Anda di halaman 1dari 31

STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SISA MAKANAN)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Berkat rahmat dan
karuniaNya, penulisan laporan mata kuliah “Manajemen Sistem Penyelenggaraan
Makanan Lanjut” dengan judul “Standar Pelayanan Minimal (Sisa Makanan)”
dapat diselesaikan. Laporan disusun sebagai bukti tertulis setiap selesai
melakukan praktikum.
Dalam penulisan laporan tentu ada beberapa pihak yang ikut berperan aktif
dalam merampungkan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini masih belum sempurna,
untuk itu kami harapkan kritik dan saran kearah yang membangun. Semoga
bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Jember, 25 April 2017

Penulis
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan yang memegang


peranan penting untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Fungsi dari
rumah sakit memberikan pelayanan yang sempurna, baik pencegahan maupun
pengobatan penyakit. Salah satu upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit adalah
pelayanan gizi. Saat inipelayanan gizi mulai dijadikan tolok ukur mutu pelayanan
di rumah sakit karena makanan merupakan kebutuhan dasar manusia dan sangat
dipercaya menjadi faktor pencegah dan membantu penyembuhan suatu penyakit.

Pelayanan makan pasien di rumah sakit bertujuan untuk mencukupi


kebutuhan zat-zat gizi pasien guna menunjang proses penyembuhan dan mencapai
status gizi optimal.Menurut Suharjo (1989) mengkonsumsi pangan berarti juga
mengkonsumsi zat gizinya. Salah satu faktor penyebab terjadinya kurang gizi
adalah kurangnya intake zat gizi essensial karena makanan yang dikonsumsi tidak
cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya. Bila keadaan ini terjadi pada penderita
yang dirawat di rumah sakit, selain akan menurunkan status gizi penderita, juga
akan memperpanjang hari rawat dan meningkatkan biaya perawatan. Berbagai
faktor penyebab kurang gizi pada pasien yang dirawat, diantaranya adalah asupan
zat gizi yang kurang karena kondisi pasien, hilangnya nafsu makan, faktor
ekonomi, defresi (faktor stress), kurangnya pengetahuan tentang penyakit dan
lama dirawat yang dapat menimbulkan kebosanan terhadap makanan yang
disajikan.

Ada beberapa faktor yang menentukan bagaimana seseorang memilih


makanan yaitu kesenangan dan ketidaksenangan, kebiasaan, daya beli serta
ketersediaan makanan, kepercayaan dan ketakhyulan, aktualisasi diri, faktor
agama serta psikologis dan yang paling akhir dan sering tidak dianggap penting,
pertimbangan gizi dan kesehatan (Hartono,2000).

Sisa makanan (waste) merupakan indikator penting dari pemanfaatan


sumber daya dan persepsi konsumen terhadap penyelenggaraan makanan
(Frakesetal,1986). Data Sisa Makanan umumnya digunakan untuk mengevaluasi
efektifitas program penyuluhan gizi, penyelenggaraan dan pelayanan makanan,
serta kecukupan konsumsi makanan pada kelompok atau perorangan.

1.2 Tujuan

Mahasiswa diharapkan mampu :


a. Mengetahui fungsi mengukur sisa makanan
b. Memilih metode pengukuran sisa makanan yang tepat
c. Mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi sisa makanan
d. Melakukan metode pengukuran sisa makanan

1.3 Rumusan Masalah

a. Apa yang dimaksud dengan sisa makanan ?


b. Bagaimana cara mengukur sisa makanan ?
c. Apa saja metode yang digunakan dalam pengukuran sisa makanan?
d. Apa saja faktor – faktor yang mempengaruhi sisa makanan ?
e. Apa fungsi dari pengukuran sisa makanan ?
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sisa Makanan

Sisa makanan (waste) yaitu bahan makanan yang hilang karena tidak dapat
diolah atau tercecer. Sisa pengolahan ataupun sisa makanan yang mudah
membusuk dalam ilmu kesehatan lingkungan disebut garbage. Sisa makanan di
piring (plate waste) adalah makanan yang disajikan kepada pasien, tetapi
meninggalkan sisa di piring karena tidak habis dikonsumsi dan dinyatakan dalam
persentase makanan yang disajikan (Djamaluddin, 2005). Pada penelitian ini, sisa
makanan yang dimaksud adalah sisa makanan di piring (plate waste) karena
berhubungan langsung dengan pasien sehingga dapat mengetahui dengan cepat
penerimaan makanan pasien di rumah sakit.

