Anda di halaman 1dari 17

2.

3 Candida albicans

Candida albicans adalah spesies Candida yang paling umum ditemukan

di dalam rongga mulut. Candida merupakan mikroflora normal pada rongga

mulut
dengan persentasi rata-rata 40%, tetapi tidak semua manusia adalah Candida carrier.

Candida albicans merupakan mikroorganisme oportunistik pada tubuh manusia

karena pada keadaan tertentu Candida albicans mampu menyebabkan infeksi

dan kerusakan jaringan. Mikroorganisme oportunistik adalah mikroorganisme yang

pada keadaan normal tidak menyebabkan penyakit atau infeksi, tetapi dapat

menyebabkan penyakit atau infeksi jika sistem kekebalan tubuh buruk.

Candida albicans membutuhkan “kesempatan" untuk menyebabkan terjadinya

peenyakit atau infeksi tersebut. Infeksi Candida albicans memberikan gambaran

berupa lesi berwarna merah, bengkak dan menimbulkan rasa sakit pada permukaan

mukosa rongga mulut, lesi ini dikenal dengan denture stomatitis. Candida albicans

dapat tumbuh pada suhu

37ºC dalam kondisi aerob dan anaerob. Gambaran makroskopis koloni Candida

albicans berwarna krem, agak mengkilat, dan halus. Pada kondisi anaerob Candida

albicans mempunyai waktu generasi yang lebih panjang yaitu 248 menit

dibandingkan dengan kondisi pertumbuhan aerob yang hanya 98 menit. Candida

albicans tumbuh baik pada media padat tetapi kecepatan pertumbuhan lebih tinggi

pada media cair pada suhu 37ºC. Pertumbuhan juga lebih cepat pada kondisi

asam dibandingkan dengan pH normal atau alkali. Pada media Potato Dextrose

Agar (PDA) Candida albicans berbentuk bulat atau oval yang biasa disebut dengan

bentuk mikroskopis berupa khamir dengan ukuran 3,5 - 6 x6-10 µm (Gambar

1) (Banting dkk. 2001; Bhat V dkk. 2013; Kotrakulji 2008).


Gambar 2.1. Candida albicans pada Media Potato Dextrose Agar
Sumber : Maller US, Karthik KS, Maller SV. Candidiasis in
denture wearers – A literature review. JIADS 2010; 1(1)

2.3.1 Lapisan Biofilm pada Candida albicans

Kemampuan suatu mikroorganisme untuk mempengaruhi

lingkungannya tergantung pada kemampuan untuk membentuk suatu komunitas.

Candida albicans membentuk komunitasnya dengan membentuk ikatan koloni

yang disebut biofilm, sebagai pelindung sehingga mikroba yang membentuk biofilm

biasanya mempunyai resistensi terhadap antimikroba biasa atau menghindar dari

sistem kekebalan sel inang. Secara struktur, biofilm terbentuk dari dua lapisan

yaitu lapisan basal yang tipis berupa lapisan khamir dan lapisan luar yaitu lapisan

hifa yang lebih tebal tetapi lebih renggang (Cenci dkk. 2008; Banting dkk. 2001)

Candida albicans merupakan jamur dimorfik karena kemampuannya

untuk tumbuh dalam dua bentuk yang berbeda yaitu sebagai sel tunas

yang akan berkembang menjadi balstospora dan menghasilkan yeast yang akan

membentuk pseudohifa. Keberadaan pseudohifa pada Candida albicans yang

ditemukan
merupakan indikator infeksi Candida. Hifa atau pseudohifa sering ditemukan sering

ditemukan pada pasien denture stomatitis daripada pasien yang

menggunakan gigitiruan tanpa denture stomatitis (Afrina 2007).

Berkembangnya biofilm biasanya seiring dengan bertambahnya infeksi klinis

pada sel inang sehingga biofilm ini dapat menjadi salah satu faktor virulensi

dan resistensi. Pembentukan biofilm dapat dipacu dengan keberadaan serum dan

saliva dalam lingkungannya. Faktor lain yang mempengaruhi pembentukan

biofilm Candida albicans diantaranya adalah ketersediaan udara. Pada kondisi

anaerob, Candida albicans dapat membentuk hifa tetapi tidak mampu

membentuk biofilm (Cenci dkk. 2008; Banting dkk. 2001).

