar kemungkinan rupture
adalah arteri femoralis yang terletak di bagian depan os femur. Arteri ini terletak
superficial, sangat rentan cedera dan dapat menyebabkan kehilangan darah yang
sangat cepat. Pada tungkai bawah, arteri besar yang besar kemungkinan rupture
adalah arteri tibialis anterior atau posterior yang terletak di permukaan depan dan
belakang os tibia. Perdarahan yang terjadi menyebabkan berkurangnya volume
darah di sirkulasi yang kemudian membuat pasien jatuh dalam keadaan syok
hemoragik.
27
f. Bagaimana tatalaksana fraktur multiple disertai perdarahan aktif pada kasus?
Tatalaksana fraktur multiple yaitu imobilisasi fraktur. Tujuan imobilisasi fraktur
adalah meluruskan ekstrimitas yang cedera dalam posisi seanatomis mungkin dan
mencegah gerakan yang berlebihan pada daerah fraktur. Hal ini akan tercapai
dengan melakukan traksi untuk meluruskan ekstrimitas dan dipertahankan dengan
alat imobilisasi. Pemakaian bidai yang benar akan membantu menghentikan
pendarahan, mengurangi nyeri, dan mencegah kerusakan jaringan lunak lebih
lanjut. Imobilisasi harus mencakup sendi diatas dan di bawah fraktur.
28
Gambar 13. Cara melakukan imobilisasi ekstremitas bagian bawah
7. Template
a. Apa definisi syok?
Syok adalah sindrom gangguan perfusi dan oksigenasi sel secara menyeluruh
sehingga kebutuhan metabolisme jaringan tidak terpenuhi. Akibatnya, terjadi
gangguan fungsi sel atau jaringan atau organ, berupa gangguan kesadaran, fungsi
pernapasan, sistem pencernaan, perkemihan, serta sistem sirkulasi itu sendiri.
Sebagai respons terhadap menurunnya pasokan oksigen, metabolisme energi sel
akan berubah menjadi metabolisme anaerobik. Keadaan ini hanya dapat ditoleransi
tubuh untuk sementara waktu, dan jika berlanjut, timbul kerusakan nirpulih pada
jaringan organ vital yang dapat menyebabkan kematian. Syok bukanlah suatu
penyakit dan tidak selalu disertai kegagalan perfusi jaringan.
29
benda asing atau fraktur di bagian wajah. Usaha untuk membebaskan jalan nafas
harus memproteksi tulang cervikal, karena itu teknik Jaw Thrust dapat digunakan.
Pasien dengan gangguan kesadaran atau GCS kurang dari 8 biasanya memerlukan
pemasangan airway definitive.
B : Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita harus
menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi dari paru paru
yang baik, dinding dada dan diafragma. Beberapa sumber mengatakan pasien
dengan fraktur ektrimitas bawah yang signifikan sebaiknya diberi high flow oxygen
15 l/m lewat non-rebreathing mask dengan reservoir bag.
C : Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus diperhatikan di
sini adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac output. Pendarahan sering
menjadi permasalahan utama pada kasus patah tulang, terutama patah tulang
terbuka. Patah tulang femur dapat menyebabkan kehilangan darah dalam paha 3 – 4
unit darah dan membuat syok kelas III. Menghentikan pendarahan yang terbaik
adalah menggunakan penekanan langsung dan meninggikan lokasi atau ekstrimitas
yang mengalami pendarahan di atas level tubuh. Pemasangan bidai yang baik dapat
menurunkan pendarahan secara nyata dengan mengurangi gerakan dan
meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar patahan. Pada patah tulang terbuka,
penggunaan balut tekan steril umumnya dapat menghentikan pendarahan.
Penggantian cairan yang agresif merupakan hal penting disamping usaha
menghentikan pendarahan.
D : Disability. menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi singkat
terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran
dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera spina.
E : Exposure. pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring dengan cara
menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien. setelah pakaian dibuka penting
bahwa pasien diselimuti agar pasien tidak hipotermia.
Pemeriksaan tambahan pada pasien dengan trauma muskuloskeletal seperti fraktur
adalah imobilisasi patah tulang dan pemeriksaan radiologi.
Imobilisasi Fraktur
Tujuan Imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstrimitas yang cedera dalam posisi
seanatomis mungkin dan mencegah gerakan yang berlebihan pada daerah fraktur.
30
Hal ini akan tercapai dengan melakukan traksi untuk meluruskan ekstrimitas dan
dipertahankan dengan alat imobilisasi. Pemakaian bidai yang benar akan membantu
menghentikan pendarahan, mengurangi nyeri, dan mencegah kerusakan jaringan
lunak lebih lanjut. Imobilisasi harus mencakup sendi diatas dan di bawah fraktur.
Fraktur femur dilakukan imobilisasi sementara dengan traction splint. Traction
splint menarik bagian distal dari pergelangan kaki atau melalui kulit. Di proksimal
traction splint didorong ke pangkal paha melalui ring yang menekan bokong,
perineum dan pangkal paha. Cara paling sederhana dalam membidai tungkai yang
trauma adalah dengan tungkai sebelahnya. pada cedera lutut pemakaian long leg
splint atau gips dapat membantu kenyamanan dan stabilitas. Tungkai tidak boleh
dilakukan imobilisasi dalam ekstensi penuh. Fraktur tibia sebaiknya dilakukan
imobilisasi dengan cardboard atau metal gutter, long leg splint. jika tersedia dapat
dipasang gips dengan imobilisasi meliputi tungkai bawah, lutut, dan pergelangan
kaki.