Sisa makanan dapat diketahui dengan menghitung selisih berat makanan


yang disajikan dengan berat makanan yang dihabiskan lalu dibagi berat makanan
yang disajikan dan diperlihatkan dalam persentase. Oleh karena itu sisa makanan
dapat dirumuskan :

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑖𝑠𝑎 𝑚𝑎𝑘𝑎𝑛𝑎𝑛


% sisa makanan = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑚𝑎𝑘𝑎𝑛𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑠𝑎𝑗𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑥 100%

Sisa makanan < 20% menjadi indikator keberhasilan pelayanan gizi di


rumah sakit di Indonesia (Depkes, 2008). Sedangkan Menurut (Renangtyas, 2004)
yang dikutip oleh Elizabet (2011) mengatakan bahwa sisa makanan dikatakan
tinggi atau banyak jika pasien meninggalkan makanan > 25% dan dalam waktu
yang lama akan menyebabkan defisiensi zat-zat gizi. Sisa makanan merupakan
dampak dari sistem pelayanan gizi di rumah sakit sehingga masalah terdapatnya
sisa makanan tidak dapat diabaikan karena bila masalah tersebut diperhitungkan
menjadi rupiah maka akan mengakibatkan suatu pemborosan anggaran makanan
(Sumiati, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Haerani (2013) di RSUP Dr Hasan Sadikin
Bandung pada bulan November dan Desember 2009 didapatkan informasi bahwa
rata-rata sisa makanan pasien dewasa sebesar 28,04% dengan rincian sisa
makanan biasa 13,09%.

2.2 Metode Pengukuran Sisa Makanan

Metode pengukuran sisa makanan yang digunakan harus disesuaikan


dengan tujuan dilakukannya menilai sisa makanan. Ada 3 jenis metode yang dapat
digunakan, yaitu :

a. Weight method/weight plate waste

Ini digunakan dengan tujuan mengetahui dengan akurat bagaimana intake


zat gizi dari seseorang. Metode ini digunakan dengan cara mengukur/menimbang
sisa makanan setiap jenis hidangan atau mengukur total sisa makanan pada
individu atau kelompok (Carr, 2001). Menimbang langsung sisa makanan yang
tertinggal di piring adalah metode yang paling akurat. Namun metode ini
mempunyai kelemahan yaitu memerlukan waktu yang banyak, peralatan khusus,
kerjasama yang baik dengan responden, dan petugas yang terlatih (Nuryati, 2008)
Pada metode penimbangan, petugas diharuskan untuk menimbang makanan yang
dikonsumsi oleh subyek selama waktu tertentu.

b. Recall/Self Reported Consumption

Metode ini digunakan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi dalam


24 jam tentang makanan yang dikonsumsi oleh seseorang (Carr, 2001).
Pengukuran menggunakan metode ini dengan cara menanyakan kepada responden
tentang banyaknya sisa makanan, kemudian responden menaksir sisa makanan
dengan menggunakan skala visual (Nuryati, 2008).
c. Visual method/Observational method

Salah satu cara yang dikembangkan untuk menilai konsumsi makanan


pasien adalah metode taksiran visual Comstock. Pada metode ini sisa makanan
diukur dengan cara menaksir secara visual banyaknya sisa makanan untuk setiap
jenis hidangan. Hasil taksiran ini bisa dinyatakan dalam gram atau dalam bentuk
skor bila menggunakan skala pengukuran (Nuryati, 2008).

Evaluasi sisa makanan menggunakan metode ini melihat makanan tersisa


di piring dan menilai jumlah yang tersisa, dan juga digambarkan dengan skala 5
poin. Cara tafsiran visual yaitu dengan menggunakan skala pengukuran yang
dikembangkan oleh Comstock yang dapat dilakukan dengan kriteria sebagai
berikut (Ratnaningrum, 2005).

1. Skala 0 : Dikonsumsi seluruhnya oleh pasien (habis dimakan)

2. Skala 1 : Tersisa ¼ porsi

3. Skala 2 : Tersisa ½ porsi

4. Skala 3 : Tersisa ¾ porsi

5. Skala 4 : Hanya dikonsumsi sedikit (1/9 porsi)

6. Skala 5 : Tidak dikonsumsi

Penilaian untuk skor diatas berlaku untuk setiap porsi masing-masing jenis
makanan (makanan pokok, sayuran, lauk). Setelah menetapkan skor, kemudian
skor tersebut dikonversikan ke dalam bentuk persen.