2.3.2 Mekanisme Infeksi Candida albicans pada Permukaan Sel

Tahap pertama dalam proses infeksi Candida albicans ke tubuh manusia (sel

inang) adalah perlekatan (adhesi). Kemampuan melekat pada sel inang

merupakan tahap penting dalam kolonisasi dan penyerangan (invasi) ke sel

inang. Bagian pertama dari Candida albicans yang berinteraksi dengan sel inang

adalah dinding sel. Mekanisme perlekatan sendiri sangat dipengaruhi oleh keadaan sel

tempat dinding sel Candida albicans melekat (misalnya sel epitelium). Perlekatan

dan kontak fisik antara Candida albicans dan sel inang selanjutnya mengaktivasi

mitogen activated protein kinase (Map-kinase) yang dibutuhkan untuk perkembangan

hifa dan lapisan biofilm Candida albicans.

Tahap setelah perlekatan adalah invasi yang ditandai dengan terjadinya

perubahan khamir ke bentuk hifa (filamen). Perubahan bentuk khamir ke hifa sangat
dipengaruhi oleh lingkungan mikro sel inang yang terdeteksi oleh Candida albicans

selama proses invasi. Hifa Candida albicans mempunyai kepekaan untuk menempel

sehingga membantu dalam proses infiltrasi pada permukaan epitel selama invasi

jaringan. Kemampuan untuk merubah morfologi merupakan faktor penting

dalam menentukan infeksi dan penyebaran Candida albicans pada jaringan inang

(Pintauli

2008). Candida albicans dapat melepaskan endoktoksin yang merusak mukosa mulut

dan menyebabkan terjadinya denture stomatitis. Denture stomatitis adalah inflamasi

pada mukosa mulut dengan bentuk utamanya atropik dengan lesi hiperplastik.

Faktor etiologi terjadinya denture stomatitis adalah multifaktorial, antara lain

Candida albicans sebagai agen etiologi primer, diikuti dengan plak,

trauma, pemakaian gigitiruan secara terus-menerus, oral hygene yang buruk, diet yang

tidak memadai, penggunaan antibiotik, dan kondisi sistemik. Faktor etiologi

denture stomatitis terbagi atas dua faktor yaitu faktor utama dan faktor

predisposisi (Campanha 2013).

Faktor utama yang dapat menyebabkan terjadinya denture stomatitis adalah:

1. Faktor gigitiruan

Denture stomatitis tidak akan terjadi tanpa adanya gigitiruan. Pemakaian

gigitiruan secara terus-menerus serta kebersihan gigitiruan yang tidak

adekuat menghasilkan akumulasi plak pada permukaan gigitiruan, sehingga

terjadi infeksi pada mukosa yang berkontak langsung dengan gigitiruan, hal inilah

yang merupakan tempat pertumbuhan yang ideal untuk jamur dan

mikroorganisme lainnya. Denture stomatitis lebih sering terjadi pada rahang atas

daripada rahang bawah, karena pada rahang bawah terdapat banyak kelenjar

saliva mayor seperti kelenjar parotis,


submandibular, dan sublingualis, sehingga memberikan self cleansing effect serta

aktivitas antimikroorganisme yang lebih baik daripada rahang atas (Salermo

dkk.

2011).

2. Faktor infeksi

Faktor infeksi yang disebabkan gigitiruan dapat menghasilkan

sejumlah perubahan ekologi yang memfasilitasi akumulasi daripada

mikroorganisme dan jamur. Spesies Candida, terutama Candida albicans telah

diidentifikasi pada banyak pasien denture stomatitis. Pasien denture stomatitis

menunjukkan konsentrasi Candida albicans yang tinggi di dalam mulut daripada

individu sehat. Candida albicans merupakan agen penyebab yang paling utama

bagi terbentuknya denture stomatitis dan terjadi sedikitnya 50% pada pemakai

gigitiruan. Beberapa penelitian terdahulu telah menemukan bahwa Candida

albicans paling sering diisolasi dari permukaan gigitiruan yang berkontak ke

mukosa daripada mukosa yang terlibat itu sendiri. Keberadaan Candida albicans

akan mengubah lingkungan di rongga mulut bersamaan dengan faktor etiologi dan

predisposisi yang ada.