Survey Sekunder
Survey sekunder adalah pemeriksaan secara rinci, evaluasi head-to-toe untuk
mengidentifikasi semua cedera yang tidak dijumpai di primary survey. Ini terjadi
setelah survei primer selesai, jika pasien cukup stabil dan tidak membutuhkan
perawatan definitif. Pentingnya survey sekunder adalah bahwa luka ringan dapat
ditemukan selama survei primer dan resusitasi, tapi menyebabkan jangka panjang
morbiditas jika diabaikan, misalnya dislokasi sendi kecil.
Bagian dari survey sekunder pada pasien cedera muskuloskeletal adalah anamnesis
dan pemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder adalah mencari cedera - cedera
lain yang mungkin terjadi pada pasien sehingga tidak satupun terlewatkan dan tidak
terobati.
Apabila pasien sadar dan dapat berbicara maka kita harus mengambil riwayat
AMPLE dari pasien, yaitu Allergies, Medication, Past Medical History, Last Ate
dan Event (kejadian atau mekanisme kecelakaan). Mekanisme kecelakaan penting
untuk ditanyakan untuk mengetahui dan memperkirakan cedera apa yang dimiliki
oleh pasien, terutama jika kita masih curiga ada cedera yang belum diketahui saat
primary survey, Selain riwayat AMPLE, penting juga untuk mencari informasi
mengenai penanganan sebelum pasien sampai di rumah sakit.
31
Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting untuk dievaluasi adalah
(1) kulit yang melindungi pasien dari kehilangan cairan dan infeksi, (2) fungsi
neuromuskular (3) status sirkulasi, (4) integritas ligamentum dan tulang. Cara
pemeriksaannya dapat dilakukan dengan Look, Feel, Move. Pada Look, kita
menilai warna dan perfusi, luka, deformitas, pembengkakan, dan memar. Penilaian
inspeksi dalam tubuh perlu dilakukan untuk menemukan pendarahan eksternal
aktif, begitu pula dengan bagian punggung. Bagian distal tubuh yang pucat dan
tanpa pulsasi menandakan adanya gangguan vaskularisasi. Ekstremitas yang
bengkak pada daerah yang berotot menunjukkan adanya crush injury dengan
ancaman sindroma kompartemen. Pada pemerikasaan Feel, kita menggunakan
palpasi untuk memeriksa daerah nyeri tekan, fungsi neurologi, dan krepitasi. Pada
periksaan Move, kita memeriksa Range of Motion dan gerakan abnormal.
Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara meraba pulsasi bagian distal dari
fraktur dan juga memeriksa capillary refill pada ujung jari kemudian
membandingkan sisi yang sakit dengan sisi yang sehat. Jika hipotensi mempersulit
pemeriksaan pulsasi, dapat digunakan alat Doppler yang dapat mendeteksi aliran
darah di ekstremitas. Pada pasien dengan hemodinamik yang normal, perbedaan
besarnya denyut nadi, dingin, pucat, parestesi dan adanya gangguan motorik
menunjukkan trauma arteri. Selain itu hematoma yang membesar atau pendarahan
yang memancar dari luka terbuka menunjukkan adanya trauma arteri.
Pemeriksaan neurologi juga penting untuk dilakukan mengingat cedera
muskuloskeletal juga dapat menyebabkan cedera serabut syaraf dan iskemia sel
syaraf. Pemeriksaan fungsi syaraf memerlukan kerja sama pasien. Setiap syaraf
perifer yang besar fungsi motoris dan sensorisnya perlu diperiksa secara sistematik.
Survey Tersier
Pemeriksaan laboratorium berupa analisis Complete Blood Count (CBC), kadar
elektrolit (Na, K, Cl, HCO3, BUN, kreatinin, kadar glukosa), analisis gas darah,
prothrombin time, urinalisis (pada pasien yang mengalami trauma). Selain itu,
sebaiknya ditentukan golongan darah guna trnasfusi.
Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk melihat lokasi fraktur tulang panjang dan
menentukan tindakan yang harus dilakukan untuk tatalaksana fraktur pada kasus.
32
c. Apa saja klasifikasi syok?
1. Syok hipovolemik
Syok hipovolemik adalah syok yang terjadi akibat berkurangnya atau penurunan
volume cairan dalam tubuh. Jenis syok ini adalah yang paling sering ditemui
pada penderita. Cairan yang hilang bisa bermacam-macam, seperti :
- Darah, misalnya pada perdarahan, hematoma
- Plasma, misalnya pada kasus luka bakar, keradangan
- Elektrolit (± air), seperti pada gastroentritis, ileus.
Kehilangan cairan intravaskuler bisa berupa eksogen atau endogen. Pada
kehilangan cairan yang eksogen cairan betul-betul keluar dari jaringan tubuh
seperti pada perdarahan atau kasus luka bakar. Sedangkan pada kehilangan
cairan endogen maka cairan betul-betul telah keluar dari intravaskuler tetapi
masih dalam jaringan atau rongga tubuh namun belum keluar dari tubuh sendiri.
Penyebab syok hipovolemik yang paling umum adalah perdarahan mukosa
saluran cerna dan trauma berat. Penyebab perdarahan yang terselubung adalah
trauma abdomen dengan ruptur aneurisma aorta, ruptur limpa atau ileus
obstruksi dan peritonitis.