1. Skor 0 (0%) : Semua makanan habis

2. Skor 1 (25%) : 75% makanan dihabiskan

3. Skor 2 (50%) : 50% makanan dihabiskan

4. Skor 3 (75%) : 25% makanan dihabiskan


5. Skor 4 (95%) : 5% makanan dihabiskan

6. Skor 5 (100%) : Tidak dikonsumsi pasien

Menurut Comstock, metode tafsiran visual memiliki kelebihan dan


kekurangan. Kelebihannya yaitu mudah dilakukan, memerlukan waktu yang
singkat, tidak memerlukan alat yang banyak dan rumit, menghemat biaya, dan
dapat mengetahui sisa makanan menurut jenisnya. Sedangkan kekurangannya
yaitu diperlukan penaksir (estimator) yang terlatih, teliti, terampil, dan
memerlukan kemampuan dalam menaksir (over estimate). Metode ini efektif
tetapi bisa menyebabkan ketidaktelitian (NHS, 2005). Masalah subjektifitas
keandalan pengamat visual menjadi penting, namun metode ini telah diuji
validitasnya dengan membandingkan dengan penimbangan sisa makanan dan
memberikan hasil yang cukup baik (Williams and Walton, 2010).

Setelah itu hasilnya diasumsikan berdasarkan tafsiran visual Comstock


dengan kategori (Sumiyati, 2008)

a. Bersisa, jika jumlah sisa makanan >25%

b. Tidak bersisa, jika jumlah sisa makanan ≤ 25%

2.3 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Adanya Sisa Makanan

Faktor-faktor yang berhubungan dengan adanya sisa makanan terdiri dari


faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri pasien
sedangkan faktor eksternal berasal dari luar pasien (Moehyi, 1992).

a. Faktor Internal

Pasien yang dirawat dirumah sakit mengalami perubahan karena


memasuki lingkungan yang asing/berbeda dengan kebiasaan sehari-hari. Salah
satu perubahan yang terjadi yaitu perubahan makanan. Cara, tempat, dan waktu
makan yang disajikan di rumah sakit berbeda dengan makanan yang disajikan di
rumah. Semua perubahan yang terjadi dapat mempengaruhi mental sehingga
menghambat penyembuhan penyakit (Moehyi, 1992).

1) Kebiasaan makan

Kebiasaan makan pasien dapat mempengaruhi pasien dalam


menghabiskan makanan yang disajikan. Bila kebiasaan makan pasien sesuai
dengan makanan yang disajikan baik dalam hal susunan menu maupun besar
porsi, maka pasien cenderung dapat menghabiskan makanan yang disajikan.
Sebaiknya bila tidak sesuai dengan kebiasaan pasien, maka dibutuhkan waktu
untuk menyesuaikannya (Mukrie, 1990).

Kebiasaan makan adalah susunan jenis dan jumlah makanan yang


dikonsumsi seseorang atau kelompok orang dalam waktu tertentu. Susunan menu
meliputi bahan makanan pokok, lauk pauk (hewani dan nabati), sayur, dan buah
(Baliwati, 2004) Berdasarkan hasil penelitian Priyanto (2009) di RSUD kota
Semarang menyatakan bahwa perbedaan pola makan pada saat di rumah dan di
rumah sakit akan mempengaruhi daya terima pasien terhadap makanan. Bila pola
makan pasien tidak sesuai dengan yang disajikan di rumah sakit maka akan
mempengaruhi habis tidaknya makanan yang disajikan dirumah sakit. Faktor yang
mempengaruhi terjadinya sisa makanan pada pasien adalah pola makan pasien
terutama untuk susunan menu hidangan dan frekuensi makan (Adlisman, 1996).

b. Faktor Eksternal

1) Makanan dari Luar Rumah Sakit

Bila penilaian pasien terhadap mutu makanan dari rumah sakit kurang
memuaskan, kemungkinan pasien akan mengkonsumsi makanan dari luar rumah
sakit (Siswiyardi, 2005). Makanan yang dimakan oleh pasien yang berasal dari
luar rumah sakit akan berpengaruh terhadap terjadinya sisa makanan. Rasa lapar
yang tidak segera diatasi pada pasien yang sedang dalam perawatan dan
timbulnya rasa bosan karena mengkonsumsi makanan yang kurang bervariasi
menyebabkan pasien mencari makanan tambahan dari luar rumah sakit atau jajan.
Hal inilah yang menyebabkan kemungkinan besar makanan yang disajikan kepada
pasien tidak dihabiskan. Bila hal tersebut selalu terjadi maka makanan yang
diselenggarakan oleh pihak rumah sakit tidak dimakan sehingga mengakibatkan
sisa makanan (Moehyi, 1992).