Faktor predisposisi denture stomatitis adalah (Campanha dkk. 2013):

1. Faktor sistemik yaitu umur, gangguan fungsi endokrin, malnutrisi,

neoplasia, gangguan imun, spektrum antibiotik yang luas.

2. Faktor lokal yaitu antimikroba dan topikal maupun kortikosteroid inhalasi,

diet tinggi karbohidrat, konsumsi tembakau dan alkohol, hiposalivasi, oral

hygene yang buruk, pemakaian gigitiruan pada malam hari.

Predisposisi gigitiruan pada infeksi dengan Candida albicans sebanyak 65%

pada orang tua yang memakai gigitiruan penuh pada rahang atas.
Pemakaian
gigitiruan menghasilkan lingkungan mikro yang kondusif bagi pertumbuhan Candida

dengan oksigen yang rendah, pH yang rendah dan lingkungan anaerob. Hal tersebut

meningkatkan perlekatan spesies Candida albicans pada akrilik, mengurangi

aliran saliva di bawah permukaan gigitiruan, gigitiruan yang tidak stabil dan oral

hyegene yang buruk.

Candida albicans dapat melakukan penetrasi pada resin akrilik dan

tumbuh pada permukaan gigitiruan sehingga dapat menginfeksi jaringan lunak.

Candida albicans dapat melepaskan endoktoksin yang merusak mukosa

mulut dan menyebabkan terjadinya denture stomatitis. Permukaan gigitiruan

mempunyai porositas memungkinkan terjadinya perlekatan mikroorganisme

dengan cara menembus gigitiruan dan perlekatan kimia terjadi pada permukaan

yang tidak rata. Pada permukaan yang tidak dipolis yang kontak dengan mukosa

merupakan tempat proliferasi bagi Candida albicans yang akan menyebabkan

terbentuknya plak. Plak pada gigitiruan mengandung lebih dari 1011

mikroorganisme per gram berat basah. Penelitian dengan menggunakan sinar dan

mikroskop elektron menunjukkan bahwa plak gigitiruan memiliki struktur yang sama

dengan plak gigi. Flora mikrobial dasar pada plak gigitiruan mirip dengan plak

gigi, tetapi pada plak gigitiruan memiliki jumlah Candida albicans lebih banyak.

Plak gigi mulai terbentuk sebagai tumpukan dan kolonisasi mikroorganisme pada

permukaan enamel dalam 3-4 jam sesudah gigi dibersihkan dan mencapai ketebalan

maksimal pada hari ke tiga puluh. Pada awal pembentukan plak, jenis

mikroorganisme gram positif, terutama Streptococcus paling banyak dijumpai. Setelah

itu, berbagai jenis mikroorganisme lainnya masuk ke plak gigi. Kebersihan rongga

mulut dan gigitiruan merupakan faktor lokal pertama dalam


perkembangan denture stomatitis, dibandingkan dengan faktor-faktor lain seperti

jumlah saliva, umur pasien, dan umur gigitiruan. Oleh karena itu desinfeksi gigitiruan

merupakan faktor penting yang harus dilakukan (Uludamar dkk. 2010).

Denture stomatitis memiliki gambaran klinis berupa eritema difus

dan pembengkakan mukosa pada permukaan mukosa yang berkontak dengan

gigitiruan. Tanda dan gejala pada denture stomatitis disertai dengan

perdarahan mukosa, pembengkakan, rasa terbakar, halitosis, perasaan tidak

nyaman, dan mulut kering. Denture stomatitis berhubungan dengan angular

selitis, atrofik glositis, kandidiasis pseudomembran akut, dan kandidiasis

hiperplastik kronis.

Denture stomatitis dibedakan menjadi tiga tipe berdasarkan klasifikasi

Newton, yaitu (Campanha dkk. 2013; Rao 2013):

1. Tipe 1 yaitu tahap inisial berupa ptechiae (bintik merah) terlokalisir atau

tersebar pada mukosa palatum (Gambar 2.2).