Syok hipovolemik ditandai oleh :
- Penurunan volume cairan intra vaskuler
- Penurunan tekanan vena sentral
- Hipotensi arterial
- Peningkatan tahanan vaskular sistemik
Respon jantung berupa : takikardia
2. Syok Kardiogenik
Pada syok kardiogenik secara primer yang terganggu adalah fungsi jantung
sebagai pemompa darah (Pump failure). Syok kardiogenik merupakan suatu
aliran darah ke organ vital yang tidak mencukupi disebabkan karena cardiac
output yang kurang meskipun cardiac filling pressure normal.
Penyebab terjadinya syok kardiogenik dapat dikelompokkan sebagai berikut :
- Disfungsi miokardium (gagal pompa), terutama karena komplikasi infark
myokard akut (IMA).
33
- Pengisian diastolik ventrikel yang tidak adekuat, antara lain takiaritmia,
tamponade jantung, pneumotoraks akibat tekanan, emboli paru, dan infark
ventrikel kanan.
- Curah jantung yang tidak adekuat antara lain bradiaritmia, regurgitasi mitral
atau ruptur septum interventrikularis.
Tanda yang terdapat pada syok kardiogenik adalah :
- Penurunan tekanan darah
- Nadi yang lambat atau cepat atau tidak beraturan
- Peningkatan CVP
- Penurunan produksi urin
- Penurunan kardiak indeks
- PaO2 Menurun
- Produksi laktat meningkat
3. Syok Obstruktif
Pada syok obstruktif ini didapatkan adanya gangguan anatomis dari aliran d arah
berupa hambatan aliran darah.
Biasanya penyebab dari syok jenis ini adalah :
- Kompresi vena cava
- Tamponade
- Ball – valve trombus
- Emboli paru
4. Syok Distributif
Merupakan gangguan distribusi aliran darah. Ada beberapa tahapan :
- Pada stadium dini dari bakteriemia, cardiac output meningkat namun terdapat
tanda-tanda penurunan ekstraksi oksigen. Pada tahap ini terdapat Low
Resistance Defect (tahap hiperdinamik/warm shock). Pada keadaan ini
kecepatan aliran darah meningkat sehingga waktu sirkulasi menurun.
- Pada tahap lanjut, setelah pelepasan endotoksin terja di tahap High Resistance
Defect (tahap hipodinamik/cold shock). Pada keadaan ini cardiac output
menurun, tahanan arterial perifer meningkat, sehingga kecepatan aliran darah
menurun dan waktu sirkulasi menjadi meningkat. Pemberian cairan dalam
34
jumlah banyak biasanya gagal, karena pengembangan dari system kapasitansi
dan sekuestrasi cairan.
Jenis syok lainnya yang termasuk syok distributif:
Syok Anafilaktik
Syok anafilaktik adalah reaksi anafilaksis yang disertai hipotensi dengan atau
tanpa penurunan kesadaran. Anafilaksis adalah reaksi alergi umum dengan
efek pada beberapa sistem organ terutama kardiovaskular, respirasi, kutan
dan gastro intestinal yang merupakan reaksi imunologis yang didahului
dengan terpaparnya alergen yang sebelumnya sudah tersensitisasi. Reaksi
Anafilaktoid adalah suatu reaksi anafilaksis yang terjadi tanpa melibatkan
antigen-antibodi kompleks. Karena kemiripan gejala dan tanda biasanya
diterapi sebagai anafilaksis. Anafilaksis dikelompokkan dalam
hipersensitivitas tipe 1 atau reaksi tipe segera (Immediate type reaction).
Syok Septik
Pada umumnya penyebab syok septik adalah infeksi kuman gram negatif
yang berada dalam darah (endotoksin). Jamur dan jenis bakteri lain juga dapat
menjadi penyebab septisemia. Ada beberapa faktor predisposisi terjadinya
syok septik antara lain : trauma, diabetes, leukemia, granulositopenia berat,
penyakit saluran kemih, terapi kortikosteroid, immunosupresan, atau radiasi.
Faktor pencetus yang umum meliputi tindakan bedah, manipulasi saluran
kemih, saluran empedu atau ginekologi.
Syok septik dapat menimbulkan adanya penimbunan cairan di sirkulasi
mikro, pembentukan pintasan arterio-venous dan penurunan tahapan vaskular
sistemik, kebocoran kapiler secara menyeluruh, depresi fungsi miokard,
semua hal tersebut diatas menyebabkan terjadinya syok septik yang ditandai
dengan hipovolemia dan hipotensi.
Syok Neurogenik
Syok jenis ini terjadi karena kegagalan pusat vasomotor sehingga terjadi
hipotensi dan penimbunan darah pada pembuluh tampung (capacitance
vessels). Syok neurogenik ini sangat jarang terjadi. Penyebab utamanya
adalah trauma medulla spinalis dengan quadriplegia atau paraplegia (syok
spinal). Syok neurogenik menyebabkan terjadinya kegagalan pusat
35
pengaturan vasomotor, sehingga terjadi iskemia jaringan menyeluruh
kemudian terjadi hipotensi dan menimbulkan gejala syok.
36
Kadar elektrolit dalam serum mungkin menunjukkan abnormalitas.