2) Penampilan Makanan

Hasil penelitian yang dilakukan di RS di DKI Jakarta terhadap 797 pasien


yang penyakitnya tidak berat menyatakan 43,2% pasien menyatakan pendapatnya
terhadap mutu makanan yang disajikan kurang baik (meliputi aspek rupa, besar
porsi, rasa, keempukan, dan suhu makanan). Beberapa faktor yang berkaitan
dengan penampilan makanan yaitu:

a) Warna Makanan

Warna makanan adalah rupa hidangan yang disajikan dan dapat


memberikan penampilan lebih menarik terhadap makanan yang disajikan .
Kombinasi warna adalah hal yang sangat diperlukan dan membantu dalam
penerimaan suatu makanan dan secara tidak langsung dapat merangsang selera
makan, dimana makanan yang penuh warna mempunyai daya tarik untuk dilihat,
karena warna juga mempunyai dampak psikologis pada konsumen (Khan, 1987).
Berdasarkan hasil penelitian Aritonang (2011), terdapat 1,5% pasien menyatakan
tidak puas, 17,75% menyatakan kurang puas terhadap warna makanan.

b) Tekstur Makanan

Tekstur makanan adalah derajat kekerasan, kepadatan atau kekentalan.


Cair, kenyal, dan keras merupakan karakteristik dari konsistensi. Bermacam-
macam tekstur dalam makanan lebih menarik daripada hanya satu macam tekstur
(Spear dan Vaden, 1984). Makanan yang mempunyai tekstur padat atau kenyal
akan memberikan rangsang yang lebih lambat terhadap indera kita (Moehyi,
1992).

c) Bentuk Makanan

Bentuk makanan dapat juga digunakan untuk menimbulkan ketertarikan


dalam menu. Bentuk makanan yang serasi akan memberikan daya tarik tersendiri
bagi setiap makanan yang disajikan (Moehyi, 1992). Berdasarkan penelitian
Aritonang (2011) menyatakan penilaian pasien terhadap bentuk makanan 13,64%
pasien menyatakan kurang puas.

d) Porsi Makanan

Porsi makanan adalah banyaknya makanan yang disajikan, porsi untuk


setiap individu berbeda sesuai kebutuhan makan. Porsi yang terlalu besar atau
terlalu kecil akan mempengaruhi penampilan makanan. Porsi makanan juga
berkaitan dengan perencanaan dan perhitungan penampilan hidangan yang
disajikan (Muchatab, 1991). Berdasarkan penelitian Aritonang (2011) sebesar
16,3% pasien menyatakan kurang puas terhadap porsi makanan, terutama sayur
yang porsinya terlalu sedikit, sementara nasi terlalu banyak, sehingga pasien tidak
mampu menghabiskan.

e) Keempukan Makanan

Keempukan adalah hal yang berkaitan dengan struktur makanan yang


dirasakan dalam mulut. Gambarannya meliputi gurih, krispi, berserat, halus, keras
dan kenyal. Keempukan dan kerenyahan (krispi) ditentukan oleh mutu bahan
makanan yang digunakan dan cara memasaknya (Moehyi, 1992). f. Penyajian
Makanan Penyajian makanan adalah perlakuan terakhir dalam penyelenggaraan
makanan sebelum dikonsumsi. Penyajian makanan meliputi pemilihan alat, cara
penyususunan makanan, dan penghiasan hidangan. Penyajian makanan juga
merupakan faktor penentu dalam penampilan hidangan yang disajikan (Moehyi,
1992).

Berdasarkan penelitian Nuryati (2008) Penggunaan dan pemilihan alat


makan yang tepat dalam penyusunan makanan akan mempengaruhi penampilan
makanan yang disajikan dan terbatasnya perlengkapan alat merupakan faktor
penghambat bagi pasien untuh menghabiskan makanannya.

3) Rasa Makanan

Rasa makanan lebih banyak melibatkan penginderaan kecapan (lidah).