Gambar 2.2. Denture stomatitis tipe 1


Sumber : Rao PK. Ora candidiasis – A
review. Biological and Biomedical
Reports 2012; 2(2)

2. Tipe 2 yaitu terjadi eritema difus dan edema terbatas pada daerah

mukosa palatum yang ditutupi gigitiruan (tipe yang paling sering terjadi)

(Gambar 2.3)
Gambar 2.3. Denture stomatitis tipe 2
Sumber : Rao PK. Ora candidiasis
– A review. Biological and
Biomedical Reports, 2012; 2(2)

3. Tipe 3 yaitu hiperplasia papila dengan eritema difus (Gambar 2.4).

Gambar 2.4. Denture stomatitis tipe 3


Sumber : Rao PK. Ora candidiasis
– A review. Biological and
Biomedical Reports 2012; 2(2)

Perawatan denture stomatitis disesuaikan dengan faktor etiologinya.

Tujuan utama perawatan denture stomatitis adalah (Campanha dkk. 2013):

- Untuk mengidentifikasi dan mengeliminasi faktor pencetus terkait

- Untuk mencegah penyebaran secara sistemik

- Untuk mengeliminasi ketidaknyamanan


- Untuk menurunkan level infeksi Candida

Karena faktor etiologi denture stomatitis multifaktorial, sehingga perawatan denture

stomatitis juga semakin kompleks. Beberapa rencana perawatan dapat

digunakan, diantaranya yaitu (Cenci dkk. 2008):

- Memperbaiki gigitiruan yang menyebabkan trauma.

Gigitiruan yang tidak sesuai adalah faktor predisposisi terjadinya denture

stomatitis, sehingga memperbaiki adaptasi gigitiruan tersebut merupakan salah

satu penanganan denture stomatitis. Melepaskan gigitiruan pada malam hari

juga merupakan salah satu perawatan yang penting.

- Terapi antifungal.

Terapi antifungal berperan menghambat jalur (enzim, substrat) yang penting

dalam proses sintesis membran sel atau mengubah permeabilitas membran sel pada

sel Candida, dan juga dapat mengubah metabolisme RNA dan DNA atau akumulasi

peroksida intraselular yang memberikan efek toksik pada sel Candida. Pengaruh

antifungal agen tergantung pada konsentrasi, dan penerimaan mukosa terhadap

antifungal agen. Topikal antifungal agen mempunyai respons mukosa kurang

baik karena penghapusan topikal antifungal agen akan larut terlalu cepat oleh

aksi pembilasan dari saliva, dan harus diaplikasikan berulang sehingga pasien

terkadang kurang menaati prosedur tersebut, sedangkan sistemik antifungal juga

memiliki kekurangan seperti harga yang lebih mahal daripada topikal antifungal agen,

terdapat beberapa efek samping dan interaksi obat, serta medikasi sistemik akan

menyebabkan lebih banyak spesies yang resisten. Dari beberapa hasil penelitian

terdahulu, didapati
bahwa setelah pemberian terapi antifungal tidak lagi diberikan maka

denture stomatitis akan kambuh kembali.

- Oral hygiene yang baik

Prosedur pemeliharaan oral hygiene dapat dilakukan dengan cara

membersihkan rongga mulut dengan kain kasa steril yang sudah dibasahi dengan air,

berkumur dengan larutan antiseptik, menyikat mukosa rongga mulut dengan

sikat yang lembut.

- Desinfeksi gigitiruan

Prosedur desinfeksi gigitiruan yang tepat dapat merawat dan mencegah

denture stomatitis terjadi dan kambuh kembali. Metode desinfeksi gigitiruan

dapat dilakukan secara mekanis, kemis, serta kombinasi keduanya.

- Pembedahan

Pada kasus yang berat seperti tipe 3, dilakukan perawatan dengan pembedahan.