Produksi urin, mungkin <400ml/hari atau tidak ada sama sekali
Pulse oximetry, mungkin menunjukkan penurunan saturasi oksigen
AGDA, mungkin mengidentifikasikan adanya asidosis metabolik
Tes koagulasi, menunjukkan pemanjangan PT dan APTT
37
Gambar 15. Algoritma penatalaksanaan syok hemoragik
38
i. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi pada kasus?
Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus ini diantaranya adalah:
1. Kegagalan multi organ akibat penurunan aliran darah dan hipoksia jaringan
yang berkepanjangan.
2. Sindrom distress pernapasan dewasa akibat destruksi pertemuan alveolus
kapiler karena hipoksia.
3. DIC (Koagulasi intravascular diseminata) akibat hipoksia dan kematian
jaringan yang luas sehingga terjadi pengaktifan berlebihan jenjang koagulasi.
Beberapa kondisi kegawatdaruratan yang berkaitan dengan fraktur yang
mengancam nyawa
1. Pendarahan Arteri Besar
Trauma tajam maupun tumpul yang merusak sendi atau tulang di dekat arteri
mampu menghasilkan trauma arteri. Cedera ini dapat menimbulkan pendarahan
besar pada luka terbuka atau pendarahan di dalam jaringan lunak. Ekstrimitas
yang dingin, pucat, dan menghilangnya pulsasi ekstremitas menunjukkan
gangguan aliran darah arteri. Hematoma yang membesar dengan cepat,
menunjukkan adanya trauma vaskular. Cedera ini menjadi berbahaya apabila
kondisi hemodinamik pasien tidak stabil. Jika dicurigai adanya trauma arteri
besar maka harus dikonsultasikan segera ke dokter spesialis bedah. Pengelolaan
pendarahan arteri besar berupa tekanan langsung dan resusitasi cairan yang
agresif. Syok dapat terjadi akibat kurangnya volume darah akibat pendarahan
yang masif.
2. Crush Syndrome
Crush Syndrome atau Rhabdomyolysis adalah keadaan klinis yang disebabkan
oleh kerusakan otot, yang jika tidak ditangani akan menyebabkan kegagalan
ginjal akut. Kondisi ini terjadi akibat crush injury pada massa sejumlah otot,
yang tersering adalah paha dan betis. Keadaan ini disebabkan oleh gangguan
perfusi otot, iskemia, dan pelepasan mioglobin.
Patofisiologi crush syndrome dimulai dari adanya trauma ataupun etiologi lain
yang menyebabkan iskemia pada otot. Trauma otot yang luas seperti pada paha
dan tungkai oleh trauma tumpul merupakan salah satu penyebab tersering pada
crush syndrome. Crush syndrome biasanya sering terjadi saat bencana seperti
39
gempa bumi, teror bom dan lain-lain dimana otot dan bagian tubuh remuk
tertimpa oleh benda yang berat. Pada keadaan normalnya kadar myoglobin
plasma adalah sangat rendah (0 to 0.003 mg per dl). Apabila lebih dari 100 gram
otot skeletal telah rusak, kadar myoglobin melebihi kemampuan pengikatan
myoglobin dan akan mengganggu filtrasi glomerulus, menimbulkan obstruksi
pada tubulus ginjal dan menyebabkan gagal ginjal. Gejala yang timbul oleh
crush syndrome adalah rasa nyeri, kaku, kram, dan pembengkakan pada otot
yang terkena, diikuti oleh kelemahan serta kehilangan fungsi otot tersebut. Urin
yang berwarna seperti teh adalah gejala yang cukup khas karena dalam urin
terdapat myoglobin. Mendiagnosis crush syndrome sering terlewatkan saat
penyakit ini tidak dicurigai dari awal. Adapun komplikasinya adalah
hipovolemi, asidosis metabolik, hiperkalemia, Gagal Ginjal akut, dan DIC
( Disseminated Intravascular Coagulation).
3. Sindroma Kompartemen
Sindroma kompartemen dapat ditemukan pada tempat di mana otot dibatasi oleh
rongga fasia yang tertutup. Perlu diketahui bahwa kulit juga berfungsi sebagai
lapisan penahan. Daerah yang sering terkena adalah tungkai bawah, lengan
bawah, kaki, tangan, region glutea, dan paha. Iskemia dapat terjadi karena
peningkatan isi kompartemen akibat edema yang timbul akibat revaskularisasi
sekunder dari ekstrimitas yang iskemi atau karena penyusutan isi kompartemen
yang disebabkan tekanan dari luar misalkan balutan yang menekan.
Gejala dan tanda-tanda sindroma kompartemen adalah:
Nyeri bertambah dan khususnya meningkat dengan gerakan pasif yang
meregangkan otot bersangkutan
Parestesia daerah distribusi saraf perifer yang terkena, menurunnya sensasi
atau hilangnya fungsi dari saraf yang melewati kompartemen tersebut.
Asimetris pada daerah kompartemen
Kelumpuhan atau parese otot dan hilangnya pulsasi (disebabkan tekanan
kompartemen melebihi tekanan sistolik) merupakan tingkat lanjut dari sindroma
kompartemen. Diagnosis klinik didasari oleh riwayat trauma dan pemeriksaan
fisik.
40
Tekanan intra kompartemen melebihi 35 – 45 mmHg menyebabkan penurunan
aliran kapiler dan menimbulkankerusakan otot dan saraf karena anoksia.