Penginderaan kecapan dapat dibagi menjadi kecapan utama yaitu asin, manis,
asam, dan pahit (Winarno, 1997). Mengkombinasikan berbagai rasa sangat
diperlukan dalam menciptakan keunikan sebuah menu. Jenis diit, penampilan dan
rasa makanan yang disajikan akan berdampak pada asupan makan. Variasi
makanan yang disajikan merupakan salah satu upaya untuk menghilangkan rasa
bosan. Orang sakit akan merasa bosan apabila menu yang dihidangkan tidak
menarik sehingga mengurangi nafsu makan. Akibatnya makanan yang dikonsumsi
sedikit atau asupan zat gizi berkurang (Lisdiana, 1998). Menurut Moehyi (1992)
rasa makanan adalah rasa yang ditimbulkan dari makanan yang disajikan dan
merupukan faktor kedua yang menentukan cita rasa makanan setelah penampilan
makanan itu sendiri. Adapun beberapa komponen yang berperan dalam penentuan
rasa makanan yaitu :

a) Aroma Makanan

Aroma Makanan adalah aroma yang disebarkan oleh makanan yang


mempunyai daya tarik yang sangat kuat dan mampu merangsang indera
penciuman sehingga mampu membangkitkan selera. Aroma yang dikeluarkan
oleh makanan berbeda-beda. Demikian pula cara memasak makanan yang berbeda
akan memberikan aroma yang berbeda pula (Moehyi, 1992 ). Menurut penelitian
Stanga et al (2002) pada dua rumah sakit di Swiss, pasien merasa bahwa suhu dan
aroma makanan sangat penting.

b) Bumbu Masakan

Berbagai macam rempah-rempah dapat digunakan sebagai bumbu


masakan untuk memberikan rasa pada makanan, misalnya cabai, bawang merah,
bawang putih, dan sebagainya. Bumbu masakan adalah bahan yang ditambahkan
dengan maksud untuk mendapatkan rasa yang enak dan khas dalam setiap
pemasakan. Dalam setiap resep masakan sudah ditentukan jenis bumbu yang
digunakan dan banyaknya masingmasing bumbu tersebut. Bau yang sedap dari
berbagai bumbu yang digunakan dapat membangkitkan selera makan karena
memberikan rasa makanan yang khas (Khan, 1987)

c) Tingkat Kematangan

Pada masakan khas Indonesia, tingkat kematangan belum mendapat


perhatian karena umumnya makanan Indonesia harus dimasak sampai benar-benar
matang. Bila dibandingkan dengan Eropa yang telah memiliki perbedaan tingkat
kematangan. Ada steak yang dimasak setengah matang, dan ada juga yang benar-
benar matang. Tingkat kematangan adalah mentah atau matangnya hasil
pemasakan pada setiap jenis bahan makanan yan dimasak dan makanan akan
mempunyai tingkat kematangan sendirisendiri (Muchatab, 1991). Tingkat
kematangan suatu makanan itu tentu saja mempengaruhi cita rasa makanan.

d) Temperatur Makanan

Temperatur makanan waktu disajikan mempunyai peranan dalam


penentuan cita rasa makanan. Namun makanan yang terlalu panas atau terlalu
dingin sangat mempengaruhi sensitifitas saraf pengecap terhadap rasa makanan
sehingga dapat mengurangi selera untuk memakannya (Moehyi, 1992).

Berdasarkan penelitian Euis (2007) menyatakan bahwa tidak puas


terhadap temperatur makanan. Untuk menjaga suhu makanan tetap hangat,
tentunya harus difasilitasi dengan kereta makanan yang dilengkapi alat pemanas,
sementara alat ini belum tersedia di Rumah Sakit tempat penelitian nya.