2.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Candida albicans

Candida albicans membentuk komunitasnya dengan membentuk

ikatan koloni yang disebut biofilm, sebagai pelindung sehingga mikroba yang

membentuk biofilm biasanya mempunyai resistensi terhadap antimikroba biasa atau

menghindar dari sistem kekebalan sel inang. Secara struktur, biofilm terbentuk

dari dua lapisan yaitu lapisan basal yang tipis berupa lapisan khamir dan lapisan luar

yaitu lapisan hifa yang lebih tebal tetapi lebih renggang. Berkembangnya biofilm

biasanya seiring dengan bertambahnya infeksi klinis pada sel inang sehingga

biofilm ini dapat menjadi salah satu faktor virulensi dan resistensi. Faktor-faktor

yang mempengaruhi
distribusi Candida albicans di rongga mulut adalah (Tjampakasari 2011; Campanha

2013):

1. Saliva

Gigitiruan yang dipasang di dalam rongga mulut akan berkontak dengan

saliva dan membentuk lapisan organik tipis yang disebut pelikel yang mengandung

protein yang dapat mengikat Candida albicans dan melekat pada

permukaan gigitiruan sehingga menyebabkan saliva pada pemakai gigitiruan tidak

dapat mengalir dengan baik.

2. pH

Jumlah Candida albicans pada pH normal (7,2-7,5) adalah kurang dari

100 koloni atau 300-500 mikroorganisme per milimeter saliva. Pemakaian

gigitiruan dapat menyebabkan pH antara permukaan gigitiruan yang berkontak

dengan mukosa bersifat lebih asam (pH 5,0-5,5) sehingga dapat meningkatkan

pertumbuhan Candida albicans dalam rongga mulut.

3. Adhesi

Faktor yang dapat menyebabkan meningkatnya Candida albicans dalam

rongga mulut karena penutupan mukosa oleh basis gigitiruan dapat mengurangi efek

desinfeksi saliva, sehingga sisa makanan menumpuk dan meningkatkan

prevalensi mikroorganisme.

4. Kebersihan rongga mulut dan gigitiruan

Kebersihan rongga mulut juga harus dipelihara selain kebersihan

gigitiruan. Pada pemakai gigitiruan, kebersihan gigitiruan harus adekuat,

karena Candida albicans paling banyak ditemukan pada plak yang terdapat di

gigitiruan resin akrilik.


Gigitiruan yang dipasang di rongga mulut, akan segera berkontak dengan

saliva. Gigitiruan kemudian akan mengabsorpsi sejumlah molekul saliva dan

membentuk lapisan organik tipis yang disebut pelikel. Selanjutnya pelikel ini

akan segera melapisi permukaan gigitiruan, dan salah satu bagian utama dari

pelikel adalah glikoprotein yang berperan sebagai tempat perlekatan dan kolonisasi

mikroorganisme dalam mulut dan melekat pada permukaan gigitiruan.

Mikroorganisme ini akan berkolonisasi dengan mikroorganisme lain dan

berkembang biak membentuk biofilm pada permukaan gigitiruan yang disebut plak,

sehingga sangat dianjurkan desinfeksi gigitiruan dan rongga mulut yang dapat

menyingkirkan plak secara menyeluruh.


Hifa adalah sel-sel penyusun tubuh jamur makroskopis memanjang membentuk
benang. Hifa merupakan struktur menyerupai benang yang terdiri dari atas
satu atau banyak sel yang dikelilingi dinding berbentuk pipa. Hifa ini
bercabang-cabang membentuk jaringan yang disebut miselium. Miselium
menyusun jalinan-jalinan membentuk tubuh buah. Pada beberapa jenis jamur,
hifa memiliki sekat-sekat antarsel yang disebut septa.

Fungsi hifa adalah untuk menyerap nutrisi dan sebagai alat reproduksi vegetatif
(membentuk alat pembiakan vegetatif berupa sporangium dan konidium).
Jamur merupakan organisme uniseluler maupun multiseluler umumnya
berbentuk hifa, hifa bercabang-cabang membentuk bangunan seperti
anyaman yang disebut miselium. Jenis hifa yang membangun tubuh jamur
multiseluler ada yang bersekat dan ada yang tidak bersekat (hifa coenositik).

Anda mungkin juga menyukai