Pengelolaan sindroma kompartemen meliputi pembukaan semua balutan yang
menekan, gips, dan bidai. Pasien harus diawasi dan diperiksa setiap 30 – 60
menit. Jika tidak terdapat perbaikan, perlu dilakukan fasciotomi.
41
IV. Learning I ssue
1. Fraktur
1.1 Pengertian Fraktur
Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi disintegritas tulang, penyebab
terbanyak adalah insiden kecelakaan, tetapi faktor lain seperti proses degeneratif
juga dapat berpengaruh terhadap kejadian fraktur.
Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang berupa retakan,
pengisutan ataupun patahan yang lengkap dengan fragmen tulang bergeser.
42
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit,
otot, dan neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur terbuka
derajat III terbagi atas:
i. Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun terdapat
laserasi luas/flap/avulsi atau fraktur segmental/sangat kominutif yang
disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran
luka.
ii. Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau
kontaminasi masif.
iii. Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa melihat
kerusakan jaringan lunak.
43
c) Oblik
Adalah fraktur yang memiliki patahan arahnya miring dimana garis patahnya
membentuk sudut terhadap tulang.
d) Segmental
Adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang, ada segmen tulang yang retak
dan ada yang terlepas menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai
darah.
e) Kominuta
Adalah fraktur yang mencakup beberapa fragmen, atau terputusnya keutuhan
jaringan dengan lebih dari dua fragmen tulang.
f) Greenstick
Adalah fraktur tidak sempurna atau garis patahnya tidak lengkap dimana
korteks tulang sebagian masih utuh demikian juga periosterum. Fraktur jenis
ini sering terjadi pada anak – anak.
g) Fraktur Impaksi
Adalah fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang ketiga yang
berada diantaranya, seperti pada satu vertebra dengan dua vertebra lainnya.
h) Fraktur Fissura
Adalah fraktur yang tidak disertai perubahan letak tulang yang berarti, fragmen
biasanya tetap di tempatnya setelah tindakan reduksi.
44
1.3 Fraktur Terbuka
Definisi Fraktur Terbuka
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan
atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan. Trauma
yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung dan trauma tidak
langsung. Dimana trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan
terjadi fraktur pada daerah tekanan. Trauma tidak langsung, apabila trauma
dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur, misalnya jatuh dengan
tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula, pada keadaan ini
biasanya jaringan lunak tetap utuh (Sjamsuhidajat, 2005).
Fraktur terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan
lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri sehingga timbul
komplikasi berupa infeksi. luka pada kulit dapat berupa tusukan tulang yang tajam
keluar menembus kulit atau dari luar oleh karena ter tembus misalnya oleh peluru atau
trauma langsung (chairuddin rasjad,2008).
Fraktur terbuka merupakan suatu keadaan darurat yang memerlukan
penanganan yang terstandar untuk mengurangi resiko infeksi. selain mencegah
infeksi juga diharapkan terjadi penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi anggota
gerak. beberapa hal yang penting untuk dilakukan dalam penanggulangan fraktur
terbuka yaitu operasi yang dilakukan dengan segera, secara hati-hati, debrideman
yang berulang-ulang, stabilisasi fraktur, penutupan kulit dan bone grafting yang dini
serta pemberian antibiotik yang adekuat (chairuddin rasjad,2008). Patah tulang
terbuka adalah patah tulang dimana fragmen tulang yang bersangkutan sedang atau
pernah berhubungan dunia luar (PDT ortopedi,2008)
45
Klasifikasi Fraktur Terbuka
Klasifikasi yang dianut adalah menurut Gustilo, Merkow dan Templeman (1990)
TIPE 1 Luka kecil kurang dr 1cm panjangnya, biasanya karena luka t usukan dari
fragmen tulang yang menembus kulit. terdapat sedikit kerusakan jaringan dan tidak
terdapat tanda2 trauma yang hebat pada jaringan lunak. fraktur yang terjadi biasanya
bersifat simple, transversal, oblik pendek atau sedikit komunitif.
TIPE 2 Laserasi kulit melebihi 1cm tetapi tidak ada kerusakan ja ringan yang hebat
atau avulsi kulit. terdapat kerusakan yang sedang dari jaringan dengan sedikit
kontaminasi fraktur.
TIPE 3 Terdapat kerusakan yang hebat dari jaringan lunak termasuk otot, kulit
dan struktur neurovaskuler dengan kontaminasi yang hebat. tipe ini biasanya di
sebabkan oleh karena trauma dengan kecepatan tinggi. Tipe 3 di bagi dalam 3
subtipe:
TIPE 3 a Jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah walaupun terdapat
laserasi yang hebat ataupun adanya flap. fraktur be rsifat segmental atau komunitif
yang hebat.
TIPE 3 b Fraktur di sertai dengan trauma yang hebat dengan kerusakan dan
kehilangan jaringan, terdapat pendorongan periost, tulang terbuka, kontaminasi
yang hebatserta fraktur komunitif yang hebat.
TIPE 3 c Fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan arteri yang
memerlukan perbaikan tanpa memperhatikan tingkat kerusakan jaringan lunak.