Tekstur, aroma, dan penampilan makanan bisa cepat membusuk ketika


suhu yang digunakan tidak tepat saat penyajiannya. Semua makanan panas harus
disajikan panas diatas 140°F dan semua makanan dingin harus disajikan dalam
keadaan dingin dibawah 45°F. Suhu penyajian harus ditetapkan dan dipertahankan
untuk semua bagian penyajian. Aturan dan prosedur yang jelas dibutuhkan untuk
memeriksa kualitas suhu dengan termometer selama proses penyajian dan
sebelum disajikan kepada pasien (Sullivan, 1990)
BAB 3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat :

3.1.1 Waktu : Kamis, 20 April 2017

3.1.2 Tempat : Lab. Dietetika

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat :

a. Timbangan makanan
b. Lembar taksiran visual sisa makanan
c. Piring
d. Mangkuk
e. Sendok

3.2.2 Bahan :

a. 2 porsi gado – gado


b. 2 porsi nasi pecel
c. 2 porsi soto
d. 2 porsi nasi campur
3.3 Prosedur Kerja

3.3.1 Metode Penimbangan Berat

a. Seporsi makanan yang sudah tersedia dipisahkan bagian – perbagian sehingga


terpisah antara Makanan Pokok, Lauk Hewani, Lauk Nabati, dan Sayurnya
b. Timbanglah masing – masing bahan baku dari gado – gado tersebut dan
catatlah berat awalnya
c. Kemudian satukan kembali menjadi satu dan campur menjadi gado – gado
seperti semula
d. Makananlah 3 sendok makanan tersebut
e. Ulangi langkah nomor 1 – 2 dan catalah berat akhirnya
f. Tentukan % sisa dengan membandingkan antara berat akhir dan berat awalnya

3.3.2 Metode Taksiran Visual

a. Seperti makanan yang sudah tersedia diamati dengan seksama bagian –


perbagiannya (Makanan Pokok, Lauk Hewani, Lauk Nabati, dan Sayurnya),
bila perlu dokumentasikan
b. Makanlah 3 sendok makanan tersebut
c. Amati porsi makanan yang tersisa dan catatlah pada form taksiran visual sisa
makanan
BAB 4. HASIL

4.1 Form Penentuan Sisa Makanan Dengan Penimbangan Berat

Menu Isi Berat Berat % sisa


awal (gr) akhir (gr)

Nasi campur

 MP :
Nasi nasi 178 172 96,62
Mie goreng Mie goreng 42 37 88,09
 LH:
Ayam goreng Ayam goreng 61 46 75,40
 LN:
Tahu Tahu goreng (bb 21 16 76,19
merah)
Tahu goreng (bb 26 21 80,76
kuning)
 Sayur Tahu 36 31 86,11
(tumis)
Cecek 13 11 84,61
Buncis 26 21 80,77
Wortel 9 9 100
Baby corn 13 9 69,23
Kembang kol 10 10 100
Cabe merah 3 3 100
Total 438 386 88,13
4.2 Lampiran Taksiran Visual Sisa Makanan

Waktu Menu

100% 95% 75% 50% 25% 5% 0%


MP :

Nasi 

Mie 
goreng
LH:

Ayam 
goreng
Cecek 

LN:

Tahu 

Sayur :

Tumis 
BAB 5. PEMBAHASAN

Berdasarkan praktikum standart pelayanan minimal sisa makanan dilakukan


dengan dua metode pengukuran yaitu metode penimbangan berat dan metode
taksiran visual. Menurut Connors & Rozell (2014) pada metode penimbangan
berat/fisik memiliki akurasi yang baik, tetapi memerlukan tenaga yang intensif
untuk menangani tempat makanan pasien dan mengukur sisanya. Sedangkan
metode taksiran digunakan untuk mengukur masing-masing sisa makanan dalam
satu siklus menu. Metode taksiran visual menghasilkan hasil yang cukup detil,
tidak mengganggu pelayanan makanan secara signifikan.metode penimbangan
memiliki korelasi yang kuat dengan penimbangan, sehingga taksiran visual dapat
digunakan untuk menentukan sisa makanan menggantikan metode penimbangan
(Murwani, 2001)

Menu yang digunakan pada praktikum yaitu 2 porsi nasi campur, 1 porsi
untuk metode penimbangan berat dan 1 porsi untuk metode taksiran visual.
Penentuan sisa makanan dengan penimbangan berat meliputi menu, isi, berat awal
(gram), berat akhir (gram) dan % sisa yang dihitung pembagian antara berat akhir
dengan berat awal dikalikan 100 %. Sedangkan pada metode taksiran visual sisa
makanan dengan memberi tanda centang pada kolom sisa makanan sesuai dengan
masakan yang dimakan yaitu makanan utuh (100%), termakan sesuap (95%),
termakan >1 suap (75%), termakan setengah porsi (50%), sisa > 1 suap (25%),
tersisa 1 suap (5%) dan makanan habis (0%).