46
2. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang atau
organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen
3. Fraktur predisposisi, misalnya pada fraktur patologis
Pemeriksaan lokal
1. Inspeksi ( Look )
Bandingkan dengan bagian yang sehat
Perhatikan posisi anggota gerak
Keadaan umum penderita secara keseluruhan
Ekspresi wajah karena nyeri
Lidah kering atau basah
Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan
Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan fraktur
tertutup atau fraktur terbuka
Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa hari
Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan
Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organlain
Perhatikan kondisi mental penderita
Keadaan vaskularisasi
2. Palpasi ( Feel )
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh sangat
nyeri.
Temperatur setempat yang meningkat
Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh
kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-
hati
Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis,
arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang
terkena
Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal daerah
trauma , temperatur kulit
47
Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya
perbedaan panjang tungkai
3. Pergerakan ( Move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara aktif dan
pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma. Pada
pederita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga
uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat
menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.
4. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan motoris
serta gradasi kelelahan neurologis, yaitu neuropraksia, aksonotmesis atau
neurotmesis. Kelaianan saraf yang didapatkan harus dicatat dengan baik karena
dapat menimbulkan masalah asuransi dan tuntutan (klaim) penderita serta
merupakan patokan untuk pengobatan selanjutnya.
5. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi serta
ekstensi fraktur. Untuk menghindarkan nyeri serta kerusakan jaringan lunak
selanjutnya, maka sebaliknya kita mempergunakan bidai yang bersifat radiolusen
untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis.
48
Tahap-Tahap Pengobatan Fraktur Terbuka
1. pembersihan luka
pembersihan luka dilakukan dengan cara irigasi dengan cairan NaCl fisiologis
secara mekanis untuk mengeluarkan benda asing yang melekat.
2. eksisi jaringan yang mati dan tersangka mati (debridemen)
semua jaringan yang kehilangan vaskularisasinya merupakan daerah tempat
pembenihan bakteri sehingga diperlukan eksisi secara operasi pada kulit, jaringan
subkutaneus, lemak, fascia, otot dan fragmen2 yang lepas
3. pengobatan fraktur itu sendiri
fraktur dengan luka yang hebat memerlukan suatu fraksi skeletal atau reduksi
terbuka dengan fiksasi eksterna tulang. fraktur grade II dan III sebaiknya difiksasi
dengan fiksasi eksterna.
4. penutupan kulit
apabila fraktur terbuka diobati dalam waktu periode emas (6-7 jam mulai dari
terjadinya kecelakaan), maka sebaiknya kulit ditutup. hal ini dilakukan apabila
penutupan membuat kulit sangat tegang. dapat dilakukan split thickness skin-graft
serta pemasangan drainase isap untuk mencegah akumulasi darah dan ser um pada
luka yang dalam. luka dapat dibiarkan terbuka setelah beberapa hari tapi tidak
lebih dari 10 hari. kulit dapat ditutup kembali disebut delayed primary closure.
yang perlu mendapat perhatian adalah penutupan kulit tidak dipaksakan yang
mengakibatkan sehingga kulit menjadi tegang.
5. pemberian antibiotic
pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah infeksi. antibiotik diberikan
dalam dosis yang adekuat sebelum, pada saat dan sesuadah tindakan operasi
6. pencegahan tetanus
semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan pencegahan tet anus. pada
penderita yang telah mendapat imunisasi aktif cukup dengan pemberian toksoid
tapi bagi yang belum, dapat diberikan 250 unit tetanus imunoglobulin (manusia)
49
3. tetanus
4. gangrene
5. perdarahan sekunder
6. osteomielitis kronik
7. delayed union
8. non union dan malunion
9. kekakuan sendi
10. Komplikasi lain oleh karena perawatan yang lama
2. Syok Hipovolemik/Hemoragik
2.1 Pendahuluan
Syok hipovolemik adalah syok yang terjadi akibat berkurangnya atau
penurunan volume cairan dalam tubuh. Jenis syok ini adalah yang paling sering
ditemui pada penderita. Cairan yang hilang bisa bermacam-macam, seperti :
- Darah, misalnya pada perdarahan, hematoma
- Plasma, misalnya pada kasus luka bakar, keradangan
- Elektrolit (± air), seperti pada gastroentritis, ileus.
Kehilangan cairan intravaskuler bisa berupa eksogen atau endogen. Pada
kehilangan cairan yang eksogen cairan betul-betul keluar dari jaringan tubuh
seperti pada perdarahan atau kasus luka bakar. Sedangkan pada kehilangan cairan
50
endogen maka cairan betul-betul telah keluar dari intravaskuler tetapi masih dalam
jaringan atau rongga tubuh namun belum keluar dari tubuh sendiri.
Penyebab syok hipovolemik yang paling umum adalah perdarahan mukosa
saluran cerna dan trauma berat. Penyebab perdarahan yang terselubung adalah
trauma abdomen dengan ruptur aneurisma aorta, ruptur limpa atau ileus obstruksi
dan peritonitis.
Syok hipovolemik ditandai oleh :
- Penurunan volume cairan intra vaskuler
- Penurunan tekanan vena sentral
- Hipotensi arterial
- Peningkatan tahanan vaskular sistemik
2.2 Patofisiologi
Respon dini terhadap kehilangan darah adalah mekanisme kompensasi tubuh
yang berupa vasokonstriksi di kulit, otot, dan sirkulasi viseral untuk menjaga aliran
darah yang cukup ke ginjal, jantung, dan otak. Respon terhadap berkurangnya
volume sirkulasi akut yang berkaitan dengan trauma adalah peningkatan detak
jantung sebagai usaha untuk menjaga cardiac output . Dalam banyak kasus, takikardi
adalah tanda syok paling awal yang dapat diukur.