Menu nasi campur terdiri dari makanan pokok yaitu nasi dan mie goreng,
lauk hewani yaitu ayam goreng dan kulit sapi, lauk nabati yaitu tahu dan sayur
yaitu buncis, wortel, baby corn dan kembang kol. Pada praktikum, dilakukan
perbandingan sisa makanan nasi campur antara metode penimbangan berat dengan
metode taksiran visual setelah masing- masing porsi dimakan 3 suap. Sisa nasi
pada metode penimbangan berat yaitu 96,62% sedangkan pada metode taksiran
visual yaitu 75% yang artinya termakan >1 suap. Dalam hal ini, sisa menu nasi
antara metode penimbangan berat dan metode taksiran visual tidak sesuai. Sisa
makanan pada menu kedua yaitu mie goreng dengan metode penimbangan berat
sebesar 88,09% sedangkan metode taksiran visual yaitu 75%. Sisa menu mie
goreng pada metode penimbangan berat dan metode taksiran visual menunjukkan
hasil yang tidak jauh berbeda karena lebih dari 1 suap. Sisa makanan pada menu
ketiga yaitu lauk hewani ayam goreng dengan metode penimbangan berat sebesar
75,4% sedangkan metode taksiran visual yaitu 95%. Dalam hal ini, sisa menu
ayam goreng antara metode penimbangan berat dan metode taksiran visual tidak
sesuai atau tidak sama. Pada menu keempat yaitu kulit sapi, sisa makanan kulit
sapi pada metode penimbangan berat yaitu 84,61% sedangkan metode taksiran
visual 95%. Berdasarkan hasil tersebut terdapat berbedaan sisa makanan antaran
metode penimbangan berat dengan metode taksiran visual. Sisa makanan pada
menu kelima yaitu lauk nabati berupa tahu yang diolah menjadi tahu bumbu
merah, tahu bumbu kuning dan tahu kecap. Pada metode penimbangan berat sisa
menu tahu sebesar 81,02% sedangkan metode taksiran visual yaitu 95%, dari
hasil presentase terjadi perbedaan sisa menu tahu antara metode penimbangan
berat dengan metode taksiran visual. Pada menu ke enam yaitu sayur yang diolah
menjadi tumis terdiri dari buncis, wortel, baby corn dan kembang kol. Sisa menu
sayur pada metode penimbangan berat yaitu 82,24% sedangkan pada metode
taksiran 95%.

Perbedaan hasil persentase antara metode penimbangan berat dengan


metode taksiran visual dikarenakan oleh perbedaan responden yang
mengkonsumsi makanan sehingga memiliki persepsi yang berbeda mengenai
banyaknya makanan tiap suap serta pemilihan/pengambilan menu yang berbeda
untuk dimakan pada metode penimbangan berat dan metode taksiran visual. Hal
ini sesuai dengan menurut Almatsier (1992), sisa makanan dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu jenis kelamin, tingkat pendidikan, kelompok umur, cita rasa makanan, kelas
perawatan, lamaperawatan dan penyakit mempengaruhi sisa makanan pasien.
Selain itu penaksir (estimator) yang melakukan pengamatan belum terlatih ,
menurut Comstock (1981), diperlukan penaksir yang terlatih, teliti, terampil,
memerlukan kemampuan menaksir dan pengamatan yang tinggi dan sering terjadi
kelebihan dalam menaksir (overestimate) atau kekurangan dalam menaksir (under
estimate)
BAB 6. PENUTUP

6.1 Kesimpulan

a. Sisa dari makanan pasien dapat digunakan sebagai acuan untuk


mengetahui seberapa banyak makanan yang dikonsumsi oleh pasien agar
dapat diketahui jumalah zat gizi yang masuk serta dapat mengetahui
apakah zat gizi yang dikonsumsi telah memenuhi kebutuhan pasien atau
tidak.
b. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan tentang metode pengukuran
sisa makanan, metode yang tepat untuk digunakan adalah metode taksiran
visual, karena metode ini lebih cepat dilakukan daripada metode
penimbangan apabila berada dalam lingkungan kerja kesehatan.
c. Faktor yang dapat mempengaruhi sisa makanan adalah faktor internal
yaitu kebiasaan makan pasie berbeda dengan yang disajikan baik
pemilihan menu maupun jumlah atau porsi makanannya. Faktor eksternal
yaitu makanan dari luar rumah sakit, pasien terkadang telah memakan
makanan yang berasal dari luar rumah sakit sehingga tidak mampu untuk
menghabiskan makanan dari rumah sakit. Penampilan makanan seperti
warna, tekstur, bentuk, porsi, keempukan kurang sesuai dengan keadaan
pasien, serta rasa makanan meliputi aroma, bumbu, tingkat kematangan,
temperatur makanan yang kurang menarik atau tidak sesuai dengan
keadaan pasien.
d. Metode pengukuran sisa makanan yang telah dilakukan pada praktikum
ada 2 macam metode yaitu metode penimbangan berat dan metode
taksiran visual makanan yang mana kedua metode tersebut memiliki
kekurangan dan kelebihan masing-masing.
6.2 Saran