Pelepasan katekolamin endogen akan meningkatkan tahanan vaskular perifer.
Hal ini akan meningkatkan tekanan darah diastolik dan menurunkan tekanan nadi
tetapi hanya sedikit meningkatkan perfusi organ. Hormon-hormon lainnya yang
bersifat vasoaktif dilepaskan ke sirkulasi selama kondisi syok, termasuk histamin,
bradikinin, dan sejumlah prostanoid dan sitokin-sitokin lainnya. Substansi-substansi
ini mempunyai pengaruh besar terhadap mikrosirkulasi dan permeabilitas vaskular.
Pada syok perdarahan yang dini, mekanisme pengembalian darah vena dilakukan
dengan mekanisme kompensasi dari kontraksi volume darah dalam sistem vena yang
tidak berperan dalam pengaturan tekanan vena sistemik. Namun kompensasi
mekanisme ini terbatas. Metode yang paling efektif dalam mengembalikan cardiac
output dan perfusi end-organ adalah dengan menambah volume cairan tubuh/darah.
Pada tingkat selular, sel-sel dengan perfusi dan oksigenasi yang tidak memadai
mengalami kekurangan substrat esensial yang diperlukan untuk proses metabolisme
51
aerobik normal dan produksi energi. Pada tahap awal, terjadi kompensasi dengan
proses pergantian menjadi metabolisme anaerobik yang mengakibatkan
pembentukan asam laktat dan berkembang menjadi asidosis metabolik. Bila syok
berkepanjangan dan pengaliran substrat esensial untuk pembentukan ATP tidak
memadai, maka membran sel akan kehilangan kemampuan untuk mempertahankan
kekuatannya dan gradien elektrik normal pun akan hilang.
Pembengkakan retikulum endoplasma adalah tanda struktural pertama dari
hipoksia seluler, menyusul segera kerusakan mitokondria, robeknya lisosom, dan
lepasnya enzim-enzim yang mencerna elemen-elemen struktur intraseluler lainnya.
Natrium dan air masuk ke dalam sel dan terjadilah pembengkakan sel.
Penumpukan kalium intraseluler juga terjadi. Bila proses ini tidak membaik, maka
akan terjadi kerusakan seluler yang progresif, penambahan pembengkakan jaringan,
dan kematian sel. Proses ini meningkatkan dampak kehilangan darah dan hipoperfusi
jaringan.
2.3 Diagnosis
Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat nonperdarahan
serta perdarahan adalah sama meskipun ada sedikit perbedaan dalam kecepatan
timbulnya syok. Gejala klinis pada suatu perdarahan bisa belum terlihat jika
kekurangan darah kurang dari 10% dari total volume darah karena pada saat ini masih
dapat dikompensasi oleh tubuh. Bila perdarahan terus berlangsung maka tubuh tidak
mampu lagi mengkompensasinya dan menimbulkan gejala-gejala klinis. Secara
umum, syok hipovolemik menimbulkan gejala peningkatan frekuensi jantung dan
nadi (takikardi), pengisian nadi yang lemah, kulit dingin dengan turgor yang jelek,
ujung-ujung ekstremitas dingin, dan pengisian kapiler lambat. Keparahan dari syok
hipovolemik tidak hanya tergantung pada jumlah kehilangan volume dan kecepatan
kehilangan volume, tetapi juga usia dan status kesehatan individu sebelumnya.
Secara klinis, syok hipovolemik diklasifikasikan menjadi ringan, sedang dan berat.
Pada syok ringan, yaitu kehilangan volume darah 20%, vasokonstriksi dimulai dan
distribusi aliran darah mulai terhambat. Pada syok sedang, yaitu kehilangan volume
darah 20-40%, terjadi penurunan perfusi ke beberapa organ seperti ginjal, limpa, dan
52
pankreas. Pada syok berat, dengan kehilangan volume darah lebih dari 40%, terjadi
penurunan perfusi ke otak dan jantung.
2.4 Tatalaksana
Penatalaksanaan awal pada syok hipovolemik meliputi penilaian ABC, yaitu
pada airway dan breathing , pastikan jalan napas paten dengan ventilasi dan
oksigenasi yang adekuat. Pemberian oksigen tambahan dapat diberikan untuk
mempertahankan saturasi oksigen di atas 95%. Pada circulation, hal utama yang
perlu diperhatikan adalah kontrol perdarahan yang terlihat, lakukan akses intravena,
dan nilai perfusi jaringan.
Akses intravena dilakukan dengan memasang 2 kateter intravena ukuran besar
(minimal nomor 16) pada vena perifer. Lokasi terbaik untuk intravena perifer pada
orang dewasa adalah vena di lengan bawah atau kubiti. Namun, bila keadaan tidak
memungkinkan pada pembuluh darah perifer, maka dapat digunakan pembuluh darah
sentral. Bila kaketer intravena sudah terpasang, contoh darah diambil untuk
pemeriksaan golongan darah dan crossmatch, pemeriksaan laboratorium yang sesuai,
dan tes kehamilan pada semua wanita usia subur. Setelah akses intravena terpasang,
selanjutnya dilakukan resusitasi cairan. Tujuan resusitasi cairan adalah untuk
mengganti volume darah yang hilang dan mengembalikan perfusi organ. Tahap awal
terapi dilakukan dengan memberikan bolus cairan secepatnya. Dosis umumnya 1-2
liter untuk dewasa. Cairan resusitasi yang digunakan adalah cairan isotonik NaCl
0,9% atau Ringer Laktat. Pemberian cairan terus dilanjutkan bersamaan dengan
pemantauan tanda vital dan hemodinamik.