Diharapkan saranan prasana lebih dipersiapkan dan memadai untuk


menunjang kefektifan dan keefisienan dalam pelaksanaan praktikum.
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier Sunita,(1992). Persepsi pasien terhadap makanan di rumah sakit ( jurnal


gizi Indonesia ) 1992 vol 2 halaman 87- 96.

Baliwati, Y. F. (2004). Pengantar Pangan dan Gizi, Cetakan I. Jakarta: Penerbit


Swadaya. Hal. 89

Carr, A. (2001). Abnormal psychology : Psychology focus. East Sussex :


Psychology Press.

Comstock, E. M. Pierre. 1981. Mackierman. Measuring Individual Plate Waste In


Scohol Lunch. J. Am. Diet Association.

Connors PL, Rozell SB. Using a Visual Plate Waste Study to Monitor Menu
Performance. J Am Diet Assoc 2004;104:94-96.

Depkes R.I., 2008. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta

Djamaluddin, M, Endy P dan Ira P .2005. Analisis Zat Gizi dan Biaya Sisa
Makanan pada Pasien dengan Makanan Biasa. Jurnal Gizi Klinik
Indonesia.

Lisdiana. 1998. Waspada Terhadap Kelebihan dan Kekurangan Gizi. Ungaran:


Trubus Agriwidya Ungaran

Moehyi, S. 1992. Penyelenggaran Makanan Institusi Dan Jasa Boga. Jakarta :


Bhatara

Muchatob. E. Manajemen Pelayanan Gizi Makanan Kelompok. SPAG Depkes RI.


Jakarta, 1991

Mukrie, A. N. 1990. Manajemen Pelayanan Gizi Institusi Dasar. Jakarta : Depkes


RI
Murwani. R. 2001. Penentuan Sisa Makanan Pasien Rawat Inap Dengan Metode
Taksiran Visual Comstock di RSUP Dr. Sardjito. Tesis.Yogyakarta : UGM.

NHS (National Health Service). 2005. Managing Food Waste in the NHS.
Department of Health. NHS Estate.

Nuryati, Puji. 2008. Hubungan antara Waktu Penyajian, Penampilan dan Rasa
Makanan dengan Sisa Makanan pada Pasien Rawat Inap Dewasa di RS
Bhakti Wira Tamtama Semarang. Universitas Muhammadiyah Semarang.

Ratnaningrum ( 2005), Analisis factor kualitas pelayanan yang mempengaruhi


kepuasan pelanggan pada RS Beralin DR,Agus Dalranto Ponorogo

Renangtyas, D. 2004. Pengaruh Penggunaan Modifikasi Standar Resep Lauk


Nabati Tempe terhadap Daya Terima dan Persepsi Pasien Rawat Inap.
Jurnal Gizi Klinik Indonesia. Vol.1. no.1.

Siswiyardi. 2005. Beberapa Faktor Pelayanan Gizi Rumah Sakit Yang


Berhubungan Dengan Tingkat Konsumsi Energi Dan Protein Pasien Dari
Makanan Luar Rumah Sakit (Studi pada pasien rawat inap RSU Sragen ).
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro.

Williams Peter dan Karen Walton. 2011, Plate Waste in Hospitals and Strategies
for Change, Journal of Clinical Nutrition and Metabolism, vol. 6, no, 6, pp.
235-241. Dari : http:// www.elsevier.com/locate/clnu. [26 agustus 2014].

Winarno, F.G., 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gamedia Pustaka Utama, Jakarta.
LAMPIRAN

Nasi campur

1. Metode Penimbangan Berat

Berat Awal Bahan


Berat Akhir
2. Metode Taksiran Visual

Anda mungkin juga menyukai