Jumlah darah dan cairan yang diperlukan untuk resusitasi sulit diprediksi dalam
evaluasi awal pasien. Adalah sangat penting untuk menilai respon pasien terhadap
resusitasi cairan dengan adanya bukti perfusi dan oksigenasi yang adekuat, yaitu
produksi urin, tingkat kesadaran, dan perfusi perifer serta kembalinya tekanan darah
yang normal. Jika setelah pemberian cairan tidak terjadi perbaikan tanda-tanda
hemodinamik, maka dapat dipersiapkan untuk memberi transfusi darah (Harisman,
2013). Tujuan utama transfusi darah adalah untuk mengembalikan kapasitas angkut
oksigen di dalam intravaskular. Untuk melakukan transfusi, harus didasari dengan
jumlah kehilangan perdarahan, kemampuan kompensasi pasien, dan ketersediaan
53
darah. Jika pasien sampai di IGD dengan derajat s yok yang berat dan golongan darah
spesifik tidak tersedia, maka dapat diberikan tranfusi darah dengan golongan O.
Golongan darah spesifik biasanya dapat tersedia dalam waktu 10-15 menit.
Evaluasi harus dilakukan untuk melihat perbaikan pasien syok hipovolemik.
Jumlah produksi urin merupakan indikator yang cukup sensitif dari perfusi ginjal
karena menandakan aliran darah ke ginjal yang adekuat. Jumlah produksi urin yang
normal sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa. Defisit basa juga dapat
digunakan untuk evaluasi resusitasi, prediksi morbiditas serta mortalit as pada pasien
syok hipovolemik.
54
V. Kerangka Konsep
55
VI. Sintesis
56
BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan
Tn. X, kisaran 27 tahun, mengalami syok hemoragik derajat III yang disertai dengan
cedera kepala sedang, trauma tumpul abdomen, fraktur terbuka os humerus sinistra,
fraktur terbuka os femur sinistra, dan fraktur terbuka os cruris sinistra.
57
DAFTAR PUSTAKA
Antou, Stefie. 2013. Manfaat Helm dalam Mencegah Kematian Akibat Cedera Kepala
pada Kecelakaan Lalu Lintas. Universitas Sam Ratulangi Manado.
(https://ejournal.unsrat.ac.id). Diakses tanggal 10 Oktober 2017.
Ario, D. 2011. Journal of Emergency : Syok Perdarahan Berat. Vol 1: 1(23). (diakses di
http://journal.unair.ac.id) pada tanggal 9 Oktober 2017.
Collins, J.-A., Rudenski, A., Gibson, J., Howa rd, L., O’Driscoll, R., 2015. Relating
oxygen partial pressure, saturation and content: the haemoglobin – oxygen
dissociation curve.
de Jong, Wim dalam Sjamsuhidayat (Editor). 2016. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 4.
Jakarta: EGC.
Dewi, E. 2017. Kegawatdaruratan Syok Hemorragik. (diakses di
http://journals.ums.ac.id) pada tanggal 9 Oktober 2017.
Dugdale, David C. 2009. Capillary Nail Test. Medlineplus. diakses di
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus pada 10 Oktober 2017.
Hardisman, T. 2013. Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok Hemorragik. Jurnal Kesehatan
Andalas. 11: 2(3).
Heryanto, Y. 2003. Syok Hemorragik. diakses di www.ejournal.unesa.ac.id pada tanggal
10 Oktober 2017.
Judi Marcin, MD. 2016. Hypovolemic Shock.
Klabunde, Richard D., The Pathophysiology of Hemorrhagic Shock. (2015). Departement
of Biomedical Sciences
McSwain & Frame (2003). PHTLS, Basic and advanced prehospital trauma li fe support.
5th Ed. USA: Mosby.
O'Connor PG. 2016. Alcohol use disorders. In: Goldman L, Schafer AI, eds. Goldman's
Cecil Medicine. 25th ed. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders.
Price, A. Sylvia, Lorraine Mc. Carty Wilson, 2006, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses -
proses Penyakit, Edisi 6, (terjemahan), Peter Anugrah, EGC, Jakarta.
Parahita, Putu S & Kurniyanta, Putu. 2013. Penatalaksanaan Kegawatdaruratan Pada
Cedera Fraktur Ekstrimitas. Bagian/SMF Ilmu Anastesi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar.
Parillo JE, Dellnger RP. 2008. Critical Care Medicine: Principle and Management in the
Adult. 3rd Edition.p.499.Copyright Elsevier.
Patria, Y. N. Dan Fairuz, M. 2012. Terapi Oksigen Aplikasi Klinis. EGC: Jakarta.
Privette, A. R. and Dicker, R. A. 2013. Recognition of Hypovolemic Shock: Using Base
Deficit to Think Outside of The ATLS Box. Critical Care. 17: 124.
Raharjo, Sri. 2013. Syok dan Penatalaksanaan Terapi Cairan.
https://clinicalupdates2011.files diakses 10 Oktober 2017.